ARTIKEL
HUKUM
Rezim Perizinan di Negeri yang Serba Tidak Masuk
Diakal dan Irasional
Standar Berganda Rezim Izin Keramaian
Bila Anda merupakan seorang pengusaha yang hendak mendirikan atau memiliki pabrik pada suatu yang telah ditetapkan pemerintah sebagai Kawasan Industri, maka Anda tidak perlu lagi mengantungi izin-izin semacam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), semacam “izin domisili usaha”, maupun izin-izin sejenis lainnya. Sama halnya, stadion olahraga jelas menjadi tempat ajang perhelatan event olahraga baik secara rutin maupun secara sporadik, yang konsekuensinya ialah mengundang banyak masyarakat umum sebagai penonton maupun para peserta tanding dan tim official-nya untuk hadir dan berkumpul yang karenanya akan tercipta “keramaian” sebagai konsekuensi logisnya.
Ketika Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) dari Pemerintah Daerah diberikan sebagai dasar legalitas pemilik tanah
untuk mendirikan stadion di atasnya maupun “izin usaha” terkait olahraga, maka
sejatinya “izin keramaian” secara inherent juga telah diberikan selama dan
sepanjang gedung stadion berdiri dan beroperasi, semestinya begitu bila kita
berbicara secara falsafah yang memiliki topangan validitas berupa daya pikir
logis. Begitupula kegiatan akademik semacam sekolahan, tempat kursus, perguruan
tinggi, ataupun universitas, yang kegiatan utamanya ialah belajar-mengajar,
dengan peserta didik dan staf pengajar dapat mencapai ribuan orang hilir-mudik
datang dan pergi serta keluar dan masuk lokasi kampus atau sekolah untuk setiap
harinya, maka tercipta “keramaian” sebagai konsekuensi logisnya. Menjadi
pertanyaan retorika mendasar, apakah pengelola kampus atau sekolah, setiap
harinya harus mengurus, memohon, serta mengantungi “izin keramaian” dari pihak
kepolisian setempat?
Sebuah gedung tempat biasa berlangsung
perhelatan semacam event “show”
tempat para produsen memasarkan dan meluncurkan produk perdananya, dengan
membuat promosi serta iklan agar para calon konsumen dapat turut menghadiri dan
mengunjungi lokasi “show”, dapat dipastikan akan menciptakan “keramaian”. Maka,
apakah pengelola gedung tempat berlangsungnya acara, harus setiap harinya
mengurus, memohon, serta mengantungi “izin keramaian” dari pihak kepolisian
setempat? Padahal, sementara itu, bidang usaha pemilik gedung atau pengelola
gedung ialah memang dibidang penyedia tempat untuk dilangsungkannya perhelatan event dan “show” semacam itu.
Tempat ibadah secara rutin
ataupun sporadik menjadi tempat berkumpulnya ratusan hingga ribuan umat,
terutama ketika diadakan “talk show”
yang diisi oleh pembicara yang dikunjungi oleh para umat secara massal yang
turut menghadiri sebagai penontonnya, sekalipun fungsi tempat ibadah ialah
memang sebagai tempat untuk belajar-mengajar ajaran agama serta untuk beribadah
bagi pihak umum selaku umat, maka apakah pihak pengurus tempat ibadah harus
untuk setiap harinya mengurus, memohon, serta mengantungi “izin keramaian” dari
pihak kepolisian setempat?
Sebuah hotel, memang disaat
bersamaan difungsikan sebagai tempat resepsi pernikahan diadakan, sudah
lazimnya demikian, bahkan juga kerap dijadikan tempat diadakan training, workshop, seminar, rapat, dan
keperluan lain sebagainya. Ketika izin usaha perhotelan diperoleh dan
dikantungi oleh pihak pengelola hotel, maka bukankah disaat bersamaan diberikan
pula “izin keramaian” selama hotel tersebut berdiri dan beroperasi atau setidaknya
selama izin perhotelan hotel tersebut masih berlaku?
Fakta berbicara lain, pengelola
hotel masih saja harus secara rutin mondar-mandir dan keluar-masuk kantor
polisi secara rutin untuk mengurus “izin keramaian” pihak mempelai yang hendak
menggelar hajatan di hotel tersebut. Praktik demikian menyerupai “narapidana”
tahanan kota atau tahanan rumah yang wajib secara rutin datang “melapor”.
Jadilah, apa yang disebut sebagai “ekonomi biaya tinggi” yang hanya
menggemukkan kantung dan pundi para aparatur “korup” di kantor kepolisian
selaku penerbit “izin keramaian”.
Keganjilan serta diskriminasi
paling utama, terjadi pada kantor Partai Politik, dimana hukum di Indonesia
perihal “izin keramian”, tidak mewajibkan pihak penanggung-jawab Partai Politik
untuk memohon maupun mendapatkan “izin keramaian” dari kepolisian setempat,
dimana tampaknya landasan berpikir yang melandasi aturan pengecualian demikian
ialah, bahwasannya kantor Partai Politik memang kerap menjadi tempat berkumpul
dan terjadinya keramaian. Namun, itu adalah “standar ganda” yang diskriminatif.
Baik hotel, gedung tempat diadakan event,
kampus, tidak terkecuali bidang usaha lain yang menghimpun pengunjung luas
seperti mall, pusat perbelanjaan, pusat belanja modern, memang secara hakekat
dan dasariahnya mengundang masyarakat umum serta publik untuk berkunjung dan
memadatinya. Bagi mereka, semakin ramai akan semakin baik, sehingga lewat
promosi dan iklan mereka berupaya untuk menciptakan “keramaian”.
Kegiatan-kegiatan sporadik
semisal launching buku yang diselenggarakan
oleh penerbit buku, bazaar, festival, bahkan juga “pasar malam”, kerap menjadi titik-titik
“keramaian” dimana para pengunjung dan pedagang saling berjejalan dan “menyemut”
(seperti semut). Bila kita tarik secara lebih melebar dan lebih jauh, bahkan
jalan umum hingga jalan raya pun merupakan “keramaian harian” dimana sifatnya
ramai oleh pejalan kaki yang berlalu-lalang maupun pengedara kendaraan bermotor
yang hilir-mudik bahkan tidak jarang terjadi kemacetan dan ketersendatan. Apakah
itu bukan sebentuk “keramaian”? Apakah keramaian demikian, dibutuhkan pula “izin
keramaian” pada setiap ruas jalan? Apa yang sudah lazimnya ramai, tidak
diperlukan “izin keramaian”—namun mengapa paradigma berpikir demikian, tidak
berlaku untuk bidang usaha seperti pengelola gedung perhotelan?
Bahkan gerai-gerai tertentu,
menjadi pusat “keramaian” akibat “panic
buying”. Pemilik gerai bersangkutan, tentu saja, akan merasa senang dan
bila perlu mengharap setiap hari gerai ataupun restorannya tidak pernah sepi
oleh pengunjung, selalu berjejalan oleh konsumen yang mengantri dari subuh dan “mengular”.
Belum lagi ketika kita menengok tempat seperti “rumah duka”, dimana para sanak
saudara almarhum maupun para pelayat datang dan pergi dengan demikian ramai dan
semaraknya, maka apalah bedanya dengan kegiatan seperti resepsi pernikahan di
hotel?
Jika resepsi pernikahan
dianggap menjadi pusat “keramaian” karena mengundang tamu undangan, karena itu setiap
pasangan mempelai diwajibkan mengantungi “izin keramaian” (sehingga semisal
dalam satu hotel dilangsungkan lebih dari satu kegiatan resepsi pernikahan
dalam hari yang sama di ruangan terpisah, maka masing-masing mempelai wajib
mengantungi “izin keramaian”, meski biasanya diurus oleh pengelola namun itu
tetap saja menjadi “cost” tersendiri
yang membebani pasangan yang mengadakan resepsi), maka mengapa pihak
sanak-saudara almarhum yang menempati bilik-bilik pada “rumah duka”, tidak
diwajibkan memohon dan memperoleh “izin keramaian” serupa?
Untuk apa juga, setiap harinya
memohon dan mengurus “izin keramaian”, bila itu memang menjadi kegiatan dan
kejadian sehari-harinya yang memang sudah lumrah dan lazim pada lokasi-lokasi dan
kegiatan-kegiatan usaha demikian? Pernah menjadi, atau mungkin kerap terjadi, sebuah
partai politik mengundang dan mengumpulkan kader-kadernya pada sebuah ruangan
di hotel untuk rapat. Meski kader yang hadir cukup banyak sehingga terjadi “keramaian”,
maka apakah pihak penanggung-jawab atau pihak penyewa unit ruangan pertemuan di
hotel tersebut diwajibkan pula mengantungi “izin keramaian”? Di hotel, bahkan
tergolong lebih aman dari gangguan meski tercipta “keramaian”, mengingat
pengelola hotel biasanya memiliki staf keamanan yang cukup memadai dari jumlah
personel dan SOP internal mereka. Pengunjung resepsi pernikahan mana pula, yang
datang dengan jas atau gaun sembari membawa alat-alat persenjataan untuk “tawuran
massal”?
Itulah ambigunya “izin keramaian”,
pada satu sisi menyatakan kantor Partai Politik tidak diwajibkan memiliki “izin
keramaian” ketika diselenggarakan rapat akbar para kader dan pimpinannya sekalipun,
bahwa adalah wajar bila kantor Partai Politik menjadi pusat “keramaian”, namun
mengapa ketika mereka menyewa unit ruangan pertemuan di hotel, sifatnya menjadi
kewajiban? Bukankah itu sebentuk “standar berganda”? Pusat “keramaian” yang
terjadi secara lazim di keseharian lainnya ialah puskesmas dan rumah sakit yang
tidak pernah sepi dari kunjungan para pasien dan keluarganya untuk berobat,
bahkan para pasien mengantri dan menunggu sejak subuh dini hari.
Sama halnya dengan kantor
lelang yang bisa jadi mengundang minat banyak peserta lelang, kebun binatang
selaku lokasi atau objek destinasi wisata banyak keluarga dan objek wisata
dalam maupun luar ruang lainnya, hingga museum yang meski lazimnya “sepi
pengunjung” namun terkadang datang rombongan para siswa sekolah dalam rangka “study tour”. Apakah kesemua itu, pihak
pengelolanya, wajib pula memohon serta mendapatkan “izin keramaian”, atau lebih
tepatnya mengantungi “izin keramaian” untuk setiap harinya mereka berkegiatan
dan beroperasi? Tampaknya rezim hukum perizinan demikian, hanya menguntungkan pihak-pihak
penerbit izin, yang mana tentunya sebagaimana kita ketahui, selalu terdapat
konsekuensi “pungutan liar” dibaliknya yang akan menjelma “ekonomi berbiaya
tinggi” yang membebani “end user”
pada muaranya.
Mungkin contoh lokasi yang
mengundang dan terbiasa menjadi pusat “keramaian” secara paling ekstrem ialah
pasar tradisional, pusat kuliner, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU),
stasiun kereta (terutama pada jam masuk dan pulang kerja para pekerja kantoran),
terminal angkutan umum, pusat grosir, pasar induk, dimana keramaian menjadi hal
lumrah serta budaya pada lokasi tempat-tempat tersebut, yang mana bila kegiatannya
secara dasariah atau nature-nya ialah
memang menjadi pusat “keramaian” dan mengundang publik umum secara meluas untuk
datang berkunjung dan berkumpul, menjadi absurd bilamana pihak otoritas
kepolisian setempat masih juga mensyaratkan pihak pengelolanya untuk memohon
dan mengantungi “izin keramaian” untuk setiap harinya.
Tentu saja, pihak kepolisian
akan dengan senang hati mewajibkan masyarakat dan pelaku usaha untuk memohon
dan mengantungi “izin keramaian”, mengingat perizinan merupakan objek pungutan
liar dimana para pemohon dijadikan “sapi perahan” yang berbuntut pada “ekonomi berbiaya
tinggi” dimana pula pada muaranya ialah harga yang harus dibayar masyarakat selaku
konsumen menjadi terdongkrak tinggi pula. Maka, apalah bedanya aparatur
kepolisian di Republik Indonesia dengan para preman, yang kerap memungut “iuran
liar” dari para pedagang dan para pelapak di pasar-pasar tradisional, dengan
alasan “uang keamanan” (pemerasan terselubung)?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.