ARTIKEL HUKUM
SERI SENI HIDUP Universitas Kehidupan by Hery Shietra
Pilih Manakah Anda, menjadi Pribadi yang Dependen, Independen, Interdependen, Kaku, Fleksibel / Dinamis, ataukah Kasuistik?
Air, ketika berada di dalam wadah berbentuk persegi, berbentuk persegi. Namun, air yang sama, ketika dipindahkan ke wadah berbentuk bundar, air itu menjelma berbentuk bundar. Apakah air itu, tidak memiliki prinsip hidup, sehingga selalu berubah-ubah sesuai tempatnya berada? Air, sejatinya tidak memiliki bentuk, namun kita-lah selaku pengamat yang memberikannya label sebagai berbentuk bundar, persegi, dsb, sehingga sejatinya pula yang tidak memiliki prinsip ialah pihak pengamat yang demikian gemar menghakimi sang air. Satu-satunya prinsip sang air ialah, tidak kaku sebagai berbentuk persegi, bundar, dsb, namun untuk menjadi diri-“nya” sendiri. Sikap boleh saja fleksibel sesuai wadahnya (kondisional), namun perihal prinsip diri perlu kokoh dan rigid apapun situasinya.
Saat masih sebagai seorang mahasiswa berambut “gondrong”, yang tentunya masih berusia muda dan minim dari segi pengalaman maupun pemahaman tentang sikap kita terhadap kehidupan yang perlu disikapi, penulis mendapatkan “penghakiman” dari seseorang yang menjadi sesama mahasiswa dalam fakultas yang sama pada tempat penulis berkuliah, yang menyebutkan bahwa sikap penuh independen yang menjadi karakter pribadi penulis saat itu sebagai salah seorang mahasiswa adalah melanggar kodrat seorang manusia untuk saling dependen. Benarkah demikian?
Kejadian demikian ialah lebih dari satu dekade lampau, dimana tampaknya lamanya introspeksi, pengalaman hidup, serta ajang “pembuktian diri” paska kelulusan dan menjadi praktisi di tengah masyarakat, maka saat kini bukanlah lagi momentum yang “prematur” untuk mempertanyakan ulang pandangan penulis maupun “penghakiman” sang pengkritik satu dekade lampau. Agar tidak disebut sebagai impulsif maupun reaktif atas tudingan maupun kritikan, tampaknya mengendapkan pokok bahasan ini selama satu dekade lamanya sebagai buah pikiran, sudah cukup memadai dan matang sifatnya untuk dikonsepkan-ulang berbagai perspektif “usang” sebelumnya. Seperti itulah,cara serta pendekatan penulis dalam “menggugat” berbagai pandangan konservatif yang perlu ditinjau ulang, yakni dengan kekuatan kuas dan tinta—yang pada saat kini telah menjelma papan tuts ketik pada perangkat komputerisasi.
Tak lama berselang (bahkan hanya hitungan hari) setelah mendapatkan “penghakiman” demikian oleh sesama mahasiswa, bagaikan jodoh baik mendatangi penulis secara “jatuh dari langit” (sekalipun tetap harus membayar sejumlah biaya, tentunya), dengan terbitnya buku karangan Steven Covey yang sangat populer kala itu, berjudul “7 Habits of Effective People”, yang juga diterbitkan dalam versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Steven Covey menyebutkan dalam bukunya, agar tidak terjebak dalam sisi ekstrim bernama menjadi individu yang dependen ataupun kutub ekstrim lainnya, yakni independen.
Yang ideal ialah, masih menurut Covey, menjadi pribadi yang INTER-dependen, yang bermakna tidak terjebak pada dua sisi kutub yang saling ekstrim bertolak-belakang. Menjadi pribadi yang dapat berbaur dan bekerja-sama dengan individu lain, bukan dimaknai sebagai melepas karakter mandiri dan independen diri, dan juga bukan dimaknai sebagai pribadi yang dependen sepenuhnya seolah-olah menanggalkan seluruh pilihan bebas ataupun kehendak bebas diri kita.
Covey mengilustrasikan teladan hidup dari seorang tokoh psikolog ternama, Victor Frankl, yang mencetuskan teori bahwa kemerdekaan pikiran seorang manusia ialah ketika ia masih memiliki kehendak bebas untuk menentukan reaksi dirinya apapun impuls eksternal dari luar dirinya, sehingga tidak menyerupai robot yang otomatis sifatnya bereaksi sesuai input yang diberikan. Aksi tidak selalu melahirkan reaksi yang berjalan secara linear, akibat kehendak bebas seorang manusia yang merdeka dari segi pikiran serta pilihan bebas untuk menentukan keputusan serta sikap dirinya. Frankl memilih untuk tidak menderita depresi ataupun tenggelam dalam frustasi, sekalipun hidupnya penuh ketidak-adilan dan ketidak-beruntungan—itulah kekuatan dibalik “kehendak bebas” dan “pilihan bebas”, yang ditemukan oleh Frankl dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan penuh tekanan diambang maut akibat diktatoriat zaman Nazi-Hitler.
Agar tidak tampak ambigu, kembali pada topik semula, yakni isu perihal menjadi pribadi yang dependen ataukah independen, dapat kita sisihkan, karena keduanya ternyata dan dapat kita sepakati merupakan dua sisi kutub ekstrim yang patut kita hindari terjebak dan terjemurus ke dalamnya, dimana Sang Buddha hanya menganjurkan “jalan tengah”, yakni sisi moderat. Kembali kepada perihal konsep “inter-dependen” yang disinggung oleh Covey, masih tampak abstrak dan sukar dicerna, tampaknya memang hanya “sedap di telinga”, namun minim instruksi terperinci bagaimana langkah untuk dapat menjadi pribadi yang “inter-dependen” demikian.
Untuk itu izinkan penulis untuk memperkenalkan konsep yang lebih ramah di telinga dan di otak kita untuk mencernanya, yakni “bersikap dependen terhadap orang-orang yang kompeten dan berkualitas untuk menjalin kerja-sama simbiosis-mutualisme, dan disaat bersamaan bersikap penuh independen terhadap orang-orang yang tidak profesional dan tidak berkualitas”—konsepsi yang lebih jelas, lebih tegas, dan lebih mudah diimplementasikan karena mudah dipahami oleh telinga siapapun tanpa menyisakan ambiguitas ataupun ambivalensi apapun. Dependen namun independen, yang bermakna “tidak menanggalkan yang satu demi satu yang lainnya”, serta “mencampakkan yang satu sama artinya mencampakkan yang satu lainnya”.
Apa yang menjadi latar-belakang atau yang mendasari penulis hingga mengemukakan konsepsi demikian? Sebelumnya, jauh sebelum semua ini, Sang Buddha telah pernah bersabda, bahwa berjodoh dengan orang-orang baik, adalah “berkah utama”. Sebaliknya, bertemu (terlebih berkumpul dan hidup dalam satu atap) bersama orang-orang yang tidak cocok, tidak berkualitas, tidak sejalan, tidak arif-bijaksana, adalah “petaka utama”. Itulah sebabnya, perusahaan yang baik selaku pemberi kerja, perlu menerapkan manajemen seleksi atau rekruitmen pencari kerja yang mumpuni untuk dapat menyesuaikan dengan budaya dan etos dari perusahaan.
Sebaliknya, calon karyawan / pegawai pun tidak boleh “jual murah” diri dengan falsafah “yang penting diterima bekerja”, namun perlu juga melakukan assessment terhadap pihak calon pemberi kerja, apakah ideal untuk berbaur dan saling bekerja sama sebagai atasan dan bawahan dalam satu atap bernama “kantor”? Calon pemberi kerja yang terlampau berfokus kepada kelemahan dan kekurangan calon pekerja, sebaiknya dihindari oleh pencari kerja generasi muda, yang dikenal lebih berfokus pada kelebihan (potensi untuk dikembangkan) alih-alih pada kekurangan yang dimiliki olehnya. Tidak ada orang yang mempermasalahkan model rambut Albert Einstein, karena segala kekurangan penampilan diri Einstein sang jenius, tenggelam ditengah segudang potensi, prestasi, serta pencapaian sang jenius.
Sekadar bernostalgia, berikut contoh peristiwa nyata sebagai ilustrasi ketika seorang pencari kerja melakukan assessment terhadap kepribadian pihak calon pemberi kerja, yang pernah penulis alami sendiri ketika masih sebagai seorang lulusan baru yang sibuk mencari-cari pekerjaan pada calon pencari kerja, alih-alih “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) membangun pekerjaan sendiri:
Eddy Santoso Tjahja:
“Berapa kamu minta gaji?”
Penulis:
“Tujuh juta Rupiah.”
Eddy Santoso Tjahja:
“Mengapa tidak minta delapan delapan juta Rupiah saja, daripada hanya tujuh Rupiah?”
Penulis:
“Boleh juga.”
Eddy Santoso Tjahja:
“Mengapa tidak minta sembilan juta Rupiah saja, daripada hanya delapan Rupiah?”
Penulis:
“Benar juga dan boleh juga.”
Eddy Santoso Tjahja:
“Mengapa tidak minta sepuluh, sebelas, dua belas, atau dua puluh juta Rupiah saja sekalian?”
Penulis:
“Sependapat.”
Eddy Santoso Tjahja:
“Anda tidak konsisten dalam meminta gaji!” Sementara disaat bersamaan dirinya tidak konsisten menawarkan gaji. Dirinya sendiri merasa boleh tidak konsisten, namun merasa berha kutnuk melarang orang lain.
Penulis:
“Loh, kan Anda sendiri yang menawarkan demikian, saya hanya mengiyakan atau tidak mengiyakan tawaran Anda, sekadar menyetujui tawaran yang diberikan kepada saya, sementara saya tidak pernah meminta angka lebih dari tujuh juta Rupiah sedari awal, Anda sendiri yang menawarkan.”
Eddy Santoso Tjahja:
“Anda TIDAK KONSISTEN!”
Penulis:
“Yang tidak konsisten itu Anda sendiri. Anda yang dari awal tidak konsisten menolak atau menerima, namun tarik-ulur seperti bermain layangan. Saya hanya memberikan respons semata, atas permainan tarik-ulur Anda.”
Eddy Santoso Tjahja:
“Kamu diawal minta tujuh juta Rupiah, mengapa tidak konsisten dan meminta lebih dari itu?”
Penulis:
“Sudah saya katakan, saya hanya memberi respons atas apa yang Anda TAWARKAN sendiri, tawaran yang tidak konsisten. Dalam negosiasi, apapun itu, termasuk negosiasi dalam upah, adalah wajar saja ada penawaran dan permintaan. Namanya saja negosiasi, tawar-menawar, memangnya minimarket yang harganya sudah pasti tidak dapat ditawar-tawar? Negosiasi semacam apa, yang melarang tawar-menawar?”
Eddy Santoso Tjahja:
“ANDA TIDAK KONSISTEN!”
Penulis:
“Oh, jadi yang namanya ‘bargaining’, artinya ‘tidak konsisten’ ya? Berarti semua ibu-ibu di pasar tidak konsisten, semata karena mereka tawar-menawar dengan pedagang pasar, termasuk Anda sendiri yang tidak konsisten menyebut nominal angka ketika menawarkan.”
Eddy Santoso Tjahja:
“Saya bisa menilai Anda dari perkataan Anda.”
Penulis:
“...” (Memilih untuk tidak berdebat, mengalah untuk menang, namun dalam hati berkata, “Saya juga, bisa mengukur kedangkalan, bukan kedalaman, dari sang ‘tidak konsisten teriak tidak konsisten’, bahkan dapat dijengkal dengan kedua jari tangan atau mistar-penggaris. Memangnya minimarket, harganya sudah pasti tidak dapat ditawar? Sejak kapan pula, negosiasi hanya boleh terdapat satu angka nominal mutlak? Ketidak-konsistenan dimulai oleh pihak yang sedari sejak semula bersikap tidak punya ketetapan dalam memainkan bandul yang mengayun kesana dan kemari, tanpa pendirian yang tegas. Konsistensi pencari kerja, bukanlah dalam tatanan nominal upah tertentu, namun prinsip perjuangan daya tawar diri dalam rangka mendapat upah / gaji tertinggi setinggi mungkin dalam negosiasi, alias bukan gaji seminim-minimnya, namun setinggi-tinggi / semaksimal mungkin tingkat upah yang dapat diraih.”)
Menurut pada pembaca, dari penuturan nyata kisah di atas, apakah yang menjadi hasil “pengukuran” alias “penilaian” penulis selaku calon penerima kerja terhadap sang calon pemberi kerja? Eddy Santoso Tjahja adalah sosok yang manipulatif serta eksploitatif, dimana antara ucapan dan perilaku tidak sejalan (munafik), perkataan yang tidak dapat dipegang, pandai bersilat lidah, pandai dalam modus iming-iming, dan sifat atau tabiat “mau menang sendiri” disamping “ignorant”.
Terbukti kemudian hipotesis demikian, sekalipun penulis lolos seleksi olehnya dan diterima bekerja pada perusahaan miliknya, penulis memilih untuk hengkang ketika dua ratus jam kerja dengan seluruh biaya pribadi penulis ketika bekerja selama masa kerja untuk kepentingan Eddy Santoso Tjahja, ternyata diberikan hak atas upah sebagaimana diperjanjikan oleh Eddy Santoso Tjahja (alias hanya sekadar “iming-iming”, alias “ingkar-janji”, alias “penipuan”), dimana kemudian penulis melakukan “pembalasan dendam”, dengan mengungkap modus Eddy Santoso Tjahja kepada publik, agar tidak ada lagi korban serupa dikemudian hari, yang alhasil kini kerugian yang diderita Eddy Santoso Tjahja jauh melampaui kerugian yang penulis derita. Eddy Santoso Tjahja asked for it! Eddy Santoso Tjahja menyesal dikemudian hari pun, percuma. Bermain api, maka akan terbakar, itulah konsekuensi yang harus dibayarkan sebagai harganya.
Kita mungkin dependen soal sumber nafkah ketika masih mengandalkan lowongan pekerjaan pihak eksternal diri sebagai sumber nafkah. Namun, bukan artinya tiada “pilihan bebas” sama sekali untuk bersikap independen. Dalam contoh kasus di atas, tiada sikap-sikap INTER-dependen. Sekadar merujuk catatan sejarah, Eddy Santoso Tjahja sebelumnya tercatat pernah mengeksploitasi tenaga kerja PT. JobsDB Indonesia ketika Eddy Santoso Tjahja masih sebagai direktur pada perusahaan tersebut, demi kepentingan perusahaan milik pribadinya (PT. Auditsi Utama), sehingga kemudian Eddy Santoso Tjahja DIPECAT SECARA TIDAK HORMAT oleh pemegang saham PT. JobsDB Indonesia. Tabiat dan kebiasaan memang susah diubah, bila sudah mendarah-daging. Entah korban mana lagi selanjutnya oleh sang predator pemakan keringat tenaga manusia bernama Eddy Santoso Tjahja demikian.
Suatu relasi INTER-dependen, hanya dapat terjadi ketika kedua belah pihak saling menghargai dan menghormati eksistensi satu sama lain, saling “bersimbiosis mutualisme” (setidaknya saling tidak merugikan satu sama lain), alias “tidak bertepuk sebelah tangan”. Ketika hanya salah satu pihak yang bersikap baik dan penuh tanggung-jawab, sementara pihak lainnya bersikap buruk dan penuh ketidak-jujuran, maka itu bukanlah relasi yang ideal terlebih direkomendasikan, karena tidak sehat. Relasi yang sehat ialah menyerupai saling berbagi kebaikan, saling menjaga, saling memberi, saling mengasihi, saling menerima, saling menyayangi, saling menolong, saling mengisi, saling memahami, saling mengerti, saling membangun, dan saling bersikap baik—itulah yang disebut sebagai “INTER-dependen”.
Ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang berjenis karakteristik buruk dan penuh cela dari segi moralitas maupun disiplin diri, maka sebaiknya dijauhi (jangan menantang ataupun meremehkan potensi resiko terjadinya konflik dikemudian hari yang tidak terhindarkan dari orang-orang yang “tidak takut terlebh merasa malu untuk berbuat dosa dengan menjahati pihak lainnya”, sejauh-jauhnya, sejauh mungkin. Karenanya, wajib hukumnya bersikap independen dan berjalan seorang diri ketika tiada satupun orang yang sepadan dari segi moralitas, sebagaimana ternyata telah disabdakan langsung oleh Sang Buddha.
Ketika kita hendak membangun tim kerja, tim olahraga, tim kompetisi, atau semisal membangun rumah-tangga antar sepasang suami-istri (pasutri), maka mau tidak mau kita harus “selektif” alias menjadi “pemilih”. Karenanya, relasi INTER-dependen selalu dibangun dari pilar penopang bernama “selektif” dan “pilihan yang di-pilih” (terpilih, oleh kita maupun oleh rekan kita). Sehati, sejalan, seiman, se-visi-misi, sehaluan, seminat, sebaik, dan istilah-istilah lainnya yang mencerminkan kohesi sebagai daya ikat yang terbit dari kesamaan karakter, kesamaan minat, kesamaan tujuan, dan kesamaan-kesamaan lainnya. Kita tidak perlu terobsesi untuk menyatukan air dan minyak, keduanya memang tidak memiliki kohesi, terlebih api dan es, cobalah siramkan air ke dalam tabung gas yang menyala karena api yang membakar maka tragedi yang kemudian terjadi karena air dan api tidak saling “senyawa”. Bila prasyarat demikian terpenuhi, maka sejatinya relasi INTER-dependen akan otomatis terbangun secara sendirinya “by nature” (secara alamiah), tanpa perlu dipaksakan ataupun dikampanyekan sekalipun.
Kini kita masuk pada pokok sentral bahasan ini, yakni ketika Robert T. Kiyosaki, sang pebisnis Real Estate sukses dari Amerika Serikat, berbagi tips perihal sukses dalam membangun karir, bahwa membangun kerajaan bisnis mau tidak mau harus membangun “tim kerja” yang berisi sekumpulan ahli dibidangnya masing-masing. Meski demikian, terdapat satu buah tambahan kata yang tampaknya lolos untuk turut diutarakan oleh sang tokoh, yakni merekrut anggota tim kerja yang benar-benar hasil seleksi ketat—alias bukan orang sembarangan. Hal ini menyerupai perumpamaan mencari jarum diantara tumpukan jerami, namun bukanlah hal yang mustahil sepanjang kita mengetahui siapa yang kita cari serta kriterianya untuk direkrut dan bergabung untuk SALING bekerja-sama.
Memilih dan merekrut anggota tim kerja tanpa seleksi yang memadai, sama artinya akan menjadi penyulit serta penyukar kemajuan suatu organisasi atau lembaga, dimana alih-alih menjadi saling kooperatif, seringkali model pembentukan tim kerja demikian justru menjadi beban tersendiri yang membebani alias sekadar menjadi beban yang memberatkan (pemberat, bukan akselerator pemercepat laju kerja tim secara keseluruhan). Satu anggota tim yang tidak memiliki kesamaan visi dan misi ataupun etos kerja, dapat menyerupai “duri dalam daging” atau “tumor” yang mengganjal dan mengganggu laju organisasi—dan perlu dibuang agar tidak mengganggu nutrisi sang inang. Relasi INTER-dependen, pada prinsipnya tidak dapat dipaksakan, dimana memaksakan “api dan air” untuk disatukan pada gilirannya hanya akan berbuah petaka, alih-alih api dibiarkan tetap independen sementara air juga independen satu sama lainnya.
Dalam suatu organisasi, baik lingkungan komunitas sekolah maupun pekerjaan, sangatlah penting arti sebuah proses rekruitmen yang selektif sifatnya. Tanpa itu, maka organisasi akan dibebani oleh “beban” dan para “benalu” yang justru menghambat laju organisasi, bahkan menjadi penghalang bagi majunya gerak organisasi bila tidak dapat disebut sebagai memundurkan laju organisasi hingga mematikan nafas organisasi—sekalipun mereka disebut sebagai sekelompok orang yang bergabung ke dalam sebuah wadah bernama sebuah “tim kerja”. Itulah sebabnya, tidak semua perusahaan yang terdiri dari banyak pekerja, mampu eksis dalam segala zaman.
Kilas balik kembali ke masa lampau, ketika penulis masih sebagai seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, kerap pihak dosen pengajar memberikan tugas perkuliahan dimana para mahasiswa perlu membentuk sebuah tim kelompok kerja. Yang kemudian sering dan kerap terjadi ialah, penulis yang harus bekerja seorang diri sementara para anggota kelompok lainnya hanya “menumpang nama sebagai anggota kelompok”, yang artinya hanya sebagai “beban”—dan akan lebih menjadi penghambat atau bahkan beban bagi pundak penulis ketika dosen pengajar mewajibkan setiap anggota kelompok untuk melakukan presentasi hasil kerja kelompok, yang artinya penulis harus meluangkan waktu serta menyisihkan energi untuk menjadi tutor bagi mereka yang sejatinya eksistensi diri mereka tidak pernah penulis butuhkan, mengingat mereka hanya akan dekat dan mendekati penulis ketika mereka membutuhkan atau ada kepentingan dirinya pribadi seperti untuk “menumpang nama dan nilai” dalam “tugas kelompok”.
Konstruksi “politis-sosiologis” demikian, namanya ialah sekadar menjadi “beban”, bukan kerja kelompok, sekalipun kami atau orang luar menamakannya sebagai sebuah “tim kelompok tugas kuliah”. Sang dosen pengajar, yang memaksakan kondisi dan keadaan, sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka penulis harus terlibat dalam sebuah tim dengan sekelompok anggota alih-alih bersikap soliter dan independen dalam menyelesaikan mata kuliah dan tugas-tugasnya dimana juga akan jauh lebih efisien bila seandainya penulis diizinkan bekerja dan menyelesaikan tugas seorang diri tanpa berkelompok dengan sebuah tim manapun.
Kontras dengan yang terjadi pada ruang-ruang belajar di Indonesia, ketika kita bercermin pada budaya belajar yang tinggi di negara tetangga seperti di China, kerap kita jumpai kelompok-kelompok belajar, ataupun kelompok-kelompok hobi dengan minat yang sama secara produktif (bukan hobi sekadar untuk hobi itu sendiri belaka), seseorang individu yang memang memiliki keseriusan secara profesional sebagai seorang mahasiswa, katakanlah, akan dapat dengan mudah menghimpun diri secara INTER-dependen dalam sebuah kelompok “tim belajar” bersama. Di China, perpustakaan selalu penuh sesak oleh para mahasiswa yang belajar dan membaca buku, bahkan tidak menyisakan satu kursi kosong pun dari seorang pelajar, bukan untuk sekadar duduk-duduk santai dan sibuk mengobrol, namun benar-benar tenggelam dalam aktivitas akademik, pada kampus maupun sekolah mana pun yang tersebar di China.
Budaya akademik pada siswa dan mahasiswa di China, tidak penulis dapatkan di Indonesia. Sebagai contoh, ketika masih sebagai seorang mahasiswa di sebuah kampus Universitas Swasta yang cukup ternama di Kota Jakarta—Indonesia, penulis menjadi satu-satunya seorang mahasiswa yang keseharian mengisi perpustakaan dan sibuk sebagai seorang mahasiswa yang “profesional”, yakni perpustakaan sebagai ruang untuk membaca buku sebagai fungsi utamanya. Datangnya mahasiswa lain yang mendekat, artinya bukan untuk menjadi “tim kelompok belajar”, namun sebagai “pengganggu” atau sebentuk “baru mendekat bila ada maunya”.
Tiada relasi “simbiosis mutualisme” disini, yang ada ialah pengambilan, meminta, dan merenggut hingga mencuri—alih-alih “meminta” dan disaat bersamaan bersedia untuk “memberi”, yang menjadi prinsip resiprositas peradaban yang tinggi pada suatu bangsa (yang bila sudah) beradab adanya. Dalam kondisi dan situasi demikian, penulis harus bersikap rasional, tidak dapat memaksakan diri membentuk sebuah “kelompok belajar” atau “tim belajar” atau istilah apapun itu, dan harus cukup berpuas diri menjadi pribadi mahasiswa yang soliter serta independen dalam kegiatan belajar, dengan semata mengandalkan diri sendiri.
Bila penulis memilih untuk bersikap dependen pada kala itu, dapat dipastikan penulis akan terjerumus pada pergaulan negatif yang tidak produktif sama sekali. Kini, penulis tidak menyesali pilihan demikian, sekalipun disebut sebagai “kutu buku”, “kurang pergaulan”, “kurang bersosialisasi”, dan lain sebagainya, karena memang selalu ada yang harus kita bayarkan atau korbankan untuk segala sesuatunya, dimana sumber daya waktu sangatlah terbatas sehingga kita perlu memilih serta menentukan fokus yang menjadi prioritas dalam hidup kita dalam mengalokasikan penggunaan sumber daya waktu yang terbatas dalam keseharian kita. Barulah salah dan menjadi keliru, ketika seseorang mencoba menghakimi pilihan hidup penulis, dimana yang patut dicela ialah pihak-pihak yang secara serampangan menghakimi pilihan hidup individu lainnya.
Pelambat yang hanya dapat memperlambat gerak laju kita, harus ditinggalkan dan jika perlu kita memberi vaksin pada diri kita untuk tidak terlibat dalam budaya dangkal mayoritas masyarakat kita yang tampaknya memang harus kita akui masih terbelakang dan tertinggal dari bangsa lain dari segi prestasi, akademik, hingga pencapaian. Ketika kita terjebak pada sebuah arus dimana kita dilahirkan dan tumbuh dewasa, dimana arus tersebut kita sadari akan membawa dan menyeret kita pada muara yang negatif dan kurang produktif, maka kita perlu membuat pilihan dan bersikap aktif dengan sebuah keteguhan hati disamping pendirian dan sikap diri untuk memilih jalan hidup kita sendiri, yang artinya keberanian untuk menjadi bersikap independen dalam tataran alam berpikir dan pikiran, dengan cara melepaskan diri dari apapun budaya ataupun komentar dan pendapat orang lain maupun masyarakat pada umumnya mengenai diri dan pilihan hidup kita.
Menjadi pribadi yang “unik” dan “lain daripada yang lain”, bukanlah hal tabu bila kita memiliki tujuan besar lain dibalik segala pilihan hidup kita (berorientasi pada hasil dan tujuan, sekeras apapun proses maupun stigma yang harus ditempuh), sekalipun sebagai seorang pribadi yang independen dalam membuat pilihan hidup (sekalipun orang lain tidak mau ataupun tidak mampu untuk memahaminya)—dalam artian tidak memaksakan diri menjerumuskan diri ke dalam sebuah kelompok sosial ataupun “tim” atau “komunitas”, apapun sebutannya. Sang Buddha sendiri merupakan teladan nyata, menjadi “pelawan arus” yang melawan arus budaya sosial-kemasyarakatan pada era Pangeran Sidharta Gotama lahir di Nepal kala itu ribuan tahun lampau, memutuskan untuk menjalani hidup yang soliter dan independen dengan meninggalkan kelima orang gurunya, sebelum kemudian merealisasi pencerahan dan justru berbalik kondisinya menjadi guru dari para mantan-gurunya, menjadi guru bagi setiap anggota keluarga-Nya di kerajaan.
Ketika lulus dari kuliah dan memperoleh gelar kesarjanaan, penulis telah mencicipi pengalaman ketika bergabung dengan berbagai perusahaan, yang tidak lain ialah organisasi yang terdiri sekelompok orang pekerja dan atasan yang disebut “tim kerja”. Ketidak-cocokan visi dan misi, terutama ketika pihak pemberi kerja terlibat dalam aksi-aksi ilegal dimana penulis selaku Staf Hukum (Legal Staff) justru ditugaskan untuk “melegalkan apa yang sejatinya ilegal”, maka itu pun bukan sebuah “tim kerja” yang ideal bagi seorang Sarjana Hukum yang masih memegang teguh prinsip idealisme diri. Ketika menyentuh aspek prinsip diri dan prinsip hidup, kita harus (memilih untuk) bersikap independen. Opsi lain harus dibentuk dan dipilih, sekalipun itu artinya menapak pada jalan karir yang harus penulis buka dan rintis-ciptakan sendiri jalannya, sekalipun lintasannya berliku dan penuh halangan disamping resiko tanpa kepastian.
Sampai pada akhirnya, penulis mendirikan “brand” Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS yang kini dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, yang tentunya kini telah tidak asing lagi di telinga para pembaca sebagai kesaksian dan pembuktian langsung pencapaian yang telah penulis raih dalam solo-karir secara independen. Bukan artinya, penulis menutup pintu peluang dari kerja-sama dengan calon rekan lainnya dalam sebuah “tim kerja”, namun pengalaman pahit mengajarkan agar penulis “tidak memaksakan diri” dan juga “tidak memaksakan keadaaan”.
Penulis pernah terjebak pada kamuflase iming-iming kerja-sama sebagai rekanan dalam sebuah “tim kerja” bersama seorang pengacara penipu bernama Bob Setyanegara, yang justru memperbudak penulis dengan segala jirih-payah dan pengorbanan dari segi biaya, waktu, tenaga yang penulis kerahkan seorang diri demi kepentingan “tim”, namun sang pengacara penipu bernama Bob Setyanegara hanya sibuk bersikap layaknya atasan terhadap bawahan terhdap rekan kerja yang setara dari segi tingkatan rekan, yang mana hanya menerima “bersih” dan “beres” semua pekerja sementara dirinya hilang ke negeri “antah berantah”—alias sekedar menjadi “benalu” tidak berfaedah, bila tidak dapat disebut sebagai “manusia sampah”. Itulah akibatnya, dibalik sikap “membeli kucing dalam karung” ketika membangun relasi rekan kerja-sama usaha bersama.
Tidak ada saling menolong, tidak ada saling bekerja-sama, tidak ada saling mengisi, tidak ada saling menerima dan saling memberi, tidak ada saling kesepahaman, tidak ada saling menangggung beban, tidak ada saling mendukung, yang ada ialah Bob Setyanegara yang menjadi beban yang hanya mampu sebatas membebani beban kerja penulis. “Tim keja” bersama sang pengacara penipu bernama Bob Setyanegara ini pun, seketika penulis putus dan hentikan agar penulis tidak menderita kerugian lebih jauh lagi. Bila penulsi mampu hidup dalam kondisi solo-karir, mengapa juga harus memaksakan diri untuk diperlambat dan dibebani oleh beban yang tidak perlu semacam Bob Setyanegara, sang pengacara penipu?
Dapat kita pelajari dari peristiwa “naas dan tragis” demikian, sikap-sikap soliter semacam “independensi diri” bukanlah penyakit, namun tidak jarang menjadi penyelamat dan “juru penolong” dikala kita berada diambang “ujung tanduk”. Karenanya, dapatlah kita menyampaikan kepada Robert T. Kiyosaki, bahwa membentuk dan memiliki sebuah “tim kerja”, bukanlah kartu sakti untuk menjadi solusi bagi kehidupan sosial maupun karir dan bisnis, namun memiliki “diri sendiri” (mampu bersikap soliter dan independen) bila tidak memiliki kondisi yang kondusif untuk berkelompok, serta bila memungkinkan adanya jodoh yang baik maka kita memiliki paling tidak segelintir kecil anggota kelompok yang benar-benar kompeten dan dapat diandalkan dalam sebuah komunitas kecil ataupun besar yang bernama “tim kerja” yang SELEKTIF sifat keanggotaannya.
Secara berlebihan, Robert T. Kiyosaki menyatakan bahwa sistem pendidikan kita di bangku sekolah demikian “anti-education”, alias melanggar prinsip dasar pendidikan, dimana siswa yang saling bekerja-sama dengan temannya dalam menjawab soal ujian justru diberikan “punishment” oleh pihak guru dan sekolah. Prinsip-prinsip meritokrasi, dengan demikian, tampaknya ditentang oleh Robert T. Kiyosaki, dimana akan menjadi tampak lebih berbahaya, ketika seorang siswa mengatakan kepada sang guru atau sang dosen, bahwa dirinya “menyewa pegawai atau seorang freelancer untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah yang ditugaskan” oleh sang guru ataupun dosennya, sebagai sebuah “keterampilan manajerial” yang patut dijunjung dan dipuji oleh sang guru atau sang dosen.
Bila sikap-sikap INTER-dependen yang “SELEKTIF” ialah emas, maka dapat pula kita sebutkan bahwa kemampuan untuk bersikap independen dan soliter merupakan “permata”, mengingat kita akan mati seorang diri (sebagaimana kita terlahir seorang diri, bukan sebagai “tim” layaknya kesebelasan), membawa karma milik diri sendiri, mengingat pula tiada pesta yang tidak usai, dimana “tim” cepat atau lambat akan bubar atau dibubarkan dan digantikan satu per satu (ikatan sosial selalu cair, sekalipun untuk ukuran ikatan darah sekalipun yang konon lebih kental dari air sifatnya), dimana silih-berganti akan terus berlangsung bagaikan aliran air yang mengisi pori-pori bebatuan, siklus perputaran air hujan mengisi aliran sungai menuju danau atau samudera, sebelum kemudian kembali mengisi uap air pada awan yang tertiup angin dan membentuk segumpal awan berat yang mencurahkan air hujannya menghujam daratan.
Karenanya pula, bersikap independen dan soliter bukanlah hal tabu terlebih untuk dimusuhi, justru ia menjadi pesona dan daya tarik tersendiri, dimana tidak jarang orang-orang akan terkagum-kagum kepada keteguhan dan “self determination” sang independen dan mampu bertahan hidup dengan cara menapak di jalan yang “sepi”, sekalipun prestasi dan pencapaiannya mungkin terbatas, namun kemampuan ia untuk menjadi soliter dan bertahan hidup dalam kondisi berjuang seorang diri sekalipun penuh keterbatasan sumber daya manusia, sudah cukup untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari masyarakat.
Jika saja Steve Jobs tidak dikeluarkan dari Apple Inc. yang ia dirikan menjadi sebentuk “tim kerja” raksasa dengan ribuan pekerja di dalamnya, dan kembali menjadi soliter, mungkin dirinya tidak akan mendirikan studio animasi yang ternama, Pixar Studio. Jika saja penulis tidak memilih jalan sepi berliku yang bernama solo karir, mungkin tidak akan pernah ada yang namanya Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS yang kini Anda baca dan saksikan berbagai pencapaiannya. Memiliki “diri sendiri” sebagai anggota tim paling berharga, sudah lebih dari cukup. Memiliki beragam anggota tim, namun bila kita tidak “memiliki diri kita sendiri”, sama artinya menipu diri sendiri. Bila tiada jaminan “self-entrepreneur” akan meraih kejayaan karir yang diakui dunia, maka faktanya juga tiada korporasi raksasa yang dapat terus eksis sekalipun memiliki “tim kerja” yang menyerupai gurita.
Tidak ada yang salah dengan memilih menjadi seorang independen yang soliter, dependen, ataupun INTER-dependen, kita hanya perlu menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi, tanpa bersikap memaksakan diri ataupun keadaan—maka itulah yang dapat kita sebut sebagai “kecerdasan situasional”, yakni kecerdasan dalam menempatkan diri dan membaca situasi, untuk kita memutuskan apakah opsi menjadi independen harus kita pilih dan tempuh ataukah menjadi bersikap INTER-dependen pada satu waktu lainnya. Pemahaman yang sejatinya mendasar demikian, entah mengapa tidak pernah diajarkan kepada kita dalam bangku pendidikan formal maupun informal, sekalipun penting sekali sifatnya sebagai bekal keterampilan hidup (soft skill) disamping “hard skill”.
Namun demikian, sebagai penutup serta sebagai saran berdasarkan pengalaman pribadi, jangan pernah memilih opsi bersikap “dependen” secara mutlak-membuka tanpa menyisakan sedikit pun ruang kesempatan bagi sikap independensi diri untuk tetap eksis, bernafas, dan bertumbuh, dimana dapat dipastikan penyesalan akan menunggu dikemudian hari, dan “pahit” sekali rasanya, sepahit orang-orang yang menggantungkan nasibnya pada perusahaan pemberi kerja tempat ia bekerja akan menjadi menyerupai “kiamat” ketika mengalami pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba tanpa daya tawar apapun akibat miskinnya independensi diri.
Sekalipun pada mulanya kita membutuhkan bimbingan seorang guru meditasi untuk bermeditasi secara efektif, namun pada gilirannya dan selanjutnya tetap saja kita perlu mengandalkan diri kita sendiri untuk mencapai kemajuan atau tidaknya (berpulang kepada usaha dan ketetapan hati diri kita sendiri, bahkan untuk memulai termotivasi untuk memulainya pun perlu berangkat dari kesadaran dan proaktif internal pribadi diri kita sendiri). Sama halnya, ketika penulis memberikan jasa bimbingan karya ilmiah hukum bagi para mahasiswa sebagai tugas akhir proses perkuliahan mereka, pada gilirannya keberhasilan atau kegagalan mereka berpulang pada diri pribadi sang mahasiswa yang penulis bimbing, sebaik apapun dan sebesar apapun penulis memberikan motivasi, input, dan “pencerahan” bagi yang bersangkutan.
Bila branding Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS adalah perwujudan dari sikap independen diri penulis, bukan diartikan penulis anti terhadap “INTER-dependen”, dimana penulis disaat bersamaan memiliki “tim kerja” bersama orang yang paling dapat dipercaya, yakni saudara kandung penulis sendiri, untuk merintis karir dalam bidang bisnis niaga non-hukum, yang terbukti sangat mampu menolong penulis ketika bidang layanan jasa hukum sedang memasuki “low season” seperti kala pandemik akibat wabah virus menular Corona Virus Disease merebak yang memukul perekonomian Indonesia yang mengakibatkan resesi ekonomi secara makro maupun mikro.
Sekalipun penulis telah bersolo-karir dalam pendirian jasa hukum dengan branding Legal Consultant SHIETRA & PARTNERS, penulis pun kemudian tetap bersikap selektif terhadap pihak-pihak yang mencoba menghubungi nomor kerja ataupun email profesi penulis. Terhadap manusia-manusia sampah (spammer) yang hanya bermaksud untuk menyalah-gunakan nomor kontak kerja maupun perbudakan terhadap profesi penulis tanpa bersedia membayar tarif layanan seperak pun, maka penulis bersikap independen mutlak, dengan menyuruh mereka untuk masuk “trash” alias “tong sampah”. Segelintir klien pengguna jasa yang kemudian menjelma “nakal”, pun pada akhirnya penulis memilih untuk tidak lagi menjadi konsultan hukum mereka dan lebih berfokus pada klien yang mampu saling menghargai dan menghormati profesi satu sama lainnya.
Penulis hanya “saling dependen” terhadap klien pengguna jasa yang mampu memahami hak dan kewajiban masing-masing antara pengguna dan penyedia jasa, saling menerima dan saling memberi, secara saling profesional satu sama lainnya. Karenanya, sikap independen maupun dependen, bukan tergantung atau bergantung pada diri pribadi kita, namun “kecerdasan situasional” dalam menilai kondisi dan situasi yang ada (faktor eksternal) secara kauistik—itulah yang kemudian kita sebut sebagai “kebijaksanaan”, yang artinya mampu menilai dan memilah situasi serta kondisi yang ada secara arif.
Bersikap independen ataukah dependen, kesemua itu adalah perihal “pendekatan” yang dapat kita pilih dan tentukan sesuai situasi dan kondisi (sikon). Menjadi cair seperti air yang mampu mengisi wadah, namun disaat bersamaan menyisakan ruang bagi jati-diri sang air itu sendiri, yakni cair tanpa terjebak dalam satu bentuk tertentu dan menjadi dirinya sendiri yang sejati serta otentik alias independen dalam hal prinsip diri milik sang air untuk menyesuaikan diri dengan wadahnya—dependen namun juga independen.
Itulah serangkaian bukti tidak terbantahkan, bahwa sikap independensi diri dan sikap INTER-dependen dapat eksis disaat bersamaan, dalam dua kondisi dan situasi yang berbeda, sekalipun dalam satu kurun waktu yang bersamaan. Tiada yang keliru, namun baru menjadi salah ketika kita terjebak pada satu sudut secara ekstrim dan terbenam kaku didalamnya. Sikap dependen yang “membuta”, adalah ibarat jalan yang ramai oleh pengunjung dimana para penghuninya (justru ironisnya) merasa “kesepian”—suatu perumpamaan dimana ketergantungan diri tidak selalu mendapat tempatnya
Sebaliknya, sebuah jalan yang sepi-sunyi, meditatif, terkadang memberikan kita ruang dan kesempatan untuk lebih mengenal siapa diri kita sendiri. Independen namun dependen, dan dependen namun independen, orang bijaksana tidak pernah menutup mata dari faktor eksternal diri, terlebih dipungkiri derajat pentingnya sebagai salah satu cara bagi kita dalam menentukan pendekatan dalam menghadapinya, dengan tetap menyisakan ruang bagi sikap dependen maupun independen untuk tetap hidup dan menyala.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.