SENI PIKIR & TULIS
Jangan Bersikap Seolah-olah Tidak Punya Hak untuk
Menjawab “TIDAK!”
Jangan Bersikap Seolah-olah Kita Bukanlah Individu
yang Bebas dan Merdeka untuk Berkata “TIDAK!”
Jangan pula Bersikap Seolah-olah Tidak Punya Daya
Tawar serta Pilihan Bebas untuk Berseru secara Tegas, “TIDAK!”
Serta Jangan pula Bersikap Seolah-olah Tidak Punya Pikiran untuk Menilai serta Memutuskan Sendiri untuk Menanggapi, “TIDAK!”
Sebagaimana kita ketahui, banyak sesama warga di luar maupun di dalam kediaman rumah tinggal kita, yang hidup dengan cara menjadi seorang “manusia predator”—yakni hidup dan menyambung hidup dengan cara menjadi beban, benalu, lintah penghisap, manipulasi, eksploitatif, hingga memangsa dan merampas hak-hak hingga hidup orang lain. Berbaik sangka terhadap manusia-manusia “Made in Indonesia” yang sudah dikenal atas budaya serta wataknya yang “agamais namun tidak takut berbuat dosa” demikian, sama artinya tidak bijaksana. Bahkan, untuk ukuran kotak sumbangan, masih juga dijadikan ajang bagi sumber pendanaan kegiatan radikalisme dan intoleransi. Kecerdasan, merupakan sumber dari kebijaksanaan. Karena itulah, hendaknya kita tidak bersikap bodoh terlebih “masak bodoh”.
Baru-baru ini penulis mengalami
sebuah pengalaman, yang sederhana namun mendalam serta tidak dapat diremehkan
bila kita kalikan jumlah konsumen di sebuah minimarket yuntuk serta kita
kalikan puluhan ribu minimarket yang tersebar di penjuru negeri ini, serta
nominal “recehan” yang mana bila kalikan kesemua itu, hasilnya tidak pernah
“recehan”, namun “gunungan”. Sebagai contoh, aksi teror!sme yang berbiaya
tinggi untuk operasional pada anggotanya ataupun untuk memberikan dana santunan
bagi para sanak-keluarga yang ditinggal meninggal dunia almarhum “j!had!s”,
bersumber dari kotak dana-kotak dana “recehan”. Karenanya, masih bisakah Anda
meremehkan kekuatan dibalik “recehan”? “Recehan” yang mampu membunuh Anda
akibat disepelekan potensi bahaya dibaliknya.
Suatu siang, pada sebuah gerai
minamarket francise raksasa terbesar
di Indonesia, tepatnya pada kota kediaman penulis di Jakarta, penulis hendak
membayar harga barang belanjaan. Sang kasir menyebutkan harga total belanjaan
ialah Rp.52.500;-. Penulis serahkan lembaran uang pecahan dengan
total Rp.60.000 serta uang logam senilai Rp. 500, dimana seharusnya sang kasir
cukup merasa terbantu dengan hanya memberikan uang kembalian sebesar Rp. 8.000
tanpa diperumit oleh uang recehan berbentuk koin apapun untuk keperluan uang
kembalian harga belanjaan.
Namun penulis kemudian
dikejutkan oleh kasir yang kemudian berkata, “Rp.300 apakah hendak didonasikan?” Dari mana asal angka Rp.300
tersebut? Sungguh meletihkan harus kembali berdebat dengan kasir minimarket
satu ini. Dahulu, penulis pernah sempat berdebat dengan kasir minimarket yang
sama, dimana setiap beberapa periode petugas kasirnya senantiasa diganti dengan
pegawai baru, sehingga setiap kali itu pula-lah penulis harus kembali berdebat,
berdebat, dan beragumentasi. Penulis merasa letih, jemu, sehingga hanya
menjawab tegas, “TI-DAK!”
Silahkan bila ada pengunjung
lain yang menilai penulis sebagai kikir atau menghakimi penulis dengan komentar
dan penilaian apapun. Yang paling mengetahui latar-belakang hidup serta kondisi
hidup pribadi diri penulis, ialah penulis seorang diri. Bukan bermaksud untuk
menyombongkan diri, penulis setiap bulan rutin berdana hingga 10% (sepuluh
persen) dari penghasilan bulanan penulis yang bekerja mencari nafkah sebagai
penjual jasa tanya-jawab seputar hukum (Konsultan Hukum), sehingga tiap
bulannya penulis dapat berdana ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah, dan
sudah bertahun-tahun lamanya penulis rutin berdana dengan besaran persentase
yang penuh komitmen tanpa ditawar-tawar. Jangan nilai orang, dari kemasan
luarnya. Sama seperti ketika penulis pernah berjumpa seseorang bercelana
pendek, penuh tato pada sekujur lengan tangannya, ternyata seorang pengusaha
dengan banyak karyawan. Siapa sangka?
Berapa banyak diantara
masyarakat kita, yang mampu melampaui jiwa kedermawanan penulis. Belum lagi
bila dihitung pengorbanan penulis dari segi biaya, tulang yang “terbanting”,
air mata, cucuran darah, perasan keringat, hingga waktu (elemen umur dan nyawa serta
nafas hidup) untuk menyajikan ulasan hukum yang berbobot untuk dapat dibaca dan
diakses oleh khalayak ramai secara luas, sebagaimana dalam website ini.
Sehingga, apalah artinya nilai Rp.300? Namun, bukanlah itu pokok persoalannya.
Terdapat hal yang sangat prinsipil dalam kejadian di atas, yang mana bila para
pembaca terus menyimak ulasan ini hingga tuntas, maka khasanah serta pemahaman
baru menggugah akan Anda miliki.
Telah ternyata, total harga
belanjaan sebenarnya ialah Rp.52.200, terbukti dari harga yang
tertera pada struk belanjaan ketika penulis meninggalkan minimarket
bersangkutan. Sang karir, telah berdusta dengan memanipulasi harga total
belanjaan dengan mengubah angka ratusan dari 200 menjadi 500, dengan harapan
yang bersangkutan tidak perlu repot-repot membayar uang kembalian berupa recehan
bilamana konsumen membayar dengan harga ribuan rupiah, dimana setidaknya pihak
Indomaret harus menyediakan uang kembalian berupa “recehan” sebesar Rp.800
untuk pihak penulis—ya memang sudah kewajiban pihak penjual, “resiko usaha”
mana bukan untuk dialih-bebankan kepada pihak konsumen yang sekadar menuntut
hak atas uang miliknya berupa “uang kembalian” dari harga belanjaan. Menuntut
apa yang memang sudah menjadi hak penulis, apakah dapat dicela secara moril?
Bukankah itu sebentuk putar-balik “logika moril”?
Pihak pengelola minimarket
ketika membuat ketetapan dan menerapkan harga produk jualannya, maka harus
memiliki komitmen untuk menyediakan uang kembalian, janganlah menjebak ataupun
memanipulasi. Ingatlah selalu pesan berikut : Konsumen, dapat melakukan “fight back” atau setidaknya pembalasan.
Bukan pada saat itu juga, dan tidak harus berupa mendebat, mencaci, menjadi
emosional di tempat saat kejadian, namun bisa berupa pembalasan dengan cara
lain tatkala momennya tepat.
Renungkan ilustrasi inspiratif
berikut : Alkisah, suatu kerajaan di daratan Tiongkok dijajah oleh kerajaan
lain. Setiap tahunnya, kerajaan terjajah harus mengirim upeti dan budak kepada
kerajaan penjajah. Sang raja dari kerajaan terjajah, bersabar menunggu “momen
tepat” selama sepuluh tahun lamanya, hingga momen yang tepat pun tiba,
kerajaan lawannya terserang bencana alam berupa banjir bah yang melemahkan
sendi-sendi pertahanannya, maka dilancarkanlah serangan yang memutar-balikkan
keadana, dari penjajah menjadi terjajah, dan mendeka setelah bersabar selama
sepuluh tahun lamanya. Sama halnya, konsumen mungkin tampak pulang dengan
langkah “kalah” saat kini, namun tidak untuk selamanya.
Dahulu penulis menjadi konsumen
tetap produk madu yang dijual pada minimarket dekat kediaman penulis bertempat-tinggal
ini. Kini, penulis memboikot produk tersebut dari minimarket yang berani
mengecewakan konsumennya sendiri ini, dan memilih memesan secara daring (toko “online”). Setidaknya, itulah salah satu
cara pembalasan konsumen—jangan macam-macam dengan kekuatan konsumen,
sebagaimana kata pepatah klasik, “customer
is the KING!” Konsumen yang tampaknya tidak membalas, bukan artinya sang
pelaku usaha telah keluar sebagai pemenang. Diam, bukan artinya kalah.
Mengalah, bukan artinya kalah. Minimarket, notabene konsumennya ialah warga
pemukim yang “itu itu saja”. Sehingga, ketika pelanggan kecewa, share market mereka pun turut mengecil.
Konsumen yang kecewa, tidak
akan mendebat, dirinya sudah tidak lagi menaruh harapan ataupun mengandalkan
penyedia barang atau jasa tersebut, karenanya menjadi sebentuk kerugian besar
bagi sang pelaku usaha, yang artinya pula sejatinya merupakan “kekalahan” bagi
sang pelaku usaha. Konsumen yang mengkritik, artinya masih menaruh harapan
untuk tetap menjadi pelanggan. Konsumen selalu dapat keluar dalam kondisi
sebagai “pemenang”, dengan cara tidak lagi membeli produk atau jasa dari sang
penyedia barang ataupun jasa. Konsumen yang kecewa, sama artinya mematikan
usaha sendiri. Semua ini adalah psikologi konsumen paling mendasar, yang mana
sejatinya tidak perlu untuk repot-repot penulis uraikan.
Janganlah bersikap penuh “kesombongan”
(keangkuhan), seolah-olah tiada kompetitor lain selain sang pelaku usaha dimana
dapat menjadi pilihan substitusi bagi konsumen maupun pelanggan sekalipun untuk
beralih. Tiada yang pasti, suatu entitas bisnis raksasa sekalipun dapat saja
tumbang suatu waktu ketika zaman berubah, kolaps dari pemenang menjadi
pecundang yang tersisih dari kancah persaingan usaha, dan kita sudah belajar
banyak dari pengalaman serupa. Pelaku usaha yang benar-benar cerdas dalam
berdagang, sangat sensitif dan menaruh kepekaan terhadap perasaan konsumen—jangan
pernah membuat konsumen pengguna barang ataupun jasa, merasa dicurangi ataupun
“dirampok”, satu kali pun jangan pernah mencobanya. Itulah aturan nomor
satu dalam dunia niaga bila menghendaki “loyalitas” konsumen.
Minimarket ini pun, sebagaimana
gerai swalayan besar lainnya, kerap memasang label harga yang berbeda dengan
produk yang di-pajang di rak displai, atau harga yang telah kadaluarsa sehingga
akan berbeda dengan harga yang harus dibayar konsumen di struk belanjaan dan
baru disadari sepulangnya konsumen ke rumah—artinya, mereka meremehkan uang
konsumen, seolah konsumen yang terkecoh adalah hal yang “biasa-biasa saja”,
atau memang sudah kebiasaan mereka, sebagai bagian dari strategi “bisnis penuh
jebakan dan ranjau” yang dipasang bak penebar ranjau paku di sejumlah ruas
jalan. Itu, ibarat orang kaya mencuri dari orang yang lebih miskin.
Kita dapat menyebutnya dengan
bahasa sederhana : “keserakahan”. Atau memang dengan cara seperti itulah,
mereka menjadi bertumbuh besar dan menjelma raksasa, mencuri sedikit demi
sedikit dari ribuan hingga jutaan konsumennya sendiri. Kita dapat pula
menyebutnya sebagai, ke-“durhaka”-an. Konsumen-lah yang membuat mereka bisa
eksis hingga saat kini, maka konsumen pula-lah yang bisa menggulingkan mereka
dari ada menjadi tiada. Kembali pada kasus sang kasir pihak minimarket yang
bersikap curang dan mencurangi konsumennya sendiri, dahulu kala terhadap pertanyaan
kasir minimarket, “Uang recehan
kembaliannya, hendak didonasikan?”, maka inilah transkrip perdebatan yang
kemudian terjadi dan berlangsung: (tentu tidak akan ada kesempatan bagi penulis
untuk menguraikan sepanjang ini saat perdebatan lisan terjadi. Namun setidaknya
berikut inilah yang menjadi pendirian diri pribadi penulis)
“Minimarket ini sudah sebesar
raksasa ini, masih juga meminta donasi dari konsumen?”
“Bukan minimarket yang meminta
dana, tapi dana ini dipakai untuk membangun bla bla bla...”—penulis yakin
seyakin-yakinnya, yang bersangkutan hanya asal bicara, asal bunyi, semisal
untuk membangun bantaran sungai anu, untuk memberi sembako pada anu, untuk ini
dan itu, mengarang bebas.
“Itu bukan urusan saya. Itu
urusan pihak minimarket. Uang kembalian adalah hak saya selaku konsumen.”
“...”
“Memangnya minimarket ini
pernah, membuka gerainya bagi fakir miskin untuk datang dan meminta sedekah
atau diberi makanan meski di minimarket ini penuh makanan siap saji? Kapan?
Mana?”
“...”
“Saya lebih suka berdana
langsung dengan tangan saya sendiri, untuk apa berdana lewat minimarket sebesar
raksasa ini? Jika mau berdana, mestinya pihak minimarket yang berdana dari
kantung sendiri dan menjadi donatur karena sudah jadi raksasa, bukannya
menyuruh konsumen untuk berdana bagi minimarket!”
“...”
“Mana, bukti adanya izin
mengumpulkan donasi dari Kementerian Sosial? Coba, tunjukkan! Pernah kalian
membuat laporan kepada konsumen, bukti realisasi penggunaan dana donasi? Kalian
pikir konsumen tidak tahu, kalian himpun dana dari publik dengan tujuan
dijadikan dana segar untuk promosi BRANDING merek kalian sendiri, pakai
alasan kegiatan sosial, agar di mata masyarakat dianggap mulia, dermawan, baik,
pemurah, luhur? Kalian selaku pihak minimarket tidak mau keluar dana untuk
promosi merek, menjadikan jutaan konsumen kalian yang harus bayar dengan alibi
donasi. Itu dana segar murah besar untuk BRANDING merek, kepentingan dan
interest kalian sendiri! Bisnis ya bisnis, sosial ya sosial. Jangan
bisnis namun menyaru sebagai sosial, itu menipu namanya! Kalau mau kegiatan
sosial, maka silahkan minimarket pakai dana CSR (Corporate Social
Responsibility) dengan sisihkan sebagian laba usaha korporasi minimarket kalian
sendiri, alih-alih mengutip dari konsumen!”
“...”
“Ayo, sekarang minimarket mau
bayar uang kembalian saya atau tidak? Jika tidak, maka itu sama artinya KORUPSI
uang milik konsumen. Kalian telah berapa juta konsumen yang kalian korupsi
dananya setiap hari dengan tidak memberikan apa yang memang sudah menjadi hak
konsumen atas uang kembalian! Masih mau bilang uang receh? Bila memang receh,
maka mengapa tidak kamu saja yang membayarkan dan menalangi recehan ini,
sehingga tidak perlu konsumen harus membayarnya?!”
Kini, penulis secara pribadi
sudah terlampau letih untuk berdebat. Toh, bukan kewajiban penulis untuk
membina dan mendidik moralitas mereka. Mereka hendak berperilaku ibarat iblis
sekalipun, itu bukan urusan penulis. Penulis cukup urus urusan diri pribadi
penulis seorang. Buah Karma masing-masing yang menanggung. Si dungu hendak
menanam benih Karma Buruk, itu urusan si dungu itu sendiri, serta si dungu itu
sendiri pula yang kelak akan memetiknya. Secara lebih pragmatis, kini penulis
cukup menjawab:
“TI-DAK! TIDAK!!”
Atau seperti:
“Saya
lebih suka berdana dengan tangan saya sendiri! uang kembalian ialah hak saya selaku konsumen”
Fakta realita lapangan, banyak
sekali pelaku usaha yang membonceng kegiatan sosial dalam kegiatan bisnis
mereka, menyaru sebagai “sosial”, meski tujuan utamanya ialah bisnis dan laba
atau profit usaha semata. Bahkan, lebih banyak lagi yang mencoba menggalang
dana dengan alibi untuk kegiatan sosial, sejatinya semata untuk dijadikan dana
segar “murah” yang besar dalam rangka pembiayaan BRANDING agar merek dagangnya dikenal oleh publik. Praktik
“marketing gelap” (black marketing)
demikian, tergolong jahat, licik, kotor, tercela, serta tidak etis, sekalipun
sang pelaku usaha sudah tergolong besar dan raksasa.
Mulai dari perusahaan asuransi
terbesar di Indonesia, produk minuman dalam kemasan, dan lain sebagainya,
sehingga praktis tiada “etika ber-bisnis” dalam praktik berniaga di negeri ini
maupun negara-negara kapitalistik lainnya, dimana konsumen, semata ditempatkan
atau didudukkan sebagai komoditas untuk diperah lewat manipulasi yang membodohi
publik—eksploitasi mana demikian tersirat, serta dikemas secara terselubung
sebagaimana contoh pengalaman di atas yang sudah terjadi bertahun-tahun,
belasan tahun, hingga berpuluh-puluh tahun lamanya dan yang mana sepertinya
akan terus terjadi sebab mana otoritas di republik ini cenderung abai dan tidak
pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, diperparah oleh kondisi
realitas masyarakat kita yang sebagian besar tidak menyadari modus-modus yang
tersirat demikian akibatnya minimnya edukasi hak-hak konsumen sehingga bersikap
seolah-olah “tidak punya hak”.
Selebihnya, terserahlah, bukan
kewajiban penulis untuk mendidik mereka yang telah dewasa tersebut dimana
sejatinya mampu berpikir sendiri disamping senantiasa memamerkan betapa
“agamais” diri mereka, sehingga “anti kritik”, toh telah merasa terjamin masuk
surga. Pendosa yang merasa berhak masuk surga? Lantas, dikemanakan aspirasi dan
suara-suara para korban para pendosa tersebut? Menanam eksploitasi, akan
dieksploitasi. Mencurangi, akan dicurangi. Menipu, akan ditipu. Memanipulasi,
akan dimanipulasi. Mengorupsi, akan dikorupsi. Merugikan, akan dirugikan.
Membohongi, akan dibohongi. Itulah hukum “sebab dan akibat”—tiada dapat
yang benar-benar kita curangi dalam hidup ini, itulah pesan dibalik Hukum
Karma. Ibarat kita mencurangi diri kita sendiri, betapa bodohnya bila tidak
dapat disebut “dungu”.
Bila ada diantara Anda yang
berkeyakinan bahwa tiada Hukum Karma yang berlaku dan mengikat setiap individu
sebagai “the subject to the law of karma”,
maka mengapa tidak diri pribadi Anda saja yang kami korbankan, “tumbalkan”,
rugikan, eksploitasi, serta manipulasi sebagai “korban”? Bila Anda tidak
suka diperlakukan demikian, mengapa Anda memperlakukan orang lain dengan cara
demikian? Menurut Anda, siapakah yang sebetulnya paling merugi, korban
ataukah pendosa (pelaku kejahatan yang merugikan, melukai, maupun menyakiti
korban)?
Inilah yang dikatakan oleh
Hukum Karma, untuk kita masing-masing renungkan secara baik-baik : Tidak
perduli Anda mau bilang ini adil atau tidak adil. Tidak perduli ini benar atau
tidak benar. Tidak perduli ini baik atau salah. Memperlakukan orang lain
seperti itu, maka kelak kita sendiri yang akan diperlakukan seperti itu juga
oleh orang lain—karenanya, tidaklah perlu merepotkan diri berdebat apakah
sudah adil ataukah tepat dan tidaknya, menabur pasir (maka) menuai pasir,
menabur api menuai api, menabur angin menuai angin, menabur air menuai air,
menebar senyum menuai senyum, menebar air mata menuai air mata. Sesederhana itu
saja, namun entah mengapa banyak diantara kita yang bersikap seolah-olah tidak
mampu memahami hal yang paling prinsipil dan mendasar demikian, sehingga
jadilan penulis merepotkan diri menulis artikel ini yang mana tentunya memakan
waktu penulis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.