ARTIKEL HUKUM
Kabar Baik yang Menyaru sebagai Kabar Buruk
Good or Bad, Who
Knows?
Tidak ada orang yang tidak dapat dikalahkan, selain orang-orang yang sedang mujur (terlindungi oleh Karma Baik yang kebetulan sedang berbuah pada diri yang bersangkutan), dimana bahkan apa yang tampak seolah sebagai “kabar buruk”, dapat menjelma kabar paling baik yang mungkin dapat terjadi pada diri seseorang. Berlaku prinsip sebaliknya, sekalipun Anda berada pada pihak yang benar, dan bahkan menjadi korban kejahatan, tetap saja pelakunya akan lolos dari jerat hukum, dimana korban hanya dapat “gigit jari” atau bahkan tertimpa tangga pula setelah terjatuh, bilamana Karma Buruk sedang berbuah pada diri sang korban. Hidup akan serba salah ketika Karma Buruk berbuah.
Sebaliknya, ketika Karma
Baik berbuah, seorang penjahat akan selalu berhasil melancarkan setiap niat
jahatnya, mengakibatkan dirinya melaju di jalan tol menuju “neraka”—buah
Karma Baik dapat menjadi “bumerang” bila tidak arif menyikapinya. Hidup memang
adalah “permainan Karma”, terombang-ambing oleh samudera Karma yang sukar
ditebak perangainya. Sehingga, sering terjadi, perihal keadilan ataupun
ketidakadilan, kesemua itu sangat bergantung pada faktor ada atau tidaknya
modal tabungan Karma Baik yang dapat berbuah tepat pada waktunya saat kita
butuhkan. Bisa juga terjadi Karma Baik berbuah, berlanjut dengan serangkaian Karma
Buruk dan serentetan Karma Baik lainnya secara silih-berganti, membuat kita
yang masih terbelenggu rantai Karma, jungkir-balik sepanjang hayat kita, dalam arti
harfiah yang sesungguhnya.
Sungguh hidup yang penuh
ketidak-pastian tentang apa yang akan terjadi dimasa mendatang, semata karena masa
depan sifatnya memang serba “tidak pasti”, bahkan ramalan dokter ataupun cenayang
pun dapat meleset. Kisah berikut di bawah ini merupakan kisah nyata,
sebagaimana dialami langsung oleh salah seorang klien dari penulis beberapa
waktu lampau, dimana kita dan para pembaca dapat memetik hikmah dari pengalamannya
tersebut sebagai pembelajaran, dengan harapan tidak mudah menyerah sekalipun
harus berjuang selama sepuluh tahun lamanya yang menuntut kesabaran prima.
Bermula dari kerjasama permodalan
bisnis usaha, klien dari penulis menanamkan sejumlah modal usaha senilai
miliaran rupiah, yang ternyata kemudian disalahgunakan oleh sang penerima modal
investasi, yang mana justru dipakai untuk keperluan pribadinya alih-alih benar-benar
diputar untuk keperluan modal usaha dan pengembangannya. Sang pemodal mengalami
kerugian, akibat gagal bayarnya sang peminjam dana investasi. Tagih-menagih
selalu berbuah pahit, tiada hasil, ingkar janji demi ingkar janji diumbar oleh
pihak peminjam dana modal.
Berlarut-larutnya pengembalian
dana sebagaimana diperjanjikan diawal, dimana modal usaha justru disalahgunakan
untuk keperluan pribadi sang peminjam yang sama sekali tidak terkait usaha yang
diberikan modal investasi, bermuara pada dilaporkannya pihak peminjam oleh sang
pemodal, kepada pihak berwajib untuk diproses secara pidana. Berlanjut ke
tingkat pemeriksaan oleh penyidik kepolisian, bermuara para tuntutan oleh Jaksa
Penuntut Umum di hadapan pengadilan, dan jatuhlah vonis pidana penjara oleh Majelis
Hakim pada sebuah Pengadilan Negeri akibat perbuatan melawan hukum “penggelapan
dana modal usaha” oleh pihak peminjam.
Alih-alih menjadi klimaks
perkara dan sengketa, divonis pidananya pihak peminjam modal usaha justru
menjadi lembaran sengketa baru yang lebih berlarut-larut dan menguras energi,
biaya, dan waktu selama satu dekade kedepan lamanya. Karena vonis pidana
penjara yang dijatuhkan hakim, dinilai ringan saja karena tidak sampai dua
tahun pidana penjara, meski modal usaha yang digelapkan oleh sang peminjam
mencapai miliaran rupiah (hasil perjuangan sang pemilik modal dalam
mengumpulkan uang selama puluhan tahun), sang peminjam dana (Terpidana) tidak
mengajukan upaya hukum apapun, pihak Kejaksaan pun tidak mengajukan upaya hukum
banding, sehingga putusan pidana oleh Pengadilan Negeri menjadi berkekuatan
hukum tetap (inkracht) seketika itu
juga.
Akibat berdelusi bahwa diri sang
peminjam telah menjalani vonis pidana penjara selama setahun lebih, maka ia
berpendirian bahwa dirinya tidak lagi merasa perlu mengembalikan separuh
ataupun seluruh modal usaha yang telah pernah diterima olehnya dari pemilik
modal. Jadilah, lembara baru sengketa perdata gugat-menggugat dimulai, setelah
prahara pemidanaan usai dan pihak peminjam modal usaha tidak juga kunjung
merasa gentar untuk mengembalikan dana pinjaman modal usaha milik sang pemodal
yang jelas tidak merasa rela mengikhlaskan meski telah dipidana penjaranya
pihak peminjam modal yang menggelapkan modal pinjaman yang dipercayakan untuk
diserahkan kepadanya untuk keperluan modal usaha.
Gugatan perdana, pun diajukan
oleh pihak pemilik modal. Namun, seperti yang sudah kita duga sebelumnya, pihak
hakim meminta uang suap, akan tetapi tidak diberikan oleh pihak pemilik modal
selaku Penggugat. Alhasil, gugatan pihak pemilik modal dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh hakim di Pengadilan
Negeri, sehingga pokok perkara tidak disentuh juga tidak diperiksa ataupun diputuskan
oleh hakim pengadilan. Setelah banyak perhatian, tenaga, biaya, dan waktu
terkuras, pemilik modal belum menyerah. Pasrah ataupun pasif, bukan menjadi
pilihan, modal usaha yang dipinjamkan harus kembali ke tangan pemiliknya,
bagaimana pun rumit dan terjal-berlikunya jalan yang harus ditempuh. Sampai-sampai,
sang pemilik modal yang notabene berlatar-belakang disiplin ilmu non-hukum,
memelajari ilmu hukum secara mendalam sebagai bekalnya mengajukan gugatan.
Gugatan kedua, diajukan oleh
pihak pemilik modal. Entah akibat praktik suap-menyuap yang mana hakim bersifat
kolusif, ataukah karena kuasa hukum (pengacara) dari pihak Penggugat yang cukup
tidak kompeten, sekalipun sengketanya tergolong sederhana untuk disusun ke
dalam sebentuk surat gugatan mengingat telah dibekalinya putusan pidana yang telah
inkracht, bermuara pada kembali “tidak dapat diterima”-nya gugatan pemilik
modal oleh Pengadilan Negeri.
Biasanya, kalangan Penggugat yang
mendapati berbagai gugatannya telah dimentahkan oleh pengadilan, akan “patah
semangat” dan “patah arang”, lalu merelakan uangnya “melayang” atau “menguap”
begitu saja. Namun tidak bagi sang pemilik modal satu ini, menyerah bukanlah opsi
untuk dipilih, sekalipun dari segi usia sudah cukup tergolong sepuh dan setiap
persidangan selalu dihadiri langsung oleh dirinya sekalipun didampingi kuasa
hukum. Secara pribadi, penulis merasa kagum atas kegigihan pihak klien dalam memperjuangkan
nasib dan hak-haknya yang tidak akan sanggup dijalani oleh setiap orang.
Gugatan ketiga, menemui “nasib”
yang tidak berbeda dari “nasib” kedua gugatan sebelumnya, dinyatakan oleh hakim
pada Pengadilan Negeri yang sama sebagai “tidak
dapat diterima”. Kita pasti berpikir dan berasumsi, betapa tidak mujurnya diri
sang pemilik modal, sehingga patut diberi simpati dan keprihatinan atas
perjuangannya yang selalu berakhir sia-sia akibat pengadilan yang terlampau
formalistik. Namun, api semangat rupanya masih tersisa dan membara pada diri sang
pemilik modal, maka diajukan kembali gugatan ulang, untuk keempat kalinya dan
pada saat itulah penulis terlibat perannya sebagai Konsultan Hukum sang pemilik
modal.
Untuk kembali menguatkan mental
sang pemilik modal yang tampaknya mulai terkuras habis sehingga muncul psikosomatik
berupa ekses keluhan fisik seperti mudah jatuh sakit (menurunnya imun tubuh)
hingga migrain sakit kepala, maka penulis berikan pandangan hukum yang cukup
menghibur—namun tanpa membuat opini hukum yang imajiner—bahwa sang klien selaku
pemilik modal saat kini patut merasa “bersyukur”, mengingat beberapa faktor
pertimbangan sebagai berikut:
- tidak perlu merasa sedih
ketika mendapati vonis pidana berupa penjara kepada pihak peminjam modal usaha,
adalah tergolong ringan hukumannya. Pihak peminjam modal, merasa diuntungkan
oleh vonis yang ringan, sehingga tidak mengajukan upaya hukum banding. Artinya,
dirinya telah mengakui bahwa dirinya telah melakukan penggelapan terhadap dana
milik pemilik modal, mengakui fakta-fakta hukum yang terkuak dalam putusan
pidana, mengakui semua keterangan-keterangan yang diberikannya dalam
persidangan perkara pidana, maupun terhadap keterangan-keterangan para saksi,
tidak terkecuali pertimbangan hukum dan vonis hakim;
- telah dipidana penjaranya
pihak peminjam modal usaha sebagai Terpidana kasus “penggelapan”, maka secara
yuridis gugatan dapat disusun secara lebih mudah proses pembuktiannya, merujuk
pada prinsip SURAT PUTUSAN PIDANA SEBAGAI BUKTI PERDATA : “Suatu putusan dari Peradilan Pidana memiliki kekuatan bukti yang
sempurna di dalam proses perkara Perdata, baik terhadap Terpidana itu sendiri
maupun terhadap pihak ketiga, dengan tidak menutup diajukannya bukti lawan.”
(Putusan Mahkamah Agung No. 199 K/Sip/1973 tanggal 27 November 1975);
- berlarut-larutnya proses
gugat-menggugat yang telah tiga kali banyaknya dinyatakan “tidak dapat diterima” oleh hakim Pengadilan Negeri, tidak dimaknai
sebagai “gugatan ditolak” baik
sebagian maupun seluruhnya, sehingga masih dapat diajukan gugatan ulang tanpa
resiko dinyatakan “nebis in idem”.
Penggugat letih, namun Tergugat pun akan merasakan letih yang serupa;
- justru akibat berlarut-larutnya
proses pengembalian modal usaha, hingga pada saat gugatan keempat diajukan
telah mencapai satu dekade lamanya sejak peminjaman modal usaha diberikan dan
wanprestasi dikembalikan, mengakibatkan bunga atau bagi hasil usaha atas modal
pinjaman milik pemodal, telah “beranak-pinak” dimana kini totalnya menjelma
belasan miliaran rupiah, bukan lagi sekadar beberapa miliar rupiah sebagaimana
modal pinjaman awal sepuluh tahun lampau;
- justru akibat tiga kali
gugatan sebelumnya dinyatakan “tidak
dapat diterima” oleh hakim Pengadilan Negeri, maka pihak peminjam modal
usaha selaku Tergugat, sudah habis dana untuk membayar uang suap bagi hakim
pada gugatan-gugatan sebelumnya, dimana kini dirinya akan bertanya-tanya dan
berpikir ribuan kali untuk kembali menyuap hakim, sampai berapa kali lagi-kah
gugatan akan diajukan pihak pemilik modal, sehingga apakah masih perlu memberi
uang suap kepada hakim?
- dengan telah tiga kali
banyaknya gugatan dinyatakan “tidak dapat
diterima” oleh hakim Pengadilan Negeri, banyak uang milik Tergugat—meski
semua itu adalah dana modal pinjaman milik Penggugat—habis untuk keperluan
membayar / menyewa pengacara, yang sama sekali tidak menyelesaikan perkara
ataupun sengketa—mengapa juga pihak Tergugat lebih sibuk menghambur-hamburkan uang
untuk membayar pengacara dan menyuap hakim, alih-alih mengembalikan dan
melunasi hutang-hutangnya kepada Penggugat?
- dengan telah tiga kali
banyaknya gugatan dinyatakan “tidak dapat
diterima” oleh hakim Pengadilan Negeri, mengakibatkan pihak pemilik modal
menjadi tahu betul dalil-dalil yang selama ini dipakai untuk membantah,
berkelit, ataupun menyanggah, sehingga dapat menyusun dalil-dalil dalam surat gugatan
yang kuat dan tidak lagi terbantahkan sifatnya, menurup rapat-rapat celah,
sekalipun perkara gugatan ditangani oleh hakim yang “nakal”;
- coba saja jika gugatan
pertama, gugatan kedua, maupun gugatan ketiga yang diterima dan dikabulkan oleh
hakim, bisa jadi pihak pemilik modal akan “merugi” sebentuk “potential loss” karena hanya sekadar
menuntut pengembalian modal usaha tanpa disertai tuntutan berupa bunga atau
bagi hasil usaha atas modal yang telah ia pinjamkan. Barulah pada gugatan
keempat, disertakan tuntutan bunga atau bagi hasil usaha, yang mana totalnya mencapai
berkali-kali lipat dari modal pinjaman semula.
Sang klien pun kembali bangkit
semangatnya setelah mendapatkan suplemen berupa “suntikan” pencerahan pandangan
hukum yang penulis berikan secara objektif (tanpa harapan semu) dalam sesi
konsultasi. Momen yang sama, namun bersedih sekaligus bersyukur bagi pihak-pihak
yang terlibat sengketa. Air mata dan senyum bercampur menjadi satu, kejadian di
atas sungguh ilustrasi nyata yang sempurna. Mengira “malang”, sejatinya “mujur”—ataupun
sebaliknya, mengira “mujur” meski sejatinya sedang mengarah menuju “jurang”
yang terjal.
Tiada yang pasti, masa depan
masih menjadi misteri. Kita hanya dapat berjuang sebaik mungkin pada “current / present moment” ini, dan
menghargai setiap kesempatan yang ada untuk bertumbuh dalam kebajikan, dalam
optimisme, berpikiran positif, dan tidak patah semangat dalam artian kembali
bangkit dan kembali bangkit sebanyak apapun kita pernah atau telah terjatuh. Sebagai
penutup, menurut para pembaca, apakah iming-iming “korup” yang penuh
kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, adalah
kabar baik ataukah kabar buruk? Kabar baik bagi pendosa, selalu
merupakan kabar buruk bagi para korban dari para pendosa tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.