SENI PIKIR & TULIS
Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Tidak Memiliki Hak untuk Diperlakukan secara Patut dan Adil
Ketika seseorang atau suatu kalangan menuntut kita untuk memaklumi mereka, namun disaat bersamaan mereka tidak bersedia dan menolak untuk memaklumi keadaan, kondisi, maupun kepentingan diri kita, maka katakan dengan tegas, “TIDAK!” Memaklumi, berbuat baik, bersikap toleran, kejujuran, kebaikan hati, seyogianya bersifat “bertimbal balik” (prinsip resiprositas / resiprokal), semisal sikap “SALING menghormati” dan “SALING menghargai, sehingga kita tidak “bertepuk sebelah tangan”.
Yang paling ideal dan
semestinya, ialah sikap saling pengertian, saling memahami, saling menghargai,
saling menghormati, saling toleran, serta saling memaklumi satu sama lainnya.
Relasi yang tidak sehat yang perlu kita waspadai, ialah ketika hubungan yang
terjalin ialah sepihak, yakni berwajah “mau menang sendiri”, alias relasi yang
timpang sebelah. Prinsip resiprositas, disebut pula sebagai prinsip
kesetimpalan, dimana prinsip-prinsip keadilan menjadi urat nadi dari prinsip
yang mengedepankan relasi saling menguntungkan ini.
Contoh ilustrasi yang kerap
penulis jumpai berikut, cukup representatif menggambarkan realita sekaligus
mencerminkan watak dan tingkat keberadaban suatu bangsa. Pada suatu siang, secara
mendadak sekujur ruas jalan kompleks perumahan di depan kediaman rumah keluarga
penulis penuh sesak oleh para pengendara yang berdatangan, dengan maksud untuk
melayat kediaman salah seorang warga sekitar, yang anggota keluarganya
meninggal dunia.
Dengan mengatas-namakan ada
sanak keluarga, kenalan, atau kerabat yang anggota keluarganya meninggal dunia,
para pendatang dan juga warga sekitar yang datang melayat tersebut memarkirkan
kendaraan bermotor roda dua yang mereka kendarai, persis di depan pagar rumah
warga, tidak terkecuali di depan pagar kediaman rumah keluarga penulis, secara
berjejer sehingga tidak menyisakan ruang gerak sejengkal pun bagi pemilik rumah
untuk keluar dan masuk rumah kediaman miliknya sendiri—betapa dangkal
empati maupun tingkat intelejensi otak yang bersarang di kepala mereka.
Sering penulis kemukakan,
tingkat IQ berpengaruh signifikan secara linear terhadap tingkap EQ dan SQ.
Melihat contoh kasus di Indonesia yang kerap penulis hadapi tersebut di atas
(budaya parkir liar sembarangan berjejeran di depan pagar rumah warga, tanpa
izin serta merampas kemerdekaan pemilik rumah), menjadi kian jelaslah bahwa
adalah mustahil seseorang disebut atau mengaku-ngaku (kecuali kemasan luarnya
seperti busana religius serta rajin menyembah-sujud, sehingga seolah-olah
“agamais”) sebagai memiliki tingkat SQ yang tinggi. Bagaimana mungkin seseorang
disebut memiliki SQ yang memadai, bilamana tidak memiliki empati (EQ), dan
disaat bersamaan tidak menyadari betapa buruk dan tercelanya perilaku seperti
memarkirkan kendaraan persis di depan kediaman rumah warga (merampas
kemerdekaan serta hak pemilik rumah untuk keluar dan masuk dari dan ke dalam
rumah milik sendiri, bak penjajah), disebut memiliki IQ serta EQ dan SQ
yang tinggi?
Praktik “arogan” demikian, tidak
lain tidak bukan ialah “merampas hak orang lain”, yakni hak atas
kemerdekaan untuk tidak disandera menjadi “tahanan rumah” yang mana merupakan
hak asasi dari setiap pemilik rumah. Namun, sang / para tamu tidak tahu
sopan-santun ataupun tata krama demikian, sekalipun tidak pernah meminta izin
parkir di depan pagar kediaman rumah warga (preman berbusana “agamais”),
memarkir kendaraannya hingga berjam-jam lamanya yang artinya menyandera dan
merampas kemerdekaan pihak warga pemilik rumah untuk keluar dan untuk masuk ke
dalam dan dari kediamannya sendiri—bahkan tidak jarang memakai alibi beribadah
atau melayat selama separuh hari lamanya, membuat pemilik rumah tersandera dan
dirampas kemerdekaan hidupnya selama itu pula.
Mereka bersikap seolah-olah
tidak ada tempat lain untuk parkir secara patut dan layak, sekalipun banyak
diantara mereka yang sejatinya cukup berjalan kaki menuju lokasi tujuan tanpa
perlu mengendarai kendaraan bermotor yang hanya menjadi “polusi sosial” karena
parkir liar secara sembarangan. Ketika penulis selaku warga yang dirugikan oleh
praktik “parkir liar tanpa izin” tidak sopan demikian, menegur perilaku mereka,
yang ditegur justru lebih galak daripada yang menegur dan yang telah mereka
rugikan serta rampas hak atas kemerdekaannya.
Para “premanis” tersebut,
mengatas-namakan “hendak melayat, ada yang meninggal”, dan penulis jawab dengan
tanggapan sebagai berikut (meski tidak terdapat kesempatan menguraikan argumentasi
sepanjang dibawah ini, karena penulis seketika diajak berkelahi ketika baru
melontarkan satu atau dua patah kata dan kalimat berisi teguran. Toh, dengan
akal sehat milik orang sehat manusia dewasa semestinya para berbusana “agamais”
tersebut dapat berbikir sendiri tanpa perlu ditegur hal yang mendasar seperti
tidak parkir di depan pintu pagar kediaman warga, meski senyatanya arogansi
mereka lebih tebal ketimbang IQ maupun EQ mereka):
“Itu bukan alasan! Parkir
secara tidak sopan, persis di depan pagar kediaman orang lain, merampas hak
kemerdekaan yang punya rumah untuk keluar dan masuk ke dalam dari rumah
sendiri. Anda tidak punya hak mengatur tuan rumah, Anda semua adalah tamu di
sini. Bagaimana mungkin tamu yang mengatur-ngatur tuan rumah? Tamu wajib tunduk
pada aturan main milik tuan rumah. Saya atau Anda, yang merupakan tuan rumah
atas kediaman ini?
“Kapan Anda minta izin pada
yang punya rumah? Sekalian saja, kalian merampok dengan mengatas-namakan segala
sesuatunya. Anda hanya membuat almarhum dibebani dosa karena mengganggu warga
sekitar, itu cara Anda berdoa? Jangan bersikap seolah-olah tidak ada tempat
lain yang lebih layak untuk menjadi tempat parkir, dan tidak ada yang menyuruh
Anda datang dengan menggendarai kendaraan bermotor!
“Begitu ya cara Anda di-didik
ketika melayat, melayat bukan secara sopan dan santun kepada warga sekitar,
namun pamer arogansi seperti preman dan penjajah yang merampas hak warga
setempat pemilik rumah? Apa hubungannya melayat dengan parkir liar? Anda tanya
biaya parkirnya berapa saja, tidak pernah, terlebih minta izin untuk parkir!
Anda parkir saja di depan pagar kediaman rumah milik Anda sendiri!
“Itu ruas jalan sebelah sana,
tidak sampai lima puluh meter dari sini, kosong melompong tidak ada yang
parkir, namun mengapa kalian justru parkir di depan pagar kediaman warga secara
berjejeran? Jika keluarga almarhum tidak bertanggung jawab untuk mengkoordinir
agar tamu atau undangan mereka tidak parkir sembarangan, maka Anda selaku orang
dewasa semestinya mampu berpikir secara dewasa dengan akal sehat, tanpa perlu
ditegur warga pemilik rumah!”
Apa yang kemudian terjadi?
Penulis ditantang berkelahi (ketika mereka mendapati bahwa penulis memiliki
wajah seorang etnik minoritas, meski pada mulanya yang bersangkutan secara
seketika menyingkirkan kendaraan motor roda dua miliknya ketika ditegur. Artinya,
bukan perihal substansi teguran penulis yang menjadikan mereka seolah-olah merasa
“tersinggung”, namun semata murni akibat “sentimen rasial”) dimana tidak lama
kemudian kediaman penulis didatangi dua orang preman “tukang pukul” yang
dipanggil oleh mereka yang tidak senang karena ditegur pemilik rumah karena parkir
liar tanpa izin untuk melakukan teror dan intimidasi, yang menyebut penulis
“mengusir-ngusir” mereka, sekalipun ini adalah kediaman milik penulis selaku
TUAN RUMAH (hak tuan rumah serta aturan main milik tuan rumah), sekalipun
penulis yang telah dirugikan dan dirampas hak atas kemerdekaannya, dan
sekalipun mereka parkir LIAR (tanpa izin yang punya rumah), serta sekalipun
masih banyak lahan sekitar yang bisa dijadikan tempat untuk parkir secara patut
dan layak. Itu konteksnya ialah mereka sedang dalam rangka beribadah-melayat,
maka bagaimana dengan sikap arogansi mereka, tatkala mereka tidak sedang
beribadah dan tidak sedang berbusana “agamais”?
Begitupula dengan alasan beribadah,
berjemaah para “agamais” tersebut parkir liar persis di depan kediaman penulis
secara berjejeran karena tempat ibadah mereka tidak menyediakan lahan parkir
dimana seluruh ruas jalan milik umum dan halaman depan kediaman warga dijadikan
ajang lahan parkir ilegal, tanpa menyisakan sejengkal pun ruang bebas bagi
pemilik rumah untuk masuk dan keluar dari dan ke rumah kediaman milik sendiri
selaku tuan rumah (disandera dan dirampas hak-haknya oleh para “agamais”
yang sedang beribadah, cara beribadah yang merugikan serta merampas hak orang
lain), sang tamu minta dimaklumi akan tetapi tidak mau memaklumi pemilik
rumah dimana pula bahkan dirinya bukanlah tamu dari sang pemilik rumah
alias “tamu tidak diundang” alias “tamu tidak sopan”, “tamu yang merampas hak
tuan rumah”, dan sekaligus “tamu yang merongrong / menginjak-injak tuan rumah”
(sehingga wajar bila diusir)?
Pernah pula terjadi, seorang
pejabat kelurahan yang memiliki kediaman persis di seberang kediaman rumah
keluarga penulis, merampas satu ruas jalan umum (milik umum) untuk tujuan
menggelar hajatan bagi masing-masing anaknya ketika menikah. Alhasil, hak-hak
seluruh pejalan kaki maupun pengendara atas jalan milik umum, dirugikan,
sehingga harus berputar balik karena jalan diblokade sepenuhnya untuk tujuan
menggelar hajatan. Halaman depan kediaman rumah penulis dibangun panggung untuk
mempelai dan pesta hajatan serta deretan bangku bagi tamu secara berjejeran
persis di depan pagar kediaman keluaga penulis, musik keras hingga tengah malam
yang mengganggu ketenangan hidup serta istirahat warga setempat, tanpa
menyisakan sejengkal pun ruang bagi keluarga penulis selaku pemilik rumah untuk
keluar dan masuk dari dan ke dalam rumah sendiri (apa masih harus ditegur,
untuk hal yang semestinya cukup dipikirkan dan disadari sendiri secara akal
sehat dan etika bangsa beradab?)—sekalipun sang pejabat kelurahan mampu dengan
gajinya sebagai Lurah untuk menyewa gedung untuk resepsi pernikahan. Ketika
penulis mengajukan komplain, warga sekitar yang tanpa menaruh empati maupun
simpati kepada sesama warga, menghardik penulis, “Penguasa sedang hajatan!”
Lagi dan lagi, bagaikan budaya “merampas
hak orang lain”, pada suatu sore, mendekati kompleks perumahan kediaman
keluarga penulis, pada ruas jalan sempit kendaraan roda dua yang penulis
kendarai dihalangi oleh pengendara roda empat yang melajukan kendaraannya
secara demikian lamban dan lebih kerap berjalan di tengah ruas jalan sehingga
menghalangi laju kendaraan lain di belakang yang hendak lewat mendahului. Sekalipun
penulis telah cukup bersabar, dan yang bersangkutan tidak juga mau memahami
serta menghargai pengendara lain di belakangnya yang berhak untuk melewati
jalan milik umum tersebut, seakan belum cukup menguras emosi dan kesabaran, secara
besar kepala sang pengemudi kendaraan roda empat menghentikan laju
kendaraannya, membuka kaca jendela dan asyik mengobrol dengan warga / pejalan
kaki setempat yang mengenakan busana “agamais”.
Lebih dari satu menit lamanya
sang pengendara asyik sibuk sendiri mengobrol dengan warga, tanpa menepikan
kendaraannya atau parkir pada tempat yang sepatutnya (seolah-olah jalan umum
tersebut ialah miliknya, sang warga yang diajak mengobrol pun tidak menegur
kekeliruan perilaku sang pengendara mobil, artinya dua orang yang telah berbuat
keliru, yakni yang mengajak untuk mengobrol dan yang diajak untuk mengobrol di tengah-tengah
jalan, yang mana jelas-jelas merampas hak pengguna jalan lainnya), dimana
kendaraannya yang berhenti di tengah-tengah ruas jalan menjelma blokade,
mengakibatkan kendaraan penulis benar-benar tidak dapat melaju dan terhenti di
tempat untuk sekian lama.
Kesabaran yang kian menipis,
membuat penulis terpaksa menegur dengan membunyikan klakson kendaraan yang penulis
kendarai agar yang bersangkutan menyadari “kegilaan” sikapnya. Tetap saja,
teguran penulis diabaikan, dan sang pengemudi masih juga asyik sibuk mengobrol seolah-olah
“sengaja” menantang sang penegur (cerminan budaya “arogansi” khas bangsa Indonesia,
lebih galak yang ditegur ketimbang korban yang menegur, bahkan korban pun
dilarang untuk menjerit). Selepas itu, sang warga pejalan kaki berbusana “agamais”
yang tadi mengobrol dengan sang pengemudi mobil, mendekati penulis dengan
tatapan mata seperti hendak menerkam dan memangsa sembari menghardik, “ORANG SEDANG MENGOBROL, DIKLAKSON!!!” Sungguh-sungguh
cerminan “agama tidak takut dosa” milik yang bersangkutan, bangga serta tidak
malu berbuat jahat (merugikan, melukai, ataupun menyakiti orang lain).
Tidak ada yang melarang
siapapun untuk mengobrol, namun mengapa di sembarang tempat dan merugikan orang
lain cara-caranya? Mengapa masyarakat kita kerapkali mengatas-namakan apapun
sebagai “alasan pembenar” perilaku buruknya bagaikan “bangsa premanis”? Apakah cara
mengobrol yang sehat, harus berupa merampas hak-hak orang lain? Itulah bukti
konkret, rendahnya IQ menjadikan seseorang tersebut memiliki EQ dan juga SQ
yang juga sama rendahnya sekalipun berbusana “agamais” dan rajin “sembah sujud”.
Bagaimana mungkin, mendapat
kutukan dari orang lain yang menjadi korban perilakunya yang serampangan dan
sembarangan, lantas masih juga mengharapkan disayangi oleh Tuhan dengan
dimasukkan ke surga terlebih iming-iming harapan “korup” semacam “penghapusan
dosa”? Tuhan memiliki tanggung jawab moril untuk mendengarkan suara dan
aspirasi korban, dimana korban tentulah memiliki “hak veto” terkait pintu surga
bagi sang pembuat perilaku-perilaku buruk dan tercela yang merugikan, melukai,
ataupun menyakiti warga lainnya.
Ciri khas paling utama
orang-orang bermental kriminil, ialah kerap atau kebiasaan mereka meremehkan
derita dan menyepelekan perasaan korban-korban mereka. Ciri paling menonjol dari
orang-orang yang berwatak “ingkar janji”, ialah kerapnya mereka menyepelekan
itikad baik, meremehkan kepercayaan, serta memurahkan nilai dibalik sebuah
janji ataupun kesepakatan. Begitupula, ciri paling kentara dibalik
orang-orang bertipe pendosa, ialah kerapkalinya mereka meremehkan bahaya
dibalik perbuatan buruk (menyakiti, melukai, maupun merugikan orang lain) serta
kebiasaan mereka dalam menyepelekan perbuatan-perbuatan jahat yang tercela.
Sama halnya, ciri paling dominan dari tipikal orang yang tidak
bertanggung-jawab ialah, sikap “mau menang sendiri” alias bijaksini bukan
bijaksana.
Bukan hanya seorang “preman
pasar” dan “preman jalanan” yang kerap menyepelekan perasaan dan derita seorang
korban yang mengalami derita akibat dilukai, dirugikan, maupun disakiti. Pihak
berwajib, yang memiliki kewajiban yang bersumber dari sumpah jabatan serta
kewenangan monopolisir untuk memakai cara-cara kekerasan, senjata api,
menangkap, menahan, serta akses menuju peradilan pidana, namun ternyata
bersikap “lebih preman daripada preman” terhadap warga sipil maupun warga yang
menjadi korban tindak kejahatan, maka polisi semacam itu pun dapat kita
kategorikan sebagai bermental kriminil yang hanya saja memakai seragam polisi
dan diberi kewenangan menyandang senjata—karenanya lebih arogan dan lebih
preman daripada kalangan preman yang tidak memiliki sumpah jabatan, yang tidak memiliki
tanggung-jawab profesi, yang tidak memiliki kewajiban kepada masyarakat sipil,
serta tidak diberi hak monopolistik untuk menyandang / diperlengkapi senjata
api.
Pernah terjadi pada suatu
ketika saat penulis mendatangi sebuah salon untuk potong rambut. Pegawai yang
melayani sangat kasar, mengakibatkan mata kiri penulis mengalami luka dihajar
handuk basah yang tiba-tiba mendarat ke kepala penulis dari arah belakang.
Beberapa hari kemudian, mata kiri penulis masih merasakan sakit bekas terhajar
handuk basah oleh pegawai salon. Diputuskanlah untuk mendatangi kembali salon
tersebut, untuk meminta pertanggung-jawaban dari pemilik usaha jasa pangkas
rambut (tanggung jawab majikan).
Namun kemudian, singkatnya,
sang pemilik tempat usaha seketika itu pula berkilah tanpa sedikit pun rasa
simpatik, penyesalan, turut prihatin, ataupun mempertunjukkan tanggung-jawab
pelaku usaha sekalipun usahanya menerima uang jasa dari pengguna jasa, tanpa
menaruh prihatin terhadap konsumennya sendiri, dengan menyatakan bahwa pegawai
bersangkutan telah dipecat karena kasar saat melayani konsumen.
Mau telah dipecat atau tidaknya
karyawan yang bersangkutan, itu bukanlah urusan konsumen, sungguh pelaku usaha
yang tidak profesional juga tidak berhati nurani, tidak beretika profesi, juga
tidak bertanggung jawab. Fakta hukumnya ialah kejadian saat mata kiri penulis
terhajar handuk basah, pelakunya ialah pegawai dan masih jadi pegawai dari sang
pelaku usaha, dimana secara hukum maupun secara moril terdapat tanggung jawab
majikan / pelaku usaha atas setiap perbuatan pegawainya dimana juga menjadi hak
konsumen yang membayar, dimana pula penulis mendatangi salon milik sang pelaku
usaha serta membayar kepada salon milik sang pelaku usaha, bukan salon milik
pribadi sang pegawai.
Hanya orang dungu, yang berpikir dapat berkelit dari
tanggung jawab maupun buah dari Hukum Karma ketika saatnya matang untuk berbuah
dan tiba saatnya bagi eksekutornya untuk mengeksekusi sang pelaku. Berkelit dari tanggung
jawab, disamping cerminan tiadanya bentuk penyesalan dari sang pelaku, juga
hanya membuat kondisi pelakunya menyerupai “berenang-renang ke tepian,
berakit-rakit ke hulu” alias “bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian”—hanya
menggeser pahit deritanya, tidak akan pernah dapat menghapus sejarah yang telah
ditorehkan. Tiadanya bentuk penyesalan, mengakibatkan buah Karma Buruk bagi
pelakunya dapat berbuah berkali-kali lipat intensitas maupun durasi dan
bobotnya, bagaikan satu buah bibit ditanam, dipupuk, sehingga menjelma pohon
yang lebat buahnya, hanya saja buah yang pahit dan getir karena benih yang
ditanam ialah perbuatan buruk maupun tercela.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.