LEGAL OPINION
Bila bisa Menjual dan Mencari Pembeli Sendiri, mengapa Dijual Lelang Eksekusi di Kantor Lelang Negara?
Modus Penggelapan Agunan oleh Kreditor Pemegang Hak
Tanggungan dan Balai Lelang Swasta
Question: Apa yang harus dilakukan kami selaku debitor (pemilik agunan berupa hak atas tanah sebagai jaminan pelunasan hutang) ketika status kredit kami dinyatakan sebagai “macet” oleh pihak bank (kreditor pemegang Hak Tanggungan)?
Brief Answer: Segera jual dan cari sendiri pihak pembeli yang
berminat membeli objek agunan, pasarkan dan tawarkan seluas-luasnya kepada
publik namun dengan tidak mengharapkan harga yang setinggi-tingginya, dengan
harapan cepat laku terjual karena proses transaksi jual-beli ialah sebagaimana
jual-beli normal seperti pada umumnya (hanya saja turut melibatkan pihak
kreditor pemegang Hak Tanggungan dalam jual-beli terhadap agunan tersebut)—setidaknya
tidak jatuh jauh dibawah harga pasar—sehingga harga jual-beli objek agunan
dapat optimal tanpa dilelang eksekusi Hak Tanggungan yang berdasarkan praktik
di lapangan kerap diwarnai oleh modus-modus penggelapan terhadap objek agunan
baik oleh Kreditor pemohon lelang eksekusi Hak Tanggungan maupun oleh pihak
Balai Lelang swasta selaku penyedia jasa pra-lelang eksekusi.
Patut dipertimbangkan, hak atas tanah bukanlah asset
yang bersifat “liquid”, dalam artian
butuh kesiapan calon membeli untuk membayar seharga objek hak atas tanah yang
tidak pernah murah harganya (momentum), terlebih bila kondisi ekonomi sedang
tidak kondusif. Bila pihak debitor mampu menemukan calon peminat yang bersedia
membeli dalam waktu dekat, maka terjual dengan sedikit dibawah harga pasar,
sudah patut untuk cukup bersyukur, ketimbang hutang dan bunga kian membengkak berlipat-lipat,
terlebih agunan benar-benar dilelang eksekusi, maka dapat dipastikan debitor
pemilik agunan betul-betul akan merugi serugi-ruginya dan menyesal dikemudian
hari—dimana sebagaimana kata pepatah, “menyesal selalu datang terlambat”.
PEMBAHASAN:
Pada prinsipnya serta secara
normatif peraturan perundang-undangan dibidang Hak Tanggungan maupun Fidusia,
dimungkinkan bagi debitor ataupun penjamin (pemilik agunan) untuk mendapatkan
harga jual-beli yang paling optimal, yakni penawaran serta transaksi jual-beli
dilakukan DILUAR lelang. Lelang eksekusi, bukanlah wadah yang tepat untuk
mendapatkan harga yang optimal, karena seringkali antara penawaran dan
permintaan tidak berimbang sebagaimana mekanisme “supply and demand” dalam pasar pada umumnya, akibat dikondisikan
demikian oleh para “mafia tanah” yang mencari keuntungan dengan cara
bersekongkol dengan oknum lembaga perbankan pemohon lelang, atau bahkan dari
pejabat atau pegawai dari perbankan itu sendiri maupun dari pihak Balai Lelang
swasta selaku penyedia jasa pra-lelang eksekusi Hak Tanggungan.
Secara eksplisit, kebolehan
atau kemungkinan bagi debitor pemilik agunan untuk menawarkan dan menjualnya di
pasar luar lelang, dapat kita jumpai ketentuannya dalam norma hukum Pasal 20
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT):
(2) Atas kesepakatan pemberi
dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan
di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak
ada pihak yang menyatakan keberatan.
Undang-Undang tentang Hak
Tanggungan itu sendiri mengakui bahwa penjualan agunan di pelelangan umum,
tidak identik dengan hasil penjualan paling optimal tertinggi, sebagaimana
secara eksplisit dapat kita jumpai pengakuan oleh pembentuk regulasi dibidang eksekusi
Hak Tanggungan terutama dalam Penjelasan Resmi Pasal 20 UU HT:
Ayat (2): “Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum
diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan
di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, dan syarat yang ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini
dimaksudkan untuk mempercepat penjualan obyek Hak Tanggungan dengan harga
penjualan tertinggi.”
Ayat (3): “Persyaratan yang ditetapkan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi
pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya pemegang Hak Tanggungan kedua,
ketiga, dan kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan. Pengumuman dimaksud
dapat dilakukan melalui surat kabar atau media massa lainnya, misalnya radio,
televisi, atau melalui kedua cara tersebut. Jangkauan surat kabar dan media
massa yang dipergunakan haruslah meliputi tempat letak obyek Hak Tanggungan
yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan tanggal pemberitahuan tertulis adalah
tanggal pengiriman pos tercatat, tanggal penerimaan melalui kurir, atau tanggal
pengiriman facsimile. Apabila ada perbedaan antara tanggal pemberitahuan dan
tanggal pengumuman yang dimaksud pada ayat ini, jangka waktu satu bulan
dihitung sejak tanggal paling akhir di antara kedua tanggal tersebut.”
Adapun modus-modus yang kerap
mewarnai praktik jual-beli objek agunan dengan proses lelang eksekusi Hak
Tanggungan yang penuh manipulasi, sehingga lelang yang semestinya dan idealnya
terbuka bagi umum serta sebagai forum yang tinggi intensitasnya dari segi
permintaan dan penawaran (bidding), dengan
harapan penuh delusi akan tercipta harga jual-beli tertinggi, namun menjelma
jual-beli yang menyerupai negosiasi di “ruang temaram”, antara lain dengan ilustrasi
sebagai berikut.
Modus pertama, ialah dengan
menutupi informasi detail perihal objek lelang eksekusi. Semisal, tidak
menginformasikan letak spesifik objek agunan yang dilelang eksekusi, semisal
tidak transparan dengan menutup-nutupi nama jalan, blok rumah, hingga nomor
rumah objek agunan, sehingga masyarakat calon pembeli yang berminat membeli via
lelang, mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan objek agunan untuk
dilihat kondisi dan letaknya, bahkan dapat disebut hampir mustahil
menemukannya, semata karena harganya penawaran jual-beli via lelang oleh
pemohon lelang ditekan sedemikian rupa hingga menyentuh “nilai likuidasi” yang
jauh dibawah harga pasar, dimana calon pembelinya sudah dirancang sedemikian
rupa agar dimenangkan dan dibeli oleh pihak-pihak tertentu yang berafiliasi (bersekongkol
dan persekongkolan) dengan pihak perbankan pemohon lelang ataupun oleh pihak
Balai Lelang swasta. Praktik tidak etis yang terjadi secara masif demikian, sudah
menjadi rahasia umum di kalangan internal Perbankan maupun Balai Lelang swasta.
Ketika objek agunan tidak jelas
dimana letak spesifik serta kondisinya, masyarakat menjadi tidak berminat menawar
terlebih membeli via lelang, semata karena ibarat “membeli kucing dalam karung”,
bukan lagi sekadar transaksi di ruang temaram. Karenanya, saat lelang terjadi,
pihak calon pembeli lelang yang menawar hanya segelintir pihak hingga hanya
diikuti oleh satu orang peserta lelang (atau dua peserta yang keduanya
merupakan boneka dari sang pemodal selaku beneficial
owner), yakni dari pihak afiliasi pemohon lelang ataupun Balai Lelang
swasta, sehingga harga terbentuk lelang menjadi tidak optimal, bahkan dapat
disebut diluar angka nominal kewajaran karena dapat mencapai separuh atau
bahkan kurang dari separuh Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sehingga jelas-jelas
merugikan pihak debitor ataupun penjamin (pemilik agunan)—semata karena
semestinya dapat terjual dikisaran harga pasar atau sedikit dibawah harga
pasar, menjelma terjual dengan harga yang mencapai separuh harga pasaran.
Modus kedua, ialah dikenal
dengan julukan sebagai “modus cetak terbatas”. Lelang eksekusi Hak Tanggungan,
memiliki prosedur baku berupa diumumkan pada surat kabar konvensional—sekalipun
pada era modern ini hampir tidak ada masyarakat kelas atas maupun kelas
menengah, terlebih kelas bawah, yang secara rutin sebagaimana zaman dahulu kala
seperti berkegiatan membaca lembaran surat kabar. Terlebih, surat kabar-surat
kabar yang tidak jelas, terutama media cetak lokal yang diedarkan dan
dipasarkan tidak secara nasional, yang bahkan baru pernah kita dengar nama
surat kabarnya dan baru kita ketahui eksistensi surat kabar semacam itu,
mengakibatkan lelang eksekusi Hak Tanggungan benar-benar menjurus penawaran dan
permintaan yang tidak berimbang.
Pihak pemohon lelang eksekusi Hak
Tanggungan, memasang iklan pengumuman penjualan terhadap agunan di muka
pelelangan umum, sekadar formalitas belaka untuk keperluan memenuhi prosedur di
Kantor Lelang Negara ketika memohon eksekusi Hak Tanggungan terhadap agunan
milik sang debitornya, namun saat diterbitkan, seluruh hasil cetakan surat
kabar tersebut dibeli dan diborong seluruhnya oleh sang pemohon lelang
eksekusi, dengan maksud agar tiada kompetitor bagi dirinya untuk membeli objek
agunan yang dimohon lelang oleh pihaknya sendiri—tentunya, dengan memakai nama
orang lain sebagai peserta lelang yang dijadikan boneka (nominee), sementara itu pendanaan dari pihak pemodal yang notabene
pihak pemohon lelan itu sendiri. Sehingga, antara pemohon lelang, penentu harga
penawaran lelang, serta pembeli lelang, dalah satu orang pihak yang sama, yakni
seorang “beneficial owner” yang sama.
Modus ketiga, adalah modus yang
bukan hanya dipraktikkan oleh beragam kalangan kreditor perbankan maupun
kreditor perorangan maupun Balai Lelang swata, namun juga oleh para Kurator,
yakni modus menjual lelang dengan harga perdana amat sangat tinggi, jauh
melampaui harga pasar, sehingga tiada masyarakat yang berminat membeli via
lelang untuk harga yang diatas harga pasar—jangankan itu, membeli objek hak
atas tanah via lelang dengan harga pasar pun, tiada masyarakat yang berminat.
Dalam lelang ulang kedua, masih juga menggunakan harga penawaran lelang yang
kelewat tinggi, alhasil tiada peminat.
Barulah, pada lelang ketiga,
dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya dengan harga penawaran lelang yang diluar angka
psikologis, jauh dibawah harga pasar, bahkan mencapai kurang dari separuh nilai
dalam NJOP. Lelang pertama dan lelang ulang kedua yang dibuat dengan harga
penawaran yang sangat tinggi, lantas dilaporkan tidak laku terjual, menjadi
alibi sempurna sekaligus sebagai “alasan pembenar” untuk menurunkan harga—yang
hanya saja dibuat atau direkayasa jatuh sejatuh-jatuhnya hingga lebih dari
separuh harga penawaran dalam lelang perdana.
Jika sudah seperti demikian, terutama
ketika ketiga modus terjadi secara sekaligus pada satu momen lelang eksekusi Hak
Tanggungan, menghadapi modus-modus para pelaku penyalahguna dan penyelundup
hukum, yang menggunakan instrumen hukum itu sendiri secara canggih dan
sedemikian rupa sebagai legitimasi untuk “mencuci kejahatan” para “mafia tanah”,
yang merugi dan menyesal sendiri dikemudian hari ialah sang debitor ataupun
pihak penjamin pemilik agunan itu sendiri.
Kejahatan yang dilegitimasi dan
diselubungi instrumen hukum, sukar untuk di-“endus” terlebih ditindak. Kesemua pemaparan
modus-modus di atas, merupakan lahan bisnis keseharian para “mafia tanah kerah
putih” (internal lembaga keuangan Perbankan dan Balai Lelang swasta) yang masif
terjadi dari Sabang hingga Merauke. Sebagaimana adagium klasik, lebih baik
memitigasi daripada kuratif. Terdesak untuk segera menjual objek agunan dengan
menawarkannya di pasar umum, mungkin adalah rugi karena hanya dapat menjaring
pembeli dengan harga “seadanya” dalam waktu dekat. Namun, akan jauh lebih merugi
bila sampai benar-benar dijual dan terjual pada Kantor Lelang Negara. Lebih baik
cukup “merugi”, daripada “merugi lebih besar lagi”.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.