LEGAL OPINION
Denda Tunggakan Hutang dan Denda Bunga merupakan
BUNGA TERSELUBUNG
Question: Mengapa meminjam uang di bank, rasanya mirip seperti meminjam yang kepada rentenir (lintah darat yang seakan-akan dilegalkan)? Terlambat atau menunggak cicilan maupun bunga dari hutang, hanya dalam beberapa bulan saja, tidak sampai hitungan tahunan menunggak dan macet dalam mencicil dan melunasi, akumulasi hutang yang ditagihkan menjadi membengkak dan menggunung sehingga tidak mungkin lagi dapat dilunasi kami selaku debitur. Apa negara tidak hadir untuk melindungi konsumen lembaga keuangan ini? Bank diawasi oleh pemerintah, namun mengapa mereka mencekik leher debitornya seperti cara menagih seorang rentenir?
Brief Answer: Disebut sabagai rentenir atau “lintah darat”,
karena menerapkan suku bunga maupun “bunga terselubung” diluar batas kepatutan
maupun kewajaran, sehingga debiturnya justru dipojokkan dan merasa terpojokkan
yang karenanya secara ekonomis maupun secara psikologis tidak mungkin melunasi
hutangnya yang dilipat-gandakan oleh istilah-istilah semacam denda, bunga,
denda terhadap denda, bunga terhadap bunga, denda terhadap bunga, denda
terhadap tunggakan, dan lain sebagainya, yang mana cara perhitungan jumlah
tunggakannya ialah tidak jelas, sepihak, serta rancu dan ambigu.
Ketika seorang nasabah debitor lembaga keuangan
perbankan maupun lembaga pembiayaan di Indonesia, mampu mencicil kredit secara
patuh dan tepat waktu, maka pihak lembaga keuangan perbankan maupun lembaga
pebiayaan yang terlibat, hanya dapat sekadar mengutip “bunga”, tanpa dapat
menagih serta menuntut komponen-komponen biaya ataupun tagihan beban lainnya,
sehingga sifatnya masih terkontrol dan terkalkulasi oleh pihak debitornya
selaku konsumen pengguna jasa. Namun ketika terjadi tunggakan terhadap cicilan
hutang, muncul beban-beban yang membuat total hutang membengkak dan menggunung
hanya dalam waktu tempo yang singkat, diluar batas kewajaran secara kalkulasi
maupun secara psikologi.
Sementara itu dalam konteks nasabah debitor
kreditor perorangan, telah berevolusi dari sebelumnya menerapkan suku bunga
pinjaman yang tinggi sehingga debitor benar-benar diperas dan dieksploitasi
bagai “sapi perahan”, menjelma kreditor yang mengambil keuntungan besar dari
wanprestasinya pihak debitor karena selain komponen tagihan berupa bunga,
terdapat pula tagihan-tagihan serta beban-beban lainnya seperti bunga, denda,
bunga terhadap bunga tertunggak, denda terhadap bunga tertunggak, bunga
terhadap denda tertunggak, denda terhadap tunggakan, dan lain sebagainya yang
diberlakukan maupun dihitung secara sepihak, serta berbagai tagihan tidak jelas
lainnya dengan cara perhitungan yang sepihak ditetapkan dan diberlakukan oleh
sang kreditor, sebagai total tagihan yang harus dibayar oleh debitornya.
Pada titik itulah, terdapat titik singgung antara
praktik perbankan kita Indonesia terhadap praktik “lintah darat” yang kini
telah berevolusi, yakni membengkaknya secara tidak wajar total hutang hanya
dalam hitungan beberapa bulan menunggak pembayaran hutang ataupun cicilan
hutang. Karena itulah, lembaga keuangan perbankan maupun Lembaga Pembiayaan
semacam Leasing, merupakan “rentenir berkerah”, bersanding dengan para rentenir
perorangan yang berkeliaran mencari mangsa untuk dihisap pundi ekonominya
terutama ketika terjadi tunggakan dengan mencari keuntungan yang pesar dari berbagai
tagihan diluar komponen “bunga”.
PEMBAHASAN:
Telah berbagai kasus sengketa
terkait hutang-piutang terutama pada fasilitas kredit perbankan selaku lembaga
keuangan dan nasabah debitornya, maupun dari berbagai pengalaman keganjilan terkait
kredit perbankan yang pernah dihadapi oleh para klien SHIETRA & PARTNERS,
dapat dipastikan (bukan lagi hampir selalu) terjadi praktik “bunga majemuk”
alias “bunga terselubung” yang mengakibatkan praktik perbankan kita di Tanah
Air, baik perbankan nasional, perbankan “plat merah”, hingga perbankan asing,
menerapkan praktik “RENTENIR” dan seolah-olah dibiarkan dan dilegalkan oleh
Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan selaku lembaga pengawas dan
penyusun kebijakan.
Terlebih, yang lebih
memprihatinkan ialah sebagian besar diantara kalangan nasabah debitor kita di Indonesia,
tidak memahami hak-haknya untuk tidak dijadikan “sapi perahan” praktik “RENTENIR”
berkedok “bunga terselubung” yang diberi “merek” sebagai “denda”, atau sebutan
apapun lainnya yang bersifat majemuk diluar bunga terhadap pinjaman. Karenanya,
menjadi tidak mengherankan bila berbagai lembaga perbankan tersebut tumbuh
demikian pesat, menjadi besar, menjelma entitas bisnis raksasa, menyerupai
dinasti, hanya dalam tempo kurun waktu yang cukup singkat, semata bukan berkat
menarik sejumlah bunga terhadap pinjaman kredit yang diterima oleh sang nasabah
debitor.
Lembaga perbankan, ironi
sekaligus faktanya, selama ini justru tumbuh subur berkat nasabah debitor
mereka yang “macet” status cicilan maupun pelunasan hutang-piutangnya—dimana
pihak lembaga keuangan tersebut merasa memiliki hak untuk menagihkan sejumlah
denda, bunga, denda terhadap bunga tertunggak, bunga terhadap bunga tertunggak,
bunga terhadap denda, bunga terhadap denda tertunggak, denda terhadap denda
tertunggak, bahkan hingga berbagai perhitungan yang dilakukan secara sepihak
dan hanya diketahui oleh pihak perbankan itu sendiri cara menghitung dan
komponen perhitungannya secara “suka-suka” alias “sesuka hati” tanpa dilandasi etos
akuntabilitas dan trasnparansi keuangan mengenai beban hak dan kewajiban satu sama
lainnya.
Kesemua itu konteksnya ialah
lembaga keuangan yang diawasi otoritas pemerintah dan memiliki izin operasional
dari pemerintah, belum lagi kita membahas carut-marut praktik “rentenir” ditengah
masyarakat perihal kreditor perorangan yang cara perhitungannya jauh lebih
tidak akuntabel dan sekehendak hati hingga menyerupai praktik “pemerasan” akibat
disertai ancaman akan melelang eksekusi terhadap agunan yang diikat dengan jaminan
Hak Tanggungan bilamana sang debitor menolak untuk membayar dan keberatan
terhadap perhitungan yang sesuka hati kreditornya.
Dari penelusuran SHIETRA
& PARTNERS, telah terdapat preseden terkait praktik penggelembungan
hutang berkedok bunga, denda, dan lain sebagainya, sebagaimana dapat kita
jumpai dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2027 K/Pdt/1984,
tanggal 23 April 1986, dengan kasus posisi bermula pada sebuah Akta Puchase
Agreement, Penggugat telah membeli dari Tergugat, suatu Debt
Instrument-promissory more dengan nilai nominal US dollar 225.000,- yang
ditarik dan ditandatangani oleh Tergugat dengan janji Tergugat akan dibebani
bunga, denda serta ongkos lainnya, berupa biaya notaris, biaya penagihan,
bila terjadi keterlambatan pada hari jatuh tempo.
Pada mulanya, terhadap gugatan
Penggugat, Pengadilan Negeri di dalam putusannya tidak dapat menerima gugatan
Penggugat. Berlanjut ke tingkat banding, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan
Pengadilan Negeri dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat, yang menghukum
Tergugat membayar kembali kepada Penggugat – nominal promessory note US
dollar 225.000,- ditambah dengan bunga 6% per tahun.
Mahkamah Agung R.I. dalam
putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya
sebagai berikut: [Sumber : Majalah Hukum Varia Peradilan No.18.Tahun. II.
Maret.1987. Hlm. 5.]
Bahwa meskipun persoalan
denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak,
namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut
jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG
TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat
dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran
denda tersebut harus ditolak.
Dengan demikian, terbuka
peluang besar bagi segenap kalangan nasabah debitor perbankan maupun debitor
dari kreditor perorangan manapun di Indonesia, untuk memakai haknya untuk tidak
dijadikan korban praktik “bunga terselubung” yang menyerupai praktik “RENTENIR”
yang tidak patut “mencekik” demikian. Pengetahuan hukum mengenai hak-hak seorang
debitor, menjadikan posisi debitor dapat lebih berdaya dari diktatoriat
hegemoni lembaga keuangan yang selalu timpang alias “berat sebelah” dari posisi
daya tawar, penerapan klausul-klausul dalam perjanjian yang baku sifatnya, eksploitatif
(praktik “penghisapan”), dan tanpa daya menerima seluruh ketentuan pihak
perbankan.
Yang mana bila sang nasabah
debitor menyadari haknya untuk tidak dijadikan korban praktik “RENTENIR” berupa
“bunga terselubung” demikian, maka terdapat kepastian hukum yang perlu dibentuk
praktik peradilan dengan merujuk pada yurisprudensi larangan praktik “RENTENIR”
berkedok “bunga terselubung” demikian secara konsisten antar putusan. Bila lembaga
pemerintah semacam Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan abai dan lalai
dalam tugasnya mengawasi praktik “RENTENIR” yang dibiarkan tumbuh subur serta
dilestarikan demikian, mengeksploitasi para nasabah debitor di Indonesia, maka
lembaga peradilan menjadi tumpuan terakhir bagi para kalangan debitor menuntut
keadilan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.