(DROP DOWN MENU)

Dipidana Penjara, Membubuhkan Meterai pada Dokuman yang Isinya Ilegal / Melawan Hukum

LEGAL OPINION

Ketentuan Hukum Pemakaian Materai / PEMETERAIAN

Question: Apakah betul, ada ancaman hukuman pidana penjara jika seseorang atau suatu pihak menempelkan materai pada sebuah surat ataupun akta yang isinya melanggar hukum? Lalu, bagaimana dengan perjanjian jual-beli yang nilainya diatas Rp5.000.000 (lima juta rupiah), namun pembayarannya dicicil oleh pembeli, apa masing-masing kuitansi bukti cicilan pembayaran harus tetap ditempelkan materai Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah)?

Brief Answer: Istilah yang dikenal hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, ialah “meterai”, bukan “materai”. Memang terdapat pengaturan sanksi pidana sebagaimana dapat kita jumpai dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, disebutkan adanya ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi setiap pihak yang memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia:

a. Meterai yang dipalsu atau dibuat secara melawan hukum seolah-olah asli, tidak dipalsu, dan dibuat secara tidak melawan hukum; atau

b. barang yang dibubuhi Meterai sebagaimana dimaksud dalam huruf a, seolah-olah barang tersebut asli, tidak dipalsu, dan dibuat secara tidak melawan hukum.

Ketentuan Pasal 25 Butir (b) pada ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai tersebut di atas, mengindikasikan sesuatu dokumen yang dibuat secara melawan hukum, namun kemudian oleh pelakunya dibubuhkan materai seolah sebagai dokumen yang legal atau sahih secara hukum sehingga dapat mengecoh pihak lainnya, diancam pidana dengan sanksi berupa penjara maupun denda.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, mengatur bahwa Bea Meterai dikenakan terhadap Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata, salah satunya kuitansi / kwitansi yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang mana menyebutkan penerimaan uang ataupun yang berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.

Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal ini bukanlah terkait substansi nominal dalam perjanjian pokoknya, baik perjanjian jual-beli, pinjam-meminjam, dsb, namun nilai nominal dalam kuitansi sebagai bukti pembayarannya sebagai penentu dikenakan atau tidaknya Bea Meterai. Bila dalam kuitansi tercantum nominal dibawah atau tidak mencapai nilai Rp5.000.000,00—sekalipun nilai nominal dalam perjanjian pokoknya melampaui nilai nominal Rp5.000.000,00.

PEMBAHASAN:

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2020

TENTANG

BEA METERAI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan

1. Bea Meterai adalah pajak atas Dokumen.

2. Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.

3. Tanda Tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik.

4. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen.

5. Pihak Yang Terutang adalah pihak yang dikenai Bea Meterai dan wajib membayar Bea Meterai yang terutang.

6. Pemeteraian Kemudian adalah pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat yang ditetapkan oleh Menteri.

7. Setiap Orang adalah orang perseorangan dan/atau badan, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum.

8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 2

(1) Pengaturan Bea Meterai dilaksanakan berdasarkan asas:

a. kesederhanaan;

b. efisiensi;

c. keadilan;

d. kepastian hukum; dan

e. kemanfaatan.

(2) Pengaturan Bea Meterai bertujuan untuk:

a. mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera;

b. memberikan kepastian hukum dalam pemungutan Bea Meterai;

c. menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat;

d. menerapkan pengenaan Bea Meterai secara lebih adil; dan

e. menyelaraskan ketentuan Bea Meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

BAB II

OBJEK, TARIF, DAN SAAT TERUTANG BEA METERAI

Bagian Kesatu

Objek Bea Meterai

Pasal 3

(1) Bea Meterai dikenakan atas:

a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dan

b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

(2) Dokumen yang bersifat perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;

b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;

c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;

d. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;

g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:

1. menyebutkan penerimaan uang; atau

2. berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;

dan

h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4

Bea Meterai dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Bagian Kedua

Tarif Bea Meterai

Pasal 5

Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).

Pasal 6

(1) Besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (21 huruf g dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.

(2) Besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat.

(3) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dalam rangka melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan.

(4) Perubahan besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau Dokumen dan besaran tarif tetap yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 7

Bea Meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:

a. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:

1. surat penyimpanan barang;

2. konosemen;

3. surat angkutan penumpang dan barang;

4. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;

5. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan

6. surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5;

b. segala bentuk ljazah;

c. tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;

d. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;

g. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;

h. surat gadai;

i. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan

j. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

Bagian Ketiga

Saat Terutang Bea Meterai

Pasal 8

(1) Bea Meterai terutang pada saat:

a. Dokumen dibubuhi Tanda Tangan, untuk:

1. surat perjanjian beserta rangkapnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a;

2. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b; dan

3. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c.

b. Dokumen selesai dibuat, untuk:

1. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (21huruf d; dan

2. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e.

c. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat, untuk:

1. surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a;

2. Dokumen lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f; dan

3. Dokumen yang menyatakan jumlah uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g.

d. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.

e. Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang dibuat di luar negeri.

(2) Menteri dapat menentukan saat lain terutangnya Bea Meterai.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan saat lain terutangnya Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB III

PIHAK YANG TERUTANG DAN PEMUNGUT BEA METERAI

Bagian Kesatu

Pihak Yang Terutang Bea Meterai

Pasal 9

(1) Dokumen yang dibuat sepihak, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima Dokumen.

(2) Dokumen yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing-masing pihak atas Dokumen yang diterimanya.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Dokumen berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga.

(4) Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bea Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan Dokumen.

(5) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas Dokumen.

(6) Ketentuan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau menentukan mengenai pihak yang membayar Bea Meterai.

Bagian Kedua

Pemungut Bea Meterai

Pasal 10

(1) Pemungutan Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat dilakukan oleh pemungut Bea Meterai.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 11

(1) Pemungut Bea Meterai wajib:

a. memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari Pihak Yang Terutang;

b. menyetorkan Bea Meterai ke kas negara; dan

c. melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.

(2) Pemungut Bea Meterai yang tidak melaksanakan kewajiban pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b, diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

(3) Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor, ditambah sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor.

(4) Pemungut Bea Meterai yang:

a. terlambat menyetorkan Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan/atau

b. tidak atau terlambat melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diterbitkan surat tagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

(5) Ketentuan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB IV

PEMBAYARAN BEA METERAI YANG TERUTANG

Pasal 12

(1) Pembayaran Bea Meterai yang terutang pada Dokumen dilakukan dengan menggunakan:

a. Meterai; atau

b. surat setoran pajak.

(21 Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:

a. Meterai tempel;

b. Meterai elektronik; atau

c. Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.

(3) Setiap Orang wajib memperoleh izin untuk membuat Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (21huruf c.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Bea Meterai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

(5) Pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB V

METERAI TEMPEL, METERAI ELEKTRONIK, DAN METERAI DALAM BENTUK LAIN

Pasal 13

(1) Meterai tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a memiliki ciri umum dan ciri khusus.

(2) Ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a. gambar lambang negara Garuda Pancasila;

b. frasa “Meterai Tempel”; dan

c. angka yang menunjukkan nilai nominal.

(3) Setiap Meterai tempel selain memiliki ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga memiliki ciri khusus sebagai unsur pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak.

(4) Ciri khusus pada Meterai tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan ciri umum dan ciri khusus pada Meterai tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), dan ayat (4) serta pemberlakuannya diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 14

(1) Meterai elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b memiliki kode unik dan keterangan tertentu.

(2) Ketentuan mengenai kode unik dan keterangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 15

(1) Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksurd dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c merupakan Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 16

(1) Pemerintah berwenang menentukan keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).

(2) Ketentuan mengenai tata cara untuk menentukan keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI

PEMETERAIAN KEMUDIAN

Pasal 17

(1) Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:

a. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar; dan/atau

b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.

(2) Pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pasal 18

(1) Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ditentukan sebesar:

a. Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administratif; dan

b. Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang.

Pasal 19

(1) Pihak Yang Terutang yang tidak atau kurang membayar Bea Meterai yang terutang, diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

(2) Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar ditambah sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).

Pasal 20

Ketentuan mengenai tata cara pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VII

LARANGAN BAGI PEJABAT YANG BERWENANG

Pasal 21

(1) Pejabat yang berwenang dalam menjalankan tugas atau jabatannya, dilarang:

a. menerima, mempertimbangkan, atau menyimpan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

b. melekatkan Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar pada Dokumen lain yang berkaitan;

c. membuat salinan, tembusan, rangkap, atau petikan dari Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar; dan/atau

d. memberikan keterangan atau catatan pada Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar.

(21 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

BAB VIII

FASILITAS PEMBEBASAN DARI PENGENAAN BEA METERAI

Pasal 22

(1) Bea Meterai yang terutang dapat diberikan fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:

a. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam;

b. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial yang tidak bersifat komersial;

c. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah danl atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan; dan/atau

d. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang terkait pelaksanaan perjanjian internasional yang telah mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian internasional atau berdasarkan asas timbal balik.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

Bea Meterai yang terutang menjadi kedaluwarsa setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutang.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal24

Setiap Orang yang:

a. meniru atau memalsu Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakai Meterai tersebut sebagai Meterai asli, tidak dipalsu, atau sah; atau

b. dengan maksud yang sama sebagaimana dimaksud dalam huruf a, membuat Meterai dengan menggunakan cap asli secara melawan hukum, termasuk membuat Meterai elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, secara melawan hukum,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 25

Setiap Orang yang memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia:

a. Meterai yang dipalsu atau dibuat secara melawan hukum seolah-olah asli, tidak dipalsu, dan dibuat secara tidak melawan hukum; atau

b. barang yang dibubuhi Meterai sebagaimana dimaksud dalam huruf a, seolah-olah barang tersebut asli, tidak dipalsu, dan dibuat secara tidak melawan hukum,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 26

Setiap Orang yang:

a. menghilangkan tanda yang gunanya untuk menunjukkan suatu Meterai tidak dapat dipakai lagi pada Meterai Pemerintah Republik Indonesia yang telah dipakai dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakainya seolah-olah Meterai tersebut belum dipakai;

b. dengan maksud yang sama sebagaimana dimaksud dalam huruf a, menghilangkan Tanda Tangan, ciri, atau tanda saat dipakainya Meterai Pemerintah Republik Indonesia yang telah dipakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dibubuhkan di atas atau pada Meterai tersebut; atau

c. memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Meterai yang tandanya, Tanda Tangannya, cirinya, atau tanggal dipakainya dihilangkan, seolah-olah Meterai tersebut belum dipakai,

dipidana dengan pidaha penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

BAB X

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 27

Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini, berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 28

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar yang dibuat sebelum Undang-Undang ini berlaku, Bea Meterainya tetap terutang dan dibayar berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 terrtang Bea Meterai.

b. Meterai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan peraturan pelaksanaannya yang masih tersisa, masih dapat digunakan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini mulai berlaku dan tidak dapat ditukarkan dengan uang atau dalam bentuk apa pun.

c. Meterai tempel yang digunakan untuk melakukan pembayaran Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dapat digunakan dengan nilai total Meterai tempel yang dibubuhkan pada Dokumen paling sedikit Rp9.000,00 (sembiian ribu rupiah).

Pasal 29

Tata cara pembayaran Bea Meterai yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini, yang dibayar dengan menggunakan Meterai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai beserta peraturan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 31

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 32

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2O2O

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2O2O

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2O2O NOMOR 240.

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2O2O

TENTANG

BEA METERAI

I. UMUM

Bea Meterai adalah pajak atas Dokumen. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat dinamis, terjadi banyak perubahan bentuk Dokumen atau modifikasi dari bentuk sebelumnya.

Teknologi informasi telah mendorong berkurangnya penggunaan kertas (paperless). Dalam hal kegiatan usaha, paperless menjadi opsi untuk meningkatkan efisiensi. Sejalan dengan itu, transaksi elektronik pun semakin berkembang sehingga kontrak dapat dilakukan secara elektronik melalui jaringan internet. Oleh karena itu, diperlukan perluasan definisi Dokumen yang tidak hanya berupa kertas, Ekstensifikasi Bea Meterai atas Dokumen elektronik sangat mendesak dilakukan agar potensinya dapat dimaksimalkan dan memberikan peningkatan penerimaan bagi pemerintah.

Terkait substansi pengaturan Undang-Undang tentang Bea Meterai, terdapat beberapa hal yang perlu disesuaikan dan diatur lebih tegas. Undang-Undang ini mengatur bahwa Dokumen yang menjadi objek Bea Meterai terdiri atas Dokumen kertas dan selain kertas, termasuk Dokumen elektronik tertentu dengan landasan hukum undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Undang-Undang ini mempertegas saat terutang dan Pihak Yang Terutang untuk setiap objek, serta memperkenalkan konsep pemungut Bea Meterai untuk Dokumen tertentu

Hal lain yang cukup penting adalah ditambahkannya ketentuan mengenai fasilitas Bea Meterai, antara lain terkait bencana alam, pelaksanaan program pemerintah, dan pelaksanaan perjanjian internasional.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 2

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas kesederhanaan” adalah pengaturan Bea Meterai harus dapat memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajibannya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas efisiensi” adalah pengaturan Bea Meterai harus berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah pengaturan Bea Meterai menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah pengaturan Bea Meterai harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah pengaturan Bea Meterai bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum.

Ayat (2)

Huruf e

Sehubungan dengan perkembangan hukum, bisnis, dan teknologi, pengaturan mengenai Bea Meterai perlu diselaraskan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait, antara lain peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Pasal 3

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kejadian yang bersifat perdata” adalah kejadian yang masuk dalam ruang lingkup hukum perdata mengenai orang, barang, perikatan, pembuktian, dan kedaluwarsa.

Huruf b

Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan, yaitu:

1. Dokumen yang terutang Bea Meterai yang belum dibayar lunas, termasuk Dokumen yang Bea Meterainya belum dibayar lunas, tetapi telah kedaluwarsa; dan

2. Dokumen yang sebelumnya tidak dikenai Bea Meterai karena tidak termasuk dalam pengertian objek Bea Meterai berdasarkan ketentuan dalam pasal ini.

Dokumen tersebut terlebih dahulu harus dilakukan Pemeteraian Kemudian pada saat akan dijadikan sebagai alat buktr di pengadilan. Ketentuan ini menegaskan bahwa jenis Dokumen dapat berubah menjadi jenis Dokumen alat bukti di pengadilan karena digunakan untuk maksud yang berbeda dengan maksud saat Dokumen tersebut dibuat. Dokumen yang merupakan objek Bea Meterai yang telah dibayar Bea Meterainya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, saat digunakan sebagai Dokumen alat bukti di pengadilan, tidak wajib lagi dilakukan Pemeteraian Kemudian.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “surat lainnya yang sejenis” adalah surat yang sejenis dengan surat pernyataan, antara lain surat kuasa, surat hibah, dan surat wasiat.

Yang dimaksud dengan “rangkap” adalah satuan dari jumlah Dokumen. Sebagai contoh, surat perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak dalam 2 (dua) rangkap, maka masing-masing Dokumen terutang Bea Meterai.

Huruf b

Pada prinsipnya, Bea Meterai sebagai pajak atas Dokumen hanya dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen. Hal ini mengandung arti bahwa grosse, salinan, dan kutipan akta notaris dikenai Bea Meterai yang sama dengan aslinya.

Yang dimaksud dengan “grosse, salinan, dan kutipan akta” adalah sesuai dengan pengertian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang jabatan notaris.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “salinan akta” adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”.

Yang dimaksud dengan “kutipan akta” adalah kutipan kata demi kata dari 1 (satu) atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “surat berharga” antara lain saham, obligasi, cek, bilyet giro, aksep, wesel, sukuk, surat utang, warrant, option, deposito, dan sejenisnya, termasuk surat kolektif saham atau sekumpulan surat berharga lainnya. Sebagai contoh, penerbitan 100 (seratus) lembar saham yang dituangkan dalam 1 (satu) surat kolektif saham, maka Bea Meterai hanya terutang atas surat kolektif sahamnya saja.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “Dokumen transaksi surat berharga” antara lain bukti atas transaksi pengalihan surat berharga yang dilakukan di dalam bursa efek berupa trade confirmation atau bukti atas transaksi pengalihan surat berharga lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk Dokumen berupa akta notaris, kuitansi, atau Dokumen lainnya, yang digunakan sebagai bukti atas transaksi pengalihan surat berharga yang dilakukan di luar bursa efek.

Yang dimaksud dengan “Dokumen transaksi kontrak berjangka” antara lain bukti atas transaksi pengalihan kontrak komoditas berjangka dan kontrak berjangka efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun, baik yang dilakukan di dalam bursa efek maupun bursa berjangka.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang” adalah sesuai dengan pengertian sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lelang.

Huruf g

Jumlah uang ataupun nilai nominal ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun nilai nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau nilai nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat Dokumen itu dibuat sehingga dapat diketahui apakah Dokumen tersebut dikenai atau tidak dikenai Bea Meterai.

Pasal 6

Ayat (1)

Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat.

Ayat (2)

Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat.

Ayat (3)

Sebagai contoh pengenaan tarif tetap yang berbeda, misalnya atas Dokumen surat berharga dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dari tarif yang berlaku berdasarkan kebutuhan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan dalam rangka inklusi keuangan atau pendalaman pasar keuangan.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah komisi yang membidangi keuangan dan perbankan.

Pasal 7

Huruf a

Dalam rangka menunjang kegiatan lalu lintas orang dan barang, maka atas Dokumen-dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang tidak dikenai Bea Meterai.

Angka 2

Konosemen adalah surat muatan kapal atau surat keterangan (pengantar) barang yang diangkut dengan kapal.

Angka 6

Yang dimaksud dengan “surat lainnya” adalah surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 5. Namun, karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat dimaksud, maka surat yang demikian ini tidak dikenai Bea Meterai. Misalnya, surat titipan barang, ceel gudang, dan manifes penumpang.

Huruf b

Termasuk dalam pengertian ijazah adalah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, pelatihan, kursus, penataran, dan yang sejenisnya.

Huruf g

Dokumen yang menyebutkan simpanan uang mencakup Dokumen yang berisi pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam simpanan nasabah di rekening di bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang dan/atau berisi pemberitahuan saldo atas simpanan tersebut.

Dokumen yang menyebutkan simpanan surat berharga mencakup pula Dokumen yang berisi pembukuan, penyimpanan, kepemilikan, atau pemberitahuan saldo surat berharga nasabah di kustodian.

Yang dimaksud dengan “kustodian” adalah kustodian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pasar modal.

Contoh Dokumen simpanan uang di bank antara lain berupa tabungan dan giro. Contoh Dokumen simpanan surat berharga di kustodian antara lain statement of account.

Huruf j

Yang dimaksud dengan “Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter” antara lain Dokumen penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Diskonto Bank Indonesia (SDBI), repurchase agreement (Repo) dan reverse repurchase agreement surat berharga, Dokumen swap termasuk swap lindung nilai, Dokumen transaksi USD Repo, Dokumen pembelian wesel ekspor berjangka, serta Dokumen penempatan bedangka.

Pasal 8

Ayat (1)

Huruf a

Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen yang dibubuhi Tanda Tangan dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan Tanda Tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli, Bea Meterai terutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.

Huruf b

Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen dibuat oleh pihak yang menerbitkan Dokumen. Dokumen dalam ketentuan ini tidak melibatkan atau membutuhkan Tanda Tangan sehingga saat terutang atas jenis Dokumen dalam ketentuan ini terjadi pada saat Dokumen selesai dibuat. Penentuan selesai dibuatnya suatu Dokumen biasanya diketahui dari tanggal Dokumen, tetapi dapat juga diketahui dari tanda lainnya yang dapat menunjukkan saat Dokumen selesai dibuat. Sebagai contoh adalah trade confirmation pembelian surat berharga saham di bursa efek yang berupa Dokumen elektronik, Bea Meterai terutang pada saat trade confirmation dibuat secara sistem oleh perusahaan.

Huruf c

Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya. Saat terutang untuk Dokumen dalam ketentuan ini terkait dengan manfaat atas Dokumen yang baru terjadi saat diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen dibuat.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “saat digunakan di Indonesia” adalah saat Dokumen dimaksud dimanfaatkan atau difungsikan sebagai pelengkap atau penyerta untuk suatu urusan dalam yurisdiksi Indonesia.

Sebagai contoh, Dokumen perjanjian utang piutang yang dibuat di luar negeri, digunakan di Indonesia pada saat Dokumen tersebut dijadikan sebagai dasar untuk penagihan utang piutang, dasar untuk pencatatan atau pembukuan, atau lampiran dalam suatu laporan.

Ayat (2)

Apabila dalam pelaksanaan di lapangan terdapat kesulitan mengenai penetapan saat terutangnya Bea Meterai, maka Menteri dapat menetapkan saat lain selain yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Sebagai contoh, dalam hai pembuatan Dokumen berupa bukti pengalihan surat berharga tidak dapat diketahui saat selesainya, maka dapat ditetapkan saat lain untuk menentukan saat terutangnya Bea Meterai, misalnya saat kontrak ditandatangani atau saat dicatat dalam pembukuan.

Pasal 11

Ayat (3)

Contoh pengenaan sanksi administratif Bea Meterai:

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan pemungutan Bea Meterai, ditemukan 15 (lima belas) Dokumen objek pemungutan Bea Meterai dengan rincian sebagai berikut:

a. 1 (satu) Dokumen telah dipungut dan disetorkan ke kas negara;

b. 2 (dua) Dokumen tidak dipungut dan tidak disetorkan ke kas negara;

c. 7 (tujuh) Dokumen telah dipungut, tetapi tidak disetorkan ke kas negara; dan

d. 5 (lima) Dokumen tidak dipungut, tetapi disetorkan ke kas negara.

Berdasarkan data tersebut, pengenaan sanksi administratif adalah sebesar 100% (seratus persen) atas:

a. 2 (dua) Dokumen yang tidak dipungut dan tidak disetorkan ke kas negara; dan

b. 7 (tujuh) Dokumen yang telah dipungut, tetapi tidak disetorkan ke kas negara.

Sedangkan atas 1 (satu) Dokumen yang telah dipungut dan disetorkan ke kas negara dan 5 (lima) Dokumen yang tidak dipungut, tetapi disetorkan ke kas negara, tidak dikenai sanksi administratif.

Dengan demikian, perhitungan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah sebagai berikut.

Bea Meterai terutang Rp150.000,00.

Bea Meterai telah disetor = (1 X Rp10.000,00 = Rp. 10.000,00) + (5 X Rp10.000,00 = Rp.50.000,00) = Rp60.000,00.

Bea Meterai kurang disetor = Bea Meterai terutang - Bea Meterai telah disetor = Rp90.000.

Sanksi Pasal 11 ayat (3) : 100% x 9 x Rp10.000,00 = Rp 90.000.00.

Bea Meterai yang masih harus dibayar = Bea Meterai kurang disetor + Sanksi = Rp180.000,00.

Pasal 12

Ayat (1)

Huruf b

Pembayaran Bea Meterai juga dapat dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak dalam hal mekanisme pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai dianggap tidak elisien atau bahkan tidak dimungkinkan. Misalnya, untuk Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dalam jumlah besar, yang pembayarannya melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pemberian alternatif dalam pembayaran Bea Meterai ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembayaran Bea Meterai.

Pasal 13

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “bersifat terbuka” (ouert) adalah ciri Meterai tempel yang dapat diketahui tanpa menggunakan alat bantu.

Yang dimaksud dengan “bersifat semi tertutup” (semicouerf) adalah ciri Meterai tempel yang dapat diketahui dengan menggunakan alat bantu.

Yang dimaksud dengan “bersifat tertutup” (couert / forensic) adalah ciri Meterai tempel yang dapat diketahui hanya melalui pemeriksaan forensik.

Pasal 17

Ayat (2)

Pada prinsipnya, pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian adalah Pihak Yang Terutang. Namun dalam pelaksanaannya, pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian dapat dilakukan oleh pemegang Dokumen baik sebagai Pihak Yang Terutang maupun bukan Pihak Yang Terutang.

Pasal 21

Ayat (1)

Pasal ini dimaksudkan agar pejabat yang berwenang masing-masing dalam menjalankan tugas atau jabatannya turut meyakinkan bahwa Bea Meterai yang terutang atas Dokumen telah dibayar sebagaimana mestinya.

Pejabat yang berwenang dalam ketentuan ini antara lain hakim, panitera, jurusita, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, pegawai aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia / Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pejabat negara.

Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini misalnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin dan kewajiban atau larangan pegawai aparatur sipil negara, pejabat negara, atau pejabat umum lainnya.

Pasal 22

Ayat (1)

Huruf b

Yang dimaksud dengan “tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial yang tidak bersifat komersial” adalah seluruh atau sebagian dari tanah dan/atau bangunan yang hanya digunakan untuk melaksanakan kegiatan ibadah (peribadatan) keagamaan atau kegiatan sosial seperti panti asuhan atau panti jompo yang tidak bersifat komersial atau tidak mencari keuntungan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “kebijakan lembaga yang berwenang di bidang jasa keuangan” antara lain dalam rangka:

a. melaksanakan pendalaman atau pengembangan sektor jasa keuangan;

b. melaksanakan penyehatan dan menjaga keberlangsungan lembaga jasa keuangan; dan/atau

c. mendorong fungsi intermediasi lembaga jasa keuangan.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional” adalah perjanjian internasional antara Indonesia dengan 1 (satu) atau lebih negara, atau dengan lembaga/organisasi internasional, yang tunduk pada hukum internasional.

Pasal 23

Ditinjau dari segi kepastian hukum, kedaluwarsa 5 (lima) tahun yang dihitung sejak saat terutang Bea Meterai, berlaku untuk semua Dokumen.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan “peraturan pelaksanaannya” adalah peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang mengatur mengenai bentuk, ukuran, dan warna Meterai tempel yang terakhir berlaku.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 657I

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.