SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Ketika Iblis Teriak Iblis dan Setan Teriak Setan,
Manusia yang Kesetanan Penghapusan Dosa
Question: Pernah ada cerita, salah seorang umat Buddhist memiliki keluarga yang beragama nonBuddhist. Umat Buddhist ini dikucilkan di rumahnya, oleh anggota keluarganya yang berlainan agama dan semata karena lain agama. Ketika umat Buddhist ini memasak makanan di rumah, anggota keluarga serta menantunya menolak memakannya dan memilih membeli di restoran, sembari berkata, “Tidak mau makan masakah pengikut setan!”. Bagaimana cara menjawabnya, ketika ada anggota keluarga yang berbicara dan bersikap yang sejahat itu?
Brief Answer: Bagaimana logikanya, agama Buddha yang selama
ini mengampanyekan perihal Hukum Karma, hukum yang menekankan prinsip
meritokrasi dan egaliter, disebut agamanya pengikut “setan”? Justru
hanyalah para “manusia setan” bernama “pendosa”, yang menjadi pelanggan tetap
bahkan mencandu iming-iming penuh kecurangan dan korup semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Hanya “Agama DOSA”, yang
mempromosikan “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana
Buddhisme selama ini justru menolak dan secara eksplisit maupun secara implisit
tidak membenarkan ideologi korup semacam itu yang seolah-olah dosa dapat dicuci
(sins laundring).
PEMBAHASAN:
Begitu pula tempat ibadah yang
selama ini dikenal “norakisme” lewat pengeras suara eksternalnya,
menyebut-nyebut umat beragama lain sebagai “setan”, “iblis”, dan segala bentuk
diskredit lainnya dengan maksud untuk melecehkan serta pamer arogansi (pamer
kebodohan maupun pamer dosa). Namun, diakhir ceramah, sang pemuka agama /
penceramah kemudian mengumbar dan tanpa malu mengobral “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—alih-alih merasa malu dan di-tabu-kan,
justru dikampanyekan dan dipromosikan, seolah-olah sudah tidak memiliki “urat
malu” mengumbar nafsu libido “penghapusan dosa” dipertontonkan di depan umum
untuk didengar oleh publik.
“Aurat” ditutupi dengan
membungkus busana tubuh fisik dari ujung rambut ke ujung kaki, namun mengapa
“aurat” yang lebih sejati dan lebih memalukan disamping lebih kotor dan jahat
berbahaya semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”,
justru diumbar, diobral, dibanggakan, dipamerkan, dipertontonkan, diberikan
sebagai teladan, dikampanyekan, bahkan juga hingga dipromosikan bagi
kanak-kanak maupun bagi publik luas?
Para umat pengikut (pecandu) ideologi “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” bahkan lebih “kesetanan” dan “setanis”
ketimbang mereka yang memilih untuk memeluk agama “ateis”. Betapa tidak, para “ateis”
tidak pernah meyakini ideologi penuh kecurangan dan korup semacam “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sementara itu para umat agama “samawi”
justru menjadi pelanggan tetap yang tergila-gila pada ideologi “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” sebagai daya tarik utamanya yang
melampaui kecintaan mereka kepada Tuhan—bisa kita katakan, itulah “sogokan”
yang ditawarkan oleh “Tuhan” agar umat manusia bersedia menjadi “budak sembah-sujud”
dan menggadaikan jiwanya demi iman setebal tembok beton yang tidak tembus oleh
cahaya ilahi manapun.
Sebelum agama “samawi” muncul
ke muka Bumi ini, tiada penjahat yang yakin akan masuk surga setelah semua
perbuatan buruknya dilakukan. Mungkin ia tidak percaya surga maupun neraka,
namun setidaknya ia tidak merasa yakin bahwa seorang pendosa seperti dirinya
bisa masuk surga. Namun setelah agama “samawi” lahir, dengan iming-iming paling
utamanya ialah ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa” (tanpa iming-iming “too good to be true” demikian maka tiada
peminat untuk menjadi pemeluknya), para pendosa berbondong-bondong memeluknya, termakan
oleh keserakahan serta harapan semu dalam diri mereka sendiri, delusi berupa iming-iming
pendosa bisa masuk surga berkat pesta “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”. JANGAN MIMPI, BERMIMPI PUN JANGAN!
Sekalipun, secara akal sehat, “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” sejatinya merupakan “maksiat diatas
maksiat”. Sejahat-jahatnya seseorang, lebih jahat mereka yang merasa tidak
perlu menerima konsekuensi ataupun bahaya dibalik dosa-dosa yang mereka buat. Akan
tetapi akibat “akal sakit milik orang sakit”, maksiat demikian justru di-“halal”-kan,
dipromosikan, dikonsumsi sebagai menu sehari-hari, bahkan dikampanyekan secara
vulgar tanpa rasa malu, persis seperti yang telah pernah disinggung oleh Sang
Buddha, yang bersabda dalam Dhammapada bahwa:
Makhluk dunia ini buta. Di
dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari
jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.
Bukan karena berkepala beruban
seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.
Sebaliknya, ia yang menembus
kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah
melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.
Hanya ada beberapa saja di
dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat
terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.
Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani
laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan
penuh kekotoran.
Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu,
senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan
bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).
Hanya setan dan iblis, yang
tidak punya malu, bahkan mempertontonkan “aurat” dan maksiat secara vulgar nan
seronok bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Sehingga menjadi aneh
bilamana “setan teriak setan” atau “iblis teriak iblis”, terlebih ketika umat
pemeluk ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”
menyebut umat pemeluk ideologi Hukum Karma sebagai pengikut setan ataupun
iblis. Merasa bangga menjadi konsumen tetap yang mencandu ideologi “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, alih-alih merasa malu dan “tabu”, itulah
yang disebut tidak punya malu dan tidak tahu malu, alias ciri watak yang khas
dari iblis dan setan itu sendiri.
Tidak lengkap kiranya bila
tidak kita bahas tiga kategorisasi agama yang dikenal di dunia ini. Yang
pertama ialah “Agama SUCI”, sebagaimana namanya, menjauhkan diri dari ideologi “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, merasa jijik dan alergi pada iming-iming
curang demikian, dan lebih berfokus pada kewaspadaan dan penuh perhatian
terhadap perbuatan diri mereka sendiri agar tidak merugikan, menyakiti, maupun
melukai orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Karenanya, para pemeluk “Agama
SUCI” layak untuk disebut sebagai para “suciwan”. “Kitab SUCI” mereka tidak
pernah mengenal istilah “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”.
Yang kedua, ialah “Agama
KSATRIA”. Sebagaimana namanya, umat pengikut agama yang kedua ini ialah para “ksatria”,
dan disebut sebagai “ksatria” semata karena sekalipun mereka masih dapat dan
telah pernah menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lain, namun setidaknya mereka
tidak pernah lebih sibuk untuk berkelit ataupun memungkirinya, terlebih
menampilkan sikap semacam “tabrak lari”. Para “ksatria” lebih memilih untuk
bertanggung-jawab kepada korban-korban mereka, tanpa menunggu ditagih
pertanggung-jawaban, tanpa perlu menunggu digugat ataupun dipidanakan. Bahkan,
sekalipun korban-korbannya tidak sadar telah dirugikan dan dilukai, para “ksatria”
dengan penuh kesadaran mengambil tanggung-jawab sehingga tidak memiliki hutang
budi maupun hutang dosa kepada siapapun.
Yang ketiga, ialah “Agama DOSA”.
Sebagaimana namanya pula, disebut sebagai “Agama DOSA”, dimana umat pengikutnya
tentu saja disebut sebagai para “pendosa”, semata karena alih-alih mempromosikan
cara hidup suci dan mulia, justru mengkampanyekan ideologi korup ala “cuci dosa”
penuh kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa” yang sangat tidak bertanggung-jawab dan tidak pro terhadap korban-korban dari
para pendosa tersebut. Pertanyaan terbesarnya, mungkinkah Tuhan justru lebih
pro kepada para “pendosa” pengikut “Agama DOSA” tersebut alih-alih memberikan
keadilan bari para korban yang malang dan tidak berdaya tersebut?
Menjadi jelas pula bahwa adalah
mustahil iblis maupun setan menjadi umat pengikut “Agama SUCI” maupun “Agama
KSATRIA”. Hanya “Agama DOSA” yang disukai dan digemari oleh para pendosa
tersebut, berisi manusia-manusia pendosa, bersama serta para setan, dan para
iblis. Sehingga menjadi menggelikan para “manusia setan” pemeluk “Agama DOSA”
tersebut justru menyebut umat pengikut “Agama SUCI” maupun “Agama KSATRIA”
sebagai umat pengikut setan / iblis, akibat faktor ketiadaan rasa malu betapa
kotor ideologi yang mereka peluk dan konsumsi setiap harinya.
Hanya ada sedikit yang punya
malu, karenanya hanya ada sedikit umat manusia yang menapak di jalan “Agama
SUCI” maupun “Agama KSATRIA”. Sebaliknya, pemeluk “Agama DOSA” adalah masif,
mengingat dunia ini tidak pernah kekurangan para “pendosa”. Semua “pendosa”
memiliki satu pola sifat yang sama, yakni tidak punya malu dan tidak tahu malu,
bahkan tidak malu mengaku sebagai pendosa pecandu “penghapusan dosa” dan
mempromosikan dosa. Bila menjadi pelanggan tetap yang mencandu ideologi
kotor penuh kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa” saja, mereka tidak malu, terlebih melakukan berbagai kejahatan
bak setan yang “kesetanan” alias perilaku iblis itu sendiri?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.