LEGAL OPINION
Subjektivitas Bukanlah Sumber Ketidakadilan,
sementara Objektivitas Mengasingkan Manusia dari Kemanusiaan
Question: Yang namanya kemanusiaan yang adil dan beradab, itu coraknya hanya bisa terjadi ketika seorang hakim bersikap subjektif ataukah sebaliknya, semata objektif? Banyak pihak yang menuntut agar hakim bersikap objektif, namun apakah selalu benar demikian?
Brief Answer: Perasaan, keprihatinan, empati, simpati, tidak
terkecuali apa yang dinamakan sebagai “EQ”, tergolong sebagai subjektivitas; akan
tetapi bukan jenis subjektivitas yang bersifat sepihak, namun imparsial dalam
artian tidak parsial subjektif terhadap satu pihak tertentu atau semata subjektif
memakai sudut pandang pribadi sehingga terjadi bias gender, bias kepentingan,
tidak terkecuali bias “sense of justice”.
Antipati dan sinisme, juga termasuk subjektivitas, namun subjektivitas pribadi
yang parsial. Pihak aparatur penegak hukum yang semata mencoba bersikap
objektif, akan menjelma “polisi robot” dan “hakim robot” yang beku, dingin,
serta tidak berperasaan, alias “berdarah dingin”—para “robot” tersebut sekadar
menghukum, bukan mengadili.
Semisal dalam kasus tindak pidana asusila, dimana
korbannya ialah seorang wanita yang bahkan masih dibawah umur, dan pelakunya
ialah seorang pria dewasa, sementara itu Majelis Hakim terdiri dari tiga orang
pria dewasa. Sesama pria dewasa, biasanya lebih kompromistis terhadap pelaku
tindak pidana asusila, karenanya pihak hakim perlu bersikap subjektif dengan
mendudukkan / menempatkan perasaan dirinya pada posisi saksi korban yang
notabene seorang bergender lain, untuk dapat turut merasakan trauma maupun
derita sang korban. Pelakunya merasa senang dan menikmati perbuatan jahatnya,
namun tiada korban yang senang dikorbankan.
Bila terdapat pihak akademisi yang menghendaki
dan menuntut agar aparatur penegak hukum bersikap objektif, memang benar akan
tersisihkan segala bentuk “conflict of
interest”; namun harga yang harus masyarakat kita “bayarkan” adalah
terlampau “mahal” harganya. Cobalah bayangkan diri Anda adalah sekaleng “hakim
robot” yang benar-benar objektif dalam memandang suatu peristiwa hukum, ketika
dihadapkan kepada kasus-kasus tindak pidana asusila, bisa jadi Anda akan
berpikir normatif saja (tanpa perasaan, dingin), “Mengapa harus dijatuhi vonis hukuman selama itu, toh hanya sekadar
penetrasi kemaluan Terdakwa ke dalam kemaluan Saksi Korban. Sungguh sukar
dimengerti dan sukar dipahami.”
PEMBAHASAN:
Siapa yang membunuh, harus
dipenjara. Itulah preposisi antara premis mayor “si A membunuh si B” dan
dipasangkan dengan premis minor berupa aturan normatif hukum pasal-pasal dalam
undang-undang, menghasilkan silogisme berupa “dipidana penjara”. Perihal “alasan
pemaaf” yang dapat menghapus pertanggung-jawaban pidana, semisal adanya
“pembelaan terpaksa yang melampaui batas” akibat ancaman yang sangat dekat
sehingga menimbulkan guncangan psikis dimana korban begal melakukan perlawanan
dalam rangka “bela diri” yang mengakibatkan dua orang dari empat orang pelaku
begal, meninggal dunia, bertopang kepada kemampuan untuk bersikap subjektif,
dalam artian menempatkan empati seorang hakim kepada korban begal, dengan dapat
turut merasakan perasaan seorang korban begal pada saat kejadian, serta
alasan psikologis yang melingkupi peristiwa dan latar-belakangnya sehingga
terjadi “pembelaan terpaksa yang melampaui batas” ini, sehingga dapat
dimaklumi bahwa kita pun akan melakukan hal serupa bilamana terjebak dalam
posisi dilematis demikian.
Untuk bermain aman, maka betul
yang disebutkan teori berbagai litelatur bahwasannya seorang hakim maupun
aparatur penegak hukum lainnya perlu bersikap objektif, lawan kata dari
subjektivitas. Akan tetapi, seperti yang telah penulis singgung di muka,
aparatur penegak hukum semacam itu akan kehilangan “human touch”-nya, dimana kemanusiaan benar-benar tersisihkan dari
seorang manusia, sehingga tidak lagi mampu merasa, “baal”, hambar, “mati rasa”,
atau bersikap “dingin” sekalipun korban berderai air mata saat memberikan
kesaksian peristiwa traumatik yang dialami olehnya—bahkan tanpa berubah
ekspresi wajah saat mendengarkannya, cenderung datar mimik wajah dan intonasi
suaranya bak “robot” saat meminta keterangan sang korban di depan persidangan.
Terdapat seorang tokoh
akademisi hukum yang menuliskan : “Penegakan
hukum yang berkeadilan dan objektif baru terjadi setelah viral dan timbul
polemik di masyarakat. Kondisi inilah yang harus diubah oleh para penegak hukum.”—preposisi
di dalamnya saling kontradiktif satu sama lainnya. Ambiguitas pertama, berkeadilan
tidak ada dalam sikap objektif. Polisi akan memproses hukum secara
normatif saja, dan hakim akan lebih pandai menghakimi dan menghukum ketimbang
mengadili, ketika subjektivitas sama sekali dinihilkan. Terdapat perbedaan
atau garis pemisah yang tegas antara “menghukum” dan “mengadili”. Kedua, proses
hukum berkeadilan baru akan muncul ketika seluruh aparatur penegak hukum mampu
bersikap “subjektif secara imparsial”, bukan keadilan baru akan hadir ketika
peristiwa hukum viral oleh media sosial. Ketiga, yang harus diubah bukanlah
subjektivitas itu sendiri, namun kekurangan atau kurangnya subjektivitas itu
sendiri.
Antara ilmu hukum yang demikian
normatif dan preskriptif, amat “kering” dari anasir psiko-sosial kemasyarakatan,
karenanya amat menjemukan, sementara itu kita adalah manusia, bukan “robot”.
Jelas, antara teori ilmu hukum konvensional dan psikologi maupun sosiologi
hukum, dapat saling tidak sejalan, alias bertolak-belakang pendekatannya.
Contoh, menurut perspektif ilmu psikologi hukum, terlalu lama menjadi hakim
ataupun menjadi aparatur penegak hukum di negeri yang tingkat kriminalitasnya
tinggi, seolah-olah “dihukum dan dipenjara satu, tumbuh seribu kriminil baru
lainnya di luar sana”, maka sifat personal atau pembawaan sang hakim maupun
sang polisi akan menjelma sosok pribadi yang “dingin”, dalam artian “mati rasa”
dari empati, simpati, kehilangan subjektivitas saat memutus perkara. Bahkan
mungkin saat mengucapkan vonis “Menghukum
MATI Terdakwa!”, akan diucapkan di depan persidangan dengan nada suara yang
datar saja tanpa ekspresi sama sekali—selayaknya “robot”. Memang sudah benar
secara hukum, “on the track” secara
normatif, namun “kering” dari segi “human
touch”.
Banyak yang tidak menyadari, sensitivitas
dan empati terletak bukan pada kemampuan seseorang dalam bersikap objektivitas,
namun subjektivitas seseorang ketika menempatkan dirinya pada posisi orang lain—dan
itulah tepatnya yang disebut dengan EQ. EQ tidak pernah dimaknai sebagai “banyak
teman atau rekan pergaulan” dalam bisnis dan politik. Lihatlah para
koruptor-koruptor besar yang tersohor di republik ini, memiliki jejaring sosial
pertemanan yang luas hingga menjabat kursi kekuasaan tertinggi di partai
politik maupun di parlemen dan pemerintahan, telah ternyata tidak mampu
berempati kepada rakyat kecil, dengan masih saja mencuri dan merampas nasi dari
piring milik orang-orang yang lebih miskin daripada diri sang koruptor. Para
koruptor, merupakan para “mati rasa”, sehingga gagal untuk mampu merasa
prihatin terhadap derita dan kesulitan hidup rakyat jelata.
Kini, hakim yang sudah lama
menyidangkan perkara baik perdata maupun pidana, saat tiba membuat vonis
hukuman, telah ternyata kehilangan “sense
of humanity”, bak robotik yang mekanistik saja, selayaknya gambaran atau
citra “ideal” penegakan hukum yang demikian “kering” yakni semata normatif saja
sifatnya, bebas dari anasir apapun termasuk miskin sentuhan kemanusiaan.
Cobalah gusur semua “hakim manusia” dari jabatan kursi hakim, dan ganti peran
serta fungsi mereka dengan “robot hakim”. Selain lebih murah, lebih efisien,
hanya butuh listrik dan oli pelumas, maka sang “robot hakim” akan memutus
secara normatif saja. “Apa itu guncangan
jiwa yang hebat? Terdakwa kelihatannya santai-santai saja duduk di kursi
Terdakwa. Siapa yang membunuh, maka ia dipidana penjara sekian tahun. Terdakwa
telah membunuh, dihukum pidana penjara anu tahun, ketok palu. Sidang
dibubarkan!” Dapat kita terka betapa keadilan benar-benar telah tercerabut
di ruang-ruang peradilan yang serba “mekanistik” demikian. Kemanusiaan, tinggal
sejarah dan sudah menjadi penghuni museum, Republik Robot.
Perhatikan ambivalensi dalam petikan
lagu ‘Manusia Setengah Dewa’ yang dibawakan oleh musisi Iwan Fals : “… Peraturan
yang sehat yang kami mau, Tegakkan hukum setegak-tegaknya, Adil dan tegas tak
pandang bulu.” Sang musisi berasumsi, bahwa “tak pandang bulu” identik
dengan adil, alias objektivitas hakim dan kepolisian itu sendiri. Sementara itu
preposisi sebelumnya ialah “peraturan yang sehat”, bahkan “hukum ditegakkan
setegak-tegaknya sekalipun langit runtuh” (bodoh sekali!), maka kasus-kasus semacam seorang wanita tua miskin yang mencuri
sebutir mentimun sekadar untuk melepas dahaga, pun harus dipidana penjara.
Pertanyaanya, apakah perlu sampai seperti itu? Apakah itu yang disebut “akal
sehat” dan “logis”? Hukum tertinggi ialah akal sehat itu sendiri, barulah
peraturan yang sehat dapat mengikutinya.
Penetapan status sebagai “Tersangka”
terhadap korban begal di Lombok Tengah pada pertengahan tahun 2022 ini, yang
telah membunuh dua dari empat pelaku begal, dalam rangka “bela diri”, merupakan
cerminan sempurna penegakan hukum yang tegas, tegak-setegaknya, dilandasi
objektivitas aparatur penegak hukum. Termasuk SOP normatif kepolisian ketika menetapkan
dua orang pelaku begal yang masih hidup sebagai saksi dalam kejadian korban
begal yang melakukan perlawanan demikian, meskipun pada akhirnya polisi
menghentikan penyidikan atas kasus tersebut setelah viral di media sosial dan
mendapat kritikan publik yang bersikap subjektif dengan menaruh empati juga
simpati kepada nasib sang korban begal yang kini dikriminaliasi oleh aparatur
penegak hukum.
Merujuk pula perkara serupa di
Malang (Jawa Timur) ketika pelajar korban begal membela diri dan melindungi pacarnya
dari kejahatan begal, bermuara dituntut hukuman seumur hidup. Korban yang
menjadi tersangka, dan pelaku yang justru didudukkan sebagai saksi pelapor. Begitupula
kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksuil oleh atasannya yang justru
dilaporkan oleh pelaku pelecehan, berujung dihukum oleh pengadilan hingga
Mahkamah Agung RI, sekalipun pada akhirnya Baiq Nuril “dimaafkan” oleh Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) melalui mekanisme amnesti, setelah viral
dimana menuai kecaman dan polemik publik yang mampu merasakan perasaan seorang
korban pelecehan seksuil.
Serangkaian contoh konkret
sebagaimana peristiwa di atas, terjadi akibat minimnya subjektivitas aparatur
penegak hukum, yang memilih bersikap “profesional” dengan memproses segala
peristiwa hukum secara objektif, alias mekanistik dan normatif saja. Terjadi
pula dalam skenario sebaliknya, aparatur penegak hukum meremehkan derita yang
dirasakan korban, menyepelekan perasaan korban, karenanya laporan / aduan
korban tidak ditindak-lanjuti, diabaikan, serta ditelantarkan nasibnya. Mereka,
miskin dari segi empati dan simpati. Para “polisi robot” yang tidak
berperasaan.
Menuai kontra, publik merespons
dengan stigma “No Viral, No Justice”.
Anekdot demikian benar separuhnya saja. Yang lebih tepat mengena pada sasaran
ialah “No ‘subjektivitas’, no justice”. Polisi dan hakim, termasuk
Jaksa Penuntut Umum, telah memproses peristiwa hukum sesuai prosedur dalam
hukum acara maupun aturan normatif hukum yang berlaku, sehingga mengapa
disalahkan? Jelaslah, selama ini masyarakat maupun akademisi kita telah salah
menargetkan pokok permasalahan yang menjadi simpul benang kusut kisruhnya
berbagai isu hukum di republik yang tidak pernah kekurangan para profesor dan
doktor dibidang ilmu hukum ini—yang lebih banyak mem-beo teori usang yang sudah
kadaluarsa dan “busuk”.
Sang akademisi kemudian
mengutip pendapat seorang tokoh hukum beranama Philip Nonet, yang menjelaskan sensitivitas
aparat penegak hukum untuk akan keadilan untuk semua lapisan belum terjadi,
sehingga menghasilkan disparitas putusan. Sensitivitas akan keadilan
erat kaitannya dengan integritas aparat penegak hukum untuk menghadirkan
keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Membaca pandangan yang
dikutip oleh sang akademisi, semestinya beliau sudah menyadari bahwa letak
persoalannya bukanlah pada objektivitas aparatur penegak hukum, namun miskin
dan keringnya subjektivitas, mengingat sentivitas merupakan domain perasaan,
yakni kemampuan bersikap subjektivitas secara imparsial itu sendiri.
Namun, sang akademisi kemudian
meleset dalam membuat hipotesis, dengan menuding adanya faktor non teknis yakni
terkait integritas oknum aparat penegak hukum, dengan mengutip pemikiran
Klitgard (1999) yang kemudian dikenal dengan teori “CDMA”, penyimpangan pada
profesi penegak hukum dimungkinkan menurut rumus koruptif, yakni C (Corruption / penyimpangan) = D (Diskresi
/ kebebasan) + M (Monopoli) – A (Akuntabilitas). Singkatnya, kewenangan
monopolistik dalam menegakkan hukum, namun minim akuntabilitas, jadilah
“korup”. Akan tetapi, sang akademisi tidak menyadari disparitas konteks, dengan
mengutip pandangan pakar hukum di negara Common Law yang berbeda haluan dengan
sistem hukum di Indonesia yang masih berhaluan Civil Law.
Minus akuntabilitas? Bukankah putusan
pengadilan selalu dipublikasi oleh Mahkamah Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi
RI (MK RI) dalam situs resminya, dan bukankan itu sudah transparan? Lihat kasus
Ketua MK RI, Akil Mochtar, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat
kolusi dalam menjual-belikan putusan, bukan karena kualitas putusan, putusan
mana dipublikasikan kepada publik luas dalam website MK RI. Mengapa selama ini
tiada akademisi yang mengajukan protes terhadap putusan-putusan sang Akil
Mochtar, dan ketika terjaring “operasi tangkap tangan” oleh KPK, barulah mereka
menuding sang kolutor telah melakukan aksi kolusi jual-beli putusan dengan
memenangkan pihak yang mampu membayar dan memberi uang suap dalam suatu
sengketa pemilihan kepada daerah yang disidangkan dan diputus oleh MK RI.
Amerika Serikat, salah satu
negeri dengan sisten hukum Common Law, yang notabene menerapkan sistem “binding force of precedent”,
akuntabilitas dapat dilihat benar atau tidaknya lewat eksaminasi terhadap
kualitas putusan sang hakim. Jika putusan seorang hakim telah ternyata menyimpang
dari “preseden”, maka itu menjadi sinyalemen konkret tidak terbantahkan telah
terjadi aksi kolutif berupa penyalahgunaan wewenang sang hakim dalam pemutus
perkara. Itulah sebabnya, para sarjana hukum di Common law senantiasa berkata, “Ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi dalam
derajat paling maksimum.” Di Indonesia, hukum adalah “seni” tentang
spekulasi berdasarkan “selera” hakim.
Teori canggih bernama “CDMA” di
atas diadopsi dari negara berhaluan Common Law, yang menerapkan sistem kaedah
hukum preseden secara mengikat bagi para hakim berikutnya yang memutus dengan corak
karakter perkara serupa. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia
berdalih, menerapkan sistem konkordansi dengan meniru sistem hukum di Belanda
sebagai kiblat haluannya, sekalipun sejak satu dekade lampau Belanda telah
resmi berpindah haluan menjadi tipe negara hukum Common Law. Jadilah, Indonesia
menjadi salah satu sisa negara yang masih cukup terbelakang dari segi sistem
hukum, dimana sistem hukum Civil Law kian ditinggalkan oleh banyak negara, dan
entah apa yang membuat para pembuat kebijakan hukum di republik ini bersikukuh
memeluk ideologi “Civil Law” yang serba terbelakang ini sekalipun korban-korban
terus saja berjathuan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.