SENI PIKIR & TULIS
MENJERIT merupakan HAK ASASI KORBAN
Bangsa yang Gemar Menghakimi dan Main Hakim Sendiri
Lebih Baik menjadi seorang Korban daripada seorang
Pelaku Kejahatan / Pendosa
Banyak diantara masyarakat kita yang, dengan mudahnya membuat atau melakukan “oral bullying” hingga “cyber bullying”, tanpa menyadari bawah sikap demikian merupakan salah satu bentuk wujud watak atau kebiasaan “menghakimi” sesama warga, persekusi secara verbal. Sebagai bagian dari bangsa demokratis, penulis tidak pernah memaksa siapapun untuk sepakat terhadap “keberanian beropini” yang penulis gagaskan. Setidaknya, berdebatlah secara beretika dan santun, alih-alih mencaci-maki namun gagal menguraikan kontra-narasi terhadap agurmentasi yang penulis kemukakan. Terdapat kultur lainnya yang kurang sedap dilihat maupun didengar dari Bangsa Indonesia, yakni tidak pernah memihak pada kalangan korban, minim empati terlebih simpatik, dan lebih pro terhadap pelaku kejahatan (yang menyakiti, melukai, maupun merugikan seorang korban).
Baru-baru ini, seorang “spammer” (manusia sampah), dengan
inisial “INDO LAWYERS” mencaci-maki dan mendiskreditkan hingga
melecehkan penulis namun tidak mampu membantah ataupun mendebat satupun teori
yang penulis paparkan dalam berbagai publikasi pada website yang penulis kelola
ini, secara merendahkan martabat komentar negatifnya dipublikasikan kepada
publik, dengan pelecehan sebagai berikut : “Jaman
sekarang semua orang perlu berhati-hati, terlalu banyak orang dengan mudah
mengaku ahli dalam bidang tertentu. Dan tong kosong nyaring bunyinya Melihat
tulisan, pembahasan dan cara ybs. dalam berkomunikasi yg penuh dengan
kepahitan, kebencian dan hujatan, dapat diduga ... [‘SENSOR’] memiliki masalah
kejiwaan atau masa kecil tidak bahagia”. Berikut tanggapan penulis sebagai
balasannya:
Lucu sekali, perasaan dan
pengalaman korban dilecehkan, namun pelaku yang menjahati korbannya justru
tidak dilecehkan alias dibela dan dibenarkan. Seperti itu ya, yang
diajarkan oleh orangtua, guru, dan agama Anda? Anda itu manusia atau hewan? Hewan
saja masih boleh menjerit ketika disakiti, berarti Anda lebih hina daripada
hewan. Menjerit, adalah HAK ASAS KORBAN, setidaknya itu ajaran agama saya,
bukan agama Anda yang lebih pro terhadap PENDOSA (penghapusan dosa, enak di
pelaku, rugi di korban). Toh, jutaan orang pembaca rutin menjadi pengunjung
website saya, bukan website sepi milik Anda.
Spammer berinisial “INDO
LAWYERS” tersebut sedang membicarakan dirinya sendiri rupanya, mengakui dirinya
sebagai : Jaman sekarang semua orang perlu berhati-hati, terlalu banyak orang
dengan mudah mengaku ahli dalam bidang tertentu. Dan tong kosong nyaring
bunyinya Melihat tulisan, pembahasan dan cara ybs. dalam berkomunikasi yg penuh
dengan kepahitan, kebencian dan hujatan, dapat diduga INDO LAWYER penuh IRI
HATI DENGKI SIRIK tersebut memiliki masalah kejiwaan atau masa kecil tidak
bahagia.
Sekolah Dasar saja, Anda tidak
lulus. “Zaman”, bukan “Jaman”. Melihat tulisan Anda yang tidak pro terhadap
korban, sama artinya Anda sama bejat dengan para pendosa yang saya kritik
tersebut.
Tidak mampu mendebat, gagal
membantah, hanya bisa menghujat, semata karena dengki dan iri hati. INDO
LAWYERS adalah lawyer TIDAK LAKU yang KURANG KERJAAN, karenanya repot-repot
menghujat kesana-kemari.
Pada suatu ketika, Sang Bhagavā
sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana
Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana
dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani
kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Marah dan tidak senang, ia
mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.
Ketika ia telah selesai
berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, Brahmana?
Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para
tamu datang mengunjungimu?”
“Kadang-kadang mereka datang
berkunjung, Guru Gotama.”
“Apakah engkau mempersembahkan
makanan atau kudapan kepada mereka?”
“Kadang-kadang aku
melakukannya, Guru Gotama.”
“Tetapi jika mereka tidak
menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”
“Jika mereka tidak menerimanya
dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”
“Demikian pula, Brahmana,
kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca
siapa pun—menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau
lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap
milikmu, Brahmana!”
“Brahmana, seseorang yang
mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang
mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, pertukaran.
Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih
tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!”
Itu TETAP MILIKMU, INDO
LAWYERS! TETAP MILIKMU!
Ketika penulis mencoba
menelusuri siapa dibalik identitas dengan inisial “INDO LAWYERS” tersebut,
bahkan websitenya “www. indolawyers .com” sama sekali bukan membahas
perihal hukum (bahkan hanya membahas seputar musik yang kemungkinan besar hasil
“pembajakan”), pemilik websitenya bukanlah seorang lawyer, alias seorang PENIPU
yang menyaru sebagai seorang lawyer. Namun bukanlah itu pokok sentral bahasan
kita, akan tetapi pada paragraf pertama pesan balasan penulis sebagai
tanggapannya, yang dalam kesempatan ini akan penulis uraikan secara lebih lugas
dan gamblang tanpa tedeng aling-aling.
Masyarakat kita, begitu
dinina-bobokan serta dibiasakan hingga dibudayakan (serta dibodohi) untuk
bersikap lebih PRO terhadap pelaku kejahatan (seorang pendosa), lewat ideologi
keyakinan keagamaan bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”—dimana kita ketahui bersama dan sudah menjadi rahasia umum, hanya
seorang pendosa yang membutuhkan iming-iming korup semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—dimana setiap kali beribadah
selalu mengumbar “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”,
ketika momen-momen hari besar keagamaan lagi-lagi mengobral iming-iming “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, hingga ketika meninggal dunia pun,
doa sanak-keluarga maupun pemuka agama mereka ialah agar dosa almarhum dihapus
/ diampuni / ditebus. Tidak pernah, sama sekali tidak pernah, satu kalipun
mereka ataupun pemuka agama mereka, yang memikirkan ataupun mendoakan nasib
para korban akibat perilaku jahat umat agama mereka. Suatu cara mendidik
yang “tidak mendidik”, bila tidak dapat kita sebut sebagai “teladan yang
buruk”.
Akibat gilirannya sebagai
konsekuensi logis, masyarakat kita kini mulai dari generasi sebelumnya dan terakumulasi
pada generasi masa kini dan masa selanjutnya, akan mewariskan serta mewarisi
suatu perspektif yang tidak pernah pro terhadap korban, nasib korban, derita
korban, keadilan bagi korban, maupun hak-hak korban untuk setidaknya paling
minimum ialah hak untuk menjerit dan mengutarakan ekspresi rasa sakit dan
keberatan diperlakukan demikian setidaknya agar pelakunya mengetahui dan
menyadari bahwa ia telah menyakiti sang korban dan sang korban tidak menyukai
diperlakukan demikian.
Seolah-olah, menjerit adalah “tabu”,
bahkan sebagai korban pun masih pula oleh masyarakat kita yang turut
menyaksikan, diolok-olok sebagai “tidak sopan” (sense of justice yang buruk)—seolah-olah perbuatan pelakunya yang menyakiti
sang korban ialah sudah patut dan “sopan”. Masyarakat kita sungguh tidak
memiliki apa yang penulis sebut sebagai “perspektif korban”, mungkin
akibat terbiasa berbuat jahat sehingga hanya memiliki “point of view” seorang penjahat yang bahkan akan marah dan lebih
galak ketika korbannya melawan dan menggagalkan niat jahat sang pelaku
kejahatan.
Akibat ideologi “korup” yang
memberi “angin surga” bagi para pendosa, yakni iming-iming “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, karenanya menjadi seorang korban
yang disakiti, dirugikan, ataupun dilukai, seolah menjadi tabu karena “RUGI”
(merugi seorang diri)—sementara itu menjadi pelaku kejahatan yang berdosa, seolah-olah
“TIDAK MERUGI” karena dapat memakan dan menikmati iming-iming “too good to be true” yang tidak pernah
sensitif terhadap perasaan korban berupa “penghapusan / pengampunan dosa”
maupun “penebusan dosa”, serta tentunya ialah tidak mendapat cibiran maupun
celaan dari masyarakat kita yang tidak terbiasa pada “perspektif korban”. Suatu
kultur yang tidak bersahabat terhadap seorang korban, menjadikan korban
senantiasa tersudutkan dan termarginalisasi.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, turut pula mengedepankan “perspektif pelaku kejahatan” yang
dijadikan tersangka, tersidik, maupun terdakwa di persidangan. Namun, sangatlah
minim pengaturan hukum yang menggunakan perspektif korban sebagai pendekatannya,
semisal bertanya pada korban rumusan tuntutan semacam dan seberat apakah dalam rancangan
surat dakwaan yang dikehendaki oleh korban terhadap sang terdakwa. Dimulai dari
penyidik kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, hingga hakim di pengadilan, merasa
paling tahu perasaan dan apa yang terbaik bagi korban, bahkan masih pula merasa
lebih berhak menentukan apa yang menjadi perasaan dan dirasakan oleh sang
korban, dimana tidak tertutup kemungkinan aspirasi dan suara korban ialah berbeda
sama sekali hingga bertolak-belakang dari sudut pandang seorang penyidik,
jaksa, maupun hakim, namun dianggap “angin lalu”.
Sebagai contoh, seorang wanita
korban tindak pidana asusila, dimana seluruh aparatur penegak hukum yang
memproses pidana pelakunya ialah seseorang bergender pria, maka tidak jarang
terjadi ialah korban yang justru didiskreditkan oleh hakim di persidangan
dengan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa (pelaku tindak pidana asusila) hanya
sekadar meraba-raba, hanyalah “sepele” yang tidak perlu dibesar-besarkan—sepele
bagi pelaku maupun oleh sesama pria, namun tidak bagi kalangan wanita korban
tindak pidana asusila.
Adapun ciri khas seseorang bermental penjahat, ialah
kerap menyepelekan dan meremehkan perasaan korban-korban mereka. Bukanlah Anda yang menjadi
korbannya, karenanya kita tidak berhak menghakimi perasaan korban, terlebih
merasa lebih tahu dan menentukan apa yang menjadi perasaan korban. Mereka, para
korban, punya hak untuk bersuara dan menyatakan pendapat tanpa disusupi perasaan
takut mendapat cap sebagai “tidak sopan” oleh publik ketika mengutarakan
emosinya yang terpendam. Jujur pada diri sendiri, dan jujur kepada publik,
itu menjadi bagian serta hak yang tidak terpisahkan dari hak asasi seorang
korban.
Akibat selama puluhan tahun
hingga ratusan dan ribuan tahun, bahkan dari generasi ke generasi menyembah “Tuhan”,
tepatnya “versi Tuhan yang PRO terhadap pendosa”, akibatnya rakyat dan bangsa
kita tidak memiliki apa yang disebut sebagai “perspektif korban”, namun
semata menyepelekan nasib korban dan disaat bersamaan meremehkan dosa dan
konsekuensinya. Mereka, para pemeluk agama “Tuhan” versi demikian, akan
berpikir, bahwasannya bila “Tuhan” yang mereka sembah saja lebih PRO terhadap
para pendosa, maka mengapa juga kami para umat manusia justru lebih pro terhadap
nasib korban dari perbuatan para pendosa tersebut?
Alam bawah sadar Anda, pastilah
berkata demikian, yang mungkin tidak Anda sadari, namun akan Anda indentifikasi
bila Anda memiliki “pandangan yang jernih dari anasir delusi”. Dengan kalkulasi
pikiran yang kekanak-kanakan, mereka pun bergulir dengan pikiran berikut : Jika
Tuhan lebih PRO terhadap seorang pendosa, maka adalah “merugi” bila tidak
menjadi seorang pendosa, dimana korban hanya boleh bungkam seperti sebongkah
batu atau sebalok kayu atau seonggok mayat yang hanya bisa terbujur kaku
disakiti seperti apapun. Anda maupun diri penulis pribadi, bukanlah sebongkah
mayat, karenanya janganlah menuntut diri penulis untuk bersikap seolah-olah sebongkah
mayat yang hanya bisa terbujur kaku serta bungkam “seribu bahasa”. Anda tuntut
saja diri Anda sendiri untuk berperilaku bak “mayat”.
Karenanya, menjadi seorang
korban seakan menjadi hal yang “tabu”, dimana bila korban menjerit maka akan
dinilai dan dihakimi oleh masyarakat (penghakiman yang “salah alamat” dan tidak
pada subjeknya) sebagai “tidak sopan”. Dalam perspektif agama “Tuhan” versi
demikian (yang lebih PRO terhadap kalangan pendosa), alhasil masyarakat kita berbondong-bondong
menjadi kolektor dosa yang mengkoleksi berbagai dosa kecil hingga dosa besar
(serta membanggakan atau memamerkannya bila perlu, dengan mendirikan “museum
dosa” dirinya untuk dipajang), berkubang dalam dosa, menumpuk dosa-dosa hingga menggunung,
berlomba-lomba menjadi pendosa yang paling berdosa serta menjadi seorang
penyembah yang paling rajin “menjilat”. Alhasil, jadilah fenomena “too big to fall”, sehingga tiada
pilihan lain bagi mereka yang mencapai puncaknya apa yang penulis sebut sebagai
momen “point of no return”,
selain menjadi seorang radikal, fanatik, atau yang membuta pada keyakinan “korup”
semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Yang paling irasional dari kesemua
itu, bagaimana mungkin, seorang pemeluk “agama DOSA” (baca : seorang PENDOSA
yang BERDOSA dan BERLUMURAN DOSA), hendak berceramah perihal hidup suci, benar,
lurus, luhur, mulia, berakhlak, dan agung? Jawabannya ialah sesingkat dan
setegas apa yang telah penulis kemukakan di atas, yakni hanya seorang
pendosa yang membutuhkan iming-iming “korup” semacam “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa”. Silahkan bantah, itu pun bila Anda sanggup. Ingat,
bantahlah argumentasi penulis dengan “argumentasi Vs. argumentasi”, dalam rangka
dialektika sesama intelektual, bukan mengolok-olok secara sumir pribadi penulis
sebagaimana sikap komentator “asal bunyi” seperti contoh di muka.
Seorang suci, patut disebut sebagai
seorang suciwan, karena dirinya melakukan praktik latihan mawas diri, sehingga
menghindari perbuatan jahat sekecil apapun. Karenanya, seorang suciwan tidak
pernah membutuhkan iming-iming “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa”
maupun “penebusan dosa”. Seseorang yang mengaku sebagai rasul Tuhan dan dijadikan
sesosok “nabi”, digambarkan sebagai berikut : A bertanya kepada R, mengapa
suaminya menyembah pada malam hari hingga kakinya bengkak. Bukankah “Tuhan”
telah mengampuni dosa R baik yang dahulu maupun yang akan datang? R
menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
(H. B. M.)
Para umatnya, menyebut-nyebut sosok
sang “nabi” sebagai manusia yang sempurna, teladan terbaik, bebas dari noda
maupun cacat cela sekecil apapun. Namun, mengapa istri dari sang “nabi”
justru menyatakan sebaliknya, bahwa sang “nabi” membutuhkan serta bersyukur
diberikan pengampunan DOSA—yang mana tidak tanggung-tanggung, pengampunan DOSA
baik yang dahulu maupun yang akan datang. Sehingga, adalah delusi ketika “standar
moral” manusia harus mengikuti perilaku maupun watak seorang PENDOSA sebagai
mercusuar atau kiblatnya untuk ditiru. Yang ada ialah, sebagaimana dapat kita
saksikan fenomena sosial sekarang ini, para pendosa masih juga merasa yakin
dan terjamin akan masuk alam surgawi ketika ajal menjelang, bahkan meyakini
telah memiliki tiket masuk surga. Penulis menyebutnya sebagai “degradasi
moralitas”.
Lain lagi dengan kalangan
ksatria, para ksatria bisa jadi melakukan kesalahan semasa hidupnya, baik
kesalahan kecil maupun kesalahan besar terhadap orang lain yang menderita luka
atau merugi karenanya. Namun, yang membedakan antara seorang pendosa dan
seorang ksatria ialah, para ksatria memilih untuk BERTANGGUNG-JAWAB alih-alih
berkelit sedemikian rupa dan melarikan diri bila ada kesempatan semampunya.
Anda tidak perlu menuntut, memohon, memaksa, terlebih menggugat seorang ksatria
untuk bertanggung-jawab ketika melakukan kekeliruan terhadap Anda. Seorang ksatria
berjiwa ksatria dan disebut sebagai seorang ksatria, karena siap dan merasa
sanggup untuk bertanggung-jawab tanpa perlu dimintakan terlebih dituntut untuk
itu. Yang manakah Anda, pendosa ataukah seorang ksatria sejati?
Menilik dari sejarah
perkembangan agama, pra (era sebelum) lahirnya “agama samawi”, tiada satu
orang pun penjahat atau seorang pendosa yang meyakini dirinya akan masuk surga
ketika berbuat dosa. Yang ada pada era zaman pra lahirnya “agama samawi”,
ialah ajaran mengenai Hukum Karma, dimana kita sendiri yang menanam dan
kita sendiri pula yang menuai buahnya. Menanam kebaikan, menuai kebaikan, dan berlaku
sebaliknya. Kita sendiri yang berbuat, kita sendiri yang mewarisinya, kita
sendiri yang memetiknya, dan kita sendiri pula yang menanggung konsekuensinya,
baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Namun, mengapa agama “meritokrasi
dan egaliter” penuh elegan semacam Hukum Karma demikian, justru dipungkiri oleh
masyarakat dan mencari keyakinan lain diluar ajaran yang penuh keadilan semacam
Hukum Karma demikian? Tentu, hanya seorang “pemalas” yang merasa malas menanam Karma
Baik, ingin semudah memohon dan menyembah lalu mengharap dijatuhkan “nikmat”
dari langit, masih pula dengan curangnya mengharap dihapus dosa-dosanya alih-alih
latihan mengontrol diri dengan menghindari perbuatan-perbuatan buruk sekecil
apapun. Bagaimana bila perbuatan baik Anda yang dihapuskan, setujukah Anda?
Yang terlebih mengherankan
diatas kesemua itu, bagaimana mungkin, mereka demikian kompromistis terhadap
maksiat—lewat iming-iming ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa” tentunya—maupun dosa-dosa lainnya, namun disaat
bersamaan demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan? Itulah salah
satu pertanyaan terbesar disamping berbagai pertanyaan-pertanyaan besar
lainnya, yang tidak pernah mampu dijawab oleh para “budak” (tidak berdaya
selain harus penyembah “Tuhan” yang bak sesosok raja yang lalim karena akan
senang ketika dipuji dan akan murka dan memamerkan kuasanya ketika tidak
disembah-sujud) yang menjual jiwanya kepada versi “Tuhan” yang lebih PRO
terhadap seorang pendosa.
Ketika “agama samawi” lahir, berbuat
kebaikan bukanlah lagi menjadi tolak-ukur prestasi sebagai umat manusia, namun para
pendosa berbondong-bondong memeluk segala iming-iming penuh kecurangan, dan “business as usual” (baca : mencetak dosa),
sembari yakin akan masuk surga setelah dewa kematian pencabut nyawa menjemputnya.
Bukankah mengherankan, logika logis yang sesederhana ini saja, yang cukup
membutuhkan rasio dasar tanpa dikotori oleh delusi yang keruh, mengapa sampai
harus penulis utarakan secara panjang-lebar? Bukankah sebagai seorang manusia dewasa,
kita cukup menggunakan otak pemberian Tuhan di kepala kita ini, sebagai
anugerah terbesar bagi umat manusia, untuk berpikir sendiri serta melakukan
introspeksi diri alih-alih menjadi budak dari agama “korup” yang tidak sensitif
terhadap perasaan seorang korban?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.