SENI
SOSIAL
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Jika Anda merupakan Korban, jadilah Korban yang
Berdaya dan Tegar alih-alih Korban yang Tidak Berdaya, Setidaknya dari Segi
Pikiran dan Kejiwaan
Tanggung-Jawab, Kepentingan Siapakah, Korban atau
Pelaku?
Question: Apa yang harus kita katakan, sebagai korban, agar orang yang telah merugikan kita mau bertanggung-jawab? Mengapa kesannya seolah, kita selaku korban yang harus merasa takut agar tidak jadi korban akibat perbuatan orang lain, bahkan merasa takut pula ketika pelakunya tidak mau bertanggung-jawab, bahkan korban pula yang terkesan harus mengemis-ngemis agar pelakunya mau bertanggung-jawab atas perbuatannya yang telah merugikan kami?
Brief Answer: Sang Buddha tidak pernah mengemis-ngemis agar
orang lain tidak menyakiti Beliau, juga tidak pernah mengemis-ngemis agar
pelaku yang melukai ataupun menyakiti Sang Buddha agar bertanggung-jawab atas
perbuatannya yang telah menyakiti maupun melukai Beliau, bahkan Sang Buddha
tidak pernah mengemis-ngemis belas kasih orang lain maupun kepada penjahat mana
pun atas dasar perasaan takut dilukai maupun takut disakiti. Pertanyaannya,
mengapa Sang Buddha demikian elegan, solid, serta tidak berpenakut? Jawabannya
ialah semata karena Sang Buddha tahu betul bahwa sang pelaku kejahatan
sejatinya sedang menunggu waktu hingga buah Karma Buruknya yang telah pernah menyakiti
Sang Buddha akan matang untuk ia petik sendiri.
Seringkali, berdasarkan pengalaman pribadi
penulis, kalangan korban terlebih dahulu dicekam ketakutan bahwa pelaku
kejahatan yang telah merugikan, melukai, maupun menyakiti sang kotban, tidak
akan bertanggung-jawab—seperti yang sudah-sudah, budaya masyarakat kita di
Indonesia masih menampilkan corak watak “buat
dosa, siapa takut?!” disamping ideologi korup semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sekalipun kita ketahui juga bahwa “hanya
seorang pendosa yang membutuhkan penghapusan dosa”—sehingga alhasil daya tawar
korban menjadi lemah dan rendah jatuh ke titik nadir, semata karena bersikap seolah
korban yang “butuh” sang pelaku untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya,
semata karena pelakunya menangkap kesan bahwa sang korban yang justru
mengemis-ngemis kepada sang pelaku (semacam manipulasi putar-balik logika
moril, dimana sejatinya pihak pelaku-lah yang paling berkepentingan untuk
bertanggung-jawab atas perbuatannya, agar tidak memiliki “hutang dosa” apapun
kepada korbannya).
Sehingga, kiat paling utama dan yang menjadi P3K
(Pertolongan Pertama Pada Korban) bagi kalangan korban manapun yang telah
disakiti, dilukai, maupun dirugikan oleh pihak lain, ialah jangan takut dan
jangan menampilkan kesan bahwa diri Anda dicengkeram oleh ketakutan bahwa
pelakunya tidak akan bertanggung-jawab atas perbuatannya terhadap kita. Dengan
begitu, tidak akan timbul kesan seolah kita selaku korban yang membutuhkan
mereka, sang pelaku kejahatan yang telah menjahati kita secara tidak
bertanggung-jawab.
Karena kita tidak takut dan siap bila pelakunya
benar-benar tidak bertanggung-jawab, maka kita tidak perlu mengemis-ngemis
kepada sang pelaku. Pelaku yang cerdas dan memahami cara kerja Hukum Karma,
ialah yang paling berkepentingan untuk membayar “hutang Karma Buruk”-nya,
sehingga sejatinya daya tawar korban lebih tinggi daripada sang pelaku—lalu
mengingat daya tawar korban yang lebih tinggi daripada daya tawar sang pelaku,
maka korban-lah yang paling berhak menetapkan aturan main bagaimana pelakunya
harus bertanggung-jawab, bukan sebaliknya sang pelaku yang masih pula
menetapkan aturan mainnya secara sepihak terhadap korban. Relevan dengan hal tersebut,
penulis membuat sajak dengan syair sebagai berikut:
Adalah delusi,
bila kita berpikir bahwa dengan
bersikap lemah ataupun memasang sikap takut-takut,
maka orang lain akan menghargai
dan menghormati diri kita.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
ilustasi sederhana berikut dapat menjadi contoh yang memiliki kedekatan dengan
keseharian para pembaca (proximity),
sehingga penulis harapkan mudah untuk ditangkap dengan daya cerna paling simpel
yang mampu kita pahami makna tersurat maupun makna tersiratnya apapun
latar-belakang para pembaca dari segi umur maupun profesinya. Sebagai seorang
pengguna kacamata dimana penulis amat sangat bergantung pada alat bantu berupa
kacamata untuk dapat melihat dan membaca ataupun untuk belajar dan bekerja,
sedari sejak kecil penulis telah “kenyang” menghadapi kenyataan para teman
sekolah akibat sikap tidak bertanggung-jawabnya, merusak kacamata yang penulis
kenakan lalu pergi begitu saja, sehingga penulis menjadi korban “tabrak lari”
dan aksi-aksi pamer sikap tidak bertanggung-jawabnya sesama anak bangsa.
Alhasil, keluarga penulis yang kemudian
menanggung kerugian dan kerepotan membawa penulis ke optik sesegera mungkin untuk
membeli kacamata baru, disamping penulis menderita kerugian karena beberapa
hari tidak dapat mengikuti kegiatan belajar di kelas akibat “rabun jauh”
(penderita miopia). Dari banyak kejadian serupa dari kecil hinggga dewasa saat
kini, kacamata penulis dirusak anak kecil, anak remaja, maupun orang-orang dewasa
lainnya, tiada satupun dari mereka yang bertanggung-jawab—ada segelintir kecil
diantaranya, namun sekadar “gimmick”
yang nihil realisasi—dan mereka berpikir bahwa mereka sedang “beruntung” karena
dapat lari dari tanggung-jawab atau membuat korbannya merugi sendiri karena
gagal untuk menuntut tanggung-jawab. Mereka berdelusi bahwa mereka cerdik dan
korban mereka adalah bodoh, namun mereka keliru, merekalah yang sejatinya
“dungu” karena menyangka dapat mencurangi hidup ini meski Hukum Karma berkata
sebaliknya.
Jika kejadian demikian kembali
terulang, maka inilah yang akan penulis utarakan dengan nada datar saja, tanpa
dicekam ketakutan apapun, tanpa panik oleh ketakutan bahwa pelakunya tidak akan
bertanggung-jawab—ingat, bersikap penuh ketakutan pun terlebih mengemis-ngemis
sekalipun tidak akan menjamin pelakunya akan bertanggung-jawab bila memang
sifat atau watak mereka ialah terbiasa tidak bertanggung-jawab—dengan kalimat
sebagai berikut, yang dapat para pembaca terapkan pula dengan adaptasi struktur
kalimatnya dalam kasus-kasus serupa dan sebangun lainnya:
“Kamu sudah
merusak kacamata saya. Sekarang saya tanya kamu, kamu mau tanggung-jawab atau
tidak?”
Pelakunya mencoba berkelit
dengan dalih bahwa keluarganya miskin, dan sebagainya, tanpa mau perduli bisa
jadi korbannya lebih tidak mampu daripada dirinya. Ia pikir memakai kacamata
miopia adalah “gaya-gaya-an”?
“Itu bukan
urusan saya, keluarga kamu miskin atau melarat sekalipun, bukan alasan pembenar
untuk merusak barang milik orang lain. Saya tanya sekali lagi, kamu mau
tanggung-jawab atau tidak?!”
Sang pelaku menyatakan akan
memperbaiki kacamata penulis yang telah ia rusak.
“TIDAK, saya menolak mengenakan
kacamata bekas rusak, tidak nyaman dikenakan frame kacamata yang sudah tidak
lagi presisi. Saya menolak dan keberatan. Saya minta tanggung-jawab berupa
ganti-rugi biaya saya untuk beli kacamata baru, plus ongkos transportasi ke
optik.”
[Masih untung tidak dimintai ganti-kerugian immaterial berupa waktu yang
terbuang percuma serta tidak mampunya mengikuti kegiatan belajar di sekolah.]
Sang pelaku menolak untuk ganti-rugi
berupa pembayaran uang.
“Mengapa
harus saya yang harus ikut kemauan dan aturan main kamu? Kamu yang harus ikut
aturan main saya! Berani berbuat, berani bertanggung-jawab. Memangnya siapa
yang jadi korban disini, saya atau kamu? Memangnya siapa pelakunya yang telah
merusak kacamata saya, saya atau kamu? Mengapa harus pelaku yang harus mengatur
korban, seolah beban kewajiban untuk bertanggung-jawab menjadi beban korban.
Mau ganti-rugi dengan mencicil, silahkan, itu tawaran yang sudah sangat toleran
dari saya, namun harus jelas kapan harus lunas dan cicilan per bulannya.”
Sang pelaku mulai lebih sibuk
berkelit sedemikian rupa.
“Ini
perkataan terakhir saya, saya tidak perduli kamu mau tanggung-jawab ganti-rugi
atau tidak, saya tidak akan mengemis kepada penjahat ataupun pendosa yang telah
merusak kacamata saya. Kamu mau takut dosa atau tidak, itu juga bukan urusan
saya, neraka itu menjadi urusan kamu sendiri. Jika kamu tidak mau
tanggung-jawab ganti-rugi, maka biarlah HUKUM KARMA yang akan membalas
perbuatan kamu!”
Selanjutnya, kita cukup pergi berlalu untuk
melanjutkan hidup, dimana selebihnya biarlah Hukum Karma yang ambil-alih
perkara dimaksud. Adalah delusi, dengan bersikap lemah dan takut meminta
tanggung-jawab, akan dibalas dengan penghargaan dari pelakunya. Adalah delusi
pula, mengemis-ngemis pada pelaku kejahatan maka kita akan diberikan
tanggung-jawab.
Pembalasan, seringkali terjadi bukan lewat tangan
kita, dimana Hukum Karma bekerja dalam senyap hingga buahnya matang untuk
dipetik oleh pelakunya itu sendiri. Kita bisa melanjutkan hidup tanpa membalas
dendam, juga tanpa perlu mengemis-ngemis pertanggung-jawaban. Itulah yang
disebut sebagai “positive thinking”.
Memakai kacamata, adalah beban
tersendiri, karena harus dibayar mahal dengan pengorbanan biaya yang tidak
sedikit, ketidaknyamanan frame kacamata yang berat, harus merawatnya secara
rutin, sakitnya tulang hidup mengenakan hampir sepanjang hari untuk seumur
hidup, disamping keterbatasan daya gerak karena potensi kacamata terjatuh.
Namun, cobalah bayangkan bilamana bola mata penulis yang terkena hantam oleh tangan
jahil maupun jahat milik mereka tanpa perlindungan apapun semacam kacamata,
maka dapat dipastikan bola mata dan indera penglihatan penulis yang terancam
kebutaan—jangankan bertanggung-jawab untuk itu, sekadar mengganti kerugian
kacamata saja, mereka para pelakunya, lebih sibuk berkelit sedemikian rupa,
bahkan balik menuduh penulis telah berdusta sekalipun ia yang memukul wajah
penulis hingga kacamata yang penulis kenakan jatuh dan bengkok—ironisnya,
pelakunya kerap bicara soal agama dan mengaku ber-Tuhan disamping rajin
beribadah.
Sayangnya, agama mereka ialah
“Agama DOSA”, disebut demikian semata karena mengiming-imingi ideologi
“pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” bagi para pendosa. Alhasil,
“enak” bagi sang pendosa (pelaku kejahatan), dan “merugi” bagi korban. Sejak saat
itulah, dalam diri penulis muncul rasa muak dan jijik terhadap para umat
pemeluk “Agama DOSA” manapun. Mereka tidak layak disebut sebagai manusia yang “humanis”,
namun “manusia hewan” yang “hewanis” dan “predatoris”. Menjadi cukup relevan sebagaimana
disabdakan oleh Sang Buddha mengenai watak umat manusia sejak zaman
dahulu kala hingga dimasa yang akan datang, dengan kutipan syair sebagai
berikut:
DHAMMAPADA
122. Janganlah meremehkan
kebaikan (dengan berpikir), ‘Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.’
Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak
dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit.
123. Ibarat saudagar beharta
banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang
berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari
keburukan.
124. Jika tiada luka di tangan,
seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke
tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.
125. Keburukan akan
(balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak
berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.
126. Sejumlah makhluk masuk
rahim terlahir. Para pelaku keburukan masuk ke neraka. Para penimbun
perbuatan sumber kebahagiaan masuk ke surga. Mereka yang tidak memelihara
kekotoran batin mencapai kepadaman derita.
127. Tiada suatu kawasan di
dunia, baik di angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan –
di mana pun berada, seseorang dapat lolos dari (akibat) perbuatan buruknya.
128. Tiada suatu kawasan di
dunia, baik di atas angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah
gegunungan – di mana pun berada, Sang raja kematian tak mampu mendapati si
pelaku keburukan.
131.
Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia
yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat
dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.
132.
Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri
tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan
setelah ajal tiba.
136.
Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang
berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak
terbakar api.
137.
Barangsiapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak mencelakai dan
tidak mendera, ia akan segera menemui salah satu di antara sepuluh keadaan:
138.
perasaan menyengat, keterpurukan, cacat tubuh, sakit keras, gangguan jiwa,
139.
usikan raja, hasutan menyakitkan, kehilangan sanak keluarga, kemusnahan harta
benda,
140.
kebakaran rumah oleh api hutan, atau, setelah si dungu itu tiba ajal, masuk ke neraka.
143.
Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada
beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda
tangkas mengelak cambuk.
144.
Bersemangatlah! Kerahkan kekuatan, seperti kuda tangkas tersabet cambuk! Dengan
berlengkap keyakinan, tata susila, semangat, keteguhan batin, kemampuan
menimbang, pengetahuan dan tindak tanduk sempurna, dan perhatian teguh, Kalian
akan dapat melenyapkan derita nan tidak sedikit ini.
145.
Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah.
Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.
158.
Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu
orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.
159.
Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah
sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.
160.
Diri sendirilah pelindung diri.
Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri
terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.
161.
Oleh diri sendiri keburukan dilakukan,
lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu,
laksana berlian melukai intan.
162.
Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon
sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.
163.
Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya
perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.
164.
Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan
mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri,
layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.
165.
Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang
menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri
pula seseorang menjadi suci. Suci
tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada sosok lain dapat menyucikan lainnya.
167.
Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul
dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak seyogianya menjadi pengeruh dunia.
172.
Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi
dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.
173.
Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat
menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.
174.
Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas.
Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam
bahagia.
206.
Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka
mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa
berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.
207.
Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu
mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa
membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya,
bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan
sanak keluarga.
208.
Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana,
berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih,
budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!
229.
Jika para bijaksanawan, setelah menimbang matang, memuji ia yang bertindak penuh kewaspadaan,
cendekia, teguh dalam kebijaksanaan dan kesusilaan,
230.
siapakah pantas mencelanya yang bagaikan emas jambonada. Para dewa pun
memujinya, demikian pula brahmâ.
234.
Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan
jasmani, juga adalah mereka yang telah mengendalikan
ucapan. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan batin. Mereka sungguh adalah orang yang telah
berpengendalian secara menyeluruh dengan baik.
244.
Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak
tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari
muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.
245.
Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa
berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan
menyadari (hakekat penghidupan bersih).
246.
Barangsiapa di dunia ini membunuh kehidupan makhluk lain, bertutur kata bohong,
mengambil barang yang tidak diberikan, dan menggauli istri orang lain,
247.
juga barangsiapa biasa minum arak dan barang ragian, ia disebut sedang mencabut akar tunggang sendiri di
dunia ini.
252.
Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena
itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi
noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.
256.
Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam
Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang
menjadi perkara dan bukan perkara.
258.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia
yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak
berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.
259.
Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma,
melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara
batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang
dhamma’.
260.
Bukan karena berkepala beruban seseorang
disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.
261.
Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian,
terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.
265.
Akan tetapi, ia yang meredam total
keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’
karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.
269.
menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia
disebut ‘petapa bijaksana’.
Seseorang disebut petapa bijaksana
karena mengetahui kedua dunia.
270.
Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk
lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak
mencelakai segala jenis makhluk.
306.
Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar
akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak
berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya
menuju ke alam lain, akan bernasib sama.
314. Perbuatan buruk,
tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si
pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan
adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.
315. Jagalah diri di dalam dan
di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan
waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan,
berdesak sesak di neraka!
316. Barangsiapa malu
terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang
memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
317. Juga, barangsiapa takut
terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka
yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
318. Barangsiapa menganggap
tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela;
mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.
319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari
hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak
tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam
bahagia.
327. Bergembiralah dalam
ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari
kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!
328. Andaikata seseorang
mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan
berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan
menegakkan perhatian – berjalan dengannya.
329. Andaikata seseorang
tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai
kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan
wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.
330. Berjalan sendirian
adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia
patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan
di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.