LEGAL OPINION
Grup Usaha yang Mengeksploitasi Pekerja, Satu Orang
Pegawai Diwajibkan Mengerjakan Puluhan hingga Ratusan Badan Hukum Perseroan
Terbatas
GRUP USAHA Bukanlah “Entitas Hukum”, namun “Istilah
Bisnis” Semata
Question: Ada banyak pelaku usaha besar di Indonesia yang
mencoba bersikap curang kepada karyawannya yang dieksploitasi untuk kepentingan
berbagai badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas-Perseroan Terbatas milik
seorang pemilik usaha yang sama, dimana waktu dan keringat benar-benar diperas
oleh segala keinginan sang pemilik usaha yang ingin mendirikan usaha ini dan
itu, mendirikan puluhan hingga ratusan Perseroan Terbatas baru lainnya, namun
karyawan yang disuruh mengerjakan ialah karyawan yang “itu-itu saja”. Ketika
sebagai pegawai kita berkeberatan diberi perintah yang melewati batas semacam
itu, pihak Kepala HRD berkelit, bahwa ini adalah “Grup Usaha”, sehingga setiap karyawan
memang harus bekerja untuk seluruh unit usaha yang tergabung dibawah “Holding Company” ini.
Sebenarnya yang namanya “Grup
Usaha” atau “Holding Company” itu,
apa boleh seenaknya memperlakukan karyawannya secara eksploitatif demikian,
dalam artian harus patuh mengerjakan semua perintah untuk kepentingan seluruh
Perseroan Terbatas milik sang “owner”,
tanpa boleh keberatan ataupun menolak? Mereka juga kerap menjadikan itu sebagai
modus terselubung untuk memberhentikan secara politis karyawan yang ingin
mereka singkirkan. Yang saat ini kami sebagai para pegawai alami ialah, pihak
pemilik usaha terus saja dengan serakahnya mendirikan berbagai PT-PT baru,
sekalipun saat ini sudah ada hampir seratus PT tercatat di tempat kami yang
dimiliki “owner” (pemilik usaha) yang
sama, yang sebagian diantaranya hanya didirikan untuk dijadikan “shell company” atau “perusahaan boneka”
untuk mematikan kompetitor di pasar.
Sehingga, antara bobot dan
beban kerja, tidak lagi sebanding dengan kuantitas pegawai yang “itu-itu saja”
alias pegawai yang sama kini harus menambah beban tugas yang harus dipikul
untuk kepentingan pengerjaan berbagai perusahaan baru lainnya. Pemilik usaha
seenaknya saja memberi perintah untuk kami kerjakan, bahkan ada beberapa PT
yang bukan dimiliki si “owner”, akan
tetapi milik kawan si “owner”, namun
segala perizinan usaha dan kontrak-kontrak bisnisnya harus kami juga yang urus dan
kerjakan. Tendensinya pihak “owner”
semakin kian serakah saja, tidak ada habis kemauannya untuk diikuti dan
dituruti. Memang mengherankan ketika Tuhan justru memberi kesuksesan kepada
pengusaha semacam ini, sehingga menjadi “besar kepala” dengan menghisap “keringat
bercampur darah” pegawai.
Modus lainnya ialah memindahkan pegawai ke Perseroan Terbatas lainnya (bukan ke “kantor cabang” lainnya dari Perseroan Terbatas yang sama), tanpa mau membayar pesangon saat hendak dipindahkan, dengan alasan masih satu “Grup Usaha”. Mengundurkan diri bukanlah opsi cerdas bagi kami, karena sama artinya rugi di pihak karyawan dan perusahaan yang menang karena tidak harus bayar pesangon apapun. Jika kami keberatan dan menolak untuk mengikuti perintah yang tidak patut demikian, apakah bisa menjadikan itu sebagai alasan bagi karyawan untuk menuntut PHK (pemutusan hubungan kerja) ke pengadilan disertai kompensasi pesangon dua kali ketentuan normal, mengingat perintah kerja yang diberikan tidak sesuai kepatutan maupun keadilan bagi seorang pekerja atau pegawai?
Brief Answer: Pegawai bisa menjadikan itu sebagai alasan
menggugat PHK diri sendiri ke Pengadilan Hubungan Industrial, disertai tuntutan
berupa kewajiban bayar pesangon dua kali ketentuan normal oleh pihak “grup
usaha”. Grup usaha, atau apapun itu istilahnya, bukanlah “badan hukum” (rechtspersoon) penyandang hak dan
kewajiban. Subjek hukum terbagi menjadi dua, yakni subjek hukum orang-perseorangan
(natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon, bisa berupa Koperasi, Yayasan, maupun Perseroan
Terbatas). Adapun ciri-ciri subjek hukum berupa badan hukum, antara lain:
1.) memiliki hak dan kewajiban
atas nama badan hukum bersangkutan;
2.) dapat menggugat dan digugat;
3.) hak dan kewajibannya tetap
melekat pada badan hukum sekalipun pengurus maupun pemiliknya silih-berganti;
4.) memiliki nomor induk pajak
sendiri, nomor rekening sendiri, harta kekayaan sendiri atas nama badan hukum itu
sendiri;
5.) pihak pengurus bertindak
untuk serta atas nama badan hukum bersangkutan.
Sebaliknya, “grup usaha” sejatinya hanyalah
sekumpulan badan hukum yang dimanajerial oleh seorang pimpinan puncak pada “top
manajemen” korporasi, sehingga sifatnya bukanlah “entitas hukum”, namun
semata “istilah bisnis”, sekalipun saham-saham pada berbagai badan hukum
(anak usaha) tersebut dikuasai oleh “beneficial
owner” orang-perorangan maupun badan hukum tertentu (holding company). Sehingga, bila
kemudian tersangkut atau berhubungan dengan masalah / isu hukum, maka
masing-masing atau setiap satu buah badan hukum dihitung sebagai satu buah
“entitas bisnis” yang mandiri, independen, serta berdiri sendiri sehingga dapat
menggugat dan digugat atas nama Perseroan Terbatas bersangkutan itu sendiri,
bukan atas nama “grup usaha”.
Khusus untuk konteks sengketa hubungan industrial,
seorang karyawan / buruh berdasarkan praktik peradilan (best practice) pada Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia dan
sudah terdapat presedennya, dibolehkan untuk menggugat atau menjadikan “grup
usaha” sebagai pihak Tergugat, dan diletakkan sita jaminan atas aset kekayaan masing-masing
ataupun seluruh badan hukum Perseroan Terbatas yang tergabung dibawah “grup
usaha” tersebut.
PEMBAHASAN:
Sebagai contoh, ketika “anak
usaha” dari suatu “grup usaha” hendak mengikat dirinya dalam hubungan
kontraktual dengan pihak lain, maka yang tampil ialah direksi yang menjabat
pada Perseroan Terbatas tersebut untuk menandatangani kontrak ataupun
perjanjian dan melakukan perbuatan hukum lainnya atas nama Perseroan Terbatas,
bukan sang “beneficial owner” ataupun
“grup usaha” yang tampil, juga bukan direktur pada Perseroan Terbatas lainnya
sekalipun masih satu “grup usaha”. Termasuk ketika satu buah badan hukum
Perseroan Terbatas tersebut hendak menggugat ataupun digugat, yang tampil ialah
satu buah “entitas hukum” badan hukum bersangkutan, bukan “grup usaha”.
Tips bagi kalangan pegawai,
karyawan, ataupun pekerja dan buruh, ketika diperlakukan bak “pekerja rodi”,
dalam artinya dieksploitasi untuk berbagai kepentingan badan hukum, dimana
pihak pemberi kerja beralasan bahwa keseluruh atau puluhan hingga ratusan badan
hukum yang harus ditangani atau diurusi / dikerjakan oleh sang karyawan, ialah
dimiliki oleh satu orang “owner” yang
sama, sebagai satu “grup usaha”, maka jawablah dengan argumentasi hukum sebagai
berikut: (argumentasi hukum mana bersifat “laku” di pengadilan hubungan
industrial terkait ketenagakerjaan, maupun pengadilan lainnya bila terkait
bisnis)
“Sebelum itu saya mohon
klarifikasi dan kejelasan, sebenarnya saya adalah karyawan PT yang mana? Selama
ini saya diberi upah / gaji, dari PT yang manakah?”, tunggu tanggapan.
“JIka saya tercatat sebagai
pegawai dari PT. Anu, maka mengapa saya harus mengerjakan PT yang lain? Mengapa
perusahaan justru menyuruh dan memberi saya perintah untuk mengerjakan belasan
hingga puluhan PT lainnya?”. tunggu jawaban.
“JIka memang boleh begitu
menurut hukum yang berlaku, terus saja perusahaan dirikan ratusan hingga ribuan
PT baru lainnya, lalu pegawai yang sama yang harus kerjakan semua itu? Apa
bedanya itu dengan ‘kerja rodi’?”, tunggu jawaban.
“...”, idem,
ulangi argumentasi yang sama seperti sebelumnya di atas, bilamana pihak
pengusaha / HRD berkelit dengan memakai alibi yang tidak logis dan tidak dapat
dipertanggung-jawabkan secara moril maupun secara hukum legal-formil. Gunakan
teknik “kaset rusak” dengan terus-menerus mengulangi jawaban yang sama dengan
menginggung kembali kesalahan fatal dan telak pihak pelaku usaha yang telah
memekerjakan satu orang pegawai untuk kepentingan berbagai badan hukum secara
tidak patut dan tidak layak.
“Jika begitu, kalian klaim saja
seluruh Perseroan Terbatas yang ada dan beroperasi di Indonesia ini, adalah
satu ‘grup usaha’ dengan kalian, jadi kami pun harus menerima perintah dan
mengerjakan berbagai kepentingan seluruh Perseroan Terbatas di Indonesia, namun
hanya menerima gaji dari satu buah Perseroan Terbatas?”
“Yang punya kewenangan
legal-formil untuk memerintahkan pegawai, ialah direksi Perseroan Terbatas itu
sendiri, bukan direktur Perseroan Terbatas yang lainnya yang mana kami bukan
tercatat sebagai karyawan Perseroan Terbatas tersebut, juga tidak menerima upah
/ gaji dari Perseroan Terbatas bersangkutan.”
“Apa bisa dibenarkan, kalian
main seenaknya saja, klaim Perseroan Terbatas ini maupun Perseroan Terbatas
itu, sebagai satu ‘grup usaha’, lantas karyawan yang sama harus menanggung
semua beban pekerjaan itu. Sekalian saja, berbagai Perseroan Terbatas milik
teman sang ‘owner’ untuk juga harus dikerjakan oleh karyawan yang sama yang
juga harus mengerjakan puluhan hingga ratusan Perseroan Terbatas milik sang
‘owner’. Masih belum cukup juga? Ini, perusahaan masih mau akan buat PT baru
lainnya, dimana yang akan diwajibkan mengerjakannya ialah kami, pegawai yang
sama.”
“Jika saya dipekerjakan oleh
sang ‘owner’, orang-perseorangan, artinya majikan saya adalah si ‘owner’
bersangkutan, seorang orang-perseorangan, bukan berbagai badan hukum Perseroan
Terbatas milik sang ‘owner’. Antara si ‘owner’ dan Perseroan Terbatas, adalah
masing-masing subjek hukum yang terpisah dan berdiri sendiri secara hukum.
Sehingga bila majikan saya ialah sang ‘owner’, yakni si “Mr. X”, maka ia tidak
punya hak untuk memerintahkan saya untuk bekerja bagi PT. A, PT. B, PT. C,
maupun berbagai PT lain miliknya. Jika PT. A kemudian dijual kepada ‘owner’
yang lain, apakah saya masih harus juga mengerjakan PT. A itu?”
“Saya tidak perduli apa kata
ataupun alasan Anda, saya hanya perduli apa kata hakim di pengadilan nantinya,
apakah kalian telah secara tidak patut melanggar hukum ketenagakerjaan dan
mengeksploitasi pegawai atau tidaknya, kita lihat saja nanti apa yang menjadi
putusan hakim pengadilan.”
Secara lebih elaboratif,
mengingat kian masifnya penyalah-gunaan berbagai badan hukum Perseroan Terbatas
oleh berbagai pelaku usaha untuk mengekploitasi tenaga kerja, sebagaimana telah
disadari betul oleh kalangan hakim khususnya di Pengadilan Hubungan Industrial,
lebih bagus lagi jika memang kontrak / perjanjian kerja antara pihak pemberi
kerja dan pekerja ialah mengatas-namakan “grup usaha”, maupun “slip gaji”
diterbitkan dengan mengatas-namakan “grup usaha”—karena itu sama artinya
seluruh harta kekayaan masing-masing badan hukum Perseroan Terbatas yang
tergabung di dalam satu “grup usaha” bersangkutan, dapat digugat dan dapat pula
turut diletakkan sita jaminan hingga sita eksekusi oleh sang mantan karyawan
yang menggugat perusahaan pemberi kerja / mantan majikannya.
Konstruksi formil tersebut
bukanlah wacana, karena benar-benar telah pernah terjadi dalam praktik
persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial, dimana sang mantan pegawai yang
menggugat hak atas pesangon, meletakkan sita jaminan terhadap aset kekayaan
“grup usaha” milik pelaku usaha yang sama—sehingga bukan hanya harta kekayaan
satu buah badan hukum Perseroan Terbatas yang dapat disita dan dieksekusi,
namun berbagai Perseroan Terbatas lainnya dibawah naungan “grup usaha” tersebut
yang dapat turut disita dan dieksekusi oleh sang mantan pegawai. Dis-insentif
demikian, merupakan hukuman dari hakim agar pelaku usaha tidak lagi
menyalah-gunakan instrumen hukum berupa pendirian berbagai badan hukum Perseroan
Terbatas secara tidak bertanggung-jawab.
Mengingat masing-masing
“entitas hukum” badan hukum Perseroan Terbatas wajib tunduk pada ketentuan
normatif perihal “upah minimum”, maka masing-masing Perseroan Terbatas dalam
“grup usaha” tersebut harus membayar upah setidaknya “upah minimum” kepada sang
pekerja yang selama ini diberi perintah oleh pemberi kerja (“grup usaha”) untuk
kepentingan berbagai “entitas hukum” badan hukum Perseroan Terbatas yang
tergabung dibawah satu bendera “grup usaha” bersangkutan.
Perlu diberikan “punishment” berupa dis-insentif bagi
pelaku usaha yang mencoba menyalah-gunakan berbagai “entitas hukum” yang
dimiliki dan dikuasai olehnya untuk mengeksploitasi kalangan tenaga kerja. Semestinya
rezim hukum perpajakan di Indonesia juga dapat menyita aset-aset badan hukum Perseroan
Terbatas lainnya dalam satu “grup usaha”, mengingat pelaku usaha kerap
melakukan praktik jahat semacam “transfer
pricing” (profit shifting) antar “sister company”.
Sebagai contoh, bila satu “grup
usaha” memiliki sepuluh “anak usaha” berupa badan hukum Perseroan
Terbatas—dalam artian bukan “kantor cabang”, namun berbagai badan hukum
Perseroan Terbatas—maka sang pegawai yang dipekerjakan sekalipun oleh pemilik
usaha yang sama (beneficial owner),
maka kesepuluh Perseroan Terbatas tersebut memiliki kewajiban legal-formil
untuk membayar upah kepada sang pegawai, minimal “upah minimum”. Sehingga
secara perhitungan atau kalkulasinya menjadi, 10 x “upah minimum”, itulah yang
menjadi kewajiban sang pelaku usaha sebagai tunggakan upah bulanan (karena
selama ini hanya dibayarkan “upah minimum” oleh satu buah badan hukum, maka
sisa upah yang tertunggak ialah 9 badan hukum, dikalikan masa kerja sang
pegawai), juga serta sebagai dasar perhitungan dalam konteks sengketa pesangon.
Selebihnya, mengingat masih
terbuka ruang celah dan ketidak-sempurnaan peraturan perundang-undangan, ketika
hukum buatan negara (yang notabene buatan manusia) tidak membawa sebentuk
kepastian hukum maupun keadilan bagi warga masyarakat yang selama ini telah
dieksploitasi oleh pelaku usaha yang mencari keuntungan tidak secara etis
demikian, dimana etika berbisnis seolah tenggelam oleh nafsu dan keserakahan
sang pelaku usaha yang memeras keringat pegawainya secara tidak patut dan tidak
manusiawi, tanpa ada gelagat terpuaskan, maka biarkanlah Hukum Karma yang kelak
akan membalas perbuatan sang pelaku usaha.
Hidup bagai roda yang terus
berputar, terkadang berada di atas, dan terkadang berada di bawah. Pada satu
kehidupan bisa jadi terlahir sebagai seorang pengusaha pemilik “grup usaha”
besar, namun siapa yang bisa menjamin dikehidupan berikutnya yang bersangkutan
masih akan dapat mencicipi kursi kekuasaan semacam itu? “Prinsip emas” berlaku
di sini, perlakukan orang lain secara patut dan adil sebagaimana kita ingin
diperlakukan secara layak, patut, dan adil. Tidak ada yang bisa kita
curangi di hadapan Hukum Karma. Bagi yang tidak menyadari bahaya
dibaliknya, akan terlena dan melupakan konsekuensi dibalik setiap aksi yang ia
tanam, bahwa apa yang telah ia tanam maka itulah yang akan ia tuai sendiri
sebagai pewarisnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.