SENI PIKIR & TULIS
Persona Dibalik Ketidakberdayaan dan Dibalik Kekuasaan, Satu Sosok Berwajah Ganda
Orang-orang yang baik dan jujur, adalah amat langka adanya. Namun orang yang semula jahat bisa berubah menjelma menjadi orang baik, lebih langka lagi adanya—sekalipun mereka mengaku-ngaku telah “tobat” dan semudah mengklaim telah “bertobat”. Apa yang penulis kemukakan tersebut di atas, bukanlah pandangan yang berlebihan tanpa dasar empirik, namun disarikan dari pengamatan pribadi penulis yang telah berusia hampir separuh abad lamanya hidup dan bersentuhan langsung dengan berbagai fenomena sosial-kemasyarakatan di Indonesia.
Sedikit-banyak, penemuan dari
pengamatan pribadi penulis tersebut seakan mengafirmasi hipotesis dalam dunia
neurosains yang menyatakan bahwa “constitutional
traits” atau watak dasariah seseorang amat ditentukan oleh faktor Kode
Genetik diri bersangkutan. Bahkan para kriminolog hingga para peneliti genetika
memiliki anekdot senada yang mengerikan untuk kita dengar, “kejahatan adalah
dilahirkan” atau “penjahat yang dilahirkan”, criminal is born, born criminal. Penjahat melahirkan penjahat,
hanya mutasi genetik saat proses pembuahan yang bisa menghentikan pewarisan sifat-sifat
jahat seseorang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Telah lama penulis mengamati
dan mendapati, jika sejak semula watak dasariah (nature) seseorang adalah jahat adanya, maka sampai ia uzur dan
meninggal dunia sekalipun, ia adalah orang yang tetap jahat adanya. Terkesan
deterministik, namun demikianlah adanya berbagai pengalaman pribadi penulis
menemukan fenomena dengan pola-pola serupa diluar sana maupun didalam internal
keluarga pribadi penulis. Lantas, bagaimana dengan fenomena orang yang semula
baik-baik, namun akibat salah pergaulan, bergaul dengan komunitas pergaulan
yang tidak baik, menjelma menjadi orang yang jahat? Apakah juga benar, pendapat
yang menyatakan bahwa “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”? Jawaban
penulis ialah, kita yang terlampau cepat men-“judge” orang tersebut sebagai orang baik, semata karena watak aslinya
belum muncul ke permukaan, alias masih bersifat laten menunggu hingga terpicu
dan muncul ke permukaan.
Minyak bersatu dengan minyak,
saling bersenyawa; sementara itu air berkohesi dengan air, adalah wajar saja
sifatnya. Namun adalah mustahil api bersatu dengan air, karena keduanya tidak
saling bersenyawa. Mereka yang cenderung jatuh dan masuk ke dalam lingkungan
pergaulan yang negatif, tidak sehat, buruk, dan jahat, karena memang tendensi
atau kecenderungan naluriah diri seseorang tersebut adalah memang bersenyawa
dengan orang-orang dalam pergaulan demikian sehingga ada “cemistry” berupa “kecocokan”.
Orang baik-baik, akan mendapati
kata hatinya menolak untuk memasuki lingkungan pergaulan yang buruk dan
negatif, berupa kata hati yang berkecamuk semacam berikut : “Saya memang
berbeda dengan mereka.” Elang terbang ke atas angkasa, sementara itu
monyet-monyet bergelantungan dari satu pohon ke pohon lainnya, dan ikan-ikan menyelam
ke dalam air. Masing-masing sudah ada watak naluriahnya sendiri, begitupula
sifat dasariah masing-masing individu pada manusia.
Lantas, bagaimana penulis dapat
menjelaskan adanya orang-orang yang semasa mudanya terlibat banyak aksi
kriminalitas, ketika usia tua tiba, ia lebih tampak “kalem” dan “jinak”?
Jawaban penulis secara tegas ialah, itu merupakan strategi yang ditampilkan
oleh semua kalangan preman, yakni ketika otot fisik mereka melemah, tidak lagi
sanggup untuk memeras, mengintimidasi, maupun mengancam akan menganiaya warga
lainnya, maka mereka alih strategi dan putar haluan dengan “mendadak alim”
alias “play innocent”. Ketika sang
preman tua kemudian kembali memiliki kekuatan dalam bentuk uang untuk menyewa
anak buah preman yang masih muda dan kuat (money
and men power), maka dapat dipastikan sang preman akan kembali terlibat
kasus premanisme maupun kriminalitas lainnya—namun dalam konteks ini ia menjadi
aktor intelektual atau penyuruh para preman yang menjadi anak buahnya untuk
terlibat kasus-kasus kejahatan yang melanggar hukum.
Anda berani bertaruh, bahwa
jika seandainya saat kini kekuatan militer Jepang tidak dibawah pengampuan
negara Amerika Serikat, maka Jepang akan kembali melakukan invasi dan aksi penjajahan
ke negara-negara kawasan Asia hingga seluruh penjuru dunia? Jangan pernah
biarkan Jepang memiliki “nuclear weapon”
jika Anda masih mencintai Planet Bumi ini. Pernah ada pepatah yang menyebutkan,
berikan seseorang kekuasaan, kekuatan, dan kewenangan, maka kita akan
menyaksikan watak asli terdalam dari orang tersebut.
Lalu silahkan kaitkan dengan
postulat dari Lord Acton : “Power
tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely!” Ketika seseorang “ditelanjangi” dari
kekuatan, kekuasaan, maupun kewenangan, maka adalah wajar saja orang tersebut
tidak bersikap selayaknya seorang diktator. Namun ketika ia kembali
dipersenjatai oleh berbagai kekuasaan, kekuatan, maupun kewenangan, watak
aslinya pun bangkit dan mencuat muncul ke permukaan—selalu demikian pola yang
sama terulang, fenomena “kapok sambal”. Bila orang-orang baik menyatakan bahwa
berbuat baik adalah “mencandu”, maka orang-orang jahat pun menyatakan bahwa
berbuat jahat adalah “candu” itu sendiri di benak mereka masing-masing. Bukankah
umat manusia, adalah irasional adanya?
Ulasan di atas bukanlah sekadar
wacana maupun teori belaka, namun penulis sarikan dari pengamatan empirik penulis
terhadap banyak anggota masyarakat kita di Indonesia sebagai objek
pengamatannya. Salah satu contohnya ketika penulis mengenal seseorang yang pada
mulanya tampak ramah, bersahabat, hangat, low
profile, rendah hati, baik, dan lembut. Namun, giliran ia diberi
kepercayaan disertai kewenangan dengan kekuasaan tertentu pada suatu
organisasi, watak-watak buruknya mulai bermunculan satu demi satu—dan itulah
watak aslinya dibalik persona (topeng) yang selama ini tersembunyikan saat ia
dalam kondisi lemah tanpa kekuasaan apapun.
Kini, mari kita simak pendapat Sang
Buddha, yang telah tercerahkan, sang pengetahui segenap alam, serta guru
agung dari para dewa dan para manusia, mengenai watak umat manusia, yang mana
telah menyatakan pula bahwa orang-orang baik dan luhur secara otentik adalah makhluk
yang langka adanya, mengingat menjadi orang baik dan “mempertahankan kewarasan
ditengah ketidakwarasan” bukanlah hal yang mudah, sebagaimana penulis kutip
dari Dhammapada dengan beberapa ayat kutipan sebagai berikut:
Makhluk dunia ini buta. Di
dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari
jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.
Bukan karena berkepala beruban
seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.
Sebaliknya, ia yang menembus
kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah
melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.
Hanya ada beberapa saja di
dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat
terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.
Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani
laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan
penuh kekotoran.
Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu,
senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan
bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).
Bila Anda tetap bersikukuh
bahwa mayoritas warga masyarakat di luar sana adalah orang-orang yang jujur dan
baik hati, maka itu bertentangan dengan realita bahwasannya bukan hanya pejabat
negara yang selama ini terlibat korupsi, namun masyarakat jelata sekelas “office boy” sekalipun masif melakukan
korupsi. Bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah, salah satu contoh
lainnya, kerap tidak tepat sasaran mengingat maraknya aksi korupsi oleh sesama
warga yang difasilitasi oleh Ketua Rukun Warga dan Tetangga setempat.
Bisakah Anda melangsungkan hidup
tanpa dimakan oleh “manusia adalah serigala bagi sesamanya” dengan sikap tanpa
kewaspadaan maupun kecurigaan terhadap orang lain baik orang asing maupun orang-orang
terdekat yang telah Anda kenal (ber-“negative
thinking”)? Apakah dunia ini kekurangan para penipu yang pandai membuat modus-modus
manipulasi dan tipu-daya? Selama ini Anda mengkampanyekan “positive thinking” dan berpraduga positif, maka Anda pun perlu
mempraktikkannya sendiri dalam keseharian hidup Anda, dimana dapat penulis
pastikan Anda tidak akan bisa “survive”
hidup di Indonesia dimana masyarakatnya dikenal memiliki ciri khas mentalitas “buat
dosa, siapa takut?!”. Bila bukan Anda yang “memakan”, maka Anda yang akan “dimakan”.
Berani bertaruh?
Bila orang-orang jahat dan
penipu, adalah minoritas adanya di dunia ini, dan mayoritas penduduk dunia
adalah orang-orang baik dan jujur adanya, maka mengapa faktanya ideologi “korup”
penuh kecurangan semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa” yang menyerupai aksi “cuci dosa” demikian—yang jelas-jelas tidak PRO terhadap
korban alias tidak “victims friendly”—justru
menjadi agama yang mayoritas dipeluk oleh sebagian besar penduduk dunia,
sekalipun kita mengetahui, bahwasannya hanya seorang pendosa yang membutuhkan iming-iming
“too good to be true” semacam “Agama DOSA”
(disebut demikian semata karena mengampanyekan penghapusan dosa alih-alih mempromosikan
sikap penuh tanggung-jawab). Pada satu tangan, mengaku telah “tobat”, namun
pada tangan lainnya tetap rutin mengonsumsi ideologi “penghapusan / pengampunan
dosa”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.