LEGAL OPINION
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang Bermula dari
Hubungan Kontraktual / Perjanjian
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang Bernuansa
Kontraktual
Question: Semisal kami mau ajukan gugatan “PMH” (perbuatan melawan hukum) kepada suatu pihak yang semula ada perjanjian dalam kontrak dengan kami, karena pihak tersebut melakukan “PMH” kepada kami, sekalipun memang relasi diantara kami pada mulanya ialah ikatan perjanjian dalam sebuah kontrak. Sehingga, rencana gugatan yang akan kami ajukan bukanlah “gugatan wanprestasi”, namun “gugatan PMH”. Pertanyaan kami ialah, ke manakah kami harus menggugat, ke pengadilan yang berada di domisili pihak Tergugat (Pasal 118 HIR) ataukah mengikuti pilihan pengadilan sebagaimana pernah kami semua sepakati bersama dalam kontrak (choice of forum)?
Brief Answer: Secara praktik kebiasaan di peradilan (sebentuk “best practice”), memang dimungkinkan
“gugatan perbuatan melawan hukum” diajukan oleh suatu pihak dalam suatu
hubungan kontraktual terhadap pihak lain dalam kontrak bersangkutan tersebut,
sehingga tidak semata terbuka opsi “gugatan wanprestasi”, namun kasuistik. Sebagai
contoh, seorang debitor meminjam sejumlah dana dari kreditornya (bermula dari hubungan
hutang-piutang atau pinjam-meminjam dana). Namun, sang debitor ternyata dalam
perjalanan waktu telah melakukan penggelapan terhadap dana pinjaman yang
diberikan oleh kreditornya disamping wanprestasi melunasi atau mengembalikan
dana pinjaman, dan telah divonis secara pidana. Atas dasar vonis pidana
tersebut, sang kreditor dapat mengajukan “gugatan perbuatan melawan hukum”
terhadap debitornya, dan sudah cukup lazim dalam praktik peradilan.
Adapun terkait di mana atau ke manakah gugatan
harus diajukan, sebagai “kompetensi relatif” maupun “kompetensi absolut” kewenangan
pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa gugatan perdata, tetap
wajib merujuk pada “choice of forum”
(pilihan pengadilan yang berwenang memutus sengketa) yang telah pernah disepakati
di dalam perjanjian, mengingat bagaimana pun hubungan hukum bermula dan/atau
berlandaskan dari perikatan kontraktual, sehingga tidak dapat terlepas dari
pilihan pengadilan yang sebelumnya telah dipilih dan disepakati oleh para pihak
yang kini saling bersengketa hukum.
Sebagai contoh, dalam perjanjian hutang-piutang,
telah disepakati bahwa satu-satunya pengadilan yang berwenang mengadili dan
memutus sengketa keperdataan yang dikemudian hari terjadi antara para pihak
dalam kontrak tersebut, ialah lembaga arbitrase di Indonesia, maka lembaga itulah
sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Jika
saat kini, salah satu pihak menggugat pihak lainnya ke lembaga arbitrase yang
ada di luar negeri, maka terjadi “keliru kompetensi relatif”, mengingat
yang disepakati dalam perjanjian ialah arbitrase lokal di dalam negeri.
Bila dalam kontrak, disepakati pengadilan yang
berwenang memeriksa dan memutus sengketa, ialah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
sebagai contoh, maka ketika salah satu pihak menggugat pihak lainnya ke hadapan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terjadilah juga “keliru kompetensi relatif”,
mengingat yang dipilih sebagai pengadilan yang berwenang ialah Pengadilan
Negeri di Jakarta Pusat, bukan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Konstruksi
lainnya yang kerap terjadi ialah, ketika para pihak dalam kontrak sepakat
memilih arbitrase, namun ternyata salah satu pihak dikemudian hari menggugat
pihak seberang ke hadapan Pengadilan Negeri, maka terjadilah apa yang disebut
sebagai “keliru kompetensi absolut” kewenangan pengadilan dalam memutus
suatu perkara perdata, atau semisal yang berwenang ialah Pengadilan Tata Usaha
Negara, Pengadilan Agama, Pengadilan Niaga untuk sengketa hak kekayaan
intelektual, dsb.
PEMBAHASAN:
Dalam praktik, terjadi berbagai
strategi atau teknik litigasi yang cukup “gelap”, karena bermain di “ruang
temaram” dibalik sebuah “eksepsi” atau tangkisan oleh pihak Tergugat
terhadap syarat formil surat gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat, semata
dengan memanfaatkan kelengahan pihak Penggugat dalam membaca klausul perihal
pilihan pengadilan dalam memeriksa dan memutus sengketa dalam perjanjian yang
telah pernah mereka sepakati sebelumnya. Eksepsi, ialah prolog dari pihak
Tergugat sebelum membuat surat jawaban—sekalipun acapkali disatukan dalam satu-kesatuan
berkas dengan surat jawaban terhadap surat gugatan Penggugat—yang berupa
tangkisan terhadap berbagai cacat formil rumusan surat gugatan.
Bila eksepsi pihak Tergugat diterima oleh hakim di
pengadilan, semisal akibat “keliru kompetensi relatif”, maka pokok perkara
tidak diperiksa oleh Majelis Hakim, dan pengadilan akan menjatuhkan amar
putusan berupa “Menyatakan gugatan Penggugat
‘tidak dapat diterima’ (niet onvantkelijk verklaard).” Konsekuensi bilamana amar
putusan berupa “menyatakan gugatan tidak dapat diterima”, maka pihak Penggugat
dapat dan dibolehkan untuk kembali mengajukan “gugatan ulang” tanpa resiko
dinyatakan “nebis in idem”.
Adapun eksepsi yang dapat
diajukan sehingga bermuara pada amar “gugatan
tidak dapat diterima”, antara lain bilamana gugatan diajukan secara
prematur (semisal dalil terjadi penipuan, sementara itu belum ada putusan
pidana terkait penipuan pihak seberang dalam kontrak, mengingat terdapat kaedah
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa “penipuan tidak
dapat dipersangkakan”), gugatan kurang pihak (tidak turut menarik satu atau
lebih pihak-pihak dalam gugatan, telah terjadi “nebis in idem” (pokok perkara, objek sengketa, maupun pokok
permintaan dalam gugatan telah sebelumnya diberi status berkekuatan hukum
tetap, inkracht), Penggugat tidak
cakap hukum (semisal masih dibawah umur, atau yang menggugat mewakili perseroan
ialah komisaris alih-alih direksi suatu perseroan), disamping perihal
kompetensi relatif dan absolut kewenangan peradilan.
Dalam praktik, para litigator
yang cukup “nakal” akan mendiamkan dan membiarkan surat gugatan Penggugat tidak
diajukan eksepsi, namun dibantah dalam surat jawaban terhadap pokok perkara,
semata agar ketika amar putusan Majelis Hakim memutuskan “Menyatakan gugatan Penggugat ditolak sepenuhnya”,
maka seketika itu pula putusan menjadi berkekuatan hukum tetap (inkracht) karena pokok perkara diperiksa
dan diputus oleh hakim, sekalipun senyatanya gugatan diajukan ke hadapan
pengadilan yang “keliru kompetensi absolut maupun relatif”.
Yang melandasi logika berhukum
dalam konstruksi di atas ialah, para pihak secara diam-diam dianggap telah
mengubah ketentuan dalam kesepakatan sebelumnya pada perjanjian / kontrak
perihal “pilihan pengadilan” (choice of
forum) menjadi pengadilan yang saat kini diajukan gugatan oleh pihak
Penggugat. Namun, ketika pengadilan memutus “Mengabulkan seluruhnya / sebagian gugatan Penggugat”, maka pihak Tergugat
dalam upaya hukum banding maupun kasasi ataupun peninjauan kembali, akan
mengajukan eksepsi “keliru kompetensi absolut ataupun relatif” (eksepsi yang
mereka simpan bilamana kalah pada pengadilan tingkat pertama, dan baru
dikemukakan ketika pihak Tergugat mengalami kekalahan), sehingga gugatan
Penggugat dan putusan pengadilan menjadi “mentah”—menyerupai “standar berganda”
yang ditampilkan oleh sang Tergugat, namun itulah salah satu trik berlitigasi
yang kerap dilakoni oleh kalangan Tergugat yang memanfaatkan kelengahan dan
kelalaian atau keteledoran pihak Penggugat.
Pihak lawan, tidak akan
berbelas kasihan terhadap lawannya dalam sengketa gugat-menggugat, dimana
kekeliruan kecil berupa cacat formil rumusan surat gugatan, dapat menjadi
bumerang bagi pihak Penggugat itu sendiri di kemudian hari. Itulah sebabnya,
terkadang, dalam pengalaman SHIETRA & PARTNERS, jauh lebih berat
beban yang diemban oleh pihak Penggugat, ketimbang pihak Tergugat yang
sekalipun sekadar bertahan dan defensif belaka, mengingat satu buah cacat
formil dalam surat gugatan sudah cukup menjadi bahan alibi untuk mencela dan
menggugurkan gugatan. Konseptor pihak Penggugat, merupakan tumpuan utama, atau
pilar penopang segala kesibukan yang dilakukan oleh pihak Penggugat selama
periode gugat-menggugat yang meletihkan dan berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Bila pilar fondasinya (konsep gugatan) lemah, maka selebihnya menjadi kesia-siaan
hingga kemubaziran yang patut disayangkan setelah segala sumber daya terkuras.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.