LEGAL OPINION
Bukan Zamannya lagi pihak Tergugat dapat
Menyembunyikan Aset Harta Kekayaannya untuk Berkelit dari Sita Eksekusi
Pengadilan, Database Harta Kekayaan telah Dihimpun secara Lengkap oleh Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil berdasarkan NIK, Nomor Induk
Kependudukan setiap Warga
Era Keterbukaan Informasi, Tergugat yang Kalah dalam
Gugatan Perdata Tidak dapat Berkelit Menyembunyikan Harta Kekayaannya dari Sita
Eksekusi Putusan Pengadilan
Question: Sudah menang (gugatan perdata), tapi terbentur kendala aset atau harta kekayaan milik tergugat yang dikalahkan dan telah dihukum oleh hakim (putusan pengadilan), tidak diketahui apa saja dan dimana harta-harta miliknya. Tidak ada tergugat yang secara sukarela dan senang hati memberi tahu apa dan dimana saja hartanya berada untuk dapat disita dan dieksekusi yang menang gugatan. Lantas, bagaimana dengan nasib penggugat, mengapa negara seolah tidak hadir di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum? Bagaimana mungkin bisa ada keadilan, bila tidak ada kepastian hukum yang ditawarkan oleh pengadilan? (justice delay, is justice denied)
Brief Answer: Pemerintah sebenarnya telah mendokumentasikan
seluruh harta dan aset setiap warganegara di Indonesia, secara rapih, lengkap,
serta utuh, mulai dari seluruh rekening dan dana di dalamnya (termasuk
fasilitas kredit) milik setiap warga maupun subjek hukum berupa badan hukum,
tidak terkecuali harta kekayaan seperti hak atas tanah (sertifikat Badan
Pertanahan Nasional), yang mana kesemua informasi tersebut terarsip dan
terdokumentasi secara “real time”
berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan), yang mana databasenya dikelola oleh
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil yang terkoneksi dengan
instansi-instansi peng-input data-data kependudukan dan terkait kepemilikan
seperti Otoritas Jasa Keuangan yang mendokumentasikan seluruh rekening milik
warga maupun Badan Pertanahan Nasional yang mendokumentasikan seluruh hak atas
tanah yang dipunyai oleh setiap masyarakat.
Saat kini, bahkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
telah diintegrasikan pula ke dalam satu NIK untuk setiap dan masing-masing
penduduk, sehingga NIK berlaku pula sebagai NPWP, dan akan menjelma benar-benar
sebagai “single identity number” dari
masing-masing warganegara, yang melingkupi seluruh aspek pelayanan publik untuk
kedepannya, termasuk untuk urusan dokumentasi database lengkap terkait harta
kepemilikan berupa aset kekayaan bergerak maupun tidak bergerak, berwujud
maupun tidak berwujud, menjadi demikian transparan akan muncul dan terdata
hanya dengan cukup meng-input NIK penduduk bersangkutan.
PEMBAHASAN:
Tidak ada gunanya bila Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil yang menjadi pengelola terpusat Nomor
Induk Kependudukan (NIK) nasional setiap penduduknya, lengkap dengan database
terkait harta kekayaan milik masing-masing NIK, sehingga tiada lagi anggota
masyarakat yang dapat menyembunyikan aset dan harta kekayaannya, baik yang
berwujud (hak atas tanah) maupun tidak berwujud (rekening dan dana di
dalamnya), bergerak maupun tidak bergerak, namun data-data penting tersebut
hanya dikoleksi dan sekadar menjadi arsip pribadi yang disimpan rapat dalam
peti bergembok milik lembaga Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil,
tanpa dikelola dan diberdayakan secara optimal bagi penegakan proses hukum
tidak terkecuali demi memberikan akses keadilan perdata bagi suatu pihak yang
telah dimenangkan oleh (putusan perkara perdata) pengadilan.
Kisah-kisah klasik sekaligus
klise penuh “momok” mengenai putusan yang “menang diatas kertas” karena
kesulitan pihak penggugat yang telah dimenangkan dan dikabulkan gugatan serta
tuntutannya oleh Majelis Hakim di Pengadilan, menemui jalan buntu berupa
realita pahit tidak diketahuinya harta milik pihak tergugat yang jelas-jelas
akan menyembunyikan informasi mengenai aset kekayaan miliknya di ruang gelap
dan terkunci rapat-rapat, semata agar tidak dapat dimohon “sita eksekusi” oleh
pihak penggugat yang telah mengantungi kemenangan dalam gugatannya di
pengadilan yang menghukum sang tergugat untuk membayar sejumlah ganti-kerugian,
sebagai contoh.
Belum lagi kita menyinggung
betapa tertutupnya lembaga semacam Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan terutama ketika pihak tergugat ternyata melakukan praktik “pencucian
uang” (“money laundring”) seperti
dana yang bersumber dari perjanjian berkedok investasi ternyata dibawa lari dan
dialihkan menjadi berbentuk aset rumah atau hak atas tanah, bahkan
diatas-namakan ke atas nama pihak lain untuk mengaburkan asal-usul harta
kekayaan, kita selaku warga dan anggota masyarakat mengalami kendala dalam
mengakses lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang
memonopolisir data-data terkait transaksi keuangan—lembaga tersebut kerap hanya
mengoleksi data-data tersebut untuk menjadi “koleksi pribadi” institusinya
sehingga tidak berfaedah bagi masyarakat umum secara luas, sehingga terkesan
demikian “berjarak” dari masyarakat serta sukar diakses “tembok beton”-nya
(menutup diri dari masyarakat yang membutuhkan data-data terkait dana miliknya
yang dialih-wujudkan oleh pihak lain, biasanya terjadi pada kasus-kasus tindak
pidana penipuan dan penggelapan).
Tercatat hanya hitungan jari perkara
tuntutan pemidanaan terkait “pencucian uang” dimana datanya bersumber dari
PPATK, sekalipun hampir dapat dipastikan sebagian besar kasus-kasus semacam
penggelapan, penipuan, maupun wanprestasi, dana-dana tersebut dialih-wujudkan
ke dalam bentuk aset lain maupun diatas-namakan kepada pihak ketiga. Sehingga
praktis, PPATK kurang bermanfaat bagi publik alias kurang optimal fungsi serta
eksistensinya bagi kepentingan publik luas. Suara-suara masyarakat yang
mengeluhkan kinerja PPATK yang seolah tidak merespon kebutuhan publik atas
“transparansi” informasi terkait transaksi keuangan guna membuat terang
pengalih-wujudan suatu aliran dana (follow
the money), turut menyuburkan berbagai modus-modus kejahatan yang modern
maupun yang paling primitif sekalipun.
Yang tergolong cukup maju dan
progresif saat kini ialah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil,
mengoleksi seluruh data-data warga berdasarkan NIK (bukan berdasarkan nama
penduduk, sehingga informasinya dapat dipastikan akurat serta senantiasa ter-update
terhadap masing-masing subjek hukum), diantaranya berbagai rekening perbankan
serta nominal didalamnya, berbagai hak atas tanah (sertifikat Badan Pertanahan
Nasional), terhimpun secara holistik dan terang-benderang, hingga bahkan data
terkait berapa banyak bantuan sosial dari pemerintah yang telah pernah diterima
oleh keluarga masing-masing penduduk terkait NIK tersebut sehingga tidak lagi
memungkinkan praktik “penerima ganda” seperti sebelumnya, disamping analisa
yang komprehensif terkait kepatutan profil warga penerima dana yang terbuka
kemungkinan telah ternyata memiliki harta kepemilikan yang yang tergolong
menengah keatas.
Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil telah memiliki seluruh sumber daya informasi
secara terang-benderang terkait harta kekayaan dan aset milik masing-masing
penduduk (“by NIK”, bukan “by name”), dimana untuk selanjutnya
data-data yang terhimpun dalam database yang dikaitkan dengan masing-masing NIK
penduduknya, perlu diberdayakan dan dioptimalkan sebesar-besarnya demi
kemakmuran seluruh rakyat (publik), salah-satunya ialah dalam rangka
keterbukaan dan transparansi disamping akuntabilitas terkait pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan perkara perdata, agar hak-hak warga yang menjadi
pihak penggugat, negara dapat hadir dengan cara memberikan suplai informasi relevan
yang cukup memadai sehingga putusan dapat dilaksakan eksekusinya secara mudah
dan pasti—terutama dari segi informasi penting perihal harta-harta dan aset
milik suatu pihak (tergugat) yang telah dihukum berdasarkan putusan pengadilan
secara berkekuatan hukum tetap.
Karena itulah, bahasan dalam
kesempatan ini menjadi terobosan penting, terutama bagi pihak penggugat yang
telah mengantungi informasi dasar paling vital berupa NIK dari pihak
tergugat, agar putusan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht) mendapatkan jaminan
dapat secara mudah dan efektif dieksekusi tanpa berlarut-larut serta
terdapatnya kepastian keterbukaan informasi terkait harta kekayaan milik pihak
tergugat yang dapat dieksekusi—terutama dalam kasus-kasus gugatan wanprestasi,
dimana pihak penggugat telah setidaknya mengantungi identitas berupa NIK
pihak-pihak yang ia gugat.
Kini kita masuk pada langkah
pertama. Bagi Anda, warga ataupun anggota masyarakat yang mendapati diri Anda
menggebu-gebu hendak menggugat suatu pihak, idealnya terlebih dahulu
berkonsultasi untuk mendapatkan opini hukum secara netral dan objektif dari
pihak Konsultan Hukum yang tidak merangkap sebagai pengacara, agar mendapatkan
kepastian hasil muaranya (berupa prediksi yang dikaitkan dengan preseden
praktik peradilan selama ini), pemetaan masalah hukum dan dasar aturan hukum
yang terkait, opsi-opsi mitigasi dan solusi alternatif lainnya yang terbuka
untuk dipilih dan ditempuh, mengurai “plus dan minus” suatu langkah hukum,
disamping terdapatnya rekomendasi disamping konsekuensi hukum dibalik setiap
opsi langkah hukum yang ada.
Sebagaimana kita ketahui, yang
disasar oleh kalangan pengacara ialah “lawyering
fee” yang nilainya jauh diatas sekadar tarif konsultasi yang hanya hitungan
satu atau dua jam lamanya, sehingga tawaran konsultasi hukum yang
diselenggarakan kalangan pengacara kerap kali hanyalah “gimmick” (jebakan serta perangkap) untuk menarik minat masyarakat
untuk datang berkunjung mendiskusikan masalah hukum yang dihadapi olehnya,
sebelum kemudian digiring untuk mengajukan gugatan, apapun perkaranya,
sekalipun tidak layak gugat (dalam kasus gugatan debitor kredit macet, hampir
dapat dipastikan memakai jasa kausa hukum berupa pengacara, dan 99,99% gugatan
pengacara yang mewakili debitor kredit macet, “DITOLAK” sebagai amar putusan pengadilan perkara perdata), dimana
bahkan tidak jarang digugat-balik oleh pihak lawan lewat upaya hukum
“rekonpensi”.
Jika oleh pihak Konsultan
Hukum, setelah pemetaan masalah hukum, analisa hukum, dan mengurai satu per
satu konsekuensi maupun opsi-opsi alternatif yang ada yang dapat ditempuh,
direkomendasikan untuk mengajukan gugatan dengan berfokus pada koridor-koridor
hukum tertentu, barulah pihak masyarakat mengajukan gugatan sebagai pihak
penggugat, baik menggunakan jasa kuasa hukum pengacara, maupun secara swadaya
(mandiri) berbekal era eCourt dan eLitigation (bersidang secara “online” lewat
terknologi nirkabel internet) yang menjadikan pengadilan benar-benar “dekat di
hati” masyarakat, dimana akses peradilan menjadi terbuka lebar disamping
mendekatkan diri kepada masyarakat, dengan mendaftarkan gugatannya secara
“online” setelah terdaftar dan memiliki akun eCourt bagi masyarakat
non-advokat.
Secara pribadi, penulis menyarankan
setiap anggota masyarakat untuk mengajukan gugatan secara swadaya dan mandiri
tanpa kuasa hukum, mengingat modus kalangan pengacara “menyandera” kliennya,
ialah dengan menahan berkas-berkas perkara serta dokumen milik sang klien,
sehingga dengan terpaksa sang klien tidak dapat berganti kuasa hukum ataupun
untuk mencabut surat kuasa, disamping transparansi dan akuntabilitas yang lebih
terkontrol dimana kekuasanya terhadap dokumen dan berkas perkara sepenuhnya ada
di tangan warga masyarakat itu sendiri yang menjadi pemilik akun eCourt
pribadinya.
Dapat bersidang kapan dan dari
mana saja, bahkan dari rumah sendiri, bukan lagi menjadi sekadar impian, namun
telah menjadi kenyataan, itulah yang penulis maksudkan sebagai peradilan telah
benar-benar “dekat di hati” publik—tidak lagi seperti zaman tempo dulu dimana
akses peradilan masih bersifat konvensional dimana begitu meletihkan dan
menguras energi serta waktu disamping biaya sehingga mereka dari generasi
sebelumnya lebih memilih untuk menyewa kuasa hukum semacam pengacara. Praktis,
pada era eCourt yang menjadi layanan unggulan Mahkamah Agung Ri, mulai dari
mendaftarkan gugatan, membayar uang panjar perkara, penyerahan berkas perkara, pengajuan
upaya hukum banding, hingga kasasi dan Peninjauan Kembali, lonceng kematian
profesi advokat sudah benar-benar di depan mata dan menuju kepunahan, disamping
akses peraturan perundang-undangan yang kian transparan dan relatif mudah
diperoleh pada era digitalisasi ini.
Langkah ketiga ialah pemahaman
yang memadai perihal wajib sinkronnya antara dalil-dalil dan kronologi
peristiwa serta perbuatan hukum dalam surat gugatan (posita) terhadap pokok tuntutan yang dirumuskan dalam surat gugatan
(petitum). Bilamana ternyata antara “posita” dan “petitum” telah ternyata saling tidak memadai dan tidak terdapat
kesesuaian satu sama lainnya, tidak saling mendukung satu sama lainnya, maka
gugatan berpotensi dinyatakan sebagai “tidak
dapat dterima” karena mengandung cacat formil perumusannya. Karena itulah,
surat gugatan yang baik bersifat taat kaedah paling utama berikut : sinkron
antara “posita” dan “petitum”.
Contoh, pernah terjadi sebuah
gugatan yang diajukan oleh seorang pengacara yang mewakili kliennya selaku
pihak penjual hak atas tanah, rumusan dalam surat gugatan ialah perihal objek
tanah berupa Sertifikat Hak Milik, sementara itu pihak penggugat subjek
hukumnya ialah Perseroan Terbatas, dimana kita ketahui bahwa badan hukum
Perseroan Terbatas hanya dimungkinkan memiliki hak atas tanah berupa Sertifikat
Hak Guna Usaha maupun Sertifikat Hak Guna Bangunan. Sehingga dalil antara posita yang butir yang satu terhadap posita butir yang lainnya, menjadi tidak
sinkron, terlebih-lebih pada bagian rumusan petitum
dari surat gugatan pengacara bersangkutan.
Tidak jarang pula terjadi,
pihak atau subjek hukum yang melakukan perbuatan hukum ialah direksi yang
melakukan perbuatan hukum jual-beli sebagai wakil dari pihak Perseroan Terbatas
yang terlibat dalam jual-beli, namun yang kemudian digugat oleh sang pengacara
yang mewakili kliennya, ialah sang pejabat. Sekalipun, secara teoretis maupun
normatifnya, ciri utama dari badan hukum ialah hak dan kewajiban tetap
melekat pada badan hukum bersangkutan sekalipun pejabat pengurusnya (direksi)
silih-berganti.
Pernah pula terjadi, dalam
surat gugatan yang diajukan oleh pengacara yang mewakili kliennya selaku pihak
penjual hak atas tanah, didalilkan bahwa pihak kliennya selaku penjual baru
dibayar harga jual-beli oleh pihak tergugat selaku pembeli, sebesar Rp.
20.000.000. Sementara itu, dalam berjalannya proses persidangan, pihak
penggugat yang diwakili oleh pengacara tersebut mengajukan bukti-bukti berupa
transaksi transfer dana senilai ratusan juta rupiah dari pihak tergugat kepada
penggugat. Bila klaimnya baru dibayar senilai Rp. 20.000.000, maka bagaimana
mungkin muncul angka nominal ratusan juta rupiah pada bukti-bukti slip transfer
antar bank yang disodorkan oleh kuasa hukum penggugat ke hadapan persidangan
pada acara pembuktian?
Pula telah pernah terjadi, sang
pengacara dalam gugatannya yang mewakili klien seorang penjual hak atas tanah,
mengklaim bahwa jual-beli tidaklah sah karena pihak penjual bukanlah pihak yang
berwenang menjual. Namun pada dalil lainnya didalilkan, bahwa harga pembayaran
oleh pihak tergugat belum memenuhi seluruh nominal harga yang tercantum dalam
surat kesepakatan jual-beli antara pihak tergugat dan pihak yang disebut-sebut
oleh sang pengacara dalam gugatannya sebagai “pihak yang tidak berwenang
menjual”—suatu dalil “berstandar ganda”, pada satu sisi menafikan dan
menihilkan keberadaan surat kesepakatan namun pada sisi lain menuntut belum
dilaksanakannya surat kesepakatan yang sama dimaksud. Mengklaim memiliki hak
menuntut, namun disaat bersamaan berkelit tiadanya perikatan.
Kini kita masuk pada bahasan
pamuncak kita, penting untuk merumuskan posita
berikut pada dalil-dalil dalam surat gugatan bagian penghujung sebagai
penutupnya : “Bahwa, agar gugatan ini
tidak menjadi ilusioner dan dapat dieksekusi secara pasti, sebagaimana hak dari
Penggugat serta sebagaimana pula amar putusan pengadilan yang menghukum pihak
Tergugat (kewajiban Tergugat), maka menjadi beralasan bagi pihak Penggugat
diberikan izin oleh pihak pengadilan lewat putusan ini, untuk menghadap Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Otoritas Jasa Keuangan, maupun Badan
Pertanahan Nasional dalam rangka menghimpun data-data terkait harta kekayaan
milik Tergugat, agar dapat dibebankan sita eksekusi.”
Sampailah kita pada rumusan petitum terpenting berikut agar tercipta
sebentuk kepastian hukum, untuk memastikan putusan pengadilan yang mengabulkan
gugatan penggugat dan menghukum pihak tergugat, tidak jatuh dalam
kondisi “menang diatas kertas”, maka rumuskanlah sebagai bagian dari penutup
surat gugatan : “Mengizinkan pihak
Penggugat, dengan atau tanpa persetujuan pihak Tergugat, untuk menghadap
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Otoritas Jasa Keuangan,
maupun Badan Pertanahan Nasional dalam rangka menghimpun data-data terkait
harta kekayaan milik Tergugat, agar dapat dibebankan sita eksekusi.”
Majelis Hakim yang paham dan
mengerti betul kendala besar dalam praktik eksekusi putusan perkara perdata, yang
mana selama satu abad ini telah menjadi momok hukum acara perdata, akan menaruh
simpatik kepada pihak penggugat yang dikabulkan gugatannya dan dimenangkan,
akan pula terdorong niat hatinya untuk turut menganugerahkan dikabulkannya
permintaan berupa diberikannya izin bagi pihak penggugat untuk menghadap
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Otoritas Jasa Keuangan,
maupun Badan Pertanahan Nasional dalam rangka menghimpun data-data terkait
harta kekayaan milik Tergugat (berbekal putusan serta NIK tergugat), agar dapat
dibebankan sita eksekusi—dimana sejatinya, memang tiada alasan bagi pihak Hakim
pemeriksa dan pemutus perkara di Pengadilan maupun lembaga-lembaga penghimpun
data-data kependudukan demikian untuk tidak mengabulkan dan tidak mengizinkan
penggugat mendapatkan data-data yang memang menjadi haknya, dalam rangka
menegakkan kepastian serta keadilan hukum, karenanya kerahasiaan maupun privasi
data kependudukan seorang warga terkait aset dan harta kekayaan, dapat
disimpangi dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan yang menjadi izin dan
pembenar bagi penggugat untuk menghimpun data-data terkait harta milik tergugat
untuk dieksekusi.
Dengan telah ditolaknya atau
menolaknya pihak tergugat untuk bersepakat dalam kesempatan mediasi pra
pembacaan surat gugatan, sama artinya memang tiada kesuka-relaan bagi pihak
tergugat untuk membayar sejumlah ganti-kerugian kepada pihak penggugat terlebih
mematuhi amar putusan, juga tidak mengindahkan aanmaning (teguran) oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan
isi amar putusan, yang mana karenanya cukup beralasan bila pihak penggugat
diberikan izin oleh pengadilan untuk membuka serta mengakses data-data
kependudukan terkait pihak tergugat perihal harta kekayaan miliknya agar dapat
dibebankan sita eksekusi oleh jurusita pengadilan. Pada falsafahnya, tidak ada
alasan bagi instansi-instansi pemerintah tersebut untuk menolak pembukaan data terkait
kependudukan (termasuk diantaranya harta benda) demi tegaknya hukum dan
keadilan yang memang sudah menjadi hak pihak penggugat yang dimenangkan
pengadilan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.