LEGAL OPINION
Mengapa ACTA VAN DADING Tidak dapat Dieksekusi oleh
Pengadilan?
Question: Kami semula mengira, dengan telah dibuatnya “van dading” di pengadilan dan telah dikukuhkan oleh hakim dalam amar putusan ketika kami bersengketa gugat-menggugat dengan lawan bisnis kami, maka sengketa telah usai. Bagai antiklimaks, mengapa “van dading” ini ternyata kini tidak bisa dieksekusi oleh pengadilan, ketika lawan bisnis kami tidak mau mematuhi isi “van dading” ini sekalipun dahulu dibuat dan disepakati bersama-sama?
Brief Answer: Istilah lengkapnya ialah “acta van dading”, dalam artian akta perdamaian yang dirancang serta
disetujui oleh para pihak dalam perkara gugatan perdata (antara Penggugat dan
pihak Tergugat), dimana isi draf “akta perdamaian di dalam pengadilan” ini
kemudian diberi kekuatan mengikat oleh hakim di pengadilan dalam amar putusannya,
sehingga sifatnya seketika sebagai “inkracht”
(memiliki kekuatan hukum mengikat secara final serta mengikat).
Sebenarnya bukanlah persoalan apakah “acta van dading” bersifat mengikat dan
dapat dieksekusi atau tidaknya, namun lebih kepada bagaimana para pihak
menyusun rumusan substansi “acta van
dading”. Keliru dalam merumuskan substansi “acta van dading”, jadilah sebagaimana banyak dijumpai SHIETRA
& PARTNERS dalam praktik di lapangan, berbagai “acta van dading” tidak dapat dieksekusi oleh jurusita pengadilan
semata karena substansi rumusannya yang memang tidak memenuhi kaedah hukum
acara perdata perihal eksekusi amar putusan.
PEMBAHASAN:
Merujuk pada norma hukum acara
perdata di Indonesia maupun Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia perihal
eksekusi amar putusan, mengingat pula berbagai preseden sera “best practice” yang ada selama ini,
betul bahwa “acta van dading” menjadi
lampiran yang dilekatkan dan menjadi satu kesatuan dengan putusan pengadilan,
dimana Majelis Hakim dalam amarnya menyatakan agar para pihak yang saling
bersengketa untuk mematuhi substansi “acta
van dading” yang telah dibuat serta disepakati sendiri oleh para pihak yang
saling bersengketa sementara itu Majelis Hakim hanya sekadar mengukuhkannya dengan
disertai “irah-irah” yang memiliki fungsi terpenting untuk membuat “acta van dading” seketika berkekuatan
hukum tetap dan dapat dieksekusi secara serta-merta oleh para pihak, dengan
atau tanpa perantara pengadilan.
Idealnya, rumusan substansi
yang disepakati dalam “acta van dading”
dibentuk persis atau setidaknya menyerupai jenis-jenis amar putusan yang selama
ini dikenal dalam praktik litigasi gugatan perdata di peradilan, sehingga
kental nuansa formal ketimbang dipenuhi kata-kata seremonial, dalam pengertian
terdapat jenis-jenis amar, antara lain:
- declaratoir, yakni sekadar mendeklarasikan. Semisal, “Menyatakan Objek Sengketa adalah milik Penggugat”, ataupun seperti “Menyatakan Tergugat telah wanprestasi / ingkar janji terhadap kontrak”. Dalam
sengketa gugat-menggugat terkait bisnis, jenis amar ataupun substansi dalam “acta van dading” ini menjadi penting dan
cukup krusial, semisal agar salah satu pihak yang mengambil-alih objek
sengketa, tidak akan di-kriminalisasi semacam tindak pidana penggelapan. Jenis amar
ini, hanya bisa dieksekusi sendiri oleh masing-masing pihak, tidak dapat diperantarai
oleh pengadilan maupun jurusita pengadilan bilamana salah satu pihak kembali
ingkar janji;
- constitutief, yakni membalik keadaan hukum dari semula menjadi
berbeda dari sebelumnya. Semisal, dari eksis menjadi tidak eksis, semula berhak
menjadi tidak berhak, mulanya tidak berhutang menjadi berhutang, dari tidak
pailit menjadi pailit, dari awalnya sebagai pemilik menjadi dinyatakan sebagai bukan
pemilik, dari semula memiliki hubungan hukum menjadi tidak memiliki hubungan
hukum seperti “Menyatakan perkawinan putus karena perceraian”. Jenis
amar ini pun masih dicirikan oleh pola frasa khas berupa “Menyatakan, batal demi hukum kontrak Nomor ... tanggal ... karena
melanggar syarat sah perjanjian”, ataupun seperti “Membatalkan addendum Perjanjian Kerjasama Jasa Konstruksi tertanggal dan
diberlakukan kembali perjanjian pokok semula”. Hal ini pun penting, demi
terbentuk kepastian hukum antar para pihak; dan
- condemnatoir, yakni hukuman apa yang dijatuhkan bagi pihak yang
dikalahkan dalam putusan gugat-menggugat keperdataan, maupun terhadap salah
satu pihak dalam “acta van dading”,
bilamana salah satu pihak yang terlibat didalamnya tidak mengindahkan amar
putusan maupun substansi yang telah mereka sepakati dalam “acta van dading”. Karenanya, ketika merumuskan substansi “acta van dading”, penting untuk
dipertimbangkan “the worst case scenario”
bilamana pihak lawan ternyata kembali mengingkari substansi kesepakatan dalam “acta van dading”. Bila suatu pihak ingkar
janji terhadap kontak / perjanjian, maka yang ingkar janji dapat digugat ke
hadapan pengadilan. Namun, bila pihak tersebut kembali cidera janji terhadap
kesepakatan dalam “acta van dading”
yang rumusannya tidak dapat dieksekusi, maka fatal akibatnya, selamanya
tersandera oleh ketidak-pastian hukum bilamana pihak lawan tidak beritikad baik
untuk mematuhi apa yang telah disepati olehnya. Ciri khas dari jenis amar putusan
ini, ialah frasa “Menghukum pihak Tergugat untuk membayar sejumlah
ganti kerugian sejumlah Rp. ...”
Merujuk norma hukum acara
perdata di Indonesia, hanya jenis amar putusan “condemnatoir” yang dicirikan oleh frasa tegas “Menghukum” inilah, yang satu-satunya
dapat dieksekusi lewat perantaraan pengadilan. Dengan kata lain, apapun
jenis amar putusan maupun kesepakatan dalam “acta van dading” yang tidak mengandung jenis amar “Menghukum” ini, tidak dapat dieksekusi
lewat perantaraan pengadilan. Bila dalam suatu kontrak / perjanjian, belum
tertuang “the worst case scenario”, karena
masing-masing pihak masih menekankan itikad baik dan kepercayaan, maka bila
dikemudian hari telah ternyata salah satu pihak melakukan cidera janji
(wanprestasi), maka pemenuhan hak dan pemulihan kerugian salah satu pihak dalam
perjanjian tersebut dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan melawan
rekannya yang telah ingkar janji demikian.
Namun, akan sangat fatal
bilamana pihak tersebut tidak belajar dari pengalaman buruknya, bahwasannya
pihak seberang telah pernah ingkar janji, sehingga semestinya rumusan atau
rancangan substansi dalam “acta van
dading” haruslah lebih mengakomodir “the
worst case scenario” yang sebelumnya abai diatur dalam kontrak /
perjanjian. Bila pihak seberang menolak menyepakati draf “acta van dading” yang mengakomodasi “the worst case scenario” ini, maka pihak Penggugat tidak perlu
memaksakan diri membentuk “acta van
dading”, dan biarkanlah pengadilan memutus hingga “inkracht” sebagaimana isi tuntutan dalam pokok surat gugatan perdata
(petitum) semula, sehingga sifatnya
lebih pasti dan lebih jelas muaranya, tidak bagaikan “beli kucing dalam karung”.
Pihak lawan yang paham hukum
acara perdata serta kendala dibalik eksekusi “acta van dading”, memahami betul kelemahan “acta van dading” yang jamak kita jumpai dalam praktik di peradilan
perkara perdata. Mereka, akan cenderung dengan mudahnya menyepakati dan
menyetujui apapun substansi dalam draf “acta
van dading” yang TIDAK MENGANDUNG jenis amar “condemnatoir”—sehingga sewaktu-waktu dapat dengan bebasnya
kembali dilanggar serta tidak perlu diindahkan selain sekadar “manis di atas
kertas” serta “memberi harapan palsu” yang menjelma “macam ompong menang di
atas kertas”.
Litigator pihak Tergugat yang
nakal, serta cerdik namun kurang beretika, akan cenderung membujuk pihak
Penggugat untuk membuat “acta van dading”,
dimana ketika didapati bahwa pihak Penggugat merumuskan draf “acta van dading” tanpa disertai amar “condemnatoir”, maka dapat dipastikan
pihak Tergugat akan setuju dan sepakat dengan mudahnya, sebuah “kemenangan
besar” bagi Tergugat yang disaat bersamaan merupakan “kekalahan besar” bagi
pihak Penggugat yang tersandera dan terkunci untuk selamanya—terjerumus dalam “memang
diatas kertas”, permanen dimana tiada lagi terbuka ruang upaya hukum. Sefatal itulah,
“acta van dading” yang tidak diperlengkapi
“taring”.
Itulah sebabnya mengapa, jamak
kita jumpai kasus-kasus dimana rumusan substansi pada “acta van dading” bersifat “non
executable”. Bagai bermain catur di atas papan catur, seorang litigator
yang baik harus serta dituntut untuk mempersiapkan “the worst case scenario” dengan tidak boleh menaruh dugaan
terlampau optimis terhadap itikad pihak seberang yang terbukti telah pernah
ingkar janji dalam kesempatan sebelumnya. “Acta
van dading” wajib bersifat lebih tertaji dan lebih bertaring rumusan
substansinya ketimbang kontrak / perjanjian semula yang sebelumnya terbukti telah
pernah dilanggar oleh pihak Tergugat.
Singkatnya, rumuskanlah
substansi “acta van dading”
sebagaimana amar putusan pengadilan pada umumnya, lengkap dengan jenis amar “condemnatoir” yang diciri-khaskan
dengan frasa “Menghukum ...”—dimana
tanpa frasa tersebut, maka “acta van
dading” menjelma “non executable”,
dan sia-sialah semua perjuangan dan upaya hukum yang telah ditempuh, disamping
tertutup sudah segala upaya hukum lainnya. Demikian fatalnya semata karena
keliru merumuskan draf “acta van dading”,
menjadikan kemenangan besar pihak lawan yang kembali dengan bebasnya ingkar
janji untuk kedua kalinya tanpa lagi dapat dituntut secara legal formil.
Sebagai rekomendasi dari SHIETRA
& PARTNERS, jangan sungkan membuat rumusan “acta van dading” yang bersifat “condemnatoir” yang direpresentasikan lewat keberadaan frasa “Menghukum”. Sekali lagi, jangan
paksakan diri bila pihak lawan tidak bersedia menyepakati substansi pada draf “acta van dading” yang tegas dan
eksplisit (tidak sumir) demikian. Bila pihak lawan tidak bersedia untuk
bersepakat pada draf “acta van dading”
yang mengandung ketegasan demikian, maka biarkanlah pengadilan memutus perkara
gugatan perdata sebagaimana pokok tuntutan semula (“petitum”) dalam surat gugatan, bukan memaksakan diri mengikatkan diri
dalam “acta van dading” yang tidak
sempurna rumusannya demikian.
Lantas, bagaimana merumuskannya?
Jawabannya ialah sama seperti ketika Anda merumuskan “petitum” dalam surat gugatan, dituangkan ke dalam draf “acta van dading”. Dengan kata lain, “acta van dading” adalah putusan yang
dibuat sendiri oleh para pihak yang saling bersepakat untuk mengikatkan diri pada
draf “acta van dading” yang mereka
buat sendiri, hanya saja dikukuhkan oleh pengadilan dengan dibubuhkan “irah-irah”
serta seketika memiliki kekuatan hukum mengikat serta dapat dieksekusi secara
serta-merta.
Atau, dengan bahasa yang lebih
mudah dipahami, rumusan substansi pada draf “acta van dading” adalah “petitum
yang lebih ringan tuntutannya”. Lihatlah serta rujuk kembali “petitum” dalam surat gugatan Anda, maka
draf dalam “acta van dading” harus
persis seperti “petitum” dalam surat
gugatan Anda semula itu, hanya saja lebih ringan pokok tuntutannya sesuai
kesepakatan para pihak yang bersengketa, semisal dari semula “petitum” surat
gugatan menuntut, “Menghukum Tergugat membayar ganti-kerugian senilai
Rp. 10.000.000.000”, dapat disepakati dalam draf “acta van dading” menjadi seperti “Menghukum Tergugat membayar
ganti-kerugian senilai Rp. 5.000.000.000”.
Selebihnya, tergantung pada
kerelaan para pihak. Untuk membentuk kesepakatan dalam sengketa, sebuah “win win solution” haruslah berupa para
pihak saling mundur satu langkah agar tercipta tawar-menawar dan ditutup dengan
sebuah “deal”, saling mengalah dengan
setidaknya tidak jatuh dalam kondisi “petitum”
semula dalam surat gugatan rasanya sudah cukup menguntungkan bagi pihak
Tergugat yang cukup berpikiran terbuka ketika menyadari kekeliruan pihak
dirinya sehingga bermuara pada gugat-menggugat.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.