ARTIKEL HUKUM
Alibi Sempurna sebagai Akar Kejahatan, Delusi yang Membuat sang Pelaku Kejahatan Meyakini Perbuatannya sebagai dapat Ditolerir
Penjahat yang ingin tampak “bermartabat”, akan terlebih dahulu mencari-cari “alasan pembenar” bagi perbuatan dirinya untuk melakukan aksi kejahatan seperti premanisme ataupun kejahatan lainnya seperti mencuri ataupun merampok (biasanya dengan alasan desakan ekonomi sekalipun tubuh fisik mereka lengkap dan sehat-bugar), alias alasan yang memang sengaja dicari-cari untuk memberi alibi, legitimasi, serta justifikasi atas niat buruk yang memang sudah mereka miliki sejak pada mulanya, semata agar mental dan moril para korbannya dapat dimanipulasi “putar balik logika moril”, ditekan, dieksploitasi, dan direpresif secara psikologis seolah-olah sang kriminil dan pelaku aksi premanisme tersebut dapat dibenarkan melakukan aksi-aksi kejahatan ataupun premanisme terhadap sang korban.
Sebagai contoh, dengan mengatas-namakan korbannya memakai pakaian berjenis “you can see”, lantas melakukan aksi pemerkosaan hingga pelecehan. Faktanya, dari sejak awal para pelakunya memang sudah memiliki niat buruk untuk itu, dimana kondisi eksternal diluar diri dijadikan sebagai alasan yang disalah-gunakan olehnya sebagai momentum untuk melancarkan aksi yang bersumber dari niat jahat dan niat buruknya terhadap sang korban. Dengan mengatas-namakan “ibadah”, pihak-pihak yang mengajukan komplain atas suara speaker suatu tempat ibadah yang demikian menjelma serupa “polusi suara” karena tidak toleran disamping mengganggu tetangga yang butuh beristirahat dan ketenangan hidup damai, akan direpresi dan diintimidasi dengan alibi : “Kamu mau larang kami ber-ibadah? Kamu mau larang kami berjumpa dan menjumpai Tuhan kami?”
Kejahatan yang disebut sebagai sebuah “kejahatan sempurna” (the perfect crime) ialah ketika niat batin (men rea) pelaku kejahatan yang memiliki niat buruk dan jahat terhadap korbannya, memiliki tautan “payung” berupa sebentuk legitimasi, justifikasi, hingga alibi terutama ketika seolah-olah memang menjadi dogma atau wahyu keyakinan keagamaan, dimana menjalankannya sama artinya menjalankan perintah Tuhan serta menegakkan “jalan Tuhan”, sebagaimana akan dapat kita jumpai pada salah satu “Kitab DOSA” (bukan “Kitab SUCI”) yang mengandung dogma-dogma berupa ayat-ayat dengan kutipan sebagai berikut:
- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."
- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Disebut sebagai “alibi sempurna”, karena korban kejahatan yang melakukan penolakan, keberatan, komplain, protes, hingga perlawanan terhadap sang pelaku kejahatan akan dianggap sebagai “tidak sopan” dan “sudah tidak waras” (ketika menjerit merasakan sakit karean dilukai dan terluka, seolah-olah tidak punya hak untuk melawan dan menjaga diri) bahkan dimaknai sebagai “menzolimi” sang pelaku (aksi “zolim teriak zolim”) yang menjadikannya sebagai alasan baru untuk melancarkan aksi kejahtannya secara lebih tidak terperi, melawan perintah dan kehendak Tuhan, hanya boleh pasrah dan bungkam bak sebongkah batu atau seonggok mayat yang bisu disakiti secara tidak manusiawi dan tidak adil seperti apapun, dimana sang pelaku akan melakukan kejahatan dan perbuatan buruknya secata tanpa kompromi, tanpa toleransi, tanpa perlu lagi menahan diri terhadap korbannya seolah-olah sedang berjuang atas nama dan atas kepentingan Tuhan, yakin sepenuhnya akan mendapat ganjaran berupa “surga”, dimana bahkan sang pelaku masih pula seolah-olah berkata sebagai berikut kepada para korbannya, “Jangan komplain, masih untung dan kalian semestinya merasa bersyukur tidak saya BUNUH atau kami rampok harta milik kalian!”
Sama halnya ketika umat suatu keyakinan keagamaan tanpa bersikap toleran maupun kompromi terlebih memiliki dan menunjukkan itikad baik berupa empati terhadap kondisi warga sekitarnya apakah akan terganggu oleh “polusi suara” kegiatan ritual ibadah mereka yang sama sekali tidak mencerminkan sikap toleransi maupun sikap saling menghargai dan saling menghormati antar umat beragama, mengganggu ketenangan, kedamaian hidup, maupun merampas hak-hak warga pemukim setempat untuk hidup secara bebas dari segala jenis gangguan dan “polusi” apapun, dengan mengatas-namakan, “Kalian ingin melarang kami beribadah?”
Tidak ada yang melarang mereka beribadah sesuai keyakinan mereka, namun janganlah bersikap seolah-olah umat keyakinan keagamaan lainnya tidak berhak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu satu sama lainnya. Mengapa juga caranya harus dengan memasang pengeras suara luar (external speaker) dengan desibel yang demikian luar biasa membahana seolah-olah Tuhan adalah “Maha Tuli” (yang menghina Tuhan bukanlah penulis, namun mereka yang melakukan praktik seolah-olah Tuhan adalah “tuli”), atau mengatas-namakan memberi pengumuman kepada para umatnya jadwal ibadah telah tiba sekalipun instrumen alarm pada perangkat digital genggam setiap penduduk telah diperlengkapi fitur semacam pengingat waktu disamping fakta bahwa ribuan tahun lampau tidak dikenal hal semacam speaker terlebih listrik.
Karenanya, penghinaan terhadap praktik ibadah dengan menggunakan instrumen speaker, apakah merupakan penistaan agama? Lihat kasus Meiliana di Tanjung Balai, belasan Vihara dibakar, kediaman Meiliana dirusak, dan Meiliana dipidana penjara oleh ribuan umat tempat ibadah yang speaker pengeras suaranya dikritik oleh Meiliana yang merasa terganggu dan terampas ketenangan hidupnya dari “polusi suara”. Menjadi pertanyaan bagi kita bersama, bila kalangan umat beragama “radikal” tersebut melakukan kejahatan demikian tatkala sedang mengenakan busana “agamais” serta saat mereka sedang atau akan melakukan kegiatan keagamaan (beribadah), maka bagaimana kelakuan mereka ketika sedang mengenakan baju biasa dan tidak sedang beribadah di tengah-tengah masyarakat?
Dengan mengatas-namakan “beribadah”, menjadikan para umatnya merasa berbas melanggar dan merampas hak-hak warga lainnya (watak “hewanis”, alih-alih mencerminkan sikap “Tuhanis”), seperti dengan parkir liar secara sembarangan pada tempat yang tidak semestinya seperti persis berjejer di depan pagar kediaman warga (seolah-olah tidak ada tempat lain untuk memarkirkan kendaraan mereka secara patut dan layak), sekalipun sebagian diantara mereka faktanya adalah warga sekitar yang dapat cukup berjalan-kaki menuju tempat ibadah terdekat untuk beribadah, warga pemukim pemilik kediaman yang merasa terganggu karena kemerdekaannya untuk keluar dan masuk dari kediaman sendiri telah dirampas dan terampas, mendapatkan tentangan hebat dengan kalimat klise serupa, “Kalian hendak melarang kami beribadah?” Bila semakin kita lawan dan tolak, dapat dipastikan anarkhi sosial yang timbul dari “polusi sosial” demikian menjadi muaranya, dimana mobilisir massa semudah menggunakan kalimat propaganda seperti, “Mereka mengusir-ngusir kita yang sedang beribadah! Mereka melarang kita beribadah!”—memang jelas tiada hubungannya antar warga yang melakukan komplain dan protes atas ulah mereka yang serampangan serta sembarangan, namun itulah “alasan yang dicari-cari” dan “alasan yang dibuat-buat” dalam rangka “cari-cari alasan” untuk melancarkan niat jahat mereka beraksi merepresif, suatu kesempatan yang telah mereka tunggu-tunggu dan mereka buat-buat, dimana momentumnya mereka sendiri yang menebarkan “jaring perangkap” serta “ranjau darat”, memantiknya, hingga ketika pada gilirannya timbul percikan, pergesekan verbal, hingga “meledak”, maka itulah menjadi alibi sempurna untuk melancarkan niat buruknya yang sejak semula memang telah berniat jahat terhadap praktik kebebasan beragama tanpa dapat saling mengganggu dan tanpa saling merugikan maupun merampas hak warga lainnya satu sama lain.
Dengan mengatas-namakan agama, seolah-olah segalanya menjadi “halal” dan “legal” untuk dilakukan serta “dimakan”. Dengan mengatas-namakan “pemuka agama” yang berbusana “agamais”, seolah-olah seorang kriminal sekalipun tidak boleh disentuh dan diproses secara hukum lewat slogan yang terkenal, “STOP KRIMINALISASI PEMUKA AGAMA!” Dengan mengatas-namakan agama, tiada lagi yang “haram” ataupun “ilegal”. Jangankan kekerasan fisik, memenggal, membunuh, mencuri, merampok, hingga berzinah sekalipun tidak ditabukan oleh “dasar hukum agama” bersangkutan—yang mana justru alih-alih sebaliknya, yakni dipromosikan, dianjurkan, diperintahkan, dan ditaati untuk dilaksanakan, sebagaimana maksiat paling primitif sekalipun tetap eksis hingga saat kini seolah dilestarikan oleh kaum “agamais yang pendosa” (entah bagaimana ceritanya, seolah-olah antara “agamais” dan “dosa” dapat dipersatukan dalam keyakinan keagamaan bersangkutan), berkat alibi atau “alasan pembenar” berupa iming-iming ideologi “penghapusan dosa”.
Yang tiada kaitan ataupun hubungannya, serta yang notabene “bukan alasan”, tetap saja dijadikan “alasan” hingga “alasan yang dicari-cari”, “alasan yang dibuat-buat”, ataupun “mencari-cari alasan” hingga “memaksakan alasan” yang tiada relevansinya sama sekali sebagai dasar argumentasi (alibi) untuk melakukan kejahatan dan melancarkan niat buruk, semata dengan mengatas-namakan “alasan yang dibuat-buat” itu sendiri, sehingga sang pelaku kejahatan melakukan kejahatannya seolah-olah disertai sebuah alasan, alibi, dan legitimasi, hingga justifikasi diri (baca : pembenaran diri)—seolah-olah dengan cara begitulah, yang ilegal menjelma legal, yang buruk menjelma baik, yang salah menjelma benar, yang hitam menjelma putih. Sifat sejati dibaliknya, ialah penyalah-gunaan terhadap “alibi” dimana sebuah “alibi” sifatnya notabene netral pada dasariahnya, namun menjadi subjektif dan menjelma tendensius ketika disalah-gunakan lengkap dengan tambahan “racikan” bumbu-bumbu yang tidak relevan untuk menyetirnya dalam rangka “re-framing”).
Bila untuk hal sesadistik, sebuas, seberingas, sebrutal, sejahat, seburuk, sekeras, seekstrim membunuh, memenggal, merampok, mencuri, hingga berzinah, tidak ditabukan, bahkan dipromosikan, dikumandangkan, diberi label “SUCI” ataupun “perintah Tuhan untuk dijalankan”, ibadah itu sendiri, “jalan Tuhan”, dikampanyekan, seolah-olah tiada konsekuensi Karma Buruk maupun bahaya lain dibaliknya, dipertontonkan secara berjemaah di siang tengah hari di depan umum, maka bagaimana dengan sekadar kejahatan-kejahatan lainnya? Tentulah kejahatan-kejahatan demikian menjadi tampak seolah dapat ditolerir dan diberi kompromi, semata karena, “Masih untung dan cukup beruntung sehingga Anda sepatutnya merasa bersyukur, karena setidaknya tidak sampai kami bunuh!”
Faktanya ialah, apapun alasannya, sekalipun menjadikan agama dan ibadah sebagai “alasan”, polusi suara adalah buruk dan mengganggu serta merampas hak-hak warga lainnya, polusi sosial adalah buruk dan patut dicela karena merugikan disamping mengganggu warga setempat selaku “stakeholder” yang berkepentingan atas pemukiman mereka bebas dari segala jenis gangguan, membunuh dan mencuri terlebih berzinah adalah dosa dan maksiat yang harus dilarang dan dijauhi—sehingga kesemua itu “bukan alasan” serta “bukanlah alasan” untuk dijadikan “alasan pembenar” melanggar dan merampas hak-hak warga lainnya.
Bangsa Indonesia, bangsa “agamais” (yang disaat bersamaan mencerminkan watak “premanis”, “hewanis”, “aroganis”, serta “egoistis”), yang tidak malu dan tidak takut berbuat jahat (menyakiti, melukai, maupun merugikan) orang lain, yang tergila-gila pada ideologi “korup” bernama “penghapusan dosa”, yang menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”, yang dengan serakahnya gemar merampas hak-hak orang lain, yang mencari seribu satu alasan serta lebih sibuk berkelit dari tanggung-jawab, yang berani berbuat namun tidak pernah berani untuk bertanggung-jawab, yang justru lebih “galak” ketika kesalahannya ditegur korban (dimana bahkan korban yang melawan ataupun menjerit disebut sebagai “tidak sopan” dan “zolim”), yang akan tidak senang ketika diperlakukan tidak patut namun sendirinya bersikap tidak patut terhadap pihak lain, yang selalu “maling teriak maling”, yang bersikap “pengecut” dengan memakai cara-cara curang (tidak akan berani “1 lawan 1, tangan kosong”), sekaligus sebagai bangsa yang menyelesaikan setiap masalah dengan cara kekerasan fisik (alias “primitif”, alih-alih sudah beradab, namun masih “biadab”), namun masih juga mengharap dan yakin-terjamin masuk surga.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.