ARTIKEL HUKUM
Bangsa dengan Standar Moralitas “Buat Dosa, SIAPA TAKUT?”
Dari Pelaku yang Takut Menyakiti Korban, menjelma
Korban yang lebih Takut Disakiti Pelaku, Putar-Balik Logika Moril, Degradasi
“Standar Moralitas” Umat Manusia, Beradab menjelma Biadab
Be realistic, mungkin itu terdengar klise, namun kita tampaknya memang dipaksa harus (suka maupun tidak suka) bersikap realistik ketika hidup ditengah-tengah bangsa yang irasional, dimana “standar moralitas” warganya terbolak-balik—dari takut berbuat dosa, menjelma menjadi paradigma “korup” semacam “merugi menjadi korban, lebih untung menjadi pelaku kejahatan yang melukai, merugikan, ataupun menyakiti orang lain”, semata agar tidak mubazir iming-iming janji surgawi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Ketika bertempat tinggal dan hidup ditengah-tengah bangsa yang irasional, maka pendekatan irasional yang lebih banyak mewarnai kehidupan sosial para masyarakatnya.
Secara pribadi, sebagai seorang
pembelajar yang berlatih jalan Buddhisme, paradigma berpikir yang tertanam erat
pada benak penulis ialah “lebih takut melukai orang lain daripada dilukai oleh
orang lain”, alias “lebih takut berbuat jahat daripada diperlakukan jahat oleh
orang lain”. Karenanya, para siswa Sang Buddha betul-betul mewaspadai perilaku
dan tindak-tanduknya sendiri daripada lebih banyak menyawasi perilaku dan tindak-tanduk
orang lain, penuh pengendalian diri, dan tidak melukai, merugikan, ataupun
menyakiti pihak lainnya, menjadi seorang “ahimsa”.
Merasa malu (hiri) dan takut (ottapa) berbuat jahat, dimana perbuatan
baik artinya tidak merugikan orang lain juga tidak merugikan diri kita sendiri.
Sebagai salah seorang Buddhis,
tentu juga penulis mempelajari ajaran Sang Buddha yang menyatakan bahwa, yang
disebut sebagai “pandangan yang tidak benar” ialah ketika diri yang
bersangkutan tidak meyakini adanya Hukum Karma maupun kelahiran kembali.
Artinya, “pandangan yang benar” ialah meyakini adanya Hukum Karma atas suatu
perbuatan (hukum sebab dan akibat) serta tumimbal-lahir dimana buah Karma akan
kita warisi dan kita petik sendiri, dimana juga kita terlahir dari Karma kita
sendiri serta berhubungan dengan Karma kita sendiri. “Karma” itu sendiri,
bermakna “perbuatan”, yang karenanya membawa konsekuensi berupa akibat atau
buah dari perbuatan kita. Berani berbuat, (harus) berani bertanggung-jawab atau
menerima konsekuensinya.
Dengan memakai paradigma
berpikir tentang Hukum Karma, maka pola berpikir yang terbentuk dalam benak
penulis ialah bahwa, tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini,
baik hidup kita sendiri maupun hidup orang lain. Namun, fakta realitanya, idealisme
dalam ajaran Sang Buddha tampak berbenturan dengan kenyataan realita lapangan
sepanjang penulis lahir serta tumbuh dewasa hampir separuh abad lamanya di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, dimana budaya masyarakatnya belumlah sehat
dan praktik hidup mereka jauh dari kata takut berbuat dosa—meski mengakui
dirinya sebagai “agamais” serta rajin beribadah kepada versi Tuhan yang mereka
sembah. Jalan Buddhisme, sungguh jalan yang “melawan arus mainstream”, dimana tidak semua orang sanggup menjalaninya, dan
itulah tantangan terbesarnya.
Kejadian sederhana di
keseharian berikut, seketika memberikan penulis sebuah “insight” mendalam, tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan
“kegilaan” yang terjadi di tengah masyarakat kita. Pada suatu pagi di ruas
jalan perumahan tidak jauh dari kediaman penulis, seorang pengendara kendaraan
bermotor roda dua mengklaksoni setiap pejalan kaki yang dijumpai olehnya di
jalan (milik) umum, termasuk mengklaksoni penulis yang juga merupakan salah
seorang pejalan kaki, seolah-olah jalan umum tersebut adalah miliknya, dimana
semua pejalan kaki harus menyingkir dari jalannya meski jalan umum tersebut
cukup lebar. Seolah-olah, berlaku aturan tidak tertulis (hukum rimba), bahwa
pejalan kaki adalah kasta yang lebih rendah dari para pengendara kendaraan
bermotor karenanya pejalan kaki yang harus memberi jalan kepada pengendara
bermotor yang melintas.
Jadilah penulis harus membuang
waktu menepi di pinggir jalan yang aman, dan menunggu sang pengendara melintas.
Pejalan kaki di depan pun diperlakukan serupa oleh sang pengedara yang
semestinya bersikap penuh kesabaran dan hormat terhadap pejalan kaki—jika sang
pengendara itu “jantan”, berjalan kakilah, jangan “manja” dengan memakai
kendaraan bermotor. Kalau berani, jalan kaki, jangan pakai kendaraan bermotor. Power tends to corrupt. Baru memiliki
kendaraan bermotor, sudah “korup” perilakunya, merampas hak-hak pejalan kaki
atas jalan umum. Maka bagaimana bila yang bersangkutan diberikan kekuatan lebih
besar, semisal “tank” lapis baja?
Kejadian semacam itu, bahkan
yang lebih ekstrem lagi, seperti ditabrak oleh pengendara bermotor, pengendara
yang melawan arus, dan segala perilaku tidak beradab lainnya (bukan lagi tidak
etis), masif dapat kita alami ataupun jumpai di Kota Jakarta, yang notabene mayoritas
warganya telah cukup berpendidikan serta “agamais”. Mengapa harus kami, yang
justru merasa takut dilukai dan disakiti oleh sesama warga lainnya di Indonesia
ini? Bahkan penulis beberapa kali harus segera menepi di atas jembatan
pengeberangan orang, ketika pengendara bermotor mengebut di atas jembatan
penyeberangan orang (merampas hak pejalan kaki), dimana bila tidak maka akan
ditabrak oleh “kuda besi” yang dikendarai sang pengendara—terlebih trotoar,
aksi pengendara hendak “menyerukkan” banteng besi yang mereka kendarai terjadi
di atas jembatan penyeberangan orang yang mana bukan sekali atau dua kali
penulis alami sebagai calon korbannya bila tidak sigap menghindar.
Sesaat setelahnya, timbul sebersit
pikiran analitis yang menggelitik dalam benak penulis, mengapa harus kami, para
pejalan kaki, yang (justru) harus merasa takut disakiti ketimbang para
pengendara tersebut atas perbuatannya bila sampai menyakiti ataupun merugikan
pejalan kaki maupun pengguna jalan lainnya? Mengapa harus kita, yang justru
harus merasa takut disakiti, bukan sang pelaku kejahatan? Pertanyaan analitik
demikian, pada mulanya tampak bertolak-belakang dengan latar-belakang keagamaan
yang penulis anut, yakni Buddhisme, yang terkesan “tidak membumi” untuk konteks
hidup sebagai warga di Indonesia—jauh panggang dari api, mengutip pepatah.
Buddhisme, tampak begitu
beradab untuk diterapkan ditengah masyarakat yang belum beradab semacam
masyarakat Indonesia yang ironisnya dikenal sebagai bangsa “agamais”. Butuh
beberapa waktu bagi penulis untuk mencerna kejadian demikian, dan untuk
menemukan alasan irasional dibaliknya—adalah percuma serta membuang waktu, bila
kita terobsesi untuk mencari alasan rasional dibalik kejadian-kejadian
irasional masyarakat kita, obsesi yang delusif. Manusia Indonesia, adalah
“makhluk yang irasional” dimana yang berlaku ialah “akal sakit milik orang
sakit”, dimana akal sehat tidak dimungkinkan untuk menjelaskan apa yang memang tidak
logis.
Secara mendadak muncul secercah
jawaban, jawaban yang sebetulnya klise dan sudah lama kita ketahui, namun belum
penulis pahami sepenuhnya sampai sejauh apa dampaknya. Alasan irasional dibalik
kejadian calon korban yang harus merasa takut dan waspada agar tidak menjadi
dan tidak dijadikan korban oleh warga lainnya ialah, semata karena masyarakat
kita dikenal oleh sikap dan sifatnya yang tidak bertanggung-jawab, jauh
dari sikap penuh tanggung-jawab. Mereka, akan lebih sibuk berkelit, “maling
teriak maling”, bahkan masih pula mendiskredit korban yang telah tersakiti dan
terluka dengan menyuruh korban untuk bungkam bak mayat yang hanya dapat
terbujur kaku ketika disakiti dengan pelecehan verbal “tidak sopan” seolah
perilakunya yang telah menyakiti, merugikan, ataupun melukai sang korban adalah
telah “sopan” adanya.
Alasan irasional kedua, yang
lebih mengejutkan dan lebih menakutkan ialah, versi Tuhan yang masyarakat
Indonesia sembah dan peluk-yakini ialah versi Tuhan yang (justru) PRO terhadap
pendosa yang berdosa dan berlumuran dosa dalam kubangan dosa, dengan menghapus
dosa-dosa para pendosa tersebut, dan disaat bersamaan turut pula membungkam
para korban yang tidak berdaya, bahkan suara, jerita, dan aspirasinya tidak
diakomodasi. Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan ideologi “korup” penuh
kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Sudah terhitung lagi banyaknya
kejadian dan pengalaman pribadi, maupun pengalaman warga lain, menjadi korban
dan dikorbankan oleh sesama warga di Indonesia, bukan oleh bangsa asing, namun
hampir tiada satupun dari mereka yang dengan sigap serta siap untuk tampil
bertanggung-jawab atas perbuatannya baik yang disengaja ataupun akibat
kelalaian, yang telah melukai, merugikan, ataupun menyakiti sesama warga
lainnya. Selama ini, bangsa kita sibuk mengutuk dan menyumpahi bangsa lain jika
tidak Yahudi, Barat, Cina, dan sebagainya—ibarat gajah di depan mata tidak tampak,
namun semut di seberang lautan ditunjuk-tunjuk. Seolah, dengan menghardik
bangsa lain, maka bopeng wajah sendiri akan tampak lebih indah.
Maka, sebagai konsekuensi logis
yang mengerak dan terbudayakan, timbul suatu kesadaran kolektif bangsa kita,
bahwa adalah lebih menakutkan menjadi korban alih-alih menjadi pelaku yang
menyakiti dan merugikan sang korban. Menjadi korban, adalah “merugi”. Menjadi
pelaku kejahatan, adalah “menguntungkan” oleh sebab korban yang harus merasa
takut mengingat sang pelaku jelas-jelas tidak akan bertanggung-jawab dan
menolak dimintakan pertanggung-jawaban, jika perlu lebih sibuk berkelit
sedemikian atau bahkan juga secara lebih jahat lagi yakni putar-balik fakta
lewat manipulasi verbal, seolah-olah “dari korban (diposisikan) menjadi pelaku”,
dimana suara jeritan korban turut dibungkam lewat kekerasan fisik oleh
pelakunya sekalipun menjerit adalah “hak asasi korban”. Mengapa juga, calon
korban yang harus mengemis-ngemis dan memohon-mohon agar tidak disakiti, tidak
dirugikan, dan tidak dilukai oleh para pengancam tersebut?
Korban, bahkan harus
mengemis-ngemis apa yang memang menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajiban
dari sang pelaku, itu pun tiada jaminan sang pelaku akan bertanggung-jawab
secara berbesar jiwa dan berdasarkan kesadaran pribadi. Wajah agama-agama
samawi besar di republik ini, sangat jauh dari kesan sikap seorang ksatria
terlebih suciwan. Agama para ksatria, Agama Ksatria, ialah bertanggung-jawab
dan penuh tanggung-jawab, sehingga sekalipun seorang ksatria telah pernah
berbuat keliru dan salah, mereka akan tampil dan hadir untuk bertanggung-jawab,
tanpa perlu dimintakan pertanggung-jawaban oleh sang korban sekalipun, juga
tanpa berkelit sekecil apapun. Seorang suciwan, terlebih dari itu, tidak pernah
membutuhkan iming-iming “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”, mereka murni akibat latihan praktik pengendalian dan mawas
diri.
Kesadaran irasional secara
kolektif itulah, yang kini menjadi “Hukum Rimba Jalanan”, dimana karena bangsa
“agamais” kita tidak takut dan juga tidak malu berbuat jahat, maka dari itu
masyarakat kita di Indonesia gemar menampilkan wajah sampingannya, yakni “menyelesaikan
segala sesuatu dengan cara kekerasan fisik”. Alhasil, korban yang sekadar
menegur, terlebih menjerit, respons dari sang pelaku ialah sebagaimana juga
budaya tidak sehat berupa : lebih galak yang ditegur, ketimbang korban yang
menegur. Ancamannya, sudah jelas, akan dijadikan korban untuk kedua kalinya,
yakni kini berupa kekerasan fisik. Itu baru sekadar menegur, bagaimana respons
para penjahat / pendosa tersebut ketika korban menjerit, atau bahkan menagih
tanggung-jawab? Mereka akan menjawab, secara pragmatis dan enteng, bahwa Tuhan
mereka saja lebih PRO dan menganak-emaskan mereka, para pendosa tersebut, dan
tidak pernah sekalipun tempat ibadah ataupun ayat-ayat Kitab mereka
menyebut-nyebut perihal keadilan bagi korban.
Cobalah Anda perhatikan, setiap
kali pemuka “agama samawi” berceramah, baik ceramah mingguan, ceramah hari
raya, maupun ceramah sporadik di tempat ibadah yang diperdengarkan bukan hanya
kepada umat mereka, namun kepada warga setempat sejauh radius beberapa
kilometer lewat speaker pengeras suara eksternal yang membahana yang bahkan
mampu menerobos masuk ke dalam toilet berjamban, tanpa rasa malu, secara vulgar
dan seronok, doa-doa yang pada pokoknya mengharap, memohon, serta meminta agar
dosa-dosa mereka dihapus, dosa-dosa di masa lampau maupun dosa-dosa di masa
yang akan datang.
Belum cukup sampai di situ,
ketika seorang umat “agama samawi” meninggal dunia, inilah isi doa
sanak-keluarga yang ditinggalkan oleh sang almarhum, “Semoga dosa-dosa almarhum diampuni dan dihapus oleh Tuhan”—tidak
ada satu kalipun atau satu ayat pun yang pernah terlontar keluar mulut pemuka
agama ataupun umat mereka, sebentuk kecil kepedulian ataupun perhatian terhadap
nasib dan hak-hak para korban perbuatan mereka selama ini. korban, adalah “aib”
di mata mereka, karenanya perlu dibungkam ketika korban menjerit lantang penuh
kesakitan—para pelakunya ingin tampak suci di mata dirinya sendiri dan di mata
publik, meski dengan cara membungkam mulut korban sehingga tidak korban yang
berani mengajukan protes ataupun keberatan.
Ingat, postulat utamanya ialah
: hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Anda pun dapat menghitung dengan
telinga Anda sendiri, berapa kali kata-kata yang memohon “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” terlontar keluar dari mulut sang
penceramah dalam satu kali berceramah dalam satu hari, dan kalikan dengan berapa
tahun ia telah memohon harapan “korup” semacam itu untuk seumur hidupnya, yang
artinya pula telah berapa banyak dosa-dosa yang telah mereka produksi secara demikian
produktifnya dalam keseharian dan seumur hidup mereka sebagai seorang manusia?
Budaya ketidak-adilan (ketidak-adilan
bahkan menjadi budaya bangsa kita, Indonesia) telah mewarnai kehidupan penulis,
bahkan sejak usia sangat dini seperti kehidupan di Sekolah Dasar. Seorang siswa
lain, menghajar wajah penulis dan mengenai kacamata yang penulis kenakan. Alih-alih
jera karena penulis tegur, untuk ketiga kalinya anak sesama teman sekelas
tersebut menghajar wajah penulis sehingga kacamata yang penulis kenakan menjadi
rusak—alhasil penulis merugi biaya yang tidak kecil untuk membeli kacamata baru
serta merugi waktu dan tidak bisa belajar di kelas maupun di rumah karena tidak
dapat melihat dengan baik, namun terlebih rugi bila penulis tidak mengenakan
kacamata saat wajah penulis terkena hantaman karena sepasang mata penulis
terancam kebutaan.
Kecil-kecil bermainnya sudah
kekerasan fisik, jika sudah besar (saat kini) mungkin dirinya tidak akan heran
bila menjelma mafia. Ketika penulis murka dan marah-marah di depan kediaman
sang anak, sebagai respons-nya ibu dari sang anak lebih beringas dari penulis
yang saat itu masih seorang bocah, alih-alih bertanggung-jawab atas perbuatan
anaknya, bahkan masih pula melaporkan penulis (korban) kepada guru di sekolah
pada keesokan paginya. Sang ibu telah mendidik putranya menjadi calon mafia
cilik, dengan sikap yang tidak bertanggung-jawab, tidak mengherankan bila
putranya bak bocah mafia.
Kejadian demikian bukanlah oknum,
ketika penulis memasuki Sekolah Menengah, berkuliah di Universitas, hingga
berkarir sebagai seorang pekerja dan menjadi bagian dari masyarakat dewasa di
lingkungan komunitas, sudah tidak terhitung kejadian serupa, namun tidak
satupun kacamata yang penulis kenakan dan mereka rusak diganti-rugi ataupun bentuk-bentuk
tanggung-jawab kecil sekalipun. Mereka semua, sibuk mencari alibi “putar-balik fakta”,
lebih ganas daripada korban, sigap dalam bersilat lidah, mencari alasan
pembenar, jika perlu mencari-cari dan membuat-membuat alasan, berkelit, dan
masih pula berupaya membungkam korban yang bersuara menuntut keadilan.
Ada apa dengan bangsa yang “sakit”
mentalnya sejak lama ini? Pelakunya demikian masif, mulai dari kanak-kanak hingga
orang dewasa maupun mereka yang mengenakan atribut busana keagamaan, rajin
beribadah, etnik apapun itu. Namun yang pasti, ada satu pola yang identik antar
pelakunya, mereka semua adalah pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa” yang telah meracuni pikiran dan mentalitas mereka.
Apapun itu peristiwa yang tidak etis, tidak adil, tidak manusiawi, tidak
humanis, tidak beradah, bila kita tarik dan usut hingga ke akar penyebabnya,
yang kita jumpai ialah ideologi yang tertanam di dalam alam sadar maupun alam
bawah sadar sang pelakunya, berupa ideologi “korup” bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Telah ternyata pula, bukan penulis
seorang selaku warga yang telah pernah—lebih tepatnya “telah sering” alias “kerap”—disakiti,
dirugikan, dan tidak terkecuali disakiti oleh sesama warga lainnya. Beberapa
tahun lampau, terdapat seorang warga di dekat lingkungan pemukiman penulis,
ditabrak oleh motor yang dikendari oleh seorang ibu penjual sayur. Sang korban,
mengalami patah kaki. Sang korban dan keluarganya mencoba menuntut
tanggung-jawab dari sang ibu penjual sayur yang mengebut saat mengendarai kendaraan
bermotornya, setidaknya berupa biaya berobat. Apa yang kemudian terjadi,
sungguh dapat kita terka, suami dari sang ibu penjual sayur marah-marah dan
justru memarahi sang korban maupun keluarga sang korban. Pola serupa selalu
berulang oleh pelaku kejahatan manapun, sehingga telah terbentuk kesadaran
kolektif : “percuma minta tanggung jawab ke pelaku kejahatan di Indonesia, korban
akan dibungkam dengan kembali menjadi korban berupa kekerasan fisik. Lebih takut
jadi korban, daripada takut menjadi pelaku kejahatan yang menyakiti warga
lainnya”.
Seolah belum cukup, korban yang
menjerit (protes, keberatan, kesakitan, dsb) justru pula dianiaya untuk
dibungkam seperti kejadian yang sudah-sudah yang kerap penulis alami sendiri,
dan tidak terhitung lagi jumlahnya. Pelakunya, sesama anak bangsa, etnik
pribumi maupun etnik tionghua. Pada akhirnya, memang tampaknya hanya Hukum Karma
yang bisa menghentikan kejahatan mereka, agar orang-orang baik tidak “punah”
dari muka bumi Indonesia. Jika Tuhan saja lebih PRO terhadap pendosa, maka korban
yang menjerit tidak heran bila disebut dan dihakimi pula oleh masyarakat kita
sebagai “sudah gila”, “tidak sopan”, dan lain sebagainya—sudah menjai korban,
masih pula menjadi korban “verbal
bullying”.
Itulah, cerminan kemunafikan
terbesar bangsa bernama Indonesia ini, mereka sudah buat jahat, ingin tetap
dipandang oleh orang lain dan dirinya sendiri sebagai orang “suciwan”. Mereka
antusias beribadah setiap hari ataupun setiap pekannya, semata demi iming-iming
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Maka dari itu, bila
ada korban mereka yang protes dan menjerit, akan seketika dibungkam oleh budaya
“menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”—pola yang sama selalu
berulang dan terjadi bahkan sejak penulis masih seorang bocah, yang artinya
memang itulah kultur bangsa kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.