LEGAL OPINION
Adakah Hukum yang Lebih Tinggi dan Lebih Absolut daripada Hukum Negara maupun Hukum Agama?
Question: Apakah ada semacam hukum agama, di Agama Buddha? Agama-agama lain mengatur hukum-hukum, hukum perkawinan antara suami dan istri, hukum warisan, bahkan hingga hukum perang. Apakah di Agama Buddha dijumpai hal semacam itu?
Brief Answer: Semua negara memiliki hukumnya sendiri-sendiri,
disesuaikan budaya setempat masing-masing negara ataupun kearifan lokal lainnya,
lain ladang (maka) lain belalang, sehingga buat apa juga tanpa urgensinya
diatur oleh Sang Buddha, yang jelas-jelas akan diatur secara otonom oleh masing-masing
negara cepat atau lambat? Buddhisme lebih menekankan praktik moralitas yang
dilandasi kesadaran pribadi serta pilihan bebas, bukan sebentuk kepatuhan layaknya
subordinat.
Buddhisme, karenanya, lebih bersifat membebaskan
dan melepaskan apa yang memang perlu dilepaskan, alih-alih “menjerat”. Meski
demikian, dalam Buddhisme dengan sumber rujukan otentik utamanya berupa
Tipitaka, salah satu dari tiga pitaka bernama “Vinaya Pitaka”, berisi aturan
kebhikkhuan yang amat sangat ketat dan tegas sifatnya—namun itu hanya
diberlakukan bagi para bhikkhu dalam disiplin monastik, bukan untuk para umat
awam perumah-tangga, dimana sifatnya ialah penundukan diri secara sukarela
seseorang untuk bergabung dengan anggota persamuan para bhikkhu, alias pilihan
bebas itu sendiri dimana kesadaran pribadi menjadi tolak-ukurnya.
Praktik moralitas tertinggi, justru akan kita
jumpai dalam Buddhisme, sebagai contoh perihal “hiri” dan “otapa”, yang
bermakna malu dan takut berbuat jahat seperti menyakiti, melukai,
ataupun merugikan orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Tiada hukum yang
lebih tinggi daripada itu. Hukum negara, sebagai contoh, sekalipun diatur
dengan banyak pasal, setiap tahun diterbitkan Undang-Undang baru, namun tetap
saja modus kejahatan dan “celah hukum” akan terjadi di tengah masy, dimana hukum
negara selalu tertatih-tatih berjalan dibelakang kenyataan—alias tertinggal
satu langkah dari dinamika dan perkembangan zaman yang selalu berubah.
Untuk umat awam dalam praktik latihan Buddhisme,
tidak dikenal “larangan” ataupun “perintah” sebagaimana istilah dalam agama
non-Buddhisme, namun “latihan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan bodoh
yang tidak bermanfaat”, semisal praktik latihan moralitas lima sila, delapan
sila, sepuluh sila, dan sebagainya, disesuaikan dengan tingkat kematangan atau
level latihan seorang umat awam. Karena sifatnya ialah berlandaskan pilihan
bebas, maka adalah tergolong perbuatan baik bila anjuran-anjuran baik dalam
ajaran Sang Buddha dijalankan oleh sang umat—semata karena tiadanya pemaksaan,
dimana segala kerepotan dalam latihan disiplin moralitas bersumber dari
kesadaran pribadi dan pilihan bebas, bukan “mau tidak mau harus dijalani secara
wajib adanya”.
Sila paling mendasar, yakni lima sila yang
terdiri dari berlatih untuk tidak membunuh, tidak berkata dusta, tidak
mengambil apa yang tidak diberikan, tidak melakukan tindak asusila, tidak
mengonsumsi makanan ataupun minuman yang memabukkan, banyak diantara umat manusia
yang tidak mampu dan gagal separuh jalan alias tidak sempurna, maka bagaimana
kita bisa berdelusi semudah itu menjalankan praktik delapan sila, sepuluh sila,
atau bahkan sila para bhikkhu yang berjumlah ratusan aturan seperti tidak makan
setelah tengah hari dan baru akan dapat kembali makan saat matahari terbit (Sang
Buddha sendiri hanya makan satu kali sehari), tidak menikah ataupun hubungan
seksuil (hidup selibat), tidak menguasai harta berupa uang (hanya memiliki
harta berupa jubah dan mangkuk untuk berpindapata), dan lain sebagainya.
PEMBAHASAN:
Praktik moralitas dalam
Buddhisme telah sangat amat lengkap dan sempurna, jauh melampaui hukum negara
sekalipun yang sebanyak apapun menerbitkan undang-undang tetap akan tidak
sekomprehensif praktik moralitas Buddhisme. Yang diperlukan selanjutnya ialah
menjalankan ajaran Sang Buddha secara konsisten, penuh komitmen, dan keseriusan
alias sepenuh hati serta penuh tanggung-jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
Bukankah akan terdengar konyol, umat agama non-Buddhist membangga-banggakan dirinya
sebagai superior karena memiliki agama yang mengatur banyak hal, namun umat
mereka tiada satupun yang sanggup secara sempurna menjalankan latihan disiplin
moralitas dengan standar paling minimum dalam Buddhisme sebagai berikut:
Ovada Patimokkha
Sabbapāpassa akaraṇaṃ
Kusalassa upasampadā
Sacittapariyodapanaṃ
Etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Khantī paramaṃ tapo titikkhā
Nibbāṇaṃ paramaṃ vadanti buddhā
Na hi pabbajito parūpaghātī
Samaṇo hoti paraṃ viheṭhayanto.
Anūpavādo anūpaghāto,
pātimokkhe ca saṃvaro
Mattaññutā ca bhattasmiṃ, pantañca sayanāsanaṃ
Adhicitte ca āyogo, etaṃ buddhāna sāsanaṃ.
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
Kesabaran adalah praktek
bertapa yang paling tinggi.
“Nibbana adalah tertinggi”,
begitulah sabda Para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain
sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).
Tidak menghina, tidak
menyakiti, mengendalikan diri sesuai peraturan,
memiliki sikap madya dalam hal
makan, berdiam di tempat yang sunyi
serta giat mengembangkan
batin nan luhur; inilah Ajaran Para Buddha.
[Sumber: Dhammapada
183-184-185, Syair Gatha.]
Lebih banyak diantara mereka,
yang alih-alih “tidak berbuat jahat”, justru bersikap amat sangat
kompromistik terhadap dosa dan maksiat, dan disaat bersamaan demikian intoleran
terhadap kaum dengan keyakinan yang berbeda, bahkan terhadap sekte yang
berbeda. Slogan atau jargon favorit mereka ialah : BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?! Karenanya, mereka telah gagal bila memakai
kacamata disiplin moralitas Buddhisme. Mereka, selama ini menjadi pelanggan
tetap iming-iming ideologi “curang dan korup” bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, bahkan menjadi menu doa sehari-hari
mereka—dimana kita ketahui, hanya seorang pendosa yang membutuhkan pengampunan
dosa.
Bagaimana mungkin, seorang
pendosa hendak berceramah perihal hidup suci, luhur, serta mulia kepada para
pendosa lainnya? Bukankah itu menyerupai seorang buta hendak menuntun para buta
lainnya? Lantas, bagaimana pula dengan nasib serta keadilan bagi para korban
dari para pendosa tersebut? Mengapa juga Tuhan mereka nista dengan
diilustrasikan sebagai lebih PRO terhadap pendosa, dengan menghapus dosa-dosa mereka,
alih-alih lebih menaruh prihatin terhadap derita korban para pendosa tersebut? Pendosa
hendak bersatu dengan yang suci seperti Tuhan, sama artinya Tuhan yang bodoh
hendak mencemarkan dan menodai dirinya sendiri.
Yang kedua, “melakukan banyak
perbuatan bajik”. Para non-Buddhist, lebih sibuk menjadi seorang pecundang
sekaligus pemalas, yang hanya tahu meminta, mengemis, dan memohon, tanpa mau
merepotkan dirinya menanam benih-benih perbuatan bajik untuk mereka petik
sendiri dikemudian hari, sebagaimana pesan mendasar dari prinsip meritokrasi
dan egalitarian, yakni hukum sebab dan akibat itu sendiri—hukum absolut yang
melampaui segala hukum tertinggi manapun. Hanya kaum Buddhist, yang memahami
betul prinsip “lebih baik tangan menengadah ke bawah (memberi, menanam),
daripada tangan yang menengadah ke atas (meminta, memohon, mengemis)”.
Mensucikan atau memurnikan diri,
artinya praktik kesucian, dimana ideologi “korup” semacam penghapusan dosa
hanya menodai, mencemari, dan menjadi penghambat, karenanya menjadi mengherankan
ketika mereka yang menyebut diri mereka sebagai ber-Tuhan, justru
mengkampanyekan penghapusan dosa alih-alih mempromosikan Hukum Karma. Memuliakan
Tuhan, adalah dengan menjadi manusia yang mulia, bukan dengan menjadi
seorang “pendosa sekaligus penjilat” yang hanya pandai “lempar batu, (lalu)
sembunyi tangan” yang seolah dosa-dosa tersebut dapat dicuci bersih semudah “lip service” (tipikal para pemalas, para
pecundang kehidupan).
Karenanya, dalam Buddhisme tidak
ditekankan istilah “aturan”, namun “disiplin diri”. Salah satu praktik
moralitas lainnya bagi umat awam dalam disiplin Buddhistik, dapat kita jumpai sebagaimana
rujukannya dalam Tipitaka, dengan kutipan sebagai berikut, dan silahkan
evaluasi serta sandingkan dengan praktik hukum diri Anda sendiri yang selama
ini mengaku menjalani hukum-hukum wahyu dogmatis Tuhan : [Sumber : Tipitaka,
Sutta Pitaka, Digha Nikaya, Penerbit : Badan Penerbit Ariya Surya Chandra,
1991.]
Sigālovāda
Sutta
Demikian yang telah kami dengar
:
1. Pada suatu ketika Sang Bhagava
sedang berdiam di Rajagaha, di Vihara Hutan Bambu di Kalandakanivapa (Tempat
Pemeliharaan Tupai). Pada waktu itu, Sigala Putra kepala keluarga, bangun
pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan Rajagaha; dengan rambut dan pakaian
basah dan sambil beranjali, ia menyembah ke berbagai arah, yaitu arah timur,
selatan, barat, utara, bawah dan atas.
2. Dan Sang Bhagava pada pagi
hari itu, setelah mengenakan jubah serta membawa mangkuk-Nya, pergi ke Rajagaha
untuk mengumpulkan dana makanan (pindapata).
Kemudian Sang Bhagava melihat
Sigala putra kepala keluarga, bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan
Rajagaha; dengan rambut dan pakaian basah dan sambil beranjali, ia menyembah ke
berbagai arah, yaitu arah timur, selatan, barat, utara, bawah dan atas. Dan
Sang Bhagava bertanya kepada Sigala putra kepala keluarga itu demikian :
“O putra kepala keluarga,
mengapa engkau bangun pagi-pagi sekali dan pergi meninggalkan Rajagaha; dengan
rambut dan pakaian basah dan sambil beranjali, engkau menyembah ke berbagai arah,
yaitu arah timur, selatan, barat, utara, bawah dan atas?”
“Bhante, ketika ayahku
mendekati ajal, beliau berkata kepadaku untuk menyembah ke berbagai arah.
Demikianlah, Bhante, karena menghormati, mengindahkan, menjunjung dan
menganggap suci kata-kata ayahku itu, maka aku bangun pagi-pagi sekali dan
pergi meninggalkan Rajagaha. Dengan rambut dan pakaian basah dan sambil
beranjali, aku menyembah ke berbagai arah, yaitu arah timur, selatan, barat,
utara, bawah dan atas.”
“Tetapi, O putra kepala
keluarga, dalam agama seorang Ariya enam arah itu tidak seharusnya
disembah dengan cara demikian.”
“Bhante, bagaimana enam arah
itu seharusnya disembah dalam agama seorang Ariya? Bhante, alangkah baiknya
apabila Sang Bhagava berkenan mengajarkan ajaran yang menguraikan caranya enam
arah itu harus disembah dalam agama seorang Ariya.”
3. “O putra kepala keluarga,
dengarkan dan perhatikan baik-baik kata-kata-Ku, dan Aku akan berbicara.”
“Baiklah, Bhante,” jawab Sigala
putra kepala keluarga itu kepada Sang Bhagava. Dan kemudian Sang Bhagava
berkata:
“O putra kepala keluarga,
karena siswa Ariya telah menyingkirkan empat kekotoran tingkah laku
(kammakilesa), karena ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat (papakamma)
yang didasari oleh empat dorongan, karena ia tidak mengejar enam saluran yang
memboroskan kekayaan maka dengan menjauhi (na sevati) empat belas hal buruk
ini, ia adalah seorang pengayom enam arah itu, seorang penakluk (vijaya), yaitu
ia akan sejahtera dalam alam ini dan alam berikutnya. Pada saat kehancuran tubuhnya,
setelah mati, ia akan terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga.
Apakah empat kekotoran
tingkah laku yang telah ia singkirkan itu? O putra kepala keluarga, itulah kekotoran
tingkah laku membunuh mahluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan,
berzinah dan berbohong. Inilah empat kekotoran tingkah laku yang telah ia
singkirkan. Demikian sabda Sang Bhagava.
4. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut : ”Membunuh mahluk
hidup, mencuri, berbohong, berzinah, Untuk perbuatan-perbuatan ini, para
bijaksana tidak memuji.”
5. “Apakah empat dorongan yang
mendasari perbuatan-perbuatan jahat yang tidak ia lakukan itu? Perbuatan-perbuatan
jahat yang dilakukan atas dorongan rasa senang sepihak (chanda gati),
perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan kebencian (dosa gati),
perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan ketidaktahuan (moha
gati) dan perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan atas dorongan rasa takut
(bhaya gati). Tetapi, O putra kepala keluarga, karena siswa Ariya tidak
terseret oleh dorongan rasa senang sepihak, tidak terseret oleh dorongan
kebencian, tidak terseret oleh dorongan ketidaktahuan dan tidak terseret oleh
dorongan rasa takut, maka ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena
empat dorongan ini. Demikian sabda Sang Bhagava.
6. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
“Siapa pun yang karena rasa
senang sepihak atau kebencian,
Atau ketidaktahuan atau
ketakutan telah melanggar Dhamma,
Maka nama baik dan
kemasyhurannya akan menjadi pudar
Bagaikan bulan yang susut pada
masa bulan-gelap.
“Siapa pun yang karena rasa
senang sepihak atau kebencian
Atau ketidaktahuan atau
ketakutan tidak pernah melanggar Dhamma,
Maka nama baik dan
kemasyhurannya menjadi sempurna dan penuh
Bagaikan bulan purnama pada
masa bulan-terang.”
7. “Dan apakah enam saluran
yang memboroskan kekayaan itu? O putra kepala keluarga, gemar minum-minuman
yang memabukkan, sering berkeliaran di jalan jalan pada saat yang tidak pantas,
mengejar tempat-tempat hiburan, gemar berjud!, bergaul dengan teman-teman jahat
dan kebiasaan menganggur (malas) adalah enam saluran yang memboroskan
kekayaan.”
8. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya (adinava) akibat gemar minum minuman yang memabukkan
(surameraya majjapamadatthananuyoga), yaitu : kerugian harta secara nyata,
bertambahnya pertengkaran, tubuh mudah terserang penyakit, kehilangan sifat
yang baik, terlihat tidak sopan, kecerdasan menjadi lemah. Inilah, O
putra kepala keluarga, enam bahaya akibat gemar minum minuman yang
memabukkan.”
9. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat sering berkeliaran di jalan jalan pada saat yang
tidak pantas (vikala visikhacariyanuyoga), yaitu : dirinya sendiri tidak
terjaga (agutta) dan tidak terlindung (arakkhita), anak istrinya tidak terjaga
dan tidak terlindung, harta kekayaannya tidak terjaga dan terlindung, juga ia
dapat dituduh sebagai pelaku kejahatan-kejahatan (yang belum terbukti), menjadi
sasaran desas-desus palsu, ia akan menjumpai banyak kesulitan. Inilah, O putra
kepala keluarga, enam bahaya akibat sering berkeliaran di jalan-jalan pada saat
yang tidak pantas.”
10. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat mengejar tempat-tempat hiburan (samajjabhicarane) :
(Ia selalu berpikir) di manakah ada tari-tarian? Di manakah ada
nyanyi-nyanyian? Di manakah ada pertunjukan musik? Di manakah ada pembacaan
deklamasi? Di manakah ada permainan tambur? Di manakah ada permainan genderang?
Inilah, O putra kepala keluarga, enam bahaya akibat mengejar tempat-tempat
hiburan.”
11. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat gemar berjud! : bila menang, ia memperoleh
kebencian; bila kalah, ia meratapi harta kekayaannya yang telah hilang;
kerugian harta benda secara nyata; di pengadilan kata-katanya tidak berharga;
ia dipandang rendah oleh sahabat-sahabat dan pejabat-pejabat pemerintah; ia
tidak disukai oleh orang-orang yang akan mencari atau mengambil menantu, karena
mereka akan berkata bahwa seorang penjudi tidak dapat memelihara seorang istri.
Inilah, O putra kepala keluarga, enam bahaya akibat gemar berjud!.”
12. “O putra kepala keluarga, terdapat
enam bahaya akibat bergaul dengan teman-teman jahat (papamitta) : setiap
penjud!, setiap orang yang gemar berfoya-foya, setiap pemabuk, setiap penipu,
setiap pengecoh, setiap orang yang kejam adalah teman dan sahabatnya.
Inilah, O putra kepala keluarga, enam bahaya akibat bergaul dengan teman-teman
jahat.”
13. “O putra kepala keluarga,
terdapat enam bahaya akibat kebiasaan menganggur (malas) : ia berkata
: “terlalu dingin”, dan ia tidak bekerja; ia berkata: “terlalu panas”, dan ia
tidak bekerja; ia berkata: “terlalu pagi”, dan ia tidak bekerja; ia berkata:
“terlalu siang”, dan ia tidak bekerja; ia berkata: “aku terlalu lapar”, dan ia
tidak bekerja; ia berkata: “aku terlalu kenyang”, dan ia tidak bekerja.
Dengan demikian semua yang
harus ia kerjakan tetap tidak dikerjakan, harta kekayaan baru tidak ia peroleh,
dan harta kekayaan yang sudah ia miliki menjadi habis. Demikian sabda Sang Bhagava.
14. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Beberapa teman hanyalah kawan
minum;
Beberapa teman adalah mereka
yang di hadapanmu akan berkata :
Sahabat baik! Sahabat baik!
Tetapi seseorang yang
menyatakan kawan pada saat engkau membutuhkan,
Maka dia sesungguhnya yang
layak disebut kawan olehmu.
Tidur sewaktu matahari telah
terbit, perzinahan,
Terlibat dalam pertengkaran dan
berbuat merugikan,
Bersahabat dengan orang-orang
jahat dan berhati kejam :
Inilah enam sebab yang
menjadikan keruntuhan seseorang.
Ia yang berteman dan
bersahabat dengan orang-orang jahat
Ia yang dalam hidupnya
melakukan hal-hal buruk, maka
Baik di alam ini maupun di
alam berikutnya
Orang itu akan mengalami
keruntuhan yang menyedihkan.
Berjud! dan wanita, minuman
keras, tari-tarian dan nyanyian
Tidur pada siang hari dan
berkeliaran pada malam hari.
Bersahabat dengan orang-orang
jahat, berhati kejam :
Inilah enam sebab yang
menjadikan keruntuhan seseorang.
Bermain dadu, minum-minuman
keras, ia pergi kepada
Wanita-wanita yang amat
dicintai laki-laki lain,
Mengikuti yang berpikiran
rendah, bukan yang berpikiran mulia,
Maka ia akan menjadi suram
bagai bulan yang menyusut pada masa bulan-gelap.
Pecandu minuman keras, miskin,
melarat,
Seorang yang haus sewaktu
minum, pengejar kedai minuman,
Demikian ia tenggelam dalam
hutang-hutang, bagai batu dalam air;
Cepat sekali ia membawa nista
pada keluarganya.
Ia yang mempunyai kebiasaan
tidur pada waktu siang,
Yang menganggap malam sebagai
waktu untuk berjaga,
Ia yang selalu tidak
bertanggung jawab, dipenuhi dengan anggur,
Ia yang tidak cakap untuk
membina rumah tangga.
Terlalu dingin! Terlalu panas! Terlalu
siang! demikian keluhannya,
Dengan cara begitu orang malas
menghindari pekerjaan yang menanti,
Sehingga kesempatan baik akan
berlalu.
Tetapi ia yang menganggap
dingin dan panas sebagai hal yang remeh
Dengan cara apa pun ia tidak
akan kehilangan kebahagiaannya.
15. “O putra kepala keluarga, terdapat
empat macam orang yang harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi
sahabat (amittamittapatirupaka) : Yaitu orang yang tamak
(annadatthuharo); orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apa
(vaci paramo); penjilat (annuppiyabhani); kawan pemboros (apayasahayo).
16. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, orang yang tamak harus dianggap sebagai musuh yang
berpura-pura menjadi sahabat : ia tamak; ia memberi sedikit dan meminta
banyak; ia melakukan kewajibannya karena takut; ia hanya ingat
akan kepentingannya sendiri. O putra kepala keluarga, atas empat dasar
inilah orang yang tamak harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi
sahabat.
17. Atas empat dasar, O putra kepala
keluarga, orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apa harus
dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat: ia menyatakan
persahabatan berkenaan dengan hal-hal yang lampau; ia menyatakan persahabatan
berkenaan dengan hal-hal mendatang; ia berusaha untuk mendapatkan simpati
dengan kata-kata kosong; bila ada kesempatan untuk membantu ia
menyatakan tidak sanggup. O putra kepala keluarga; atas empat dasar inilah
orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apa harus dianggap sebagai
musuh yang berpura-pura menjadi sahabat.
18. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, seorang penjilat harus dianggap sebagai musuh yang
berpura-pura menjadi sahabat: ia menyetujui hal-hal yang salah; juga ia
tidak menganjurkan hal-hal yang benar; ia akan memuji dirimu di
hadapanmu; ia berbicara jelek tentang dirimu di hadapan orang-orang lain. O
putra kepala keluarga, atas empat dasar inilah seorang penjilat harus dianggap
sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat.
19. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, seorang kawan pemboros harus dianggap sebagai musuh yang
berpura-pura menjadi sahabat: ia menjadi kawanmu apabila engkau gemar akan
minum-minuman keras; ia menjadi kawanmu apabila engkau sering herkeliaran di
jalan-jalan pada waktu yang tidak pantas; ia menjadi kawanmu apabila engkau
mengejar tempat-tempat hiburan dan pertunjukan; ia menjadi kawanmu apabila
engkau gemar berjud!. O putra kepala keluarga, atas empat dasar inilah seorang
kawan pemboros harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat.
Demikian sabda Sang Bhagava.
20. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Sahabat yang selalu mencari apa-apa untuk diambil,
Sahabat yang kata-katanya berlainan dengan perbuatannya
Sahabat yang menjilat, lagi pula hanya berusaha membuat
engkau senang
Sahabat yang bergembira dengan cara-cara jahat
Empat ini adalah musuh-musuh
Setelah menyadarinya demikian
Biarlah orang bijaksana menghindari mereka dari jauh,
Seakan mereka jalan yang berbahaya dan menakutkan.
21. “O putra kepala keluarga, terdapat
empat macam sahabat yang harus dipandang berhati tulus (suhada) : yaitu sahabat
penolong (upakaro mitto); sahabat pada waktu senang dan susah
(samanasukha dukkhomitto); sahabat yang memberi nasehat baik (atthakhaya
mitto); sahabat yang bersimpati (anukampako-mitto).
22. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, sahabat penolong harus dipandang berhati tulus: ia menjaga
dirimu sewaktu engkau lengah; ia menjaga milikmu sewaktu engkau lengah;
ia menjadi pelindung dirimu sewaktu engkau dalam keadaan ketakutan; ia memberikan
bantuan dua kali daripada apa yang kau perlukan. O putra kepala keluarga,
atas empat dasar inilah sahabat penolong harus dipandang berhati tulus.
23. Atas empat dasar, O putra kepala
keluarga, sahabat pada waktu senang dan susah harus dipandang berhati
tulus: ia menceritakan rahasia-rahasia dirinya kepadamu; ia menjaga
rahasia-rahasia dirimu; ia tidak akan meninggalkan dirimu sewaktu engkau berada
dalam kesulitan; ia bahkan bersedia mengorbankan hidupnya demi kepentinganmu.
O putra kepala keluarga, atas empat dasar inilah sahabat pada waktu senang dan
susah harus dipandang berhati tulus.
24. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, sahabat yang menasehatkan apa yang perlu engkau lakukan harus
dipandang berhati tulus: Ia mencegah engkau berbuat jahat; ia menganjurkan
engkau untuk berbuat yang benar; ia memberitahukan apa yang belum engkau pernah
dengar; ia menunjukkan engkau jalan ke surga. O putra kepala keluarga, atas
empat dasar inilah sahabat yang menasehatkan apa yang perlu engkau lakukan
harus dipandang berhati tulus.
25. Atas empat dasar, O putra
kepala keluarga, sahabat yang bersimpati harus dipandang berhati tulus :
ia tidak bergembira atas kesengsaraanmu; ia merasa senang atas
kesejahteraanmu, ia mencegah orang lain berbicara jelek tentang dirimu, ia
membenarkan orang lain yang memuji dirimu. O putra kepala keluarga, atas
empat dasar inilah sahabat yang bersimpati harus dipandang berhati tulus.
Demikian sabda Sang Bhagava.
26. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Sahabat yang menjadi
penolong, dan sahabat
Pada hari-hari terang dan
gelap; ia yang menunjukkan
Apa yang engkau perlukan, dan
ia yang bergetar dengan simpati
Untuk dirimu : empat macam
orang ini, seorang bijaksana harus mengenali
Sebagai sahabat-sahabat, dan ia
harus membaktikan dirinya kepada mereka
Seperti seorang ibu kepada
anaknya sendiri, anak kesayangannya.
Siapa pun yang bajik dan pandai
Bercahaya seperti api yang
menyala di bukit
Baginya, mengumpulkan
kekayaan adalah seperti lebah berterbangan
Yang mengumpulkan madu tanpa
mengganggu siapapun
Kekayaan menumpuk tinggi
bagaikan timbunan bukit semut
Bila kekayaan orang berkeluarga
yang baik telah terkumpul seperti itu
Dapatlah ia memberi manfaat
warganya
Biarlah ia membagi kekayaannya
dalam empat bagian
Demikianlah ia mengikat
kehidupannya dengan hal-hal yang baik
Satu bagian biarlah
dipergunakan dan dinikmati sebagai buah usaha,
Dua bagian untuk melangsungkan
usahanya
Bagian keempat biarlah
dicadangkan dan ditabung
Sehingga ada persediaan pada
saat yang sulit.
27. O putra kepala keluarga,
bagaimana caranya siswa Ariya melindungi enam arah itu? O putra kepala
keluarga, enam arah itu harus dipandang sebagai berikut : ibu dan ayah
seperti arah Timur, para guru seperti arah Selatan; istri dan anak-anak seperti
arah Barat; sahabat-sahabat dan kawan-kawan seperti arah Utara; pelayan-pelayan
dan karyawan-karyawan seperti arah bawah; guru-guru agama dan brahmana-brahmana
seperti arah atas.
28. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang anak harus memperlakukan orang tuanya seperti arah
Timur: dahulu aku dirawat oleh mereka, sekarang aku akan merawat mereka; aku akan
memikul beban kewajiban-kewajiban mereka; aku akan mempertahankan keturunan dan
tradisi keluarga; aku akan menjadikan diriku pantas menerima warisan;
aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka
meninggal dunia.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, orang tua yang diperlakukan demikian oleh seorang anak seperti
arah Timur, menunjukkan kecintaan mereka kepadanya: mereka mencegahnya
berbuat jahat; mereka mendorongnya berbuat baik; mereka melatihnya dalam suatu
profesi; mereka mencarikan pasangan (istri) yang pantas baginya; dan pada
waktu yang tepat, mereka menyerahkan warisan mereka kepadanya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang anak memperlakukan orang tuanya seperti arah Timur.
Dalam lima cara inilah orang tua menunjukkan kecintaan mereka kepadanya.
Demikianlah arah timur ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.
29. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara siswa-siswa harus memperlakukan guru-guru mereka seperti arah
Selatan: dengan bangkit (dari tempat duduk untuk memberi hormat); dengan
melayani mereka; dengan bersemangat untuk belajar; dengan memberikan
jasa-jasa kepada mereka; dengan memberikan perhatian sewaktu menerima ajaran
dari mereka.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, guru-guru yang diperlakukan demikian oleh siswa-siswa mereka
seperti arah Selatan, mencintai siswa-siswa mereka: mereka melatihnya
sedemikian rupa sehingga ia terlalu baik; mereka membuatnya menguasai apa yang
telah diajarkan; mereka mengajarnya secara menyeluruh dalam berbagai ilmu dan
seni; mereka berbicara baik tentang dirinya di antara sahabat-sahabatnya dan
kawan-kawannya; mereka menjaga keselamatannya di semua tempat.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah siswa-siswa memperlakukan guru-guru mereka seperti arah
Selatan. Dalam lima cara inilah guru-guru mencintai siswa-siswa mereka.
Demikianlah arah Selatan ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.
30. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang istri harus diperlakukan oleh suaminya seperti arah
Barat: dengan menghormati; dengan bersikap ramah-tamah; dengan kesetiaan;
dengan menyerahkan kekuasaan rumah tangga kepadanya; dengan memberi
barang-barang perhiasan kepadanya.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, seorang istri yang diperlakukan demikian oleh suaminya seperti
arah Barat, mencintainya: menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik;
bersikap ramah-tamah terhadap sanak-keluarga kedua belah pihak; dengan
kesetiaan; dengan menjaga barang-barang yang diberikan suaminya; pandai dan
rajin dalam melaksanakan segala tanggung-jawabnya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang suami memperlakukan istrinya seperti arah Barat. Dalam
lima cara ini seorang istri mencintai suaminya. Demikianlah arah barat ini dilindungi,
diselamatkan dan diamankan olehnya.
31. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang warga keluarga memperlakukan sahabat-sahabat dan
kawan-kawannya seperti arah Utara: dengan bermurah hati; berlaku ramah
tamah; memberikan bantuan; dengan memperlakukan mereka seperti ia memperlakukan
dirinya sendiri; dengan berbuat sebaik ucapannya.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, sahabat-sahabat dan kawan-kawan yang diperlakukan demikian
oleh seorang warga keluarga seperti arah Utara, mencintainya: mereka
melindunginya sewaktu ia lengah; mereka melindungi harta miliknya sewaktu ia
lengah; mereka menjadi pelindung sewaktu ia berada dalam bahaya; mereka tidak
akan meninggalkannya sewaktu ia sedang dalam kesulitan; mereka menghormati
keluarganya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang warga keluarga memperlakukan sahabat-sahabat dan
kawan-kawannya seperti arah Utara. Dalam lima cara inilah sahabat sahabat dan
kawan-kawan mencintainya. Demikianlah arah utara ini dilindungi, diselamatkan
den diamankan olehnya.
32. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan
karyawan-karyawannya seperti arah bawah : dengan memberikan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan mereka; dengan memberikan mereka makanan dan upah;
dengan merawat mereka sewaktu mereka sakit; dengan membagi barang-barang
kebutuhan hidupnya; dengan memberikan cuti pada waktu-waktu tertentu.
Dalam lima cara ini, O putra
kepala keluarga, pelayan-pelayan dan karyawan-karyawan yang diperlakukan
demikian oleh seorang majikan seperti arah bawah, akan mencintainya : mereka
bangun lebih pagi daripadanya; mereka merebahkan diri untuk beristirahat
setelahnya; mereka merasa puas dengan apa yang diberikan kepada mereka; mereka
melakukan kewajiban-kewajiban mereka dengan baik; di manapun mereka berada
mereka akan memuji majikannya, memuji keharuman namanya.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan
karyawan-karyawannya seperti arah bawah. Dalam lima cara inilah pelayan-pelayan
dan karyawan-karyawan mencintainya. Demikianlah arah bawah ini dilindungi,
diselamatkan dan diamankan olehnya.
33. O putra kepala keluarga,
dalam lima cara seorang warga keluarga harus memperlakukan para pertapa dan
brahmana seperti arah atas : dengan cinta kasih dalam perbuatan; dengan
cinta kasih dalam perkataan; dengan cinta kasih dalam pikiran; membuka pintu
rumah bagi mereka (mempersilahkan mereka); menunjang kebutuhan hidup mereka
pada waktu-waktu tertentu.
Dalam enam cara ini, O putra
kepala keluarga, para pertapa dan brahmana yang diperlakukan demikian oleh
seorang warga keluarga seperti arah atas, akan menunjukkan kecintaan mereka : mereka
mencegah ia berbuat jahat; mereka menganjurkan ia berbuat baik; mereka mencintainya
dengan pikiran penuh kasih sayang; mereka mengajarkan apa yang belum pernah ia
dengar; mereka membenarkan dan memurnikan apa yang pernah ia dengar; mereka
menunjukkan ia jalan ke surga.
O putra kepala keluarga, dalam
lima cara inilah seorang warga keluarga memperlakukan para pertapa dan brahmana
seperti arah atas. Dalam enam cara inilah para pertapa dan brahmana menunjukkan
kecintaan mereka kepadanya. Demikianlah arah atas ini dilindungi, diselamatkan
dan diamankan olehnya.
Demikian sabda Sang Bhagava.
34. Dan setelah Sang Sugata
berkata demikian, Sang Guru (sattha) berkata lebih lanjut:
Ibu dan ayah adalah arah timur,
Dan guru-guru adalah arah
selatan
Istri den anak-anak adalah arah
barat,
Dan sahabat-sahabat serta sanak
keluarga adalah arah utara;
Para pelayan dan karyawan
adalah arah bawah
Dan arah atas adalah para
pertapa dan brahmana
Semua arah ini harus disembah
oleh orang yang
Pantas menjabat sebagai
kepala keluarga dalam warganya.
Ia yang bijaksana, terlatih
dalam cara-cara bajik
Lemah lembut dan pandai dalam
pemujaan ini,
Rendah hati dan patuh, maka ia
akan memperoleh kehormatan.
Bangun pagi-pagi, musuh pada
kemalasan,
Tak goyah dalam
kemalangan-kemalangan, kehidupannya
Tanpa cacat, bijaksana, maka
ia akan memperoleh kehormatan
Bila ia telah mendapatkan
cara-cara dan membuat sahabat-sahabat
Menyambut dengan kata-kata yang
ramah dan hati yang tulus
Dan ia dapat memberi petunjuk
dan nasehat yang bijaksana
Dan membimbing
sahabat-sahabatnya, maka ia akan memperoleh kehormatan.
Tangan pemberi,
ucapan ramah tamah
Kehidupan penuh pengabdian,
tak membedakan diri sendiri
Dengan orang lain,
seperti diminta keadaan :
Inilah yang membuat dunia
berputar
Seperti poros memberikan jasa
pada majunya kereta
Dan bila hal-hal demikian tidak
ada, tiada seorang ibu akan menerima
Penghormatan dan penghargaan
yang seharusnya diberikan oleh anak-anaknya
Juga sang ayah yang seharusnya
memperoleh hal-hal ini dari anak-anaknya
Dan karena para bijaksana
dengan tepat memuji akan hal-hal ini
Mereka memperoleh keluhuran dan
pujian manusia.
Setelah Beliau selesai berkata
demikian, Sigala, putra kepala keluarga itu, berkata kepada Sang Bhagava:
“Sungguh mengagumkan, Bhante!
Sungguh mengagumkan, Bhante! Sama halnya seperti seseorang menegakkan kembali
apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan
benar kepada yang tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan: agar mereka
yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula,
dengan berbagai macam cara Dhamma telah dibabarkan oleh Sang Bhagava kepadaku.
Dan sekarang, Bhante, aku menyatakan berlindung kepada Sang Bhagava, Dhamma
serta Sangha. Semoga Sang Bhagava berkenan menerima aku sebagai seorang
upasaka, yang sejak hari ini sampai selama-lamanya telah menyatakan berlindung
kepada Buddha, Dhamma serta Sangha.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.