SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Di Mata Anda, Anda adalah Orang Baik yang Suka
Berbuat Baik. Namun, di Mata Orang Lain, Anda adalah Orang Bodoh yang hanya
untuk Dimangsa dan Dijadikan Sasaran Empuk.
Tidak Pandai Menjaga Diri dari Manusia-Manusia
PREDATOR, memang Layak Disebut Orang Bodoh, “si Bodoh yang Baik Hati” alias “si
Baik Hati yang Bodoh”
Question: Apa yang dapat membuat seseorang kurang dihargai oleh orang lain, meski sudah banyak buat baik?
Brief Answer: Terdapat dua kemungkinan latar-belakang, mengapa
seseorang dapat kurang mendapat penghargaan atau bahkan sama sekali tidak
dihargai oleh orang lain, tanpa terlepas dari fakta bahwa ia atau mereka telah
dikenal sebagai orang baik yang kerap berbuat kebaikan—dimana justru karena
telah dikenal sebagai orang baik itulah, ia seakan menggoda “tangan-tangan
jahil” maupun “tangan-tangan usil” milik orang lain untuk mengganggu, mengambil
keuntungan, dan merampas sesuatu dari orang-orang baik tersebut. Tiada orang
jahat yang menjadi objek “bullying”,
perundungan hanya terjadi pada orang-orang lemah dimana salah satunya ialah
orang-orang baik. Itulah ketika orang baik dan kebaikan hati, dipandang sebagai
kelemahan atau sifat lemah di mata orang lain.
Penyebab yang pertama, ialah faktor irasionalitas
umat manusia, manusia dilahirkan tidak dalam kondisi putih polos sebagaimana
asumsi kelewat utopis kebanyakan kaum antropolog “buta”, namun dalam keadaan
irasional, sehingga pendisiplinan dan disiplin diri menjadi nilai penting bagi
setiap individu, serta untuk diadakan pendidikan dalam rangka mengikis sifat
irasional seseorang, setidaknya tidak terlampau irasional, disamping kemampuan
untuk secara swadaya mendidik diri kita sendiri sepanjang hayat masih dikandung
badan. Sebagai contoh, rata-rata orang baik justru tidak dihargai oleh
orang-orang yang selama ini diperlakukan secara baik oleh sang orang baik—fenomena
mana bukanlah anomali sosial, karena terjadi secara masif, selalu terulang
sejak dahulu kala hingga saat kini, dan pola serupa dapat kita jumpai di tengah
masyarakat manapun tanpa membedakan gender, umur, suku bangsa, maupun warna
kulit.
Alasan atau kemungkinan kedua, ialah faktor sikap
orang-orang yang kurang dihargai itu sendiri—lebih tepatnya ialah ia kerap bersikap
seolah-olah tidak memiliki opsi lain untuk dipilih, sehingga seakan tidak
memiliki daya tawar. Alam bawah sadar banyak manusia diluar sana, membajak
paradigma berpikir mereka, si “makhluk irasional”, bahwa orang-orang dengan
daya tawar yang rendah adalah orang-orang yang kurang atau tidak berharga sama
sekali, karenanya mereka akan cenderung tidak dihargai oleh orang lain.
Orang yang kuat, akan melakukan perlawanan ketika
diperlakukan secara tidak patut oleh orang lain. Namun, respons orang baik
biasanya adalah selalu tampil manis dan menyenangkan, tidak berani berinisiasi
mengambil konfrontasi verbal, karenanya dinilai sebagai orang dengan
kepribadian yang lemah. Karenanya pula, berbuat baik disama-artikan sebagai sedang
menunjukkan kelemahan diri sehingga mengundang niat-niat jahat milik
orang-orang lainnya untuk mendekat dan merapat padanya. Berbuat baik,
mengundang kebaikan, sebagaimana dikumandangkan oleh “the law of attraction”, sekalipun bertentangan dengan fakta
bahwasannya kutub positif menarik kutub negatif untuk mendekat.
Orang baik, seakan telah terbelenggu untuk selalu
“act as a good boy”, senantiasa
menyenangkan hati setiap orang, menyetujui semua keinginan orang lain sekalipun
itu merugikan diri mereka, sekalipun di mata orang lain dirinya adalah “objek
pemuas nafsu”. Tidak lagi disebut sebagai orang baik, bahkan dinilai sebagai
“bukan lagi orang baik”, seakan merupakan “vonis mati” bagi diri dan jiwa
orang-orang baik hati namun naif tersebut. Mereka, “gampang diterka”, semata
karena orang-orang baik tersebut merasa takut ketika identitasnya (yang berdiri
diatas fondasi rapuh) sebagai “orang baik” terancam runtuh seketika akibat
komentar orang lain yang menilainya sebagai “bukan orang baik”, karenanya
orang-orang baik tersebut seakan tidak memiliki pilihan bebas, kehendak bebas (free will), ataupun opsi lain untuk
dipilih—dan disaat bersamaan pintu masuk manipulasi pun terbuka lebar oleh
pihak-pihak eksternal yang hanya bermaksud untuk memanfaatkan, memperalat,
serta memperdaya.
Disebut “identitas dengan fondasi yang rapuh”
milik orang baik, semata karena mereka amat bergantung pada penilaian dan
komentar orang lain atas diri mereka, seakan-akan identitas diri mereka
ditentukan oleh orang baik, sebagai “orang baik” atau tidaknya. Orang baik,
rata-rata kurang independen, kurang mandiri, serta kurang soliter dalam
bertindak dan berpikir. Mereka terlampau dicekam ketakutan bahwa orang lain
tidak lagi menilainya sebagai orang baik, bahkan terobsesi untuk selalu dinilai
sebagai “orang baik”—sekalipun itu artinya menjadi rentan dimanipulasi, dan
mereka tahu betul resiko dibaliknya namun tetap saja “be a good person as usual”. Si baik hati yang bodoh ini, akan
terkejut ketika pertama-kalinya mereka membaca pepatah Inggris yang menohok
tepat sasaran ke jantung masalah, dengan kutipan berikut : “Be a good person, but don’t waste time to
prove it!” Mereka, para orang baik, terlampau banyak membuang-buang
waktu produktif mereka untuk terus dan senantiasa membuktikan pada dunia bahwa
mereka adalah “orang baik”.
Jangan pernah “jual murah”, sehingga hidup memang
butuh seni “jual mahal” atau setidaknya “jual diharga menengah” bila memang
kualitas diri kita kurang memadai—namun yang terpenting sebagai tips untuk
tidak diremehkan dan tidak dihargai oleh orang lain ialah, jangan pernah “jual
murah” sekalipun dorongan hati Anda melimpah-ruah mendesak mendorong tangan
Anda untuk berbuat baik kepada orang lain. Kendalikan diri Anda, termasuk
kendalikan niat baik Anda, demi kebaikan diri Anda sendiri.
Perhatikan, nilai, serta pertimbangkan “bibit,
bebet, dan bobot” orang-orang yang hendak kita berikan kebaikan hati. Jadilah
selektif, dimana bila tiada orang yang patut menerima kebaikan hati kita,
maka kita cukup menaruh welas asih kepada diri kita sendiri, dan mulai
membiasakan diri untuk lebih memerhatikan kondisi serta kebutuhan diri kita
sendiri dengan tidak lagi mengabaikan kebutuhan serta kepentingan diri kita
sendiri. Di mata diri orang-orang baik, ia memandang bahwa dirinya adalah
orang baik, semata karena memang senang dan sering berbuat kebaikan terhadap
orang lain. Namun, Anda jangan salah, di mata orang lain, orang-orang baik
tersebut dipandang serta dinilai sebagai orang bodoh, alias “si bodoh yang baik
hati” ataupun “si baik hati yang bodoh”.
Para pembaca mungkin tidak percaya terhadap
pembabaran tersebut, atau menduga itu sekadar asumsi pribadi penulis yang penuh
asumsi. Akan tetapi hipotesis penulis dibangun berdasarkan pengamatan dan
observasi antropologi yang cermat dan mendalam terhadap berbagai fenomena
sosial yang penulis hadapi dan alami langsung setiap kali terjun di
tengah-tengah masyarakat kita di Indonesia, dimana bukti konkret afirmasinya
sudah tidak lagi terhitung jumlahnya yang juga dapat para pembaca buktikan
sendiri kebenarannya.
Lantas, terhadap fenomena sosial (bukan sekadar
anomali) “orang baik tidak dihargai”, terjadi akibat paradigma dalam otak para
orang baik itu sendiri, yakni cara berpikir “masih untung ada yang mau menerima
kebaikan hati saya sehingga saya dapat menjadi orang baik”, dan itulah yang
kemudian dijadikan objek manipulasi serta dibajak untuk dieksploitasi oleh
orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang menyalah-gunakan kebaikan serta
sifat murah hati orang-orang yang mereka jumpai dan berhubungan.
Jadilah orang baik yang kreatif
dan bertanggung-jawab terhadap diri kita sendiri, atau secara lebih singkatnya,
jadilah orang baik yang profesional. Mungkin, kelak, akan terbuka
peluang profesi baru yang penulis namakan sebagai “manager kebaikan”, dimana
sang manajer akan memandu dan menjadi asisten pribadi Anda, si orang baik, yang
senantiasa mendampingi dan memberi nasehat kapan harus menyimpan kebaikan hati
Anda dan kapan Anda dapat menyalurkan kemurahan hati serta kepada siapa dan
bagaimana caranya yang baik dan benar tepat pada sasaran.
Sekadar informasi, penulis pernah mengenal sebuah
perusahaan yang secara profesional fokus bergerak khusus dibidang “manager CSR”,
dimana korporasi-korporasi yang hendak menyalurkan dana Corporate Social
Responsibility (CSR) dapat menyerahkan alokasi dana maupun cara menggunakannya
kepada perusahaan “manager CSR” tersebut agar tepat guna dan tepat sasaran
untuk disalurkan untuk memberdayakan kesejahteraan hidup maupun ekonomi
masyarakat yang membutuhkan, dimana dana CSR lebih banyak dianggarkan oleh
perusahaan “manager CSR” untuk membuat proyek-proyek sosial seperti perbaikan
sanitasi maupun membangun fasilitas dan sarana umum, alih-alih menggelontorkan
donasi “uang tunai” kepada masyarakat kelas bawah.
PEMBAHASAN:
Contoh simplistik berupa
pengalaman berikut mungkin cukup sarkastik, namun realita memang berkata
demikian. Suatu hari, seorang wanita kenalan penulis yang masih membujang,
dapat kita katakan sebagai memiliki wajah jauh dibawah “standar”—bila tidak
dapat kita sebut sebagai “buruk rupa”, diledek oleh teman kantor wanitanya yang
seumuran dan masih muda namun telah menikah, dengan perkataan candaan namun
menohok sebagai berikut : “Ah, kalau kamu
sih, tidak perlu pilih-pilih pria untuk kamu jadikan pacar. Kalau ada pria yang
mau dengan kamu saja, (kamu semestinya) sudah syukur!”
Alhasil, ketika ia kelak
mendapatkan pria untuk ia jadikan kekasih, bahkan menkahinya sebagai suami, ia
yang kelak akan menderita karena diperlakukan tanpa sikap penghargaan sama
sekali oleh pasangan hidupnya. Mengapa demikian? Semata karena paradigma yang
dilontarkan oleh kawannya yang berkata seperti kalimat pada paragraf sebelumnya
di atas, “mengena” dan tanpa ia sadari memasuki relung alam bawah sadarnya,
bahwa bila ada pria yang “mau” dengan ia pun, sudah harus patut bersyukur.
Kemudian, kata-kata dalam hatinya ini membajak pikiran dan jiwanya, “Daripada tidak punya pacar ataupun pasangan
hidup sama sekali, daripada tidak sama sekali, maka tidak mengapalah jika aku
disiksa dan tidak dihargai oleh suami. Setidaknya aku punya seorang suami!”
Anda kini dapat melihat bahaya
dibalik paradigma demikian, sikap kurang menghargai diri sendiri mengakibatkan
orang lain juga tidak menaruh penghormatan serta penghargaan terhadap dirinya,
dimana efek berantainya ialah ia sendiri pun kemudian menambah derajat
keparahan sikap kurangnya penghargaan terhadap dirinya sendiri, seperti yang
sudah dapat kita duga. Contoh lain, sebelum kita mengharap orang lain
menghargai waktu kita, maka kita sendiri yang perlu menghargai waktu kita
sendiri. Sebagai ilustrasi nyata yang kerap penulis alami sendiri, ketika
seseorang petugas teller di bank,
menyatakan kepada kita “tunggu sebentar
ya Pak, agak lama ini print-nya” saat penulis menyerahkan buku tabungan
untuk di-print, dan penulis jawab dengan penuh kebaikan hati (yang kemudian ternyata
disalah-gunakan oleh pihak yang diberikan kemurahan hati), “Ya, silahkan, pelan-pelan saja.”
Kita memiliki paradigma polos
dan naif, bahwasannya kebaikan hati akan dibalas kebaikan hati serupa oleh
orang lainnya. Sayangnya, hukum sosial semacam itu hanya berlaku di negara
“utopis”, namun ini adalah Indonesia, negeri dimana pamer “balas air susu dan
budi baik dengan air tuba” terjadi secara berjemaah tanpa rasa malu, dimana
orang-orang baik dijadikan sasaran sekaligus “mangsa empuk”, negeri dimana
orang-orang baik tidak dihargai dan kemurahan hati akan senantiasa
disalah-gunakan bahkan menjadi bumerang bagi yang bermurah hati, dimana balasan
oleh sang petugas teller terhadap
penulis selaku nasabah ialah : secara tanpa izin ia diam-diam mempelajari
profil keuangan penulis dengan membaca isi buku tabungan penulis selama
bermenit-menit dibalik meja kerjanya sembari mengajukan pertanyaan yang tidak
relevan seperti “Apakah Bapak sudah punya
istri? Berapa banyak saudara kandung Bapak?...”, sebelum kemudian memaksa
penulis untuk mengikuti atau menjadi anggota dari program keuangan yang
ditawarkan oleh perbankan tempatnya bekerja bersangkutan.
Sekalipun penulis sudah
menjawab, “Tidak, tidak, dan tidak”, namun petugas teller yang bersangkutan tetap memaksa, sembari berkata, “Kan, selama ini Bapak sudah saya layani
sebagai nasabah prioritas, ayolah bantu saya jualan!” Penulis nyatakan,
agar keluarga dirinya saja yang membeli program bank bersangkutan, dijawab oleh
sang petugas teller bahwa karyawan
dan keluarganya dilarang membeli produk perbankan tempatnya bekerja—namun
disaat bersamaan ia ber-“standar ganda” dengan melanggar ketentuan hukum
perbankan perihal “rahasia nasabah” dengan diam-diam membaca dan mempelajari
buku tabungan penulis. Memangnya mengakses tanpa izin “rahasia nasabah”, tidak
dilarang?
Luar biasa, nasabah diancam
tidak akan lagi dilayani bila tidak mengikuti kemauan sang petugas teller. Berlanjut pada sikap-sikap
“kurang hajar” disamping sikap tidak etis lain dari sang petugas teller, seolah belum cukup lancang dan
belum banyak membalas dengan air tuba, sehingga pada akhirnya penulis
mengadukan kejadian demikian kepada atasan sang petugas teller, dengan menyatakan “JIka
terjadi sekali lagi, maka saya tarik seluruh dana saya dari bank ini. Terlagi
pula masih banyak bank lain di luar sana.”—dimana secara implisit bermakna,
bahwa penulis masih punya opsi lain untuk dipilih, yakni pindah bank dan juga
masih ada bank lain sebagai opsi pilihan. Yang bersangkutan patut mendapat “punishment”, karena telah
menyalah-gunakan kebaikan hati penulis. “No
more Good Boy!”
Pengamatan dan observasi
mendalam dalam kajian antropologi yang penulis amati langsung di lapangan,
memperlihatkan bahwa orang-orang akan memiliki persepsi berikut ini ketika
berjumpa dengan orang baik : “Oh, orang
baik, MANGSA EMPUK (untuk dimakan)!” Cerminan senada penulis jumpai ketika
penulis membeli makanan di rumah makan atau warung makan langganan, ketika
pemilik warung makan berkata, “Tunggu
sebentar ya, Pak!”, dimana bila kita jawab, “Ya, tidak apa-apa, pelan-pelan saja”, dan kita dengan sabar
menunggu, dengan harapan (semu) mereka akan membalas kebaikan hati kita dengan
kebaikan hati serupa ataupun dalam bentuk apresiasi lainnya, namun yang terjadi
ialah sang pemilik warung mencoba menipu dan mengecoh kita, dengan memberikan
masakan diluar yang kita pesan, memberi menu yang lain dari yang kita pesan,
me-“mark-up” harga tanpa kita sadari,
bahkan pernah pula terjadi menukar air kelapa butiran yang penulis beli dengan
air tawar yang diberi bahan-bahan menyerupai air kelapa.
Kebaikan hati kita,
diterjemahkan sebagai “godaan” ataupun seruan panggilan untuk menjadikan diri
kita sebagai “mangsa empuk” bagi para “manusia predator” yang “mind set” berpikirnya masih diliputi
serta dikuasai oleh hegemoni dan dominasi “otak reptil” di kepala mereka
mengenai “MEMAKAN atau DIMAKAN”. Kejadian semacam demikian dengan ragam rupanya
selalu terjadi dalam setiap eksperimen pribadi penulis pada berbagai rumah
makan ataupun warung hingga sekelas penjaja kuliner gerobakan langganan, dalam
kurun waktu observasi selama sepuluh tahun terakhir dengan objek pengamatan yang
tidak terhitung lagi jumlahnya, dimana kebaikan hati justru berbuntut
di-“MAKAN” serta di-“MANGSA” oleh mereka yang kita beri kebaikan hati.
Karenanya, penulis menarik sebuah konklusi radikal pentingnya reformasi diri
terutama bagi orang-orang dengan “nature”
baik hati, penting bagi kita untuk TIDAK LAGI tampil bak “malaikat” ataupun
“sinterklas”.
Sesekali kita perlu bersikap
sebaliknya, “Ayo cepat, jangan lama-lama!”,
atau setidaknya kita cukup diam tanpa menjawab ketika seseorang yang kita
hadapi berkata, “Tunggu sebentar ya, Pak!”
Kebaikan hati kita, di mata para “manusia predator”, ialah kesempatan sekaligus
“GODAAN”. Seperti kata “Bang Napi”, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada
niat jahat pelakunya, namun juga ada kesempatan (yang bisa jadi dibuka ruang
celahnya oleh pihak korban itu sendiri—karenanya, kita perlu secara aktif dan
sadar menutup “godaan” ataupun “kesempatan” itu, dalam rangka melindungi diri
dan kepentingan diri kita dari tangan-tangan “manusia-manusia predator”. Sang
Buddha dalam Kitab Jataka, yang kemudian diafirmasi oleh seorang bhikkhu
bernama Ajahn Brahm, menyatakan sebagai berikut : “Orang suci sekalipun sesekali perlu menampilkan gigi taringnya, semata
agar tidak di-bully oleh tangan-tangan jahil milik orang lain.”—Anda lihat,
bahkan Sang Buddha tidak menyampanyekan gerakan “menjadi orang baik yang
bodoh”, namun mempromosikan gerakan “orang baik yang cerdas”.
Begitupula pengalaman pribadi
penulis ketika masih sebagai seorang pegawai para perusahaan saat baru menjadi
seorang “fresh graduate”, menjadi
bumerang ketika kita bersikap dan berparadigma seolah-olah “masih untung ada
perusahaan yang bersedia menerima kita bekerja”, sekalipun hak-hak dan kepala kita
selaku karyawan diinjak-injak dalam artian yang harfiah, dimana Undang-Undang
Ketenagakerjaan benar-benar dilanggar, dilencengkan, dan dilecehkan (bahkan
dikangkangi), secara vulgar, masif, terang-terangan, dan masif berjemaah.
Alhasil, daya tawar kita sebagai pekerja akan tertekan hingga titik nadir.
Terlebih membicarakan dengan mereka : “saya punya syarat”, kita telah memaku
diri untuk “menerima tanpa syarat” atau “pasrah tanpa syarat”, diperlakukan
seburuk dan setidak-patut seperti apapun oleh pihak pemberi kerja, karenanya
“terpaku di tempat”.
Penulis juga memiliki pengalaman
buruk lama sebelum ini, saat seseorang Sarjana Hukum lainnya menawarkan diri
untuk bergabung sebagai “Partners” dalam usaha dibidang jasa hukum yang penulis
kelola dan bangun. Kesalahan utama penulis saat itu ialah, memakai paradigma “Masih untung ada yang mau menawarkan diri
sebagai Partner”—dengan sama sekali tidak bertanya, “Keuntungan atau faedah apa yang bisa kamu berikan kepada saya, bila
kamu saya restui untuk bergabung dengan saya sebagai Partner?”, alias
menerima “tanpa syarat” apapun. Itikad baik kita, tidaklah menjamin bahwa orang
lain akan beritikad baik serupa terhadap kita.
Yang terjadi kemudian, dapat
kita duga, sang “Partner” baru memperbudak penulis dalam segi biaya, tenaga,
usaha, dan seluruh lingkup kerja seolah-olah dirinya adalah atasan yang sekadar
mem-supervisi pekerjaan penulis, sampai akhirnya penulis menyadari bukanlah ini
esensi “partnership”, dimana tidak
terbangun kerja-sama dalam gotong-royong membangun entitas bisnis bersama dalam
arti yang harfiah, tiada “simbiosis mutualisme”, sehingga dengan tegas kemudian
penulis keluarkan diri yang bersangkutan dari usaha dan bisnis industri jasa
hukum yang penulis bangun dan kelola dengan susah-payah ini.
Tipikal orang-orang yang tidak
“tahu budi”, membalas budi baik dengan air tuba, ataupun orang-orang yang
menjadikan orang baik sebagai “mangsa empuk”, merupakan tipikal orang-orang
yang “tidak tahu malu” alias “tidak punya malu”. Karenanya, bila orang yang
“tahu malu” adalah langka adanya, maka orang yang “tahu budi” adalah orang yang
langka adanya dimana besar kemungkinan orang-orang yang kita jumpai, kita
hadapi, ataupun yang hidup satu atap kediaman maupun satu atap kantor dengan
kita selama ini dikeseharian, bisa jadi dan besar kemungkinan ialah bertipe
orang-orang yang “tidak tahu budi” sehingga kita tidak perlu membuang waktu
untuk menjadi orang baik bagi mereka—sebagaimana merujuk kembali pepatah dalam
Bahasa Inggris : “Be a good person, but
don’t waste time to prove it!” Karenanya pula, semakin hari kita menemukan
kebenaran relevansinya sebagaimana telah lama disabdakan oleh Sang Buddha,
dengan kutipan syair sebagai berikut:
DHAMMAPADA
143.
Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada
beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda
tangkas mengelak cambuk.
174.
Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas.
Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam
bahagia.
206.
Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka
mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa
berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.
207.
Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu
mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa
membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya,
bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan
sanak keluarga.
208.
Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana,
berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih,
budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!
244.
Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak
tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari
muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.
245.
Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa
berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan
menyadari (hakekat penghidupan bersih).
258.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia
yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak
berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.
259.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma,
melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara
batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang
dhamma’.
260.
Bukan karena berkepala beruban seseorang
disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.
316. Barangsiapa malu
terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut
terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap
tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela;
mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa
menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai
yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam
bahagia.
328. Andaikata seseorang
mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan
berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan
menegakkan perhatian – berjalan dengannya.
329. Andaikata seseorang
tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai
kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi
meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian
di hutan.
330. Berjalan sendirian
adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia
patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan
di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.
Jika dengan berbuat baik dan murah
hati kepada orang lain dapat membuat posisi kita menjadi rentan serta riskan
dijadikan “mangsa empuk”, kebaikan hati mana menjadi bumerang bagi kepentingan
kita sendiri, welas asih mana justru mengundang niat-niat jahat dan tangan-tangan
jahil milik orang lain, maka bagaimana caranya kita bisa tetap rutin dan rajin menanam
benih Karma Baik secara produktif? Telah ternyata, berbuat baik tidak
dipersyaratkan dan tidak identik dengan adanya keberadaan orang lain untuk kita
berikan sesuatu kemurahan hati diri kita.
Untuk menjawab dan menjelaskannya,
Sang Buddha dalam Sutta Pitaka, “Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha,
Dīgha Nikāya” (salah satu sutta dalam Tripitaka, versi terjemahan dari Bahasa
Pali), diterbikan oleh DhammaCitta Press, 2009, telah memberi solusi yang produktif
dalam menanam benih-benih Karma Baik, berbuat baik tanpa membuka resiko atau potensi
diri kita disakiti oleh pihak lain, yakni “fang
shen diri” lewat praktik moralitas dan meditasi dalam rangka mencapai
pencerahan sudah cukup merupakan “pengorbanan yang lebih bermanfaat”:
~ Kåñadanta Sutta ~
PENGORBANAN TANPA DARAH
[127] 1. DEMIKIANLAH YANG
KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang melakukan perjalanan melewati
Magadha bersama lima ratus bhikkhu, dan Beliau tiba di sebuah desa Brahmana
bernama Khànumata. Dan di sana Beliau menetap di taman Ambalaññhikà. Pada saat
itu, Brahmana Kåñadanta sedang menetap di Khànumata, tempat yang ramai, banyak
rumput, kayu, air, dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Seniya
Bimbisàra dari Magadha sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan
kerajaan.
Dan Kåñadanta merencanakan upacara
pengorbanan besar: tujuh ratus ekor sapi, tujuh ratus ekor kerbau, tujuh
ratus ekor anak sapi, tujuh ratus ekor kambing jantan, dan tujuh ratus ekor
domba yang semuanya diikat di tiang pengorbanan.
2. Dan para Brahmana dan
perumah tangga Khànumata mendengar berita: ‘Petapa Gotama … sedang menetap di
Ambalaññhikà. Dan sehubungan dengan Gotama, Bhagavà Yang Terberkahi, telah
beredar berita: “Yang Terberkahi adalah seorang Arahat, Buddha yang telah
mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah
menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia
yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia,
seorang Buddha, Bhagavà Yang Terberkahi.” Beliau menyatakan kepada dunia ini
dengan para dewa, màra dan Brahmà, para petapa dan Brahmana bersama dengan para
raja dan umat manusia, setelah mengetahui dengan pengetahuan-Nya sendiri.
Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah
di akhir, dalam makna dan kata, dan Beliau memperlihatkan kehidupan suci yang
sempurna, murni sepenuhnya. Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahat
demikian.’ Dan mendengar berita itu, para Brahmana dan perumah tangga, berduyun-duyun
meninggalkan Khànumata, berjumlah sangat besar, pergi menuju Ambalaññhikà.
3. Kebetulan saat itu,
Kåñadanta baru saja naik ke teras rumahnya untuk istirahat siang. Melihat para
Brahmana dan perumah tangga berjalan menuju Ambalaññhikà, ia menanyakan
alasannya kepada pelayannya. Si pelayan menjawab: ‘Tuan, ini karena Petapa
Gotama, sehubungan dengan berita baik yang beredar: “Sang Bhagavà Yang
Terberkahi adalah seorang Arahat, … seorang Buddha, Sang Bhagavà Yang
Terberkahi”. Itulah sebabnya, mereka pergi menemui-Nya.’
4. Kemudian Kåñadanta berpikir:
‘Aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama memahami tentang bagaimana
menyelenggarakan dengan baik upacara pengorbanan tiga tingkat dengan
enam belas persyaratannya. Sekarang aku tidak memahami seluruhnya, namun aku
ingin melakukan upacara pengorbanan besar. Bagaimana jika aku menemui
Petapa Gotama dan bertanya kepada-Nya mengenai persoalan ini.’ Maka ia mengutus
pelayannya untuk menemui para Brahmana dan perumah tangga Khànumata dan memohon
agar mereka menunggunya.
5. Pada saat itu, beberapa
ratus Brahmana sedang berada di Khànumata bermaksud mengambil bagian dalam upacara
pengorbanan Kåñadanta. Mendengar niatnya untuk mengunjungi Petapa Gotama,
mereka datang dan bertanya apakah hal itu benar. ‘Demikianlah, Tuan-tuan, aku
akan mengunjungi Petapa Gotama.’
6. ‘Tuan, jangan mengunjungi
Petapa Gotama … (argumentasi yang persis sama dengan Sutta 4, paragraf 5). Oleh
karena itu, adalah tidak pantas bagi Yang Mulia Kåñadanta untuk mengunjungi
Petapa Gotama, melainkan sebaliknya, Petapa Gotama yang seharusnya
mengunjungimu.’
7. Kemudian Kåñadanta berkata
kepada para Brahmana: ‘Sekarang dengarkan, Tuan-tuan, mengapa kita pantas
mengunjungi Yang Mulia Gotama, dan mengapa Beliau tidak pantas mengunjungi kita
… (persis sama dengan Sutta 4, paragraf 6). Petapa Gotama telah tiba di
Khànumata dan sedang menetap di Ambalaññhikà. Dan petapa atau Brahmana mana pun
yang datang ke wilayah kita adalah tamu kita … Beliau melampaui segala pujian.’
8. Mendengar hal ini, para
Brahmana berkata: ‘Tuan, karena engkau begitu memuji Petapa Gotama, maka bahkan
jika Beliau berada seratus yojana jauhnya dari sini, adalah pantas bagi mereka
yang berkeyakinan untuk pergi dengan membawa tas bahu untuk mengunjungi Beliau,
marilah kita semua pergi mengunjungi Petapa Gotama.’ Dan demikianlah Kåñadanta
pergi bersama sejumlah besar Brahmana menuju Ambalaññhika. Ia mendekati Sang
Bhagavà, saling bertukar sapa dengan Beliau, dan duduk di satu sisi. Beberapa
Brahmana dan perumah tangga Khànumata bersujud kepada Sang Bhagavà, beberapa
memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangannya, beberapa menyebutkan nama
dan suku mereka, dan beberapa duduk di satu sisi dan berdiam diri.
9. Duduk di satu sisi,
Kåñadanta berkata kepada Sang Bhagavà: ‘Yang Mulia Gotama, aku telah mendengar
bahwa engkau memahami bagaimana menyelenggarakan dengan baik upacara
pengorbanan tiga tingkat dengan enam belas persyaratannya. Sekarang aku
tidak memahami seluruhnya, namun aku ingin melakukan upacara pengorbanan
besar. Baik sekali jika Petapa Gotama sudi menjelaskannya kepadaku.’
‘Dengarkanlah, Brahmana, perhatikanlah dengan saksama dan Aku akan
menjelaskan.’ ‘Ya, Yang Mulia,’ Kåñadanta berkata, dan Sang Bhagavà berkata:
10. ‘Brahmana, pada suatu masa,
ada seorang raja yang bernama Mahàvijita. Ia kaya, memiliki banyak harta
kekayaan, dengan emas dan perak yang berlimpah, harta benda dan barang-barang
kebutuhan, dan uang, dengan gudang harta dan lumbung yang penuh. Dan ketika
Raja Mahàvijita sedang bersenang-senang sendirian, ia berpikir: “Aku memiliki
sangat banyak kekayaan, aku memiliki tanah yang sangat luas yang kutaklukkan. Seandainya
sekarang aku menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, apakah itu akan
memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama?” dan ia memanggil
Brahmana-kerajaan, dan menceritakan pemikirannya. “Aku ingin menyelenggarakan
upacara pengorbanan besar. Instruksikan aku, Yang Mulia, bagaimana
langkahnya demi manfaat dan kebahagiaan bagiku untuk waktu yang lama.”’
11. ‘Si Brahmana-kerajaan
menjawab: “Negeri Baginda diserang oleh para pencuri, dirusak, desa-desa dan
kota-kota sedang dihancurkan, perbatasan dikuasai oleh perampok. Jika Baginda
mengutip pajak atas wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Jika Baginda
berpikir: ‘Aku akan melenyapkan gangguan para perampok ini dengan mengeksekusi
dan hukuman penjara, atau dengan menyita, mengancam, dan mengusir’, gangguan
ini tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan mengganggu negeri
Baginda. Namun dengan rencana ini, engkau dapat secara total melenyapkan
gangguan ini. Kepada mereka yang hidup di dalam kerajaan ini, yang bermata
pencaharian bertani dan beternak sapi, Baginda akan membagikan benih dan
makanan ternak; kepada mereka yang berdagang, akan diberikan modal; yang
bekerja melayani pemerintahan akan menerima upah yang sesuai. Maka orang-orang
itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini.
Penghasilan Baginda akan bertambah, negeri ini menjadi tenang dan tidak
diserang oleh para pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira, akan
bermain dengan anak-anak mereka, dan akan menetap di dalam rumah yang
terbuka.”’
‘Dan dengan mengatakan:
“Jadilah demikian!” raja menerima nasihat si Brahmana-kerajaan: ia memberikan
benih dan makanan ternak, memberikan modal kepada yang berdagang … upah yang
sesuai … dan masyarakat dengan hati gembira … menetap di dalam rumah yang
terbuka.’
12. ‘Kemudian Raja Mahàvijita
memanggil si Brahmana dan berkata: “Aku telah melenyapkan gangguan para
perampok; menuruti rencanamu, pendapatanku bertambah, negeri ini tenang dan
tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira
bermain dengan anak-anak mereka dan menetap di dalam rumah yang terbuka.
Sekarang aku ingin menyelenggarakan upacara pengorbanan besar.
Instruksikan aku bagaimana cara menyelenggarakannya agar memberikan manfaat
dan kebahagiaan kepadaku untuk waktu yang lama.” “Untuk hal ini, Baginda,
engkau harus memanggil para Khattiya dari kota-kota dan desa-desa, para
penasihatmu, para Brahmana yang paling berpengaruh, dan para perumah tangga
kaya di negerimu ini, dan katakan pada mereka: ‘Aku ingin menyelenggarakan upacara
pengorbanan besar. Bantu aku, Tuan-tuan, agar ini memberikan manfaat dan
kebahagiaan kepadaku untuk waktu yang lama.’”’
‘Raja menyetujui, dan melakukan
instruksi tersebut. “Baginda, pengorbanan dapat dimulai, sekarang adalah
waktunya. Empat kelompok penerima ini akan menjadi pelengkap dalam pengorbanan
ini.’
13. ‘“Raja Mahàvijita memiliki
delapan hal. Ia terlahir mulia dari kedua belah pihak, … (seperti Sutta 4,
paragraf 5), kelahiran yang tanpa cela. Ia tampan … tidak ada bagian yang
berpenampilan rendah. Ia kuat, memiliki empat kesatuan bala tentara yang setia,
dapat diandalkan, meningkatkan reputasinya di antara musuh-musuhnya. Ia adalah
seorang pemberi dan tuan rumah yang bertanggung jawab, tidak menutup pintu
terhadap para petapa, Brahmana dan pengembara, para pengemis dan mereka yang
membutuhkan – sebuah mata air kebajikan. Ia sangat terpelajar dalam hal apa
yang harus dipelajari. Ia memahami makna dari apa pun yang dikatakan, dengan
mengatakan: ‘Ini adalah apa yang dimaksudkan.’ Ia terpelajar, sempurna,
bijaksana, kompeten untuk menikmati manfaat-manfaat di masa lampau, masa depan,
dan masa sekarang. Raja Mahàvijita memiliki delapan hal ini. Ini merupakan
perlengkapan untuk upacara pengorbanan.’
[138] 14. ‘“Brahmana kerajaan
memiliki empat hal. Ia terlahir mulia …. Ia terpelajar, ahli dalam
mantra-mantra …. Ia berbudi, moralitasnya meningkat, memiliki moralitas yang
meningkat. Ia terpelajar, sempurna dan bijaksana, dan merupakan yang pertama
atau ke dua dalam memegang sendok pengorbanan. Ia memiliki empat hal
ini. Ini merupakan perlengkapan untuk upacara pengorbanan.’
15. ‘Kemudian, sebelum pengorbanan,
si Brahmana mengajarkan tiga syarat kepada Sang Raja. “Mungkin Baginda merasa
menyesal akan upacara pengorbanan ini: ‘Aku akan kehilangan banyak
kekayaan’, atau selama upacara: ‘Aku sedang kehilangan banyak kekayaan’, atau
setelah upacara: ‘aku telah kehilangan banyak kekayaan.’ Jika demikian, maka
Baginda tidak boleh merasa menyesal.”’
16. ‘Kemudian, sebelum pengorbanan,
si Brahmana melenyapkan kecemasan Sang Raja dalam sepuluh kondisi untuk si
penerima: “Yang Mulia, akan tiba dalam upacara pengorbanan ini, mereka
yang melakukan pembunuhan dan mereka yang menghindari pembunuhan. Kepada
mereka yang melakukan pembunuhan, biarkanlah mereka; tetapi kepada mereka yang
menghindari pembunuhan akan mendapatkan pengorbanan yang berhasil dan akan
bergembira dalam pengorbanan ini, dan hati mereka akan tenang. Akan tiba
dalam upacara pengorbanan ini, mereka yang mengambil apa yang tidak
diberikan dan mereka yang menghindari …, mereka yang menikmati hubungan seksual
yang salah dan mereka yang menghindari …, mereka yang mengucapkan kebohongan …
, mengucapkan kata-kata fitnah, kasar dan kata yang tidak berguna … , mereka
yang serakah dan yang tidak, mereka yang menyimpan rasa benci dan yang tidak,
mereka yang berpandangan salah dan yang tidak. Kepada mereka yang berpandangan
salah, maka biarkanlah mereka; tetapi kepada mereka yang berpandangan benar
akan mendapatkan pengorbanan yang berhasil dan akan bergembira dalam
pengorbanan ini, dan hati mereka akan tenang.” Demikianlah sang Brahmana
melenyapkan keraguan Raja dalam sepuluh kondisi.’
17. ‘Demikianlah sang Brahmana
menginstruksikan Raja yang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar
dengan enam belas alasan, mendesaknya, menginspirasinya, dan menggembirakan
hatinya. “Orang-orang akan berkata: ‘Raja Mahàvijita sedang menyelenggarakan upacara
pengorbanan besar, tetapi ia tidak mengundang para Khattiya-nya …, para
penasihatnya, para Brahmana yang paling berpengaruh, dan para perumah tangga
kaya ….’ Tetapi kata-kata tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya, karena
Raja telah mengundang mereka. Dengan demikian, Raja akan mengetahui bahwa ia
akan mendapatkan upacara pengorbanan yang berhasil dan bergembira
karenanya, dan hatinya menjadi tenang. Atau seseorang akan berkata: ‘Raja
Mahàvijita sedang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, tetapi ia
tidak terlahir mulia dari kedua pihak .…’ Tetapi kata-kata tersebut tidak
sesuai dengan yang sebenarnya …. Atau seseorang akan berkata: ‘Sang Brahmana
Kerajaan tidak terlahir mulia .…’ Tetapi kata-kata tersebut tidak sesuai dengan
yang sebenarnya.” Demikianlah sang Brahmana menginstruksikan Sang Raja dalam
enam belas alasan ….’
18. ‘Dalam upacara
pengorbanan ini, Brahmana, tidak ada kerbau yang disembelih, tidak ada
kambing atau domba, tidak ada ayam dan babi, tidak juga berbagai makhluk hidup
yang dibunuh, juga tidak ada pohon yang ditebang sebagai tiang pengorbanan,
juga tidak ada rumput yang dipotong sebagai rumput pengorbanan, dan mereka yang
disebut budak atau pelayan atau pekerja tidak bekerja karena takut akan pukulan
atau ancaman, mereka tidak menangis atau bersedih. Tetapi mereka yang ingin
melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak ingin melakukan
tidak melakukannya; mereka melakukan apa yang mereka inginkan; dan tidak
melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Pengorbanan itu
diselenggarakan dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup.’
19. ‘Kemudian, Brahmana, para
Khattiya …, para menteri dan penasihat, para Brahmana berpengaruh, para perumah
tangga dari desa dan kota, setelah menerima cukup penghasilan, mendatangi Raja
Mahàvijita dan berkata: “Kami membawa cukup banyak harta kekayaan, Baginda,
terimalah.” “Tetapi, Tuan-tuan, aku telah mengumpulkan cukup banyak kekayaan.
Apa pun yang tersisa boleh kalian ambil.”’
‘Atas penolakan raja itu,
mereka pergi ke satu sisi dan berdiskusi: “Tidaklah pantas bagi kita untuk
membawa pulang harta ini ke rumah kita. Raja sedang menyelenggarakan upacara
pengorbanan besar. Marilah kita mengikuti teladannya.”’
20. ‘Kemudian para Khattiya
meletakkan persembahan mereka di sebelah timur dari ceruk pengorbanan,
para penasihat meletakkan di sebelah selatan, para Brahmana di sebelah barat
dan para perumah tangga kaya di sebelah utara. Dalam pengorbanan ini, tidak
ada kerbau yang disembelih, … juga tidak ada makhluk hidup apa pun yang dibunuh
… mereka yang ingin melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak
ingin melakukan tidak melakukannya .... Pengorbanan itu
diselenggarakan dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup.
Demikianlah ada empat kelompok penerima, dan Raja Mahàvijita memiliki delapan
hal, dan Brahmana Kerajaan memiliki empat hal dalam tiga syarat. Ini, Brahmana,
disebut pengorbanan besar yang berhasil dalam enam belas tingkat dan
tiga syarat.’
21. Mendengar kata-kata ini,
para Brahmana berteriak keras dan berisik: ‘Sungguh suatu pengorbanan yang
megah! Sungguh suatu cara yang megah dalam melakukan pengorbanan!’
tetapi Kåñadanta tetap duduk diam. Dan para Brahmana menanyakan kepadanya
mengapa ia tidak bersorak mendengar kata-kata indah dari Petapa Gotama. Ia
menjawab: ‘Bukannya aku tidak gembira mendengarnya. Kepalaku akan pecah menjadi
tujuh keping jika aku tidak gembira mendengarnya. Tetapi aku heran bahwa Petapa
Gotama tidak mengatakan: “Aku mendengar bahwa”, atau “Ini pasti seperti ini”,
tetapi Beliau mengatakan: “Kejadiannya seperti ini atau seperti itu pada waktu
itu.” Dan karena itu, aku merasa bahwa Petapa Gotama pada waktu itu adalah
mungkin Raja Mahàvijita, yang menyelenggarakan pengorbanan, atau si
Brahmana Kerajaan yang memimpin upacara pengorbanan itu untuknya. Apakah
Yang Mulia Gotama mengakui bahwa Beliau menyelenggarakan, atau memimpin upacara
pengorbanan besar itu, dan sebagai akibatnya, setelah kematiannya,
setelah hancurnya jasmani, Beliau terlahir di alam yang baik, alam surgawi?’
‘Aku mengakuinya, Brahmana. Aku adalah Brahmana kerajaan yang memimpin upacara
pengorbanan.’
22. ‘Dan, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan yang lain yang lebih sederhana, yang lebih mudah,
lebih berbuah dan lebih bermanfaat daripada tiga tingkat pengorbanan
dengan enam belas syarat tersebut?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Di mana pun pemberian rutin dari suatu keluarga yang diberikan
kepada para petapa yang berbudi, ini merupakan pengorbanan yang lebih
berbuah dan lebih bermanfaat daripada itu.’
23. ‘Mengapa, Yang Mulia Gotama,
dan karena alasan apakah itu lebih baik?’
‘Brahmana, Tidak ada Arahat
atau mereka yang telah mencapai Jalan Arahat akan menerima pengorbanan
ini. Mengapa? Karena melihat penganiayaan dan pembunuhan, maka mereka
tidak menerima. Tetapi mereka akan menerima pengorbanan berupa pemberian
rutin dari suatu keluarga yang diberikan kepada para petapa yang berbudi, karena
tidak ada penganiayaan dan pembunuhan. Itulah sebabnya, jenis
pengorbanan ini lebih berbuah dan lebih bermanfaat.’
24. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada yang sebelumnya
itu?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja yang menyediakan tempat tinggal bagi Sangha
yang datang dari empat penjuru, itu merupakan pengorbanan yang lebih
bermanfaat.’
25. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada tiga ini?’ ‘Ada,
Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja dengan hati yang tulus berlindung pada
Buddha, Dhamma, dan Sangha, itu merupakan pengorbanan yang lebih bermanfaat
daripada tiga yang sebelumnya.’
26. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada empat ini?’ ‘Ada,
Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja dengan hati yang tulus melaksanakan sila
– menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak
diberikan, hubungan seksual yang salah, kebohongan, dan meminum minuman keras
dan obat-obatan yang mengakibatkan lemahnya kesadaran - itu merupakan pengorbanan
yang lebih bermanfaat daripada empat yang sebelumnya.’
27. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama,
adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada lima ini?’ ‘Ada,
Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia
Gotama?’ ‘Brahmana, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang
Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan
dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal
seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya,
Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah
mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama
para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan
Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna
dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang
siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas, dan
seterusnya (Sutta 2, paragraf 41-74). Demikianlah seorang bhikkhu sempurna
dalam moralitas. Ia mencapai empat jhàna (Sutta 2, paragraf 75-82). Itu,
Brahmana, adalah suatu pengorbanan … lebih bermanfaat. Ia mencapai berbagai
pandangan terang (Sutta 2, paragraf 97). Ia mengetahui: “Tidak ada lagi yang
lebih jauh di dunia ini.” Itu, Brahmana, adalah suatu pengorbanan yang lebih
sederhana, lebih mudah, lebih berbuah, dan lebih bermanfaat dari semua lainnya.
Dan lebih dari ini, tidak ada lagi pengorbanan yang lebih mulia dan lebih
sempurna.’
28. ‘Sungguh indah, Yang Mulia
Gotama, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang
terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita
di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada
di sana. Demikian pula Yang Mulia Gotama telah membabarkan Dhamma dalam
berbagai cara. Semoga Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai siswa awam sejak
hari ini hingga akhir hidupku! Dan, Yang Mulia Gotama, aku membebaskan
tujuh ratus sapi, tujuh ratus kerbau, tujuh ratus anak sapi, tujuh ratus
kambing jantan, dan tujuh ratus domba. Aku memberikan kehidupan kepada
mereka, memberi mereka makanan berupa rumput hijau dan air sejuk
untuk diminum, dan biarlah mereka bermain di angin yang sejuk.’
29. Kemudian Sang Bhagavà
membabarkan ceramah bertingkat kepada Kåñadanta, tentang kedermawanan, tentang
moralitas, dan tentang alam surga, menunjukkan bahaya, penurunan dan kekotoran
dari kenikmatan-indria, dan manfaat dari meninggalkan keduniawian. Dan ketika
Sang Bhagavà mengetahui bahwa batin Kåñadanta telah siap, lunak, bebas dari
rintangan, gembira dan tenang, maka ia membabarkan ceramah Dhamma secara
singkat: tentang penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Dan
bagaikan sehelai kain bersih yang noda-nodanya telah dihilangkan dapat diwarnai
dengan sempurna, demikian pula Brahmana Kåñadanta, selagi ia duduk di sana,
muncul Mata-Dhamma yang murni dan tanpa noda, dan ia mengetahui: ‘Segala
sesuatu memiliki sebab dan pasti lenyap.’
30. Kemudian Kåñadanta, setelah
melihat, mencapai, mengalami, dan menembus Dhamma, setelah melampaui
keragu-raguan, melampaui ketidakpastian, setelah mencapai keyakinan sempurna
dalam Ajaran Sang Guru tanpa bergantung pada yang lainnya, berkata:
‘Sudilah Yang Mulia Gotama dan para bhikkhu menerima makanan dariku besok!’
Sang Bhagavà menerimanya dengan
berdiam diri. Kemudian Kåñadanta, mengetahui penerimaan Beliau, bangkit,
memberi hormat kepada Sang Bhagavà, berjalan dengan sisi kanannya menghadap
Sang Bhagavà dan pergi. Pagi harinya, ia mempersiapkan makanan keras dan lunak
di tempat pengorbanan, dan ketika persiapan selesai, ia mengumumkan:
‘Yang Mulia Gotama, sudah waktunya, makanan telah siap.’
Dan Sang Bhagavà, setelah
bangun pagi, pergi dengan membawa jubah dan mangkuk-Nya dan disertai oleh para
bhikkhu menuju tempat pengorbanan Kåñadanta, dan duduk di tempat yang
telah disediakan. Dan Kåñadanta melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan
makanan-makanan terbaik dengan tangannya sendiri hingga mereka puas. Dan ketika
Sang Bhagavà telah selesai makan dan menarik tangan-Nya dari mangkuk, Kåñadanta
mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Bhagavà, setelah
memberikan instruksi kepada Kåñadanta dalam suatu ceramah Dhamma,
menginspirasinya, memicu semangatnya, dan menggembirakannya, bangkit dari
duduk-Nya dan pergi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.