ARTIKEL HUKUM
Mencari-Cari & Membuat-Buat Alasan, Pembenaran,
dan Alibi, Bukanlah Hal Sukar di Mata Hakim Pengadilan
Siapa Bilang menjadi seorang Hakim adalah Profesi yang
Sulit dan Penuh Dilema? Hakim Bebas Memutus, tidak Terikat Apapun, termasuk
Bebas Menyimpangi Hukum dan Moralitas
Bukan baru satu atau dua kali banyaknya, penulis menjumpai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang substansi pertimbangan hukum maupun amar putusannya justru berkebalikan dari kata “agung”—alias “tercela” penuh “cela”, tidak agung, tercemar, bopeng dan memiliki “borok”. Dari pengamatan pribadi penulis selaku Konsultan Hukum terhadap ribuan putusan Mahkamah Agung RI maupun dari berbagai kasus konkret yang dihadapi klien pengguna jasa konseling seputar hukum satu dasawarsa terakhir, memang tidak jarang akan kita jumpai putusan-putusan Kasasi maupun Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI yang seolah para Hakim Agung yang memeriksa dan memutus perkara, tidak memiliki nalar ataupun nurani, sama sekali—yang mana ironisnya, mereka memutus bukan atas nama pribadi, namun memutus atas nama lembaga Mahkamah Agung RI serta membawa-bawa nama Tuhan dalam putusannya.
Memang, tidaklah salah
sepenuhnya ketika para Hakim Agung yang sudah terlampau “pikun” dan matanya
sudah “kabur” akibat “lanjut usia” tersebut mengatas-namakan Tuhan sebagai
penyebab “biang keladi”-nya saat memutus perkara, mengingat adagium yang kerap
didengung-dengungkan oleh pemuka agama : segala sesuatu terjadi atas kehendak
dan atas seizin, serta atas kuasa dan rencana Tuhan. Namun itu menjadi
menyerupai seseorang umat manusia yang menjadikan Tuhan seolah sebagai mainan
yang dikantungkan di dalam kantung saku baju, dan akan ditampilkan saat sewaktu-waktu
dibutuhkan menjadi alibi “alasan pembenar”—sama seperti ketika terjadi bencana
alam gunung meletus, gempa bumi, tsunami, topan badai, kesemuanya adalah
alamiah saja sifatnya, alias “by nature”,
namun lagi-lagi nama Tuhan yang dikambing-hitamkan dan yang ditunjuk-tunjuk
sebagai “biang kerok”-nya.
Bahkan istilah dalam Bahasa
Inggris lebih melecehkan reputasi Tuhan, “the
act of God” sebagai terjemahan untuk
istilah bencana alam. Itu sama “gila”-nya ketika kita hendak juga berkata bahwa
Tuhan adalah sosok yang “kurang kerjaan”, dimana bahkan berapa jumlah helai
daun yang akan gugur di seluruh hutan pada hari ini pun harus diatur oleh Tuhan
yang tidak boleh tertidur barang sejenak agar “langit tidak runtuh”, sampai
kepada rincian jatuh menghadap ke arah mana, pada pukul berapa, pohon yang
mana, dengan warna apa, jatuh menelungkup ataukah sebaliknya, dan tetek-bengek
sebagainya—sosok yang kalah jauh canggihnya dengan para programmer yang dapat
menciptakan robot maupun program agar segala sesuatu dapat berjalan secara
“otomatisasi” dan “auto pilot”, sekalipun alam semesta telah mengenal
hukum-hukum yang mengatur jagat raya dan kosmik semacam hukum alam dan hukum
karma tanpa terkecuali sehingga Tuhan tidak lagi perlu terlibat langsung maupun
mengintervensi lewat “invisible hand”-Nya
(paham Agnotisme, dimana Tuhan boleh dan dipersilahkan tidur atau bahkan
pensiun sekalipun, tidak lagi campur tangan setelah proses pembentukan dan
penciptaan alam semesta beserta segala hukum yang mengatur dinamikanya, dimana
Bumi akan tetap berputar pada porosnya dan matahari pun masih akan terbit pada
waktunya).
Tuhan, adalah nama yang paling
sering disebut-sebut sekaligus yang paling sering disalahgunakan oleh umat
manusia untuk melegitimasi perbuatan tercela maupun cara berpikir irasional dan
delusi diri lainnya—bahkan juga sebagai nama yang paling kerap dieksploitasi
dalam rangka tujuan ekonomi pribadi sang pencatut nama (dijadikan ladang
bisnis, di-bisnis-kan). Bahkan, banyak diantara para umat manusia yang mengaku
sebagai “hamba” Tuhan, mencoba memuja-muji Tuhan, yang mana sejatinya puja-puji
tersebut justru menista keagunan sosok Tuhan, sehingga mau tidak mau citra dan
kemurnian Tuhan tercemarkan menjadi seolah-olah menyerupai sesosok
personifikasi Raja yang lalim, yang gila kuasa, akan senang dan memberi hadiah
nikmat ketika disanjung, disembah-sujud, dipuja-puji, namun akan pamer kuasa
dan memberi derita bila rakyatnya tidak menjadikan dirinya “budak penjilat”.
Memuliakan Tuhan, ialah dengan menjadi manusia yang mulia, bukan dengan menjadi
seorang “penjilat” yang penuh dosa. Bagaimana mungkin, yang tercemar dan
pendosa hendak bersatu dengan yang murni dan suci serta agung?
Salah satu lembaga yang kerap
menyalah-gunakan nama Tuhan, tidak terkecuali ialah lembaga sekaliber Mahkamah
Agung RI, dimana bahkan suara Tuhan pun dapat didiktekan oleh para Hakim Agung
seolah-olah itu memang menjadi kehendak dan suara Tuhan dalam membuat keputusan
terhadap para pihak yang saling bersengketa gugat-menggugat di pengadilan
ataupun terhadap upaya hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun
seorang Terdakwa. Banyak kalangan menyatakan, berprofesi sebagai seorang hakim
adalah tugas berat. Faktanya, pertimbangan hukum begitu mudahnya dipelintir,
seolah-olah masyarakat pencari keadilan maupun publik adalah sebodoh itu untuk
dibodohi—sungguh tidak mendidik, dan tidak mengherankan bila masyarakat kita
menjadi “bodoh” karena kerap “dibodohi” para penguasa pembuat keputusan maupun
pembuat putusan.
Sebagai contoh, pada tahun 2021,
seorang pelaku tindak pidana kolusi bernama Edhy Prabowo, yang terbukti
melakukan kolusi sesaat baru menjabat sebagai Menteri Kelautan Republik
Indonesia, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum dengan menilai bahwa saat
sang Terpidana menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Edhy Prabowo
sudah “bekerja dengan baik dan telah
memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan”—sekalipun
faktanya, umur jabatan sang Kolutor baru “seumur jagung”, dan lebih banyak bersenang-senang
menikmati uang kotor hasil kolusi ketimbang mengabdi dan berkorban bagi rakyat sebagaimana
amanat jabatan seorang menteri.
Mahkamah Agung Ri, dengan
demikian, memutuskan untuk memangkas vonis hukuman pidana penjara sang Menteri
Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, menjadi 5 tahun penjara, dari yang
sebelumnya 9 tahun penjara. Se-gila apapun putusan demikian, bahkan Tuhan pun
seolah “bungkam seribu satu bahasa”, dan publik pun tidak berdaya menghadapinya
sekalipun jelas kita keberatan. Ketika bebas dari masa hukuman, dapat dipastikan
sang kolutor masih hidup senang menikmati uang kotor hasil penyalahgunaan
kekuasaannya saat menjabat sebagai seorang menteri. Ketika ajal tiba, Tuhan pun
tidak berdaya ketika hendak menjatuhkan sang menteri ke alam neraka, sang
kolutor berkelit dan berdalih : “Saya
sudah pernah dihukum di dunia manusia, dipenjara, berarti segala dosa saya
sudah lunas dan impas tanpa sisa, karena sudah saya jalani masa hukuman saya! Terlagi
pula saya soleh, karena rajin beribadah, dan Tuhan telah menjanjikan
pengampunan / penghapusan dosa, sehingga RUGI bila tidak berbuat dosa semasa
hidup!”
Alhasil, “Memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta mengenai pidana yang dilakukan kepada terdakwa dan lamanya
pidana tambahan. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara
selama 5 tahun dengan pidana denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan bila
denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” demikianlah
“Tuhan” sudah “buka suara” dan memutuskan, bagaikan boneka tangan yang
dimainkan para Hakim Agung yang duduk sebagai hakim di Mahkamah Agung RI namun
sangat “berjarak” dengan rakyat yang terkena imbas langsung maupun tidak
langsung dari putusan lembaga tersebut.
Yang unik dan jarang disadari
oleh masyarakat ialah, baik putusan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi
sekalipun juga mencatut nama Tuhan dalam putusan, sehingga bagaimana mungkin
Tuhan (yang sama atau bisa jadi sosok Tuhan yang berbeda) mengoreksi dan
menganulir sendiri keputusan yang telah dibuat olehnya sebelum ini? Keganjilan
kedua, seolah-olah yang sebelumnya belum cukup rancu, segala sesuatu terjadi
atas dasar rencana, kekendak, serta seizin dan kuasa Tuhan.
Lantas, sebagai pertanyaan
besarnya, mengapa sang “kolutor” yang sekadar menjadi bidak catur (pion)
permainan dan rencana Tuhan, yang harus dilempar untuk mendekam di tahanan dan
di balik jeruji sel penjara maupun dicampakkan ke alam baka bernama neraka
“jahanam”? Kolusi yang dilakukan oleh sang menteri, adalah dalam rangka Tuhan
sedang menguji dan memberi cobaan kepada seluruh rakyat di Indonesia,
menggunakan tangan sang kolutor, sehingga semestinya sang kolutor diberi imbalan
“tarif jasa” oleh Tuhan sehingga rencananya memberi cobaan kepada rakyat Indonesia
menjadi tercapai—seolah-olah hidup ini belum cukup keras dan berat bagi rakyat
jelata, sampai-sampai masih harus dicoba-coba, meski “jingle” sebuah iklan pariwara obat cacing pada beberapa dekade
lampau pernah berseru : “Untuk anak
sendiri kok, dicoba-coba?!”.
Bila pencipta gagal mencipta
dan yang dicoba gagal melewati cobaan, siapakah yang sejatinya paling bersalah,
sang “tikus percobaan” ataukah yang mencoba-coba? Bukankah sosok atau citra
Tuhan menjadi bak “Profesor Ling Lung”, mengingat umur umat manusia sudah
sama tuanya dengan usia Planet Bumi ini dan jumlah eksperimen atau uji coba
Tuhan terhadap umat manusia sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, baik
jumlah yang berhasil lolos maupun yang tidak berhasil lolos dan berakhir dengan
harus menerima nasib sebagai “produk ciptaan gagal” yang dicampakkan ke dalam
“tong sampah raksasa” bernama “neraka jahanam”—yang justru menjadi monumen
kegagalan Tuhan dalam proses mencipta.
Mengapa juga, manusia tidak
boleh berjuang untuk menjadi sempurna? Dengan menjadi manusia yang sempurna,
artinya kita telah mengagungkan nama Tuhan, kita ibaratkan menjadi orang yang
baik dan bijaksana di tengah masyarakat sama artinya menjaga nama baik keluarga
dan mengagungkan nama kedua orangtua yang telah melahirkan dan mengasuhnya. Yang
suci dan sempurna, hanya dapat bersatu dengan yang suci dan sempurna. Bagaimana
mungkin, yang kotor dan tercemar (para pendosa yang berdosa) hendak dan mengharap
untuk bersatu dengan sosok agung yang murni, bersih, mulia, dan agung semacam
Tuhan? Minyak dan air, atau api dan air, tidak saling bersenyawa. Bagaimana mungkin,
pendosa mengharap masuk alam surgawi, seolah-olah agama adalah “sabun deterjen”?
Bagaimana mungkin dan bagaimana
ceritanya, yang telah sempurna melahirkan atau menciptakan sesuatu yang tidak
atau jauh dari kata sempurna? Bila Tuhan benar-benar “Maha Tahu”, mengapa
masih juga butuh mencobai manusia sekalipun umur umat manusia telah sama tuanya
dengan usia Planet Bumi ini? Tidak ada yang dapat lebih menjelaskan,
bahwasannya memuliakan nama Tuhan bukan dengan cara sembah-sujud ataupun puja-puji,
namun dengan menjadi seorang manusia yang mulia. Bila seorang presiden
tidak membutuhkan semacam “kabinet penjilat”, maka bagaimana dengan Tuhan?
Putusan kasasi terhadap sang
“kolutor” (bukan “koruptor”) diputuskan pada tanggal 7 Maret 2022 oleh majelis
kasasi yang terdiri atas Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh,
dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota. Namun, apakah
mereka perduli dan ambil pusing? Toh, putusan dibuat atas nama lembaga tempat
para hakim tersebut bernaung, yakni Mahkamah Agung RI, sehingga memang sudah sewajarnya
yang bertanggung-jawab serta yang patut menerima kredit maupun diskreditnya
ialah lembaga Mahkamah Agung RI itu sendiri, seperti mengapa juga hakim yang
tidak memiliki moralitas dibiarkan menjabat jabatan judicial pidana dibidang
korupsi dan diberi perkara sekaliber tindak pidana korupsi untuk mereka
putuskan seolah-olah di republik ini kekurangan orang “suci” untuk diberi
kekuasaan sebesar Hakim Agung?
Seolah belum cukup sampai
disitu, “Menjatuhkan pidana tambahan
berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun
terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok,” imbuhMahkamah
Agung RI dalam amar putusan yang sama, yang artinya republik ini belum
benar-benar berkomitmen secara serius memiskinkan dan “mematikan” karir politik
sang kolutor, mengingat setelah bebas dari penjara, maka tiga tahun berselang
kemudian sang mantan Terpidana dapat kembali menjabat sebagai pejabat negara
yang memegang kendali atas kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, seolah-olah tidak ada calon warga lainnya yang lebih tepat untuk
dijadikan calon kandidat untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan yang bersifat
strategis menyangkut hajat hidup orang banyak. Jelas, bahwa “political will” semestinya mulai
dibangun oleh Lembaga Yudikatif ketika kedua lembaga lainnya, yakni Eksekutif
dan Legislatif, tidak mampu memainkan peran sentral pemberantasan korupsi
maupun kolusi.
Sebagai latar belakang, pidana
yang menjerat Edhy Prabowo ialah bermula dari diubahnya kebijakan dari semula melarang
ekspor benih lobster menjadi dibolehkan bagi pengusaha tertentu,
bermuara pada pemberian izin ekspor benih lobster kepada pengusaha tertentu
dimaksud, yang menjadi ajang kolusi sang Terpidana—sehingga kejahatan
kolusi terjadi secara sistematis, dimana bahkan sang Terpidana belum lama
menjabat sebagai Menteri Kelautan, dimana juga disparitas waktu antara
kebijakan / regulasi yang diubah dari “tidak boleh ekspor” menjadi “kebolehan
ekspor” dan uang suap yang diterima oleh sang Terpidana selaku pejabat Menteri
Kelautan adalah dalam tempo waktu yang hampir bersamaan, sehingga rezim perizinan
dari “tidak boleh” menjadi “boleh” adalah satu rangkaian atau satu mata rantai tidak
terpisahkan dengan suap atau kolusi yang diterima oleh sang kolutor selaku
pejabat Menteri Kelautan, sehingga kepentingannya ialah semata kepentingan
pribadi sang kolutor, dimana perizinan dijadikan ladang bisnis pungutan liar
dan uang suap.
Perizinan, pun diberikan bagi
kepentingan pihak pengusaha yang memberi uang suap, mengingat yang selama ini
diuntungkan dari komoditas yang menjadi sumber daya alam di Indonesia bukanlah petani
maupun nelayan, namun pengusaha eksportir, dan itu sudah “rahasia umum”. Nelayan
dan petani tetap saja miskin, terlagi pula nelayan dapat memanen sumber daya
alam lainnya sebagai sumber nafkah yang melimpah di republik ini seperti ikan
dimana bahkan kapal ikan dari negara-negara tetangga kerap mencuri kekayaan
bahari di Indonesia. Jangan bersikap seolah-olah tiada objek panen lain yang dapat
ditangkap dan ditransaksikan oleh para nelayan lokal kita, sehingga kreativitas
yang harus dibangun, bukan jalan instan dan jalan pintas semacam mengekspor
bahan baku yang tidak bernilai jual optimal karena bukan dibudidaya di dalam
negeri.
Sejumlah hal yang menjadi
pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo, yakni : “Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang
mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang
meringankan terdakwa sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada
faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja
dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya
nelayan.”—disaat bersamaan, Mahkamah Agung RI telah mengerdilkan “keadaan
yang memberatkan” dan tidak dapat ditolerir karena melanggar amanat, melanggar
sumpah jabatan, menyalahgunakan kekuasaan, dan mengeksploitasi kekayaan negeri
demi keuntungan pribadi, melecehkan rakyat, mencoreng nama presiden pembentuk
kabinet, serta baru menjabat sudah berkolusi. Yang diberi harapan yang besar oleh
sang kolutor, bukanlah nelayan, namun kalangan pengusaha eksportir.
Bila kepentingan mengubah
kebijakan dari “dilarang” menjadi “boleh ekspor” ialah demi kepentingan para
nelayan, maka mengapa sang kolutor selaku pengubah kebijakan dan penerbit izin
menerima uang suap terkait “hal tersebut”? Apa yang dimaksud dengan “hal
tersebut”, tidak lain tidak bukan ialah deregulasi dari “tidak boleh ekspor”
menjadi “boleh ekspor”, lalu dikaitkan pula dengan izin dari pengusaha ekspor
(eksportir) tertentu yang berani membayar uang suap bagi sang kolutor yang
berwenang dan berkuasa mengubah (memutar-balik) kebijakan dan menerbitkan izin,
sehingga kebolehan untuk ekspor benih lobster bukanlah dibuka untuk kalangan
nelayan miskin, namun bagi “tengkulak” pengusaha eksportir yang di-untung-besar-kan
karenanya berani dan sanggup menyuap dengan uang suap mencapai miliaran rupiah
kepada sang menteri semata karena keuntungan yang dapat diperoleh jauh lebih
besar bila diberi izin ekspor—sehingga secara peraturan perundang-undangan
disebut sebagai dalam rangka “gratifikasi” semata karena terjadi jabatan dan
kekuasaan sang kolutor.
Menurut hakim, Edhy Prabowo
mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/PERMEN-KP/2016 tanggal
23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No
12/PERMEN-KP/2020 (dalam dalam tahun yang sama terjadi aksi kolusi perizinan
ekspor benih lobster oleh sang menteri yang mengubah regulasi), “dengan tujuan adanya semangat untuk
memanfaatkan benih lobster guna kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin
memberdayakan nelayan karena lobster di Indonesia sangat besar.” Benih
lobster, kecil ukurannya dan tidak bernilai tinggi. Lobster yang dibudidaya
oleh negara asing yang membeli benih lobster dari eksportir di Indonesia, yang
kemudian menikmati nilai tambah puluhan hingga ratusan kali lipat harga jual
lobster dewasa.
Mensejahterakan rakyat dalam
hal ini nelayan, ataukah mensejahterakan kantung pribadi sang pejabat penerbit
izin dan pengubah kebijakan? Jika betul dalam rangka mensejahterakan rakyat
terutama nelayan, maka mengapa tidak tetap melarang ekspor benih lobster lalu
menyediakan fasilitas dan keterampilan bagi rakyat jelata untuk membudidayakan
lobster secara mandiri sehingga dapat meningkatkan nilai jual lobster alih-alih
menguntungkan pihak ekspotir maupun importir di luar negeri yang lebih
menikmati peningkatan nilai jual hasil budidaya lobster? Negeri kita tidak
kekurangan orang cerdas yang mampu membudidaya urusan “sepele” (untuk ukuran
negara modern) semacam budidaya hal “sepele” semacam lobster. Yang kurang,
ialah “political will”, kita kerap
terbentur oleh hal tersebut. Negara lain, sudah sibuk dalam membangun
arsitektur pesawat luar angkasa, kendaraan listrik, energi nuklir, dan
teknologi nirkabel canggih, mengapa negeri kita untuk budidaya lobster pun “angkat
tangan”? Apakah kita pun harus mengekspor tiram kita, tanpa mampu untuk sanggup
secara mandiri beternak mutiara lewat budidaya secara swadaya?
Lebih lanjut dalam
pertimbangannya, Hakim Agung dalam putusan kasasi menyebut bahwa Permen
Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020 tersebut mensyaratkan pengekspor
untuk mendapat benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap
BBL, “Sehingga jelas perbuatan terdakwa
tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil.”
Benih lobster tidak bernilai jual, dimana tetap saja nelayan kecil akan
terjerat kemiskinan akut “tujuh turunan”, sementara itu yang kian sejahtera
ialah sang pejabat Menteri Kelautan yang menjual-belikan izin, pihak eksportir,
serta pihak importir. Semua pengepul, tengkulak, selama ini membeli dari petani
dan nelayan miskin, dimana yang kemudian menikmati nilai jual pada harga pasar bukanlah
petani miskin kecil yang bercocok-tanam ataupun nelayan yang membudidayakan,
namun selalu merupakan pihak pengepul, tengkulak, makelar, dan pengusaha
eksportir.
Jika murni bagi kesejahteraan
rakyat kecil, maka terbitkan kebijakan tanpa mengambil keuntungan pribadi
berupa gratifikasi yang jahat, atau setidaknya menerima gratifikasi lalu
mendistribusikan semua yang ia peroleh untuk menjadi dana membangun fasilitas penelitian
dan budidaya lobster, agar kelak tidak lagi menjual benih lobster ke luar
negeri sebagai roadmap utamanya—mau
sampai kapan, negeri ini mengekspor benih lobster dan membiarkan negeri
tetangga yang menikmati nilai jual lobster dewasa hasil budidaya? Mau sampai
kapan, kita hanya bermain sebagai pengekspor bahan baku dan benih yang tidak
bernilai jual kepada pihak asing, dimana pihak asing yang lebih menikmati nilai
tambah dari nilai jual hasil budidaya?
Bagaimana mungkin negeri dan
bangsa ini mau maju, sementara bangsa lain telah sibuk menerbangkan manusia ke luar
angkasa, mobil tanpa awak, restoran tanpa koki manusia, teknologi nirkabel
berkecepatan ultra tinggi, negeri Indonesia bahkan masih belum mampu secara
mandiri dan swadaya untuk membangun fasilitas budidaya komoditas se-“sepele”
lobster, seolah-olah negeri ini kekurangan orang-orang cerdas untuk direkrut
sebagai perancang dan arsitek maupun motor penggeraknya? Bukan tidak mampu,
namun tidak ada kemauan, itulah yang dapat kita tengarai sebagai
konsekuensinya.
Pada mulanya di Pengadilan
Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan
Korupsi menuntut Edhy Prabowo dihukum 5 tahun penjara, “denda” Rp400 juta
subsider 6 bulan kurungan, disertai tuntutan “uang pengganti” sejumlah
9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS, disamping pencabutan untuk dipilih dalam
jabatan publik selama 3 tahun sejak sang Terpidana selesai menjalani masa hukuman.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada tanggal 15 Juli 2021 menjatuhkan
vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subisider 6 bulan kurungan,
kewajiban membayar uang pengganti, serta pencabutan hak politik untuk dipilih
selama 2 tahun.
Berlanjut pada 21 Oktober 2021,
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis sang Terpidana kasus kolusi menjadi
9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan,
membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS serta
pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun—dimana kemudian Edhy
Prabowo sang Kolutor mengajukan upaya hukum kasasi. Menjadi tidak dapat dibenarkan
secara moril maupun akal sehat, ketika dalam tingkat kasasi Hakim Agung “memoles”
dan me-“make up” sosok sang Terpidana
kasus kolusi seolah-olah bak “pahlawan” bagi kalangan nelayan kecil, namun
disaat bersamaan sang Terpidana kasus kolusi terbukti menerima suap alias
memperkaya diri sendiri terkait jabatan (gratifikasi) senilai 77 ribu dolar AS
dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster
(BBL) atau benur.
Alih-alih menyalurkan kekayaan
yang didapat olehnya secara “gelap” dan ilegal demikian (abuse of power), untuk kepentingan dan kesejahteraan nelayan miskin
dan kecil agar mereka setidaknya masing-masing bisa memiliki kapal besar untuk
menangkap ikan di laut dalam dan tidak lagi bergantung pada benih lobster untuk
ditangkap dan dijual kepada tengkulak, dikabarkan oleh sejumlah media bahwa Edhy
Prabowo membelanjakan uang “kotor” hasil suap yang diterima olehnya untuk
kepentingan gaya hidup mewah seperti jalan-jalan ke luar negeri untuk membeli
arlogi mewah maupun tas mahal yang bernilai bombastis—alias penyalahgunaan
kekuasaan semata demi keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri, sebelum
kemudian dihambur-hamburkan untuk konsumsi mewah pribadi sang menteri. Apakah penulis,
telah mencemarkan “nama baik” sang menteri? Sang menteri itu sendiri yang telah
mencemarkan nama dirinya sendiri, dan toh sejak semulanya namanya memang sudah “tercemar”.
Tentu para pembaca masih ingat
tentang sosok “Kolutor” lainnya semacam Ketua Hakim Konstitusi RI bernama Akil
Mochtar—sang Kolutor” bukanlah “mantan” Hakim Konstitusi RI, karena saat
melakukan aksi Kolusi jual-beli putusan di Mahkamah Konstitusi terkait sengketa
pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang bersangkutan masih dan sedang menjabat
sebagai Hakim Konstitusi plus sebagai Ketua lembaga Mahkamah Konstitusi incumbent, sehingga yang melakukan aksi “kolusi”
ialah sang Ketua lembaga Mahkamah Konstitusi RI bukan “mantan” Ketua Mahkamah
Konstitusi RI.
Akil Mochtar, diketahui secara
meyakinkan melakukan aksi kolusi bukan disebabkan akademisi maupun aparatur penegak
hukum menemukan letak keganjilan dalam pertimbangan hukum maupun amar putusan Mahkamah
Konstitusi RI yang salah satu komponen anggota hakim pemutusnya ialah sang
Hakim Konstitusi “Kolutor” tersebut. Akil Mochtar diketahui melakukan aksi kolusi
ketika aparatur penegak hukum menyadap pembicaraan yang bersangkutan ketika
berdialog via sambungan telepon jarak jauh dengan pihak-pihak yang sedang
berperkara di Mahkamah Konstitusi RI berlanjut dengan aksi tangkap-tangan
disertai sejumlah uang dari pihak penyuap di kediaman pribadi Akil Mochtar.
Alhasil, tanpa diperolehnya rekaman
modus kolusi hasil sadapan demikian, seaneh dan seganjil serta se-absurd apapun
putusan lembaga Mahkamah Konstitusi RI, maka Akil Mochtar sang Kolutor akan
bebas dari segala resiko hukum—dan, kabar buruknya bagi kita semua, itulah praktik
yang terjadi selama ini di lembaga yudisial manapun, baik itu Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung RI, tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi RI
dan lembaga Arbitrase. Bagi kalangan internal para hakim, seburuk dan se-menyimpang
apapun kualitas putusannya dari jalur hukum yang ada dan berlaku, sepanjang
modus kolusi ditutup rapat-rapat, maka tiada resiko hukum apapun bagi mereka,
suatu praktik berhukum yang tidak sehat di republik yang sudah lama “sakit” dan
butuh pertolongan “dokter moral” ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.