LEGAL OPINION
Data terkait Aset Harta Milik Penduduk Indonesia selalu
ter-Update di Database Dukcapil, Era Online
Tergugat Menyembunyikan Aset / Harta Miliknya? Nama
Jalan Berubah, Terjadi Pemekaran Wilayah, Data Sertifikat Ikut Berubah, Siapa
Takut?
Question: Yang kita ketahui aset tanah milik Tergugat untuk kami sita lewat pengadilan nantinya, ialah nama jalan yang kami ketahui pada saat gugatan kami ajukan. Untuk menunggu hingga hakim bisa buat putusan sela untuk kabulkan permohonan sita jaminan atau bahkan menunggu hingga kami bisa mohon sita eksekusi bertahun-tahun kemudian saat putusan telah “inkracht” (berkekuatan hukum tetap), bisa jadi pada masa proses perjalanan tersebut secara mendadak nama jalan berubah akibat kebijakan pemerintah, pemekaran wilayah, perubahan nama kelurahan, kabupaten, kota, desa, atau bahkan perubahan nama provinsi dan lain sebagainya yang tidak dapat kita prediksi. Bagaimana ini, mana mungkin pihak Tergugat mau kooperatif beritahu perubahan wilayah administrasi tanah miliknya ataupun perubahan nama jalan dalam aset sertifikat tanahnya?
Brief Answer: Idealnya, konsep surat gugatan terutama pada
bagian “petitum” (bagian berisi pokok
tuntutan / permintaan pihak Penggugat, biasanya ada di bagian paling akhir dari
surat gugatan agar dapat dikabulkan hakim pengadilan sebagai amar putusan), perlu
mengakomodir kemungkinan demikian. Prinsipnya, hakim yang memeriksa dan memutus
perkara perdata dilarang untuk menjatuhkan putusan dengan amar yang melampaui
apa yang diminta dalam “petitum”
surat gugatan—asas “non-ultra petitum”.
Sehingga, rumusan atau konsep surat gugatan yang kurang akomodatif, cukup fatal
sifatnya.
Sepanjang ada putusan pengadlan yang membolehkan
pihak Penggugat untuk menghadap instansi pemerintah yang berwenang dalam rangka
menghimpun informasi terkait aset-aset atau harta kepemilikan pihak Tergugat,
baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun tidak
berwujud, berdasarkan atau berbekal “Nomor Induk Kependudukan” (NIK, single identity number) pihak Tergugat, maka
akan jadi sah-sah saja dilaksanakan dan dieksekusi sebelum kemudian menjadi
kebiasaan praktik baru (konvensi) di lembaga pemerintahan terkait semisal di
Direktorat Catatan Sipil maupun di Kantor Pertanahan, sebagai contoh diberikan
izin bagi pihak Penggugat untuk membuka data pihak Tergugat terkait harta Tergugat
untuk tujuan dletakkan “sita eksekusi” terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Saat kini di Indonesia, segala hal terkait
kependudukan maupun aset harta kepemilikan termasuk segala beban semisal hutang
kredit, terdata lengkap dan rapih pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan
Catatan Sipil (Dukcapil), berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK, single identity number) masing-masing Warga
Negara Indonesia. Semisal seorang warga memiliki aset kekayaan berupa hak atas
tanah bersertifikat dari Kantor Pertanahan, rekening giro di perbankan, bahkan
subsidi berupa bantuan sembako dari pemerintah, semua terdata lengkap dan rapih
berdasarkan “by NIK” di Dukcapil—data-data privasi mana dapat diakses oleh pihak-pihak
yang berkepentingan dalam rangka penegakan hukum, tidak terkecuali bagi warga
lainnya yang dibolehkan oleh putusan pengadilan.
Karena itulah, mengantungi informasi berupa NIK pihak
Tergugat menjadi bekal penting karena signifikansinya untuk tujuan mengeksekusi
amar putusan agar tidak “ilusioner”. Dapat disertakan dalam “posita” gugatan, uraian mengenai urgensi
diberi hak akses data / informasi terkait aset harta kepemilikan pihak Tergugat
dalam rangka “sita eksekusi” ketika gugatan dikabulkan dan dimenangkan oleh
hakim di pengadilan, untuk selanjutnya merumuskan “petitum” agar mekanisme demikian dapat diakomodir oleh Majelis
Hakim di pengadilan saat memutuskan dan menjatuhkan amar putusan terhadap
gugatan. Tidak semua litigator merupakan seorang konseptor gugatan yang handal,
dibutuhkan keterampilan tersendiri dibalik kemampuan menyusun strategi berupa
fondasi gugatan lewat “posita” dan “petitum” yang futuristik, tidak sekadar
lengkap dan utuh.
Dirjen Dukcapil Kemendagri
menyatakan lewat sosialisasinya di media massa, jika nama jalan rumah berubah, maka
database “by NIK” di Dukcapil berisi data sertifikat tanah para warga yang
terdampak perubahan nama jalan, ikut berubah dan ter-update secara otomatis. Keterangan
resmi dari otoritas demikian semakin menegaskan, Dukcapil memang mempunya data
lengkap harta tanah setiap warga yang terdata lengkap dan rapih “by NIK”. Tentu
kabar baik demikian (sistem database yang rapih di instansi pemerintah, dalam
hal ini Dukcapil) menjadi “angin segar” bagi kalangan Penggugat yang telah berhasil
memenangkan gugatan, namun kerap terkendala saat hendak mengeksekusinya
mengingat hampir tiada Tergugat yang dikalahkan dan dihukum oleh pengadilan
dengan sukarela menjalankan isi amar putusun berupa penghukuman membayar
sejumlah ganti-kerugian kepada pihak Penggugat, sebagai contoh.
Teknik di atas yang perlu dan
penting dimasukkan atau disertakan ke dalam “petitum” surat gugatan, adalah paling ideal, mengingat bisa jadi
data alamat sertifikat milik Tergugat kena kebijakan perubahan nama jalan
dimasa mendatang, ataupun perubahan lainnya akibat kebijakan pemerintah. Jadi,
saat “sita eksekusi” atas amar putusan, tidak perlu Penggugat pusingkan adanya
perubahan nama jalan harta milik Tergugat, pemekaran wilayah, perubahan nama
kota, dsb, cukup modal “NIK” pihak Tergugat, selanjutnya Penggugat mendatangi Dukcapil,
maka data ter-update dapat diperoleh dan dikantungi—dengan catatan, sepanjang “petitum” yang dimohonkan pihak Penggugat
dikabulkan Majelis Hakim pemeriksan dan pemutus perkara.
Namun yang terpenting dari kesemua itu ialah, “petitum” tersebut perlu dimohonkan, dan selanjutnya
ialah mengetuk pintu hati Majelis Hakim mengenai pentingnya serta terdapat
urgensi dibalik perlunya dimohonkan dan dikabulkan oleh Majelis Hakim dalam
putusannya, agar kemenangan Penggugat tidak menjurus “menang jadi arang” semata
karena tidak dapat ditindaklanjuti amar putusan akibat kendala tidak
transparannya dan tidak kooperatifnya pihak Tergugat yang tidak beritikad baik
melaksanakan isi amar putusan.
Lantas, bagaimana jika “petitum” gugatan dan amar putusan pengadilan, telah terlanjur tidak
mengakomodasi “petitum” semacam itu?
Ajukan permohonan ke Pengadilan Negeri, agar dapat diterbitkan “penetapan”
berupa izin bagi pihak Pemohon untuk menghadap Dukcapil dalam rangka memohon
informasi perihal aset ataupun harta kepemilikan pihak Termohon, dengan menarik
pihak Tergugat sebagai pihak Termohon dan pihak Dukcapil sebagai pihak Turut
Termohon. Akan tetapi sekali lagi, kesemua itu barulah niscaya bilamana Pemohon
telah mengantungi informasi perihal NIK pihak Termohon.
PEMBAHASAN:
Hukum acara perdata kita di
Indonesia memang tidak mengenal ataupun mengakomodir kemungkinan pihak
Penggugat melacak atau mengakses data-data terkait harta kepemilikan pihak
Tergugat dalam rangka menelusuri aset untuk dibebankan “sita eksekusi” semata
agar putusan menjadi tidak “ilusioner” alias dapat dieksekusi ketika pihak
Tergugat tidak kooperatif untuk mengindahkan dan melaksanakan penghukuman dalam
amar putusan hakim pengadilan—sekalipun kebutuhan konkret demikian sudah sejak
lama dibutuhkan dan dikeluhkan para pencari keadilan di Indonesia pada
khususnya sengketa perkara perdata. Namun, selain norma hukum tertulis, kita
mengenal pula norma hukum kebiasaan (best
practice) untuk mengisi kekosongan hukum sesuai kebutuhan praktik di
lapangan, alias “konvensi” itu sendiri.
Sebagai contoh analoginya,
perkawinan beda agama tidak diatur kebolehannya dalam Undang-Undang di
Indonesia, namun juga disaat bersamaan tidak terdapat norma hukum yang mengatur
larangan secara tegas bagi Warga Negara Indonesia yang hendak melangsungkan
perkawinan beda agama di teritori Indoensia. Sehingga timbul pertanyaan dalam
praktik, “boleh” atau “tidak boleh” kawin beda agama dan dicatatkan ke Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil?
Kekosongan hukum tidak boleh
dibiarkan begitu saja, agar sendi kehidupan sipil serta administrasi
pemerintahan terus dapat berjalan dan berputar, karenanya dibutuhkan sebentuk
keberanian untuk mendobrak kebekuan lewat menerapkan “konvensi” baru untuk
menjadi hukum tidak tertulis itu sendiri yang perlu dibentuk serta dilembagakan
kedalam praktik (best practice)
sebagai inisiatif pemecahan masalah untuk menjawab kebutuhan konkret di
lapangan.
Perhatikan bagaimana praktik
lapangan di pemerintahan perlu bersikap akomodatif, kreatif, serta solutif
membentuk “best practice” baru yang
inovatif sekalipun norma hukum tertulisnya “kosong” ketika memberikan pelayanan
publik bagi masyarakat umum, dimana bermula dari polemik pernikahan beda agama yang
menjadi isu di lembaga pemerintahan sejak tahun 1980-an, terutama pada instansi
pemerintahan dibawah Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil.
Mahkamah Agung (MA RI) kemudian
menerbitkan putusannya sebagaimana register Nomor 1400 K/Pdt/1986, yang memutuskan
bahwa perkawinan beda agama adalah dibolehkan dan dimungkinkan untuk dilakukan
di Indonesia dengan jalan warga yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama
memohonkan “penetapan” ke pengadilan untuk memberi izin bagi calon pasangan
dimaksud sebagai pihak Pemohon untuk melangsungkan pernikahan sekalipun sang
pasangan berbeda agama. Sejak terbitnya putusan yang bersejarah itu, Kantor Catatan
Sipil di Indonesia sudah bisa mencatatkan kawin beda agama atas dasar penetapan
pengadilan kasus per kasus sesuai identitas pihak pemohon yang telah membekali
diri dengan penetapan dimaksud.
Selang puluhan tahun kemudian, dibelakangan
hari terbit Surat Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri No. 472.2/3315/DUKCAPIL
tertanggal 3 Mei 2019. Surat tersebut berisi penjelasan pencatatan sipil bagi
Warga Negara Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan di Indonesia, salah
satunya pencatatan perkawinan beda agama bila salah satu pasangan dan pasangan
yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya. Surat Dirjen Dukcapil
tersebut menindaklanjuti Surat Panitera MA RI yang menjawab surat penjelasan
hukum yang sebelumnya dimohonkan Ditjen Dukcapil Kemendagri pada 10 Oktober
2018.
Adapun substansi Surat Jawaban
Panitera MA RI No. 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019, pada poin 2
menjelaskan tentang pencatatan perkawinan beda agama, menyatakan dengan kutipan
sebagai berikut:
“Perkawinan beda agama tidak
diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika
perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan
pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka
perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan
dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan
berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor
Urusan Agama (KUA).”
Konstruksi di atas menyerupai
perkawinan anak dibawah umur, dilarang oleh hukum dalam Undang-Undang tentang
Perkawinan mengenai batas minimum usia pasangan suami-istri. Namun,
masing-masing calon pasangan lewat walinya dapat memohon dispensasi usia
perkawinan ke pengadilan negeri setempat, sehingga bila dikabulkan, maka
terbitlah penetapan pengadilan yang berisi izin atau kompensasi bagi kedua
belah pihak Pemohon untuk melangsungkan pernikahan sekalipun masih berstatus
dibawah umur kecakapan untuk melangsungkan pernikahan di Indonesia.
Pada mulanya, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang menerima berkas perkara berupa permohonan “izin kawin beda
agama” melalui Penetapan No. 382/Pdt/P/1986/PN.Jkt.Pst menyatakan “menolak”
permohonan perkawinan beda agama, dimana Majelis Hakim konsisten merujuk semata
pada Undang-Undang tentang Perkawinan yang mana secara tertulis (norma hukum
tertulis) mengatur bahwa perkawinan terjadi ketika kedua mempelai seagama atau
saling beragama sama. Namun, kedua calon mempelai tidak menerima begitu saja
penolakan Pengadilan Negeri, mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang
ternyata Hakim Agung kemudian mengabulkan permohonan kedua mempelai atas dasar pertimbangan
hak asasi manusia (HAM). Putusan MA RI demikian kini menjadi dasar “best practice” (konvensi peradilan) diperbolehkannya
nikah beda agama sebelum kemudian dicatatkan di kantor catatan sipil (konvensi
administrasi pemerintahan). Kebijakan yang mengakomodir kebutuhan masyarakat
demikian, menjadi solusi yang pro terhadap rakyat, dimana pada asasnya hukum
memang harus bersifat solutif disamping inovatif.
Sebagai kesimpulannya, saat
kini Kantor Pencatatan Sipil sudah mulai bisa mencatatkan kawin beda agama
sejak tahun 1986. Sejak tahun bersejarah itulah, yurisprudensi di atas kerap dirujuk
masyarakat ketika ada pasangan yang hendak menikah dalam kondisi saling berbeda
agama namun terkendala upaya mencatatkannya agar menjadi sah oleh hukum negara.
Dewasa ini, permohonan penetapan serupa meingkat kebutuhannya dari tahun ke
tahun oleh anggota masyarakat yang memiliki masalah serupa di negara dengan
latar-belakang agama yang majemuk, perkawinan antara WNI dalam kondisi saling
berbeda agama, dan pernikahan mana hendak dilangsungkan di teritori Negara
Indonesia.
Putusan yang layak menyandang
gelar “landmark decision”, monumental
dan bersejarah, yang mengedepankan inovatif dan solutif itu tetap sah-sah saja
menjadi sumber hukum yang diakui dalam sistem hukum Indonesia, tercatat sebagai
salah satu “yurisprudensi” atau “preseden” yang menjadi sumber hukum “best practice” praktik peradilan maupun
bagi masyarakat luas pada umumnya. Karena itu, Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986
demikian menjadi rujukan yurisprudensi paling utama mengenai kawin beda agama agar
dinyatakan sah dengan syarat kedua calon pasangan mengantungi penetapan pengadilan
yang terlebih dahulu mengabulkan permohonan izin mereka sebelum dibawa ke Kantor
Pencatatan Sipil.
“Mind set” lama sebagian orang yang hendak melangsungkan perkawinan
beda agama, ialah perkawinan dilangsungkan di luar negeri dimana negara
tersebut norma hukum tertulisnya membolehkan terjadinya perkawinan beda agama
di teritori wilayah negaranya, lalu kedua pasangan WNI ini kembali ke Negara Indonesia,
sebelum kemudian meminta dicatatkan ke Kantor Pencatatan Sipil di Indonesia dan
selama ini pada umumnya memang diterima “jalan memutar” yang berliku demikian, sehingga
status WNI yang menikah di luar negeri tersebut dalam catatan kependudukannya
akan dinyatakan sudah menikah meski beda agama—banyak yang menyebutnya sebagai
“penyelundupan hukum”, walaupun senyatanya sejak tahun 1986 para WNI tidak perlu
pergi ke luar negeri untuk menikah dengan calon pasangannya yang berbeda agama,
dimana mereka cukup memohonkan produk pengadilan saja yang bernama “penetapan”,
meski aturan tertulisnya belum ada namun sudah terdapat praktik kebiasaan baru
di lembaga Dukcapil serta bukan hal yang baru dalam praktik peradilan, sudah
lazim terjadi dan berlangsung.
Disebutkan bahwa, dari sejumlah
putusan hakim mengenai permohonan penetapan perkawinan beda agama, banyak
diantaranya dikabulkan hakim, sekalipun masih ditemukan sejumlah putusan yang
ditolak permohonannya, dimana beberapa penetapan pengadilan yang menolak
permohonan WNI yang hendak menikah dengan status beda agama akibat hakim yang
memutus permohonan tidak merujuk pada yurisprudensi MA RI sebagaimana dimaksud di
atas, akan tapi merujuk semata pada Undang-Undang tentang Perkawinan dan Undang-Undang
Administrasi Kependudukan saat menjatuhkan putusan berupa permohonan penetapan
kawin beda agama—namun itu tidaklah penting, yang terpenting ialah fakta bahwa
kini lembaga pemerintah mulai membuka diri dan membuka potensi kelaziman baru, lebih
terbuka (open minded), lebih
inovatif, serta lebih solutif dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat serta
melayani rakyat luas.
Yang dalam terminologi istilah
hukum, dikenal dengan sebutan “contra
legem”, yang bermakna bahwa ketentuan normatif hukum (teks norma hukum)
tertulis dapat disimpangi oleh praktik peradilan bilamana konteks hukum yang
dihadapi membutuhkan solusi konkret serta keberanian untuk melakukan terobosan
dalam rangka kemanfaatan yang lebih besar bagi masyarakat luas—lebih besar
manfaat daripada mudarat ketika teks norma hukum disimpangi, kasus per kasus
secara kasuistik sesuai konteks peristiwa hukum yang terjadi.
Sekalipun secara eksplisit
“menabrak” ketentuan teks normatif hukum yang berlaku, namun kebutuhan konkret
di lapangan menuntut agar dibentuk praktik kebiasaan berhukum yang baru, maka
itulah yang kemudian terlembagakan sebagai sebuah “best practice”, salah satunya seperti contoh yurisprudensi di atas,
dimana juga dapat kita analogikan bahwa data harta kekayaan warga lainnya
bukanlah informasi yang bersifat untuk konsumsi publik, sehingga dikecualikan
oleh Undang-Undang mengenai Keterbukaan Informasi Publik, namun pihak Penggugat
/ Pemohon dapat mengajukan permohonan akses informasi sensitif-privasi berupa
aset kekayaan milik pihak Tergugat / Termohon, sepanjang ada putusan /
penetapan pengadilan yang mengabulkan dan membolehkan atau memberi hak akses
demikian.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.