SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Ahimsa Vs. Kekerasan Fisik untuk Menyelesaikan Setiap
Masalah, Anda yang Manakah?
Question: Memangnya yang disebut dengan manusia yang beradab dan yang masih biadab (belum beradab), seperti apakah perbedaan hakikinya dan esensinya semacam apa? Salah satu sila dalam Pancasila ada menyebutkan, “kemanusiaan yang adil dan beradab”, apa maksudnya istilah “beradab” ini?
Brief Answer: Tidak sedikit manusia di era modern ini, yang
ternyata masih membawa serta pola berpikir “primitif” manusia zaman purbakala,
warisan nenek-moyang mereka beserta dengan “otak reptil” mereka yang lebih
berkembang. Manusia purba, sebagai contoh, terbiasa membuang sampah begitu saja
ke sungai dan membakar kayu untuk memanggang hewan buruan ataupun untuk
menyalakan api unggun untuk menghangatkan diri—sifat-sifat mana masih kita
temukan jejaknya pada sebagian masyarakat zaman ini di Indonesia seperti kerap
membuang sampah ke bantaran kali maupun membakar sampah sehingga timbul polutan
di aliran sungai maupun pencemaran udara di pemukiman yang mengganggu
pernafasan para warga padat penduduk. Mereka tidak mengadari bahwa cara berpikir
dan gaya hidup mereka amat terbelakang dan primitif. Salah insting warisan dari
nenek-moyang kita ialah kegemaran kita memakan kerupuk, mengindikasikan
nenek-moyang kita juga merupakan seorang pemakan tulang hewan-hewan buruan
mereka.
Salah satu ciri khas paling mencolok yang
membedakan antara manusia beradab dan yang belum beradab ialah, jika manusia
pada zaman purbakala menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik, serta
prestasi diukur dari berhasil menumbangkan pria purba lainnya, dimana juga harga
diri seorang manusia purba ditentukan dari menang atau kalahnya mereka ketika
melakukan aksi kekerasan fisik; maka manusia beradab tidak menjadikan kekerasan
fisik sebagai jalan menyelesaikan masalah, tidak juga menjadikan kekerasan
fisik sebagai penentu prestasi, pula tidak menjadikan kekuatan tinju dan
kekerasan fisik lainnya sebagai penentu harga diri, pengakuan, ataupun
kebanggaan.
PEMBAHASAN:
Sebelum membahas lebih lanjut,
mari kita telaah perspektif dan dunia maupun cara memandang serta gaya hidup para
manusia primitif pada zaman purbakala. Jutaan tahun lampau, ketika masih era
zaman batu, dimana para manusia purba nenek-moyang umat manusia masih tinggal
di gua-gua (manusia gua, sebagaimana banyak artefak bersejarahnya kini menghuni
museum), rumah semi permanen, maupun nomaden, dimana konsep hidup “survival of the fittest” yang berlaku
ialah “siapa yang kuat fisiknya, maka ia yang selamat”. Para wanita purba, akan
lebih memilih pria purba yang kuat fisiknya, bertubuh atletis, dan selalu
menang bertarung melawan hewan buas liar maupun terhadap sesama pria purba
lainnya, sebagai citra pria ideal di mata wanita purba, dengan harapan dapat
melindungi istri maupun anak-anak purba mereka. Begitupula di mata sang pria
purba itu sendiri, prestasi dan kebanggaan seorang pria purba ialah ketika bisa
menang bertarung fisik dengan hewan buas, mampu memburu hewan liar, maupun
ketika harus bergelut menghadapi pria purba lainnya, dimana menang dan berhasil
menjatuhkan pria purba lainnya merupakan harga diri yang menjadi “harga mati”
kaum para pria purba.
Karenanya, hanya
manusia-manusia yang masih belum beradab (masih biadab dan “purba”) yang masih
menampilkan sikap-sikap semacam “menyelesaikan setiap masalah dengan
KEKERASAN FISIK”. Ketika apapun masalah atau kendala yang dihadapi,
“kekerasan fisik” yang selalu mengemuka dan dijadikan supremasi serta metoda
untuk menyikapinya, maka itulah cerminan mentalitas dan karakter yang masih
terbelakang—sekalipun hidup dan terlahir pada era modern, namun alam sadar dan
alam bawah sadarnya masih dikuasai oleh hegemoni “otak reptil” di kepala mereka
dan membajak isi kepalanya.
Sehingga tidak menjadi
mengherankan, ketika mereka masih menampilkan corak terbelakang ala manusia
purbakala (serba primitif cara berpikirnya, dangkal). Mengatas-namakan dendam,
gengsi, kejantanan, martabat, kehormatan, ketidak-setujuan, ketidak-sukaan,
penistaan, lantas mengemukakan corak atau pola “kekerasan fisik”, itulah tipikal
manusia “purba” yang lahir pada waktu dan era / zaman yang tidak tepat, tidak
jauh-jauh dari dunia “kekerasan fisik” : sedikit-sedikit (melakukan) “kekerasan
fisik”, .belum apa-apa sudah (melakukan) “kekerasan fisik”, dsb.
Terdapat beberapa cerita, yang
entah hanya sekadar fiksi belaka atau mungkin juga mencerminkan realita perihal
keunggulan karakter manusia beradab di luar sana, dikisahkan seorang pria yang
menjadi atasan dari para karyawannya, dikagumi dan dicintai oleh para
pegawainya tersebut bukan karena pamer kekuatan fisik, kepiawaian dalam seni
bela diri (martial arts), dan bukan juga
karena selama ini “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”. Bahkan
ketika ia dianiaya oleh salah seorang karyawannya yang bersikap tidak patut, ia
tidak membalas ataupun melakukan perlawanan fisik, sekalipun tubuhnya
tersungkur di tanah, fisiknya terluka, dan mengeluarkan darah.
Tolak ukur kedewasaan dan
kompetensi seorang pria “purba”, tentulah berbeda dengan tolak ukur kedewaan
dan kompetensi seorang pria pada era modern. Jika kisah di atas terjadi para
era “zaman batu” prasejarah, tentunya sang pria tidak akan dikagumi oleh kaum
wanita maupun oleh sesama pria “purba” lainnya, dan akan tersisih dari “seleksi
alam” dalam artian tidak dapat melangsungkan garis keturunan karena tiada
wanita “purba” yang berminat dengan pria “ahimsa”
semacam itu—ganjil sekalipun gaibnya, sebagian besar kaum pria dewasa maupun
pria muda di republik bernama Indonesia ini, justru menampilkan pola sikap dan
perilaku yang masih terbelakang demikian, khas manusia purbakala, dimana mereka
memandang kekuatan fisik dan kekerasan fisik sebagai satu-satunya cara untuk
aktualisasi diri demi mendapatkan prestasi dan pengakuan dari orang-orang di sekitarnya
dan dari masyarakat maupun pengakuan dari dirinya sendiri, suatu kebanggaan
diri yang delusif sekaligus korosif.
Kembali kepada contoh kisah di
atas, mengapa sang pria yang menjadi atasan para karyawannya, begitu dikagumi,
dihormati, dan dicintai oleh para karyawannya, sekalipun ia mampu saja
melakukan perlawanan balik dan bergelut secara fisik terhadap orang yang telah
menyakiti dan melukainya secara fisik, namun memilih untuk tidak mengikuti
dorongan naluri “hewani” dari dalam alam bawah sadar dirinya (warisan
nenek-moyang), dengan tidak melakukan perlawanan terlebih turut melakukan
kekerasan fisik terhadap mereka yang telah melakukan kekerasan fisik terhadap
dirinya?
Itulah cara berpikir dan sikap
hidup yang tidak akan pernah mampu dipahami oleh orang-orang yang selama ini
terbiasa, dididik, dan diberi teladan berupa “bahasa kekerasan fisik” untuk
menyelesaikan masalah, alih-alih “bahasa kasih”, “bahasa keberadaban”, maupun “bahasa
kemanusiaan”—sehingga mereka memiliki budaya seolah tiada cara lain selain
“kekerasan fisik” untuk menyelesaikan setiap masalah yang mereka hadapi dan
jumpai.
Inilah yang sebenarnya terjadi
pada benak para karyawan tokoh yang kita bahas di atas, letak kekaguman
mereka bukan terletak pada “kekuatan fisik” sosok yang menjadi atasannya,
namun rasa kagum maupun rasa hormat mereka timbul dan terpupuk terhadap
talenta, integritas, kejujuran, keterbukaan, kegigihan, keuletan, ketekunan, kebaikan
dan kemurahan hati, sikap adil, penuh pengertian, perhatian, serta penuh kehangatan,
bertanggung-jawab, dapat diandalkan dan dipercaya, mampu berkarya dan memiliki
keterampilan, bermartabat, senantiasa optimis, profesional, “positive thinking”, mentalitas pantang
menyerah, cerdas (bahkan jenius), serta sikap-sikap luhur dan unggul lainnya
dari sang atasan, dimana pengakuan datang dari prestasi-prestasi yang
bersifat beradab, seperti mampu memenangkan kejuaran / kompetisi bergengsi
ilmiah, mampu membangun perusahaan yang penuh motivasi dan berkarakter, mampu
menciptakan hal-hal yang gemilang dan berfaedah, mampu menginspirasi para
pegawainya, maupun pencapaian-pencapaian yang bersifat beradab, sehingga
“kekerasan fisik” menjadi tampak dangkal dan rendah.
Dengan demikian, “role model” antara manusia purba dan
manusia beradab, bagai dua kutub ekstrem yang seolah-olah berpijak pada dua
dunia yang saling terpisahkan dan saling jauh berjarak. Bahkan sekalipun ketika
sang atasan diluar jam kantor, hanya mengenakan busana yang sederhana,
bercelana pendek ala anak muda, tidak selalu tampil dengan jas ala eksekutif
perkantoran, ia tetap dicintai dan mendapat respek penuh oleh para anak
buahnya. Harga diri, kebanggaan, dan prestasinya tidak ditentukan dari kemampuan
melakukan aksi “kekerasan fisik”, namun dari kualitas-kualitas dalam konteks
bangsa beradab dan dalam perspektif keberadaban.
Itulah sebabnya, cara berpikir,
tujuan hidup, makna hidup, impuls, dorongan naluriah, insting, motivasi,
visi-misi, dan respons-reaktif antara orang-orang yang tergolong benar-benar telah
beradab dan yang masih membawa-bawa cara berpikir “purba” sebagai cara berpikir
maupun identitasnya, adalah saling kontras dan bertolak-belakang satu sama
lainnya. Yang satu meraih pencapaian-pencapaian dalam jalur keberadaban,
sementara pihak yang satu lainnya justru masih menampilkan corak watak gaya
berpikir ala manusia “purba”—dimana si “purba” berpikir dan berasumsi bahwa
yang disebut prestasi, “keren”, kebanggaan, maskulin, dan jantan, ialah
kemampuan dari segi “kekerasan fisik” semata dan belaka.
Menjadi ironis serta
kontraproduktif, ketika ajakan, ajaran, dan perintah dalam ideologi keyakinan keagamaan
ialah ideologi kekerasan fisik penuh “pertumpahan darah”, “haus darah”, serta kampanye-kampanye
kebiadaban berupa kekerasan fisik yang paling ekstrem sifatnya—yakni merampas
hak hidup orang lain dengan mengatasnamakan agama—alih-alih mempromosikan jalan
hidup yang beradab, seperti “ahimsa”,
sikap-sikap manusiawi dan toleransi. Itulah ketika seorang umat manusia alih-alih
menjelma “Tuhanis” ataupun sebatas “humanis”, berangsur-angsur secara gradual lebih
menyerupai “hewanis” yang “predatoris” ala “premanis”:
- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap
kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama
dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan
menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka.” [Note :
Siapa yang telah menzolimi siapa?]
- “Pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta
kaki mereka.” [Note : Itulah sumber “standar moral” baru bernama “balas dizolimi
dengan PEMBUNUHAN”.]
- “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”
- “Tuhanmu mewahyukan kepada
para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
seluruh jari mereka.”
- “Perangilah mereka,
niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”
- “Perangilah orang-orang
kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”
- “Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”
- “Bunuhlah orang-orang
... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”
Senantiasa menyelesaikan setiap
masalah dengan kekerasan fisik, itulah ciri khas bangsa dengan kultur “premanis”.
Ideologi demikian lebih patut menyandang gelar sebagai “Agama PREMAN” bila
tidak dapat disebut sebagai “Agama DOSA”, alih-alih mengklaim diri sebagi “Agama
SUCI” yang bersumber dari “Kitab SUCI”—mengklaim nama kemasan “suci”, namun
justru mempromosikan kekerasan fisik dan pertumpahan darah, maupun penghapusan
dosa sekalipun kita ketahui bahwa hanya seorang pendosa yang membutuhkan dan
memakan iming-iming pengampunan ataupun penghapusan dosa, alih-alih mengkampanyekan
gaya hidup yang suci dengan menjauhkan diri dari segala dosa maupun maksiat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.