ARTIKEL
HUKUM
Wacana “CHAIN
OF COMMAND” dalam Konsep Tindak Pidana Korporasi
Ancaman DOUBLE JEOPARDY Sanksi Pidana DENDA dalam Tindak Pidana Korporasi
Saat ulasan ini disusun, sedang hangat-hangatnya pemberitaan mengenai kelangkaan minyak goreng berbahan dasar minyak sawit (CPO, crude palm oil) di Tanah Air, disamping tingginya harga pasar minyak goreng dalam kemasan maupun minyak goreng “curah” di pasaran, yang disinyalir akibat permainan “mafia minyak goreng”—sekalipun Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar minyak sawit di dunia, sehingga memang menyerupai anekdot “induk ayam mati di ladang pangan”, alias swasembada pangan yang tidak berbanding lurus dengan ketahanan pangan, tidak terkecuali komoditas pangan lainnya, dimana para eksportir yang justru lebih menikmati kelimpahan komoditas lokal.
Seolah-olah, pemerintah tidak
memiliki daya tawar untuk mewajibkan produsen untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam
negeri sebelum dibolehkan mengekspornya—proteksionisme secara terbalik, dalam
rangka melindungi konsumen dalam negeri. Membiarkan mekanisme harga pasar dibebaskan
bagi para produsen komoditas yang dibutuhkan oleh hajat hidup orang banyak, sama
artinya membiarkan daya tawar masyarakat kita harus bersaing dengan daya tawar masyarakat
Eropa yang selama ini mengimpor minyak sawit dari Indonesia, sekalipun jelas
pendapatan per kapita antar keduanya adalah timpang sebelah, tidak dapat
disandingkan.
Mengingat kesenjangan antara “demand” pasar global dan “supply” minyak sawit, akibatnya secara
global memang tercipta kondisi “kelangkaan” minyak sawit, akibatnya mekanisme
pasar yang berbicara : “harga naik, bilamana demand jauh melampaui supply”.
Konsekuensi logisnya sudah dapat dijelaskan dengan logika awam, sangat fatal,
harga pasar minyak sawit dan minyak goreng melambung tinggi jauh diatas harga “break event point” pihak produsen sawit.
Karena itulah, harga eceran tertingi (HET) memang harus berani ditetapkan
pemerintah, sebagai bentuk nyata bahwa negara hadir di tengah-tengah masyarakat.
Menteri Perdagangan menuding
adanya “mafia” dibalik kelangkaan minyak goreng, yang telah ternyata pelakunya
ialah anak buah langsungnya (akibat minimnya pengawasan maupun teladan) yakni
pejabat Direktur Jenderal (Dirjen, eselon satu) pada Kemenderian Perdagangan
yang berwenang dalam pemberian izin ekspor minyak sawit, ditangkap pihak kepolisian
karena menerima uang suap dari pengusaha atau produsen minyak goreng, korporasi
raksasa yang menguasai dari hulu hingga hilir produksi sawit mulai dari
penanaman hingga panen, pengolahan, distribusi, serta pemasarannya.
Timbul pertanyaan mendasar di
benak penulis, mengapa Dirjen pada Kementerian Perdagangan tersebut serta
pejabat pada korporasi produsen minyak sawit, yang ditetapkan sebagai Tersangka
oleh pihak berwajib kepolisian? Bukankah sudah sejak lama, kita mengenal konsep
hukum pidana perihal “tindak pidana korporasi” yang mana berbagai regulasi
telah mengakui bahwa korporasi selaku subjek hukum “badan hukum” (rechtspersoon) dapat turut pula dipidana
dan dijatuhi vonis pidana?
Sebelum itu, sebagaimana telah
para pembaca ketahui dan sedikit kembali mengulas jenis-jenis sanksi yang
dikenal dalam konsepsi “tindak pidana korporasi”, ialah sebatas berupa vonis
pidana “denda” maupun “pembekuan” hingga “pencabutan izin usaha”—tidak dikenal
sanksi berupa vonis semacam pidana “penjara” ataupun “kurungan” (mengingat
badan hukum merupaka “benda mati”!). Terhadap
korporasi-korporasi raksasa yang memiliki daya tawar politis, mereka akan
semudah berdalih, “Kami mempekerjakan
ribuan karyawan yang menggantungkan sumber nafkah bagi keluarganya kepada
perusahaan. Bila perusahaan kami ditutup atau dibekukan izin usahanya, maka mau
diberi makan apa ribuan karyawan kami dan anggota keluarganya tersebut? Apakah pemerintah,
yang bersedia memberi makan mereka, setelah perusahaan kami ditutup oleh
pemerintah?”
Fakta empirik pun
memperlihatkan modus berupa manuver bisnis yang tidak dilandasi “etika
berbisnis”, dengan menyalahgunakan instrumen hukum untuk melancarkan aksi niat
jahat korporasinya dalam rangka membuat manuver bisnis yang “kotor” menjadi
demikian terselubung serta sukar diketahui publik, yakni modus pendirian
berbagai anak usaha berbentuk Perseroan Terbatas yang dijadikan sebagai alat
untuk melakukan kejahatan-kejahatan korporasi, demi keuntungan atau kepentingan
induk usahanya (holding company). Begitu
mudah dan murahnya mendirikan Perseroan Terbatas (tidak terkecuali mendirikan “shell company”, perusahaan cangkang) di Indonesia,
tanpa limitasi pendirian belasan hingga puluhan dan ratusan Perseroan Terbatas oleh
satu “holding company”, lalu berbagai
anak usaha tersebut membeli berbagai kebun sawit milik warga setempat, untuk selanjutnya
menguasai pangsa pasar dari hulu hingga hilir industri sawit, sehingga tiada
tercipta kompetisi antar produsen di pasar, yang ada ialah praktik oligopoli
yang mana “power tends to corrupt”
seperti menyetir harga pasar lewat praktik kartelisasi harga, dan juga penguasaan
banyak atau sedikitnya produk yang beredar di pasaran maupun distribusinya.
Godaan untuk menyalah-gunakan
kekuatan dan kekuasaan korporasi atas pasar, selalu terbuka lebar, terutama
bila pemainnya bersifat “oligopoli”, terbatas pada pemain besar yang notabene “korporasi
yang itu itu saja”, yang aman antar produsen saling mengenal satu sama lainnya,
para pemain-pemain lama, juga bahkan memiliki wadah berupa asosiasi produsen
sawit. Menjatuhkan vonis “mati” bagi satu buah badan hukum Perseroan Terbatas “cangkang”
yang dijadikan “alat” oleh aktor intelektual dibaliknya, maka hal demikian bukanlah
solusi, mengingat sang pelaku usaha sebagai pemilik induk usaha dapat semudah
mendirikan berbagai badan hukum Perseroan Terbatas “cangkang” baru lainnya—mati
satu, tumbuh seribu. Dijatuhi vonis sanksi “denda”-pun, bukan solusi yang
ideal, mengingat berbagai Perseroan Terbatas “cangkang” tersebut tidak memiliki
harta kekayaan yang “real”, semata karena pemusatan ekonominya semua terkonsentrasi
pada induk usaha puncaknya. Sehingga, ketika kita berbicara perihal “tindak
pidana korporasi”, maka semua wacana menjadi dilematis disamping ambigu.
Terkecuali, konsep mengenai “tindak
pidana korporasi” mengadopsi stelsel pemidanaan selayaknya jenjang
pertanggung-jawaban berdasarkan mata rantai perintah dan relasi kekuasaan
antara induk dan anak usaha, yakni mata rantai “chain of command” hingga puncak runutannya berhulu pada induk usaha
terpuncak, yakni “holding company”
sebagai aktor intelektualnya yang patut dimintakan pertanggung-jawaban hukum
secara pidana, dengan harapan tiada lagi yang berminat menyalah-gunakan
instrumen hukum berupa pendirian berbagai badan hukum Perseroan Terbatas. Karenanya,
ketika satu anak usaha melakukan kejahatan korporasi, maka satu “grup usaha”, setidaknya
anak usaha tersebut beserta induk usaha dan induk usaha puncaknya, harus turut
dijadikan terdakwa dalam satu mata rantai yang saling kait-mengait tanpa dapat
dipisahkan relasi kekuasaan dan pengendaliannya.
Kembali pada isu usaha perihal
tidak ditetapkannya sebagai Tersangka terhadap pihak korporasi selaku produsen minyak
sawit oleh pihak kepolisian—meski sejatinya bisa dijadikan Terdakwa “tindak
pidana korporasi” dengan fokus utamanya menuntut tanggung-jawab pidana
setidaknya berupa vonis pidana “denda” yang diharapkan membuat jera pelaku
usaha “nakal” bersangkutan maupun pelaku usaha manapun itu—mengingat pihak Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan
terjadinya praktik kartelisasi harga minyak sawit antar korporasi produsen minyak
sawit di Indonesia.
Sebagaimana juga telah kita
ketahui, salah satu produk “quasi
ajudikasi” KPPU ialah berupa putusan yang dapat menjatuhi sanksi berupa “denda”
terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan persaingan usaha secara tidak sehat.
Dikhawatirkan, bilamana pihak kepolisian turut menetapkan pihak korporasi produsen
minyak sawit sebagai Tersangka hingga mendakwanya sebagai Terdakwa “tindak
pidana korporasi”, maka besar kemungkinannya sanksi vonis pidana “denda”-nya
tidak optimal, baik dari segi amar putusan maupun dari segi penyusunan
dakwaannya oleh Jaksa Penuntut Umum maupun hakim yang tidak terspesialiasi atau
tidak memiliki kompetensi mendalam dibidang penghitungan kerugian masyarakat sebagai
basis tuntutan “denda”. Berbeda halnya bila rumusan tuntutan “denda” disusun
oleh KPPU, yang tentunya lebih komprehensif dan lebih akuntabel disamping lebih
efektif tepat-guna.
Karena itulah, timbul kesan seolah-olah
pihak kepolisian melakukan pembiaran atau pengabaian terhadap korporasi badan
hukum produsen minyak sawit, dan semata menjadikan pejabat berupa perseorangan
sebagai subjek hukum tersangka dan terdakwanya, agar dapat dijatuhi vonis
sanksi penjara untuk memuaskan dahaga keadilan masyarakat umum, sementara itu
pihak korporasinya ditangani oleh KPPU ketika alat-alat buktinya telah lengkap—setidaknya
“indirect evidences”, mengingat persekongkolan
maupun kejahatan korporasi selalu dilakukan di ruang temaram, tidak pernah terang-terangan
diungkap di muka umum—maka korporasi yang menjadi badan hukumnya dapat dijatuhi
sanksi berupa “denda”, dengan harapan pihak korporasi tidak memetik keuntungan
finansial dari modus kejahatan yang mereka lakukan, sebagai sebentuk
dis-insentif dalam rangka penjeraan.
KPPU tidak menyebut pihak
terhukum sebagai pelaku “tindak pidana korporasi”, semata karena vonis hukuman “denda”
yang dijatuhkan oleh KPPU merupakan “sanksi administrasi berupa denda”, sehingga
sifatnya bukanlah “sanksi pidana denda”. Namun demikian, lagi-lagi timbul
pertanyaan mendasar, bila memang produk putusan KPPU bukanlah “vonis pidana
denda”, namun “sanksi administrasi berupa denda” belaka, maka mengapa
kepolisian tidak berani turut serta menarik pihak korporasi sebagai pelaku “tindak
pidana korporasi” untuk dijatuhi “sanksi pidana denda”?
Pertanyaan demikian, merupakan konsekuensi
logis dibalik simpang-siur dan tumpang-tindihnya berbagai regulasi antar
sektoral yang saling beririsan namun tidak sinkron satu sama lainnya di
Indonesia. Mungkin pemerintah akan mendalilkan, jika terhadap subjek hukum
badan hukum korporasi bersangkutan dijatuhi sanksi berupa “denda” untuk dua
kali vonis dan sanksi yang sama, maka akan menyerupai “double jeopardy”, yakni penghukuman secara berganda yang tidak
dapat dibenarkan oleh asas-asas hukum. Lagi-lagi, pemerintah bersikap tidak
konsisten dengan menerapkan “standar berganda”.
Cobalah lihat praktik di
lapangan, sebagai analoginya ialah kendaraan bermotor yang mana pengemudinya
tidak dapat mempertunjukkan bukti pembayaran pajak tahunan kendaraan bermotor,
maka akan ditilang oleh pihak kepolisian dengan ancaman vonis sanksi pidana
berupa “denda”. Meski demikian, ketika sang pemilik kendaraan mendatangi sentra
pembayaran pajak kendaraan bermotor, masih pula dibebani “denda keterlambatan
pembayaran pajak kendaraan bermotor”—alias terjadi beban berganda terhadap “sanksi
denda”, tidak lain tidak bukan ialah “double
jeopardy” itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.