SENI JIWA
Yang Lebih Adil Belum Tentu Sudah Adil dan Paling
Adil. Diantara yang Terburuk, Bukan yang Terburuk ataupun yang Bukan Lebih
Buruk sudah Cukup Lumayan
Hukum Karma memang Tidak Ideal Adanya, Mengingat Cara
Bekerjanya yang Tidak Efektif, karena Kerap Matang Berbuah di Kehidupan
Mendatang, entah Buah Karma Baik maupun Buah Karma Buruk untuk Dipetik Sendiri
oleh Sang Pelaku yang Menanam. Namun, Diluar Hukum Karma, Ketidakadilan Jauh
Lebih Tidak Terperi. Setidaknya, Hukum Karma Tergolong sebagai Hukum yang
Meritokrasi dan Egaliter
Question: Apakah memang betul, hukum karma adalah hukum yang paling adil dari semua jenis hukum yang kita kenal di dunia ini?
Brief Answer: JIka dikatakan bahwa Hukum Karma merupakan
“hukum yang lebih adil” (bila dibandingkan dengan hukum negara, hukum norma
sosial, hukum yang bersumber dari budaya, hukum agama samawi, maupun
hukum-hukum lainnya), maka itu betul adanya—namun tidak benar adanya bila Hukum
Karma disebut sebagai “hukum yang paling adil” ataupun “hukum yang adil”,
mengingat Sang Buddha selaku penemu Hukum Karma, tidak pernah menyatakan
bahwa Hukum Karma adalah hukum yang “adil” sifat corak maupun cara kerjanya.
Betul bahwa Sang Buddha telah menemukan
dan memperkenalkan Hukum Karma kepada umat manusia, namun Hukum Karma hanyalah
sekadar sarana untuk menuju tujuan yang lebih tinggi, yakni sebagai instrumen
untuk menuju “pantai seberang” (terputusnya belenggu rantai karma, break the chain / shackle of karmic law),
terbebas dari lingkaran samsara tumimbal lahir, alias tabungan Karma Baik modal
atau bekal agar lancar sampai tujuan tersebut. Sang Buddha telah memupuk
“parami” yang ditanam dari satu
kehidupan ke kehidupan berikutnya selama berkalpa-kalpa lamanya, namun pada
akhirnya dilepaskan juga seluruh tabungan “parami”
tersebut saat sudah tiba di “pantai seberang” (nibbana, terbebas dari pengkondisian).
Ibarat kapal / perahu, hanyalah sebuah sarana
atau alat bantu, kita tidak perlu terus menyandangnya karena hanya akan menjadi
beban itu sendiri ketika kita telah tiba sampai pada tujuan. Karena masih
terbelenggu oleh suplai berupa “bahan bakar” tabungan Karma, baik buah Karma
baik maupun buah Karma Buruk yang sedang akan berbuah (baca : “sebab”),
seseorang pun terlahirkan kembali dalam rahim makhluk hidup di berbagai alam
kehidupan (baca : “sebagai akibatnya”), serangkaian proses sebab-akibat.
Karma bermakna sebagai “perbuatan”, karena itu
bila ada “aksi” maka ada “reaksi”. Selama masih ada “aksi”, maka akan lahir “reaksi”.
Sepanjang potensi “reaksi” masih akan berproses untuk berbuah, maka sepanjang
itu pulalah proses “aksi-reaksi” maupun “sebab-akibat” akan terus berputar
dalam siklusnya tiada akhir bagai “chain
reaction” atau reaksi berantai, yang tidak akan usai sampai kita memutus
proses siklusnya dan terputuslah lingkaran samsara.
Karena itulah, Hukum Karma adalah belenggu,
rantai pengikat, atau “penjara” itu sendiri yang mengurung dan mengungkung kita
dalam siklus tumimbal lahir yang tidak berkesudahan, tanpa kejelasan ujung
pangkal maupun ujung akhirnya, terus berputar-putar bagai siklus air samudera
yang menguap menjadi awan, hujan, mengaliri sungai, kembali ke laut, dan
kembali menguap, untuk memulai kembali “ritual” kehidupannya “as usual”. Semuanya serba “to be continue...”, serangkaian episode
kehidupan yang mengarah kepada episode-episode berikutnya di masa mendatang.
Terperangkap dalam siklus pengondisian “anicca”, “dukkha”, dan “anatta”.
Untuk membebaskan para siswa-Nya, Sang
Buddha menguraikan penemuannya bahwasannya kebenaran yang melingkupi
kehidupan terdiri dari empat corak yang dialami semua makhluk hidup (tidak
terkecuali dialami oleh para makhluk di alam neraka, termasuk para dewata
maupun brahma), yakni adanya “dukkha”,
sumber “dukkha”, adanya peluang untuk
menghentikan “dukkha”, dan jalan
untuk mengakhiri “dukkha”.
Yang disebut terakhir dari empat kesunyataan
mulia (four noble truths) di atas,
merupakan “ultimate help” bagi umat
manusia, tiada lagi kelahiran kembali, yang karenanya tiada lagi mengalami potensi
menderita penyakit, menjadi tua, maupun meninggal dunia—dimana yang mengejutkan
ialah, mengumpulkan Karma Baik sebanyak-banyaknya bukanlah jalan untuk
mengakhiri “dukkha”. Memberi
makan atau bantuan pengobatan, hanyalah pertolongan temporer, bukan akhir “dukkha”. Namun dengan telah ditunjukkannya
jalan menuju akhir dari “dukkha” oleh
Sang Buddha, itulah pertolongan tertinggi. Sebelihnya, bergantung pada
upaya dan perjuangan kita sendiri.
Menabung Karma Baik hanyalah sekadar sebagai
sarana atau alat bantu, ibarat semakin besar buah Karma Baik kita, maka kita
akan melaju di jalan tol bebas hambatan menuju realisasi pencerahan dan
pencapaian tingkat kesucian Sotapanna si “pemenang arus”, Sakadagami “yang
hanya akan sebanyak satu kali terlahir kembali”, Anagami “yang tidak akan
pernah kembali terlahir”, dan Arahant “yang telah terbebas sepenuhnya dari
lingkaran samsara”. Karena itulah, para bhikkhu menjalani praktik latihan
moralitas monastik sebagai profesi mereka untuk mengasah kemampuan menembus jalan
menuju akhir “dukkha” dan
merealiasinya dengan perjuangan sendiri—Sang Buddha hanya sekadar
sebagai penemu jalan tersebut, lalu menunjukkannya kepada kita, dimana kita
sendiri yang perlu bersikap dewasa dan bertanggung-jawab atas diri kita dengan berjuang
menapakkan kaki kita di jalan tersebut.
PEMBAHASAN:
Dapat dipastikan para pembaca
akan bertanya-tanya, mengapa Hukum Karma bukanlah hukum yang “paling adil”
maupun “sudah adil”? Tiada hukum yang “adil”, karenanya Sang Buddha
memilih untuk melepaskan diri dari belenggu rantai Karma (break the shackle of karmic law), dimulai dengan cara tidak melekat
pada buah Karma Baik maupun buah Karma Buruk untuk melepaskan diri dari
belenggu rantai Karma demikian. Karena tidak ada yang namanya hukum yang
“adil”, maka terlebih mustahil bila kita mengharapkan adanya istilah “hukum
yang paling adil”—namun, istilah “lebih (mendekati) adil” masih lebih
dimungkinkan, mengingat diantara berbagai opsi yang mana kesemuanya adalah
buruk, maka bukan yang “terburuk” adalah sudah cukup “baik” adanya.
Istilah “paling adil”, seolah
mengasumsikan ada berbagai hukum-hukum yang memang sudah “adil” namun berbeda
kadarnya. Faktanya, tiada hukum yang sudah “adil” nature-nya, sehingga tidak layak untuk dilekati dan kembali
menjelma sebagai subjek dari Hukum Karma. Salah satu pertimbangan berikut
inilah, yang membuat Sang Buddha memilih untuk membebaskan diri dari
belenggu rantai Karma, dimana ciri-ciri Karma sedang berbuah, ialah dicirikan
ketika kita menemukan pola berikut ini:
- ketika buah Karma Baik
telah matang dan sedang berbuah, maka apapun serta seburuk atau sekeliru
apapun perkataan, niat pikiran, dan perbuatan kita, maka respons orang-orang di
sekitar kita ialah justru penuh dukungan, tiada hambatan untuk meng-gol-kan
berbagai keinginan termasuk niat buruk dan perbuatan jahat kita, menyetujui
pendapat kita, membantu kita, membenarkan, yang tidak benar menjadi “benar”,
yang salah menjadi yang “benar”, yang jahat menjadi yang “menang”, menyerupai “jalan
bebas hambatan”, menuju surga ataupun menuju neraka; dan sebaliknya
- ketika buah Karma Buruk
telah matang dan sedang berbuah, maka apapun serta sebaik atau sebenar
apapun perkataan, niat pikiran, dan perbuatan kita, maka respons orang-orang di
sekitar kita ialah justru penuh penolakan, penentangan, ketidaksetujuan, penuh
hambatan bahkan berliku dan terjal ibarat membentur tembok tebal yang keras dan
berduri, dijatuhkan, disalahartikan, disalahpahami, ditertawakan, diremehkan, dijungkalkan,
disalahkan, dikriminalisasi “korban menjadi pelaku”, melawan kita, dijahati,
disakiti, dilukai, dirugikan, serba-salah, yang benar menjadi “salah”, yang
baik menjadi “salah”, yang lurus menjadi “kalah”, bahkan menemukan “jalan buntu”.
Kita semua tentu pernah
mengalami, kondisi sebagaimana ciri-ciri di atas memainkan supremasinya
sehingga kehidupan ini seolah berjalan secara tidak rasional, dimana orang yang
baik akan menjumpai kekalahan, bahkan ada anggapan di tengah-tengah masyarakat bahwa
“orang baik bernasib mujur”, yang maksudnya ialah orang-orang baik tersebut alih-alih
dilestarikan oleh kehidupan justru hidupnya penuh kemalanganan, halang-rintangan,
kejatuhan, pukulan bertubi-tubi, kesakitan, dan berbagai ketidakmujuran lainnya
seolah-olah hidup dan kehidupan menentang dan hendak melawan eksistensi orang-orang
baik—terjadi semata karena buah Karma Buruk (yang ditanam pada kehidupan lampaunya)
matang pada waktu yang tidak tepat, yakni pada kehidupan kini disaat ia menjadi
orang baik-baik.
Pola sebaliknya pun dapat kita
jumpai dengan mudah di kehidupan sehari-hari, orang-orang jahat justru ibarat
mendapat dukungan dari “semesta”, orang-orang banyak menjadi pengikutnya dan
meladeni semua keinginan sang orang jahat, yang semakin makmur dan semakin jaya
serta semakin menjadi milioner meski kesemua itu dihimpun dengan cara merampas hak-hak
orang lain, secara tanpa hambatan berarti bahkan dapat dikata “bebas hambatan”
untuk merealisasikan seluruh niat-niat jahat dan meng-gol-kan apapun keinginan
jahatnya—buah Karma Baik yang sedang matang, menjadi “bumerang” bagi diri yang
bersangkutan, ibarat jalan tol bebas hambatan menuju “neraka”. Postulat semacam
adagium “power tends to corrupt”,
juga berlaku untuk konteks buah dari Karma Baik. Itulah sebabnya, tanpa landasan
kebijaksanaan yang kokoh, buah Karma Baik yang sedang berbuah pada diri seseorang
warga, dapat menjadi sumber malapetaka bagi orang lain maupun bagi dirinya
sendiri.
Dalam Buddhisme, ada postulat
yang berbunyi sebagai berikut. Orang jahat yang beruntung, ialah orang-orang
dengan niat jahat namun selalu gagal dan menemui banyak hambatan setiap kali
hendak melakukan aksi kejahatannya. Sebaliknya, orang jahat yang malang, ialah orang-orang
dengan niat jahat namun selalu berhasil dan bebas hambatan setiap kali hendak
melakukan aksi kejahatannya—menjadi bertolak-belakang dengan ideologi “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana adalah UNTUNG menjadi
pendosa, dan adalah RUGI bila tidak menjadi pendosa yang penuh dosa.
Itulah sebabnya, Hukum Karma tidaklah
seideal yang selama ini diharapkan banyak orang awam sebagaimana persepsi pada
umumnya, terlebih untuk dapat disebut sebagai “adil”. Apapun itu, tetap saja
Hukum Karma lebih adil ketimbang jarang-jarang “Agama DOSA” yang disebut
demikian semata karena mempromosikan dan mengkampanyekan “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana hanya seorang pendosa yang membutuhkan
iming-iming korup penuh kecurangan semacam itu.
Hidup adalah permainan Karma,
permainan yang tidak adil dan tidak ideal untuk dilekati. Hukum Karma hanyalah
instrumen atau sarana, agar kita memiliki tabungan atau modal yang cukup untuk
lancar dalam perjuangan melawan “siklus tumimbal lahir” dalam rangka memutus
belenggu rantai Karma (break the chain of
kamma), bukan untuk dilekati, dijadikan tujuan paling utama (supreme goal), terlebih untuk mengalir
mengikuti arus bagaikan air meski air secara alamiahnya selalu bergerak kearah atau
menuju kebawah. Mengapa kita butuh modal Karma Baik untuk dapat berjuang
memutus belenggu rantai Karma? Karena perjuangan demikian ibarat bergerak melawan
arus, dimana resikonya ialah kita bisa saja tewas terseret arus atau “mati
lemas”.
Dalam Buddhisme, kita semua
tanpa terkecuali telah pernah terlahir kembali dan masih akan terlahir kembali
sebagai seorang raja, sebagai seorang budak, sebagai seorang hartawan, sebagai
seorang pemain, sebagai seorang penonton, sebagai seorang miskin, sebagai
seorang pejabat tinggi, sebagai seorang gelandangan tunawisma, sebagai seorang majikan,
sebagai seorang pelayan, sebagai seorang rupawan, sebagai seorang buruk rupa, sebagai
seorang kuat, sebagai seorang lemah, dan segala jenis ragamnya. Karena itulah,
kelahiran kembali yang telah tidak terhitung lagi jumlahnya, belum lagi
kelahiran kembali yang akan datang yang “never
ending stories” dan “to be continue”
(sehingga “mission impossible” untuk
tuntas bila sekadar mengalir mengikuti arus), adalah menjemukan, tidak layak
untuk dilekati, dan tidak layak untuk kembali menjelma.
Mungkin para pembaca akan
terkejut, atau bahkan juga pernah mencobanya sendiri, kata kunci (keywords) pada mesin pencarian di dunia
maya seperti Google, didominasi oleh kata kunci pencarian berikut ini : “Kenapa
orang baik selalu tersakiti (?)”, “Kenapa orang baik selalu dikecewakan (?)”,
ataupun ragam kata kunci senada, dimana tercatat lebih dari 2.000 pencarian
dengan kata kunci demikian terjadi dalam tempo waktu tiga bulan. Kehidupan dan
umat manusia adalah irasional adanya, dimana segala bentuk wujud dan ragam
irasional demikian ialah imbas atau buah simalakama Hukum Karma yang sedang
berbuah, sehingga orang baik dan benar ketika Karma Buruk yang ditanam olehnya
dimasa kehidupan lampau, kebetulan sedang matang dan berbuah pada kehidupannya
pada masa kini, maka ia akan dipersalahkan, ditindas, dianiaya, dieksploitasi,
disakiti, dilukai, dirugikan, dikriminalisasi, disalahkan, dilecehkan,
ditentang, ditolak, dijatuhkan, dan bahkan “mati muda”. Itulah sebabnya Sang
Buddha memilih untuk berjuang tidak lagi terlahir dalam rahim manapun lagi
dan terbebaskan sepenuhnya dari belenggu rantai Karma, dimana tiada lagi
kelahiran kembali, dimana tiada lagi potensi usia tua ataupun sakit, dimana raja
kematian tidak lagi berkuasa atas seorang Buddha ataupun mereka yang
telah tercerahkan sepenuhnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.