LEGAL OPINION
Norma Hukum Sifatnya (memang) Wajib, Imperatif dan
Preskriptif, bukan Fakultatif ataupun Tentatif
Question: Kalau di suatu undang-undang, ada pasal yang tidak sebut kata “wajib”, maka apa artinya tidak wajib diikuti dan tidak wajib pula untuk dijatuhi sanksi (hukuman) bagi yang melanggar?
Brief Answer: Norma hukum, baik rezim perizinan, rezim
perdata, rezim pidana, rezim tata usaha negara, dan lain sebagainya, secara
dasariahnya bersifat “kewajiban” serta mengikat, kecuali dinyatakan sebaliknya sebagai
suatu “kebolehan”. Kewajiban disini bermakna kepatuhan yang dituntut dari setiap
warganegara tanpa terkecuali, selaku subjek hukum perorangan maupun subjek
hukum badan hukum, untuk wajib mengikuti perintah serta tunduk pada aturan
mengenai larangan yang telah digariskan dalam “koridor hukum”—batasan kebebasan
yang dilimitasi sifat ruang gerak bebasnya, oleh hukum yang diterbitkan
otoritas negara.
PEMBAHASAN:
Sehingga, sekalipun suatu pasal
peraturan perundang-undangan tidak secara eksplisit atau tidak secara tersurat
menyatakan sebagai “berwajib” atau “wajib” untuk tunduk, patuh, dan
mengindahkannya, maka sanksi (bersifat laten) tetap saja dapat diberikan baik
berupa penjatuhan hukuman denda, hukuman badan, hukuman administrasi, hingga
tidak diprosesnya permohonan seorang warga semisal karena adanya persyaratan yang
tidak terpenuhi. Karenanya, ancaman berupa “punishment”
selalu menyertai setiap bentuk pelanggaran terhadap norma peraturan
perundang-undangan—terlepas dari fakta “de
facto” banyaknya pasal peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak
efektif dalam pemberlakuannya di masyarakat akibat faktor penegakan hukum yang “separuh
hati” maupun “tebang pilih”.
Singkat kata, norma hukum secara
dasariahnya (nature-nya) memang
bersifat wajib, imperatif-perskriptif adanya, bukan fakulatif keberlakuan
normanya layaknya norma sosial lain diluar hukum yang “boleh dijalankan namun
boleh juga tidak dijalankan”. JIka tidak dimaknai demikian, maka semua pasal dalam
peraturan perundang-undangan yang tidak secara tegas dan tidak secara eksplisit
mencantumkan frasa “wajib”, artinya menjadi sebentuk “kebolehan” untuk
disimpangi? Tentu paradigma demikian hanya akan melahirkan “moral hazard”, dimana menjadi pintu
masuk bagi praktik “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”.
Jangankan orang awam hukum,
para praktisi dan Sarjana Hukum sekalipun kerap bersikap ambigu terhadap
pemahaman mereka mengenai keberlakuan “norma hukum” yang dibiaskan sebagai “norma
sosial” lainnya. Sebagai contoh, cobalah menyimak norma hukum dalam Pasal 109
Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : “dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum.”
Terdapat sebagian kalangan
(yang ironisnya berlatar belakang profesi hukum) menilai bahwa ketentuan dalam pasal
di atas terkesan hanya merupakan imbauan kepada penyidik di Kepolisian untuk
memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada lembaga Kejaksaan, sehingga
tidak memiliki “kepastian hukum” dalam tataran praktiknya yang “ambigu”. Diperkeruh
pula oleh fakta di lapangan, dalam tidak sedikit kasus, pihak penyidik Kepolisian
baru menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada lembaga
Kejaksaan setelah pihak penyidik merasa betul-betul yakin bahwa perkara
bersangkutan akan dinaikkan atau diproses ke tahap pelimpahan berkas perkara
kepada Penuntut Umum di Kejaksaan. Disebutkan, praktik ambigu demikian dinilai merugikan
pihak korban pelapor bahkan tersangka itu sendiri, atas ketidakjelasan nasib
mereka.
Hal itu pula yang
melatarbelakangi diajukannya uji materiil (judicial
review) terhadap ketentuan dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP ke hadapan
Mahkamah Konstitusi RI (MK RI). Dalam putusannya, MK RI telah ternyata telah turut
bersifat ambigu, dengan mengabulkan permohonan pihak Pemohon Uji Materiil
sebagaimana putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 dengan amar menyatakan:
“Pasal 109 ayat (1) KUHAP
bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak
dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan
kepada penuntut umum, terlapor, dan korban / pelapor dalam waktu paling lambat
7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.”
Jika kita konsisten terhadap
paradigma berpikir di atas, maka kita pun patut bertanya, apa sanksinya bila
lembaga penegak hukum tidak patuh terhadap putusan MK RI, mengingat MK RI tidak
membuat amar putusan penyerta yang berbunyi : “Lembaga penegak hukum Kepolisian
wajib patuh terhadap amar putusan MK RI ini.” Beragam putusan MK RI,
secara “de facto” tidak diindahkan
oleh lembaga penegak hukum lainnya, semisal Mahkamah Agung RI yang berpendirian
bahwa putusan MK RI (hanyalah) bersifat “law
in abstracto” sementara itu putusan Mahkamah Agung RI besifat “law in concreto” (karenanya putusan MK
RI boleh dan dapat dibenarkan untuk tidak dipatuhi dan tidak diindahkan).
Terhadap komentar para pengamat
hukum terhadap putusan MK RI diatas : “Lahirnya
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya telah memberikan kepastian hukum
kepada pencari keadilan, bahwa penyampaian SPDP kepada penuntut umum dalah
bersifat wajib, dan harus segera dilakukan”; penulis memiliki pandangan
sebaliknya, dimana justru putusan MK RI membawa blunder yang tidak diperlukan
disamping memperkeruh keadaan yang sudah keruh, karena warga yang “nakal”
dengan itu dapat semudah berkelit bahwa semua pasal peraturan
perundang-undangan, tidak terkecuali pasal-pasal dalam KUHP maupun KUHAP, yang
tidak mencantumkan frasa “wajib”, sama artinya boleh disimpangi, tidak
diindahkan, dan tanpa bersanksi bila tidak diikuti, jika perlu “dikangkangi”—yang
pada gilirannya akan berdampak pada runtuhnya wibawa dan reputasi penegakan hukum
di mata warga sehingga kepatuhan dan penegakan hukum menjadi ambigu serta tidak
efektif.
Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (SPDP) yang tidak lekas secara segera disampaikan oleh penyidik
Kepolisian kepada lembaga Kejaksaan, adalah semata faktor masalah implementasi norma,
bukan masalah substansi norma hukum itu sendiri—dimana sudah jelas “norma hukum”
adalah berbeda karakter terhadap “norma sosial”, mengingat sifat keberlakuan “norma
hukum” ialah imperatif serta preskriptif, tanpa harus mencantumkan frasa “wajib”
sekalipun namun tetap perlu ditafsirkan sebagai “kewajiban yang melekat” (laten
sifatnya), sehingga setiap warganegara sudah seharusnya (“ought to” atau “should to”)
tunduk dan patuh terhadap norma-norma hukum, apapun realitanya di lapangan selama
ini (“is”, “das sein” sebagai antinomi dari “das sollen”).
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.