LEGAL OPINION
Menyukai Sesama Jenis bukanlah Kejahatan. Namun ketika
Penyimpangan Orientasi Seksuil tersebut Diekspresikan, Barulah Menjelma Sebentuk
Kejahatan
Question: Mengapa praktik pernikahan sejenis ataupun persetubuhan sejenis (antar sesama pria ataupun antar sesama wanita), adalah terlarang dan harus dilarang oleh hukum negara?
Brief Answer: Jawabannya adalah seperti ketika kita bertanya, “mengapa
orang jahat disebut sebagai jahat dan harus dihukum”? Tidak lain tidak bukan, ialah
karena sang pelaku bersikap seolah-olah tiada pilihan lain untuk dipilih.
Seorang pecundang, (justru) selalu lebih sibuk mencari-cari alasan sebagai “alasan
pembenar” (upaya pembenaran diri) untuk menjustifikasi perbuatan-perbuatan buruk
dan tercelanya, semisal butuh uang untuk menafkahi keluarga sehingga mencuri
hak milik orang lain, sekalipun anggota tubuhnya lengkap untuk bekerja membanting-tulang
sendiri, dimana bisa jadi orang-orang yang mereka korbankan jauh lebih miskin dan
lebih sukar hidupnya daripada sang pelaku. Kesemua itu bukanlah alasan pembenar
untuk sesuatu perbuatan yang tidak benar adanya.
Sama halnya, seseorang bisa jadi memiliki
kelainan atau penyimpangan orientasi seksuil akibat faktor genetik yang cacat
tidak sempurna seperti orang-orang pada umumnya, dan kita turut prihatin bagi
mereka, sebagaimana orang-orang yang bisa jadi memiliki cacat pada anggota
tubuhnya yang tidak lengkap, ataupun masalah kejiwaan lainnya seperti depresi
ataupun traumatik atas pengalaman masa lampau. Namun, mereka barulah
melakukan kejahatan ketika mereka bersikap seolah-olah tiada pilihan lain untuk
dipilih, dan bersikeras untuk melakukan praktik pernikahan antar sesama
jenis maupun hubungan intim-kelam!n antar sesama jenis selayaknya suami-istri,
atau bahkan pemerkosaan antar sesama jenis, pedofil!a antar sesama jenis, atau praktik-praktik
serupa lainnya.
Ketika tiada opsi lain untuk dipilih, semisal
akibat adanya “daya paksa” yang melampaui batas kemampuan seseorang warga (baik
overmacht ataupun force majeure), berdasarkan teori “mau
tidak mau, tiada pilihan lain”, diluar kesengajaan maupun kelalaian yang
bersangkutan, maka hukum negara akan mentolerir perbuatan sang warga, sebagai “alasan
pemaaf”, sehingga tidak diancam sanksi oleh hukum, baik secara perdata maupun
secara pidana. Semisal seseorang dipaksa untuk melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki
olehnya, oleh sebab dibawah pengaruh ancaman senjata tajam yang dilingkarkan
pada leher sang warga oleh seorang pelaku pengacam, sehingga tiada pilihan lain—kecuali
diancam untuk membunuh warga lainnya, ancaman akan dibunuh bukanlah alasan
pembenar bagi yang diancam untuk merampas hak hidup orang lain.
Para subjek hukum selaku individu yang memiliki
kelainan genetik terkait hormonal dan orientasi seksuil, terutama Kromosom X
dan Y, yang entah bagaimana terbentuk secara tidak sempurna saat proses
pembuahan maupun pembentukan janin dalam kandungan, warisan dari genetik
orangtua maupun akibat mutasi, sehingga ketika dilahirkan dan tumbuh besar
menjadi penyuka “sesama jenis”, namun tidaklah dapat dimaknai mereka harus
senantiasa mengikuti apapun dorongan hati dan kehendak diri tanpa pertimbangan
yang matang.
Sebagai seorang manusia yang
memiliki akal dan budi, sebagai letak pembeda paling utama antara manusia dan
hewan, kemampuan dalam pengendalian diri adalah elemen utama pembentuk
kemanusiaan yang tidak dimiliki oleh bangsa hewan yang sekadar menjadi budak
naluri dan insting hewani mereka.
PEMBAHASAN:
Berbeda dengan kaum hewan,
seorang manusia perlu memiliki pengendalian diri agar tidak terasingkan dari
kemanusiaan itu sendiri, yakni untuk memiliki “kehendak bebas” untuk memilih.
Hewan, menjadi korban dari insting dan naluri hewani mereka. Seorang manusia,
kontras dengan hewan, tidak dapat memakai alibi yang sama seperti hewan yang
berperilaku hewanis yakni sekadar menjadi budak insting dan keinginan untuk dipuaskan,
bahkan dapat bersetubuh antar hewan di tengah jalan dan di depan umum. Bahkan manusia
berbeda jenis yang saling berhubungan intim di muka umum, pun dapat dipidana.
Banyak contoh manusia normal, dalam artian tidak memiliki penyimpangan seksuil,
memilih untuk sebagai petapa penyendiri, yang hidup secara bertapa dan tentunya
selibat dalam artian tidak menikah juga menjaga kesucian diri dari noda-noda
kekotoran batin manapun.
Itulah yang disebut sebagai pilihan
hidup, dimana kita berdaya atas hidup kita sendiri, tidak sepenuhnya
determistik layaknya robot yang mekanistik dihadapan diktatoriat kode genetik
penyusun rancang bangun seorang individu, tidak sekadar menjadi budak tanpa
daya dorongan ataupun kecenderungan dari dalam diri. Orang-orang yang orientasi
seksuil pribadinya normal adanya, dalam artian penyuka lawan jenis, namun
memilih untuk hidup secara selibat sebagai seorang petapa yang suci, merupakan
seseorang yang telah melakukan pengorbanan diri yang demikian besar—mengingat atau
dengan pertimbangan, bahwa sejatinya mereka bisa saja memilih untuk hidup berumah-tangga
layaknya keluarga kebanyakan pada umumnya, menikah dan memiliki pasangan hidup
dari “lawan jenis”, memiliki anak dan cucu, memiliki karir, dan lain sebagainya,
namun ia lepaskan (“fang shen” diri).
Namun para penyuka “sesama
jenis”, ketika bersikap seolah-olah tiada pilihan lain selain menikahi “sesama
jenis” ataupun melakukan hubungan kelam!n secara paksa maupun secara “sama-sama
senang” dengan “sesama jenis”, bahkan bila dilakukan di depan umum ataupun
secara terang-terangan, atau semacam menggelar acara “pesta massal bagi para
penyuka sesama jenis”, meski sejatinya mereka bisa memilih untuk hidup setidaknya
secara “menjomblo” atau menempuh hidup selayaknya seorang selibat, maka
disitulah letak kekeliruan mereka yang berpotensi mengancam “ketertiban umum”.
Sudah demikian banyak publikasi
yang melaporkan, para pelaku kejahatan tindak pidana asusila / pemerkosaan
sesama jenis, pada mulanya ialah korban yang ketika masih kecil telah pernah menjadi
korban pemerkosaan oleh pria dewasa lainnya. Ketika mereka tumbuh dewasa,
mereka yang semula korban menjelma menjadi “predator anak sesama jenis” (stockholme syndrome). Sebagaimana kita
ketahui, tidak semua genetik bersifat aktif begitu saja (dorman), terdapat
banyak diantaranya yang baru akan aktif ketika terjadi picu yang mengaktifkan
genetik spesifik tersebut. Bisa jadi, salah satunya ialah genetik penyimpangan orientasi
seksuil. Kita tidak dapat selalu mengkambing-hitamkan genetik, dimana kalangan
penjahat pun dapat semudah berlindung dibalik alibi serupa atas penyimpangan
perilakunya yang gemar mencuri.
Ketika masyarakat umum kita
dipertontonkan secara vulgar, “budaya” baru yang menyimpang semacam pernikahan
sesama jenis, atau tidak dapat dijerat pidana para orang dewasa yang terjaring
razia pesta asusila “sesama jenis” pada suatu apartemen atau hotel, maka cepat
atau lambat akan dipandang sebagai hal yang lazim dan lumrah oleh publik akibat
kian maraknya kejadian serupa terjadi tahun demi tahun, dimana orang-orang dengan
“bakat” genetik menyimpang terkait orientasi seksuil, menjelma aktif genetik menyimpang
dimaksud, dan benar-benar ber-ulah-lah orientasi seksuilnya dengan menjadi
pribadi yang berbeda, kepribadian yang berubah termasuk ketertarikannya
terhadap “sesama jenis”, sekalipun pada mulanya mereka hidup secara cukup “normal”
seperti menikah dengan “lawan jenis” dan memiliki anak serta keluarga yang
bahagia dan harmonis.
Karena itulah, demi terjaganya “tertib
umum dan sosial”, setiap individu selain memiliki kebebasan atas tubuh dan
orientasi privasi hidupnya yang personal seperti orientasi seksuil, juga
memiliki tanggung-jawab sosial atau kewajiban asasi manusia untuk turut menjaga
tertib sosial masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, semata karena kita
selaku sesama warga sejatinya saling berbagi ruang gerak dan ruang hidup, setidaknya
dengan memberikan contoh atau teladan yang baik, dan tidak memicu “penyimpangan”
apapun. Penyimpangan ke arah yang baik, positif, sehat, dan berfaedah, adalah
baik dan patut kita promosikan serta kampanyekan bersama. Namun bila
penyimpangan justru berupa hal yang tidak patut dan melanggar kesusilaan,
barulah menjadi ancaman nyata bagi peradaban umat manusia.
Sehingga, bukanlah “menyukai
sesama jenis” yang merupakan kejahatan sehingga perlu dikenakan sanksi. Hanya ketika
penyimpangan tersebut diaktualisasikan secara eksplisit maupun secara implisit,
semisal seorang pria bersikap kewanita-wanitaan, berpakaian ataupun bergaya dan
berdandan layaknya seorang wanita, hingga secara lebih ekstrim seperti berciuman,
berhubungan intim, ataupun menikahi “sesama jenis”, maka pada saat itulah penyimpangan
menjadi sebentuk perbuatan melawan hukum yang sudah sepatutnya diganjar hukuman
dalam rangka koreksi serta menjaga tertib sosial dari segala bentuk degradasi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.