SENI PIKIR & TULIS
Manusia Predator & Predator Manusia
Ketika Tuhan lebih PRO terhadap Penjahat / Pendosa, dan Mendiskriminasi Korban
Entah mana istilah yang lebih tepat, “manusia predator” ataukah “predator manusia”, bila kita hendak merujuk seseorang yang notabene “agamais” (mengaku ber-Tuhan serta rajin beribadah) namun masih juga tidak segan-segan, tidak malu, serta tidak takut merampas hak-hak warga lain maupun berbuat jahat seperti merugikan, melukai, ataupun menyakiti makhluk hidup lainnya. Yang jelas, seorang “manusia predator” adalah juga “predator manusia”, semata karena mereka akan memangsa pula sesamanya, sebagaimana anekdot “manusia adalah serigala bagi sesamanya”, “akan dimakan bila tidak dimakan”, maupun sindiran senada dengan itu lainnya.
Negara, karenanya tidak lagi
dapat memposisikan diri sebatas sebagai “watch
dog”, namun melakukan intervensi ke tengah masyarakat dengan membuat
segudang regulasi (koridor hukum yang membatasi ruang gerak masyarakat) agar
para warganya tidak saling “memakan” satu sama lain, semisal dibentuknya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha agar segelintir warga tidak meng-kartel harga di
pasar yang berpotensi memeras banyak warga yang menjadi konsumennya. Janganlah
bersikap seolah-olah kita tidak bisa hidup dan melangsungkan kehidupan, tanpa
memakan dan merampas hak-hak individu lainnya. Namun menuntut kesadaran setiap
warga, bukanlah hal mudah, karenanya pemerintah perlu bersikap tegas “top to down”. Yang paling berbahaya
ialah, niat dan itikad pemerintah selaku otoritas justru juga patut diragukan.
Terdapat sebuah kisah yang
sebelum ini pernah penulis baca pada salah satu buku kumpulan cerita, terdapat
sebuah kisah “humor” namun cukup “menyentil” dan tepat sasaran merujuk pada praktik
hidup para “manusia predator” yang kerap menampilkan citra “agamais” (agamais,
namun sekaligus pendosa yang berdosa), dengan cerita sebagai berikut yang dapat
dipastikan akan para pembaca sukai karena penuh kesan dan temukan relevansinya
dengan tidak sedikit diantara wajah warga masyarakat kita sekalipun berwujud
“kulit manusia”:
Seorang pemuda begitu terpesona
dengan keindahan alam hutan yang untuk kali pertamanya dimasuki olehnya.
Mendadak sang pemuda dikejutkan
oleh kehadiran seekor singa besar berambut lebat yang menerjang tepat di
hadapan sang pemuda.
Singa yang buas dan mengerikan,
giginya yang kuning tampak tajam seperti belati, mengaum keras mengejutkan sang
pemuda maupun burung-burung yang hinggap di pepohonan.
Astaga Tuhan, mohon kuasa
Engkau, mohon sang pemuda berdoa dalam hati.
Mendadak, sang singa berhenti
mengaum, lalu berlutut sembari menelungkupkan kedua telapak tangannya sembari mulai
memejamkan mata dengan penuh khidmat.
Astaga Tuhan-ku, aku berjumpa
dengan seekor singa yang baik, jerit sang pemuda, kagum dan terperanjat, tidak
percaya dengan penglihatannya.
Tanpa membuka mata dan sembari kakinya
tetap berlutut dengan tangan saling ditelungkupkan, sang singa pun berkata
kepada sang pemuda, “Ya, sebagai sebagai seekor singa yang baik, sebelum
makan, tidak lupa berdoa terlebih dahulu.”
Jangan terburu-buru merasa
senang dan gembira, ketika mengetahui orang-orang atau pihak-pihak yang telah
menyakiti, melukai, ataupun merugikan Anda, adalah orang-orang yang “agamais”
(rajin beribadah lengkap dengan busana berbau keagamaannya, yang kerap
diidentikkan dengan “soleh”). Jangan pula terlena oleh imbauan “melapor kepada
Tuhan saja”. Mengapa? Semata karena para “agamais” tersebut notabene merupakan
pelanggan tetap ideologi iming-iming “korup” penuh janji-janji surgawi bernama
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Bagi mereka, adalah “RUGI”
serta “MERUGI” bila tidak menjadi seorang pendosa, semata karena menjadi
mubazir serta sia-sialah iming-iming janji-janji surgawi bernama “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” yang telah dianugerahkan sebagai
“nikmat” terbesar pemberian Tuhan mereka. Jadilah, para manusia yang semula
“humanis” menjelma “predatoris”, “aroganis”, “premanis”, “barbariknis”, serta
“hewanis” sebagai “standar moral” baru umat manusia, dimana mereka menjelma
demikian kompromistis terhadap dosa dan maksiat namun disaat bersamaan demikian
amat sangat intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan maupun berbeda
sekte.
Bagaimana dengan Tuhan? Seorang
hakim di pengadilan, lebih PRO terhadap korban pelapor, dimana korban berhak
didengarkan suara serta aspirasinya, dengan menghukum pelaku kejahatan dengan
sanksi berupa penjara secara setimpal sebagai ganjarannya, dalam rangka
menegakkan keadilan bagi sang korban. Namun, di mata Tuhan (versi para pendosa,
tentunya), mengingat Tuhan telah menjanjikan iming-iming “korup” semacam “pengampunan
/ penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” kepada para “budak”-Nya (pelaku
praktik ritual sembah-sujud), maka itu bermakna eksplisit bahwasannya Tuhan
lebih PRO terhadap PENDOSA / PENJAHAT ketimbang memerhatikan nasib maupun
hak-hak para korban dari para pendosa tersebut.
Lantas, bagaimana dengan nasib
para korban para pendosa yang “agamais” tersebut, ketika Tuhan lebih
mengistimewakan dan menganak-emaskan para pendosa yang diberi “karpet merah”
menuju surga? Katakanlah sang pendosa dan para korbannya, sama-sama dimasukkan
ke alam surga dan kembali saling bertetangga. Namun bukanlah itu sama artinya
alam surgawi akan menyerupai “bumi jilid kedua”, dimana sang korban kembali menjadi
korban untuk kedua dan kesekian kalinya oleh pelaku yang sama maupun dijadikan
korban oleh para pendosa lainnya?
Katakanlah A (korban), memiliki
seorang suami / istri bernama B, dimana B berbuat maksiat dengan berselingkuh
dengan C. Sebagai seorang pendosa, B dan C tergolong “soleh” sebagai status
atau identitas ganda-nya disaat bersamaan, semata karena rajin beribadah
(berupa “lip services” kepada Tuhan, siapapun
sanggup, serta apa susahnya sekadar menjilat dan memuja-muji sembah-sujud,
ketimbang bertanggung-jawab kepada korban, merepotkan diri menanam benih Karma
Baik, ataupun mengedalikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk ataupun yang jahat?).
Berhubung para pendosa
tersebut, B dan C, adalah seorang “soleh” dan “soleha”, maka B dan C dhapus
segala dosa-dosanya oleh Tuhan. Alhasil, B dan C dimasukkan ke surga alih-alih dberi
“punishment” dengan dilempar ke
neraka “jahanam” yang ironisnya berisi orang-orang baik namun dicampakkan ke
neraka semata karena memiliki keyakinan berbeda atau bahkan seorang ateis—kompromistis
terhadap maksiat dan dosa, namun disaat bersamaan intoleran terhadap umat
manusia yang berbeda keyakinan. Kita asumsikan A, sang korban, turut dimasukkan
ke surga pula sebagai kompensasinya oleh Tuhan yang “Maha Baik nan Pengampun
nan Penyayang” (lalu mengapa menciptakan neraka lengkap dengan sifat manusia
yang penuh cacat serta tidak sempurna?
Alam Neraka itu sendiri,
merupakan monumen simbol kegagalan penciptaan Tuhan yang tidak betul-betul “Maha
Kuasa”). Jadilah, tragedi kemanusiaan “jilid kedua”, dimana B dan C kembali
berselingkuh, bahkan kini dilakukan persis di hadapan A yang menjadi korban
untuk kedua dan kesekian kalinya, bagaikan “meledek”, mengingat Tuhan telah
ternyata lebih PRO terhadap pendosa dan disaat bersamaan meng-anak-tiri-kan kalangan
korban yang hanya dapat pasrah menerima pahitnya kenyataan. Truth always bitter, fakta selalu pahit
adanya. Mengapa? Sudah dijelaskan dan terjelaskan pada fakta-fakta di atas.
Mulai dari ceramah rutin
mingguan, ceramah hari-hari raya keagamaan, ceramah sporadis dadakan, hingga
bahkan ceramah saat seorang umatnya meninggal dunia, yang selalu diumbar dan
diobral ialah doa mengharap, menjanjikan iming-iming, serta memohon agar sang
umat atau almarhum dihapus dosa-dosanya. Mereka, memohon pengampunan dosa
alih-alih kepada para korban mereka, justru memohon kepada Tuhan yang tidak
punya hak untuk mengambil-alih keadilan kalangan korban dari para pendosa
tersebut.
Alih-alih diajarkan dan
diperintahkan untuk bertanggung-jawab terhadap korban, atau untuk menghindari
perbuatan buruk sehingga tidak akan ada yang menjadi korban ataupun
dikorbankan, yang dipromosikan justru ialah “penghapusan / pengampunan dosa”
maupun “penebusan dosa” bagi para pendosa—hanya seorang pendosa, yang
membutuhkan iming-iming ideologi “korup” (kabar baik bagi pendosa) bernama “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Yang paling pahit dari kesemua itu
ialah, para pendosa tersebut masih juga berani berceramah perihal cara hidup
yang suci dan baik (sudah putus urat-malunya), teladan yang buruk, berbeda
antara ucapan dan perbuatan, dimana seyogianya dirinya menceramahi dirinya
sendiri.
Hal itu menyerupai cerminan
“raja yang lalim” dimana akan senang ketika dipuja-puji dan akan murka ketika
seorang rakyatnya tidak menyembah-sujud. Tiada satupun—sekali lagi, tiada
satupun—ceramah dari para penceramah / pemuka agama tersebut yang menyerukan
atau mendoakan hak-hak maupun kondisi yang baik bagi kalangan korban para
pendosa yang tergila-gila pada “pengampunan dosa” demikian. Korban, dengan
demikian, benar-benar disisihkan dan tersisihkan, baik oleh para pemuka agama
maupun oleh Tuhan (versi mereka).
Karenanya, menjadi korban
adalah tabu, serta “MERUGI” sendiri. Alhasil, para pendosa tersebut secara
berjemaah, berlomba-lomba, dan berbondong-bondong mencetak dosa
sebanyak-banyaknya, semata agar tidak “RUGI”. “RUGI” bila hanya sebatas menjadi
seorang “maling ayam / sandal”, dan lebih “RUGI” lagi menjadi korban yang hanya
dapat “gigit jari” disertai mulut yang “dibungkam”. Paling “RUGI” bila menjadi
seorang suciwan yang menghindari diri dari perbuatan buruk ataupun seorang
ksatria yang bersedia bertanggung-jawab atas perbuatan buruknya. Ideologi
“korup” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”,
memakai pendekatan serta perspektif para pelaku kejahatan (kepentingan para
pendosa itu sendiri), karenanya empati dan simpati menjadi “barang mahal” di
republik serba “agamais” ini yang mana tidak dapat dinikmati setiap kalangan
korban.
Sebagai penutup, tepat kiranya
penulis mengisahkan sebuah cerita dimana seorang “bule” yang bersama dengan
rekannya mengemudi di sebuah ruas jalan tol di Indonesia, lantas mengalami
“mobil mogok”. Mendadak mobil mereka diderek secara liar bak premanisme, dimana
negara lewat otoritas penegak hukumnya seakan-akan tidak pernah benar-benar
hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga rakyat kerap menjadi “mangsa empuk”
eksploitasi praktik mafia dan premanisme yang dibiarkan berkeliaran seolah
dilestarikan, diperas biaya derek liar, kemudian dipaksa memakai jasa reparasi
tempat perbaikan mobil yang merupakan satu persekongkolan dengan pihak preman /
mafia yang menderek liar mobil mereka. Terjadilah dialog berikut antara sang
“bule” dan rekannya, dalam Bahasa Inggris tentu saja:
“Jika terjadi premanisme dan
pemerasan seperti ini (di Indonesia), melapor ke mana? Bukankah polisi ‘Made in
Indonesia’ merupakan ‘preman berseragam’ yang tidak ubahnya dengan preman yang
menderek paksa dan memeras kita ini?” tanya sang bule.
“... Lapor kepada Tuhan Yang
Maha Esa!”
jawab sang rekan dengan penuh percaya diri.
Mendadak membahana speaker pengeras suara tempat
ibadah, berisi ceramah para pemuka agama / penceramah “Agama DOSA”.
“SEMOGA TUHAN MENGAMPUNI DAN
MENGHAPUS DOSA-DOSA KITA, MENGAMPUNI DOSA-DOSA LELUHUR KITA, DOSA-DOSA
ALMARHUM, DOSA-DOSA ANAK-CUCU KITA!!! NIKMATNYA MENJADI ORANG JAHAT YANG
BERBUAT JAHAT DAN TANGAN BERLUMURAN DOSA!”
“... Lebih percuma lapor ke
Tuhan!”
celetuk sang bule, mewakili salah satu kalangan korban yang terus bertumbangan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.