Nasabah Debitor yang Cerdas ialah Nasabah Debitor yang Tahu dan Paham “Cacat Celah Hukum” di Indonesia
Antara BUNGA TERSELUBUNG, Bunga ANUITAS, dan Kredit
KPR, Jebakan “Lingkaran Setan” kalangan Perbankan di Tanah Air
Question: Apakah ada kiat tertentu, agar dari sejak awal kita sebagai pembeli produk properti, tidak sampai terjebak dalam kredit macet KPR di bank?
Brief Answer: KPR, akronim dari “Kredit Pemilikan Rumah”, bisa
menjadi penolong bagi masyarakat selaku pengguna jasa produk perbankan, namun
juga bisa menjadi petaka yang betul-betul menjebak serta menjerat (yang
tentunya merugikan) pihak nasabah debitor bila tidak mengetahui seluk-beluk
instrumen hukum semacam produk perbankan serta konsekuensi-kosekuensi ataupun
bahaya dan potensi dibaliknya.
Salah satu perspektif salah-kaprah alias
kekelirutahuan (tahu, namun keliru) yang kerap dijumpai pada kasus-kasus kredit
macet fasilitas KPR perbankan, ialah persepsi dari sudut pandang pihak nasabah
debitor, bahwasannya memiliki sejumlah nominal dana untuk membayar separuh
lebih harga produk properti, dan menguras seluruh dana tersebut untuk membayar
uang muka pembelian, dengan harapan total nominal kredit pinjaman menjadi
rendah berimbas pada bunga cicilan yang juga diharapkan akan rendah.
Namun, kita tidak pernah tahu apa yang akan
terjadi pada tahun-tahun berikutnya, apakah sang nasabah debitor masih memiliki
pemasukan “income” dan faktor
likuiditas lainnya, atau ada kebutuhan mendesak yang membutuhkan sejumlah dana
sisa cadangan, sebagai akibatnya alokasi untuk mencicil cicilan bulanan bunga
dan pokok hutang pun terpakai habis. Masuklah sang nasabah debitor ke dalam kondisi
gagal cicil dan gagal melunasi, yang konsekuensi utamanya bukanlah “bunga”
kredit, namun faktor komponen pembebanan semacam “denda”, “bunga terhadap bunga”,
dan lain sebagainya yang hanya dipahami oleh perbankan itu sendiri.
Yang paling harus diwaspadai oleh seluruh
kalangan nasabah debitor produk lembaga keuangan, ialah praktik “bunga
terselubung”. Sebagian besar perbankan yang beroperasi di Indonesia,
kerapkali mengambil laba atau profit usaha dengan porsi terbesar bukanlah dari
komponen pembebanan “bunga”, namun “denda” bilamana debitornya menunggak—komponen
yang kerap membuat total “outstanding”
hutang debitor menjadi “bengkak” serta menjelma “hutang yang menggunung”.
Perhatikan norma hukum bentukan yurisprudensi sebagaimana tertuang dalam putusan
Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986: [Sumber:
Majalah Hukum Varia Peradilan No. 18 Tahun II. Maret 1987 Hlm. 5.]
Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah
membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut:
Bahwa meskipun persoalan denda
(penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak,
namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut
jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA
YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak
dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran
denda tersebut harus ditolak.
Betul bahwa komponen “denda” merupakan “bunga
yang terselubung”, namun praktik di seluruh perbankan yang beroperasi di
Indonesia, baik perbankan swasta nasional, swasta asing, tidak terkecuali
BUMN/D, tetap membebani nasabah debitornya dengan komponen pembebanan “denda”,
bahkan “denda terhadap tunggakan denda”, disamping “bunga” serta
“bunga-berbunga”. Namun, sang debitor harus merepotkan diri mengajukan gugatan
perdata ke hadapan pengadilan yang tentunya, memiliki konsekuensi logis berupa
waktu, tenaga, serta biaya.
Sehingga, perlu dari sejak awal disusun kalkulasi
atau strategi, untuk memitigasi “the
worst case scenario” untuk mengantisipasi masa mendatang yang serba tidak
pasti, agar jangan sampai gagal cicil dan likuiditas tetap tersedia untuk
mencicil rutin cicilan bulanan—itulah kata kuncinya, agar kalangan nasabah
debitor tidak terjebak dalam “lingkaran setan” yang tidak mungkin dapat keluar
dari jerat hutang yang terus berlipat-lipat dan menggunung tidak terkendali
dalam tempo waktu menunggak yang singkat sekalipun. Komponen pembebanan berupa
“denda”, dalam semua kasus kredit macet, merupakan “killing factor”, dimana seluruh kalangan debitor perlu memahami
benar-benar fakta tersebut.
PEMBAHASAN:
Salah satu kiatnya, ialah tidak
menguras seluruh dana yang dimiliki seorang nasabah debitor untuk membayar separuh
lebih harga properti yang dibeli dengan fasilitas KPR, dengan asumsi keliru bahwa
dengan cara demikian bunga cicilan bulanan akan menjadi lebih ringan untuk
ditanggung mengingat pokok hutang awalnya dapat lebih rendah. Sebagai ilustrasi
sederhana, seorang nasabah debitor memiliki dana sejumlah 500 juta Rupiah untuk
membeli produk properti senilai 700 juta Rupiah. Secara tanpa berpikir panjang,
sang nasabah debitor menguras seluruh dananya untuk membayar separuh lebih
harga produk properti yang dibeli olehnya, dan selebihnya yakni selisih dengan
harga produk properti, 200 juta Rupiah, meminjam dana dengan fasilitas KPR dari
perbankan dengan masa kredit selama 10 tahun.
Namun, kita tidak dapat
berasumsi bahwa kondisi ekonomi akan “status
quo” dan “stagnan” selayaknya “zona aman”—tiada “zona aman”, itu adalah
delusi. Perlu adanya langkah mitigasi yang diperhitungkan dari sejak awal,
seperti “prepare for the worst case”.
Tahun pertama dan tahun kedua, mungkin cicilan lancar dibayarkan oleh sang nasabah
debitor. Namun, “force majeure” bisa
saja terjadi dan terus menghantui, seperti akibat resesi ekonomi global akibat
pandemik, bencana alam, peperangan antar negara yang mengguncang ekonomi
global, ataupun krisis ekonomi nasional akibat faktor politik, hingga berbagai
faktor tidak terduga lainnya semacam mengalami sakit, pemutusan hubungan kerja
akibat perusahaan melakukan efisiensi tenaga kerja dan menggantikannya dengan
“pada modal” teknologi robotik seperti dewasa ini, dsb.
Pada tahun ketiga, sang nasabah
debitor gagal bayar cicilan bulanan, dan tunggakan menjadi tidak lagi sanggup
terbayarkan akibat menggunung berlipat-lipat oleh sebab “bunga
terselubung”—jebakan “iblis” bagai “lingkaran setan”, dimana sekali terjebak
pada “bunga terselubung”, maka sang debitor dapat dipastikan tidak dapat
melunasi, dan dalam perspektif itulah, seluruh perbankan di Indonesia merupakan
“rentenir” alias “intah darat” yang seolah dibiarkan dan dilegalkan oleh
pemerintah. Kesemua kemungkinan tersebut, tetap terbuka peluang terjadinya
menimpa kita tanpa terkecuali, karenanya bersikap rasional merupakan kearifan
itu sendiri dan perlu kita perhitungkan dari sejak awal.
Akan lebih cerdas serta
bijaksana, bilamana sang nasabah debitor menyisihkan separuh dana miliknya,
sebagai dana cadangan. Sebagai contoh, sang nasabah debitor mambayar harga
properti yang dibelinya dengan dana 400 juta Rupiah, sehingga kredit yang
dipinjam dengan fasilitas KPR bank ialah 300 juta Rupiah, dimana 100 juta
Rupiah menjadi dana cadangan yang didepositokan—akibatnya, bunga dari dana
deposito dapat sedikit-banyaknya menjadi kompensasi terhadap bunga kredit KPR,
yang mana konsekuensi yuridisnya ialah menutup ruang potensi gagal cicil “cicilan
bulanan”, yang artinya resiko “bunga terselubung” dapat dihindari dan ditekan
seminimal mungkin. Jika memungkinkan, jangka waktu kredit KPR pun cukup 6 tahun
alih-alih 10 tahun sehingga total bunga fasilitas kredit KPR dapat ditekan.
Perlu dipahami pula, bahwa
sistem cicilan pada lembaga keuangan perbankan, terdiri dari sistem “bunga
efektif menurun” dan sistem “bunga anuitas”. Pada sistem “bunga efektif
menurun”, cicilan yang dibayar setiap bulannya oleh nasabah debitor, mengurangi
pokok hutang dalam “outstanding” yang
menjadi dasar perhitungan bunga pada cicilan berikutnya. Sebagai contoh, pokok
hutang awal ialah 100 juta Rupiah, bila pada bulan cicilan pertama sang nasabah
debitor telah mencicil pokok hutang 3 juta Rupiah, maka bunga pada cicilan
bulan kedua ialah (100 juta - 3 juta Rupiah) x tingkat suku bunga per bulan.
Alhasil, bunga cicilan pada bulan-bulan selanjutnya akan terus menurun. Cara
atau sistem seperti ini adalah lebih adil (fairness)
bagi kalangan nasabah debitor.
amun, seperti telah penulis
singgung di muka, seluruh kalangan perbankan di Indonesia ialah “rentenir
terselubung” (rentenir dalam wujud “white
collar” yang dilegalkan pemerintah, bahkan perbankan milik pemerintah dan
pemerintah daerah turut menjadi pemain didalamnya, yang notabene kesemuanya “diawasi”
oleh Otoritas Jasa Keuangan), sehingga yang diterapkan oleh para perbankan kita
di Indonesia, ialah “sistem bunga anuitas”, dimana sekalipun nasabah debitor
belum menikmati seluruh masa kredit, namun bulan-bulan awal cicilan hingga
separuh masa waktu kredit, adalah untuk mencicil komponen “total bunga untuk
seluruh masa kredit” semata. Alhasil, pokok hutang tidak berkurang atau
hanya berkurang sedikit pada paruh awal keseluruhan masa waktu kredit. Konsekuensi
yuridis penerapan “sistem bunga anuitas” ialah:
1.) nasabah debitor merugi bila
hendak menebus atau melunasi sebagian ataupun seluruh sisa pokok hutangnya,
sekalipun dibebaskan dari pinalti, mengingat pokok hutang belum berkurang atau
hanya berkurang sedikit sekalipun masa kredit sudah berjalan separuhnya dan nasabah
debitor rutin mencicil “cicilan bulanan” setiap bulannya tanpa pernah menunggak.
2.) bila nasabah debitor
ditengah masa berjalannya kredit hendak menjual objek rumah yang dibeli olehnya
dengan fasilitas kredit KPR tersebut, atau ketika terjadi “kredit macet” dan objek
agunan dilelang eksekusi oleh bank, maka nasabah debitor betul-betul akan menderita
kerugian, mengingat sekalipun, sebagai contoh, dari 10 tahun masa kredit,
debitor baru menikmati 5 tahun masa kredit, namun pihak bank telah menagih dan
menarik seluruh komponen “total bunga” untuk 10 tahun, sehingga ketika pada
tahun ke-5 tersebut nasabah debitor hendak menjual rumahnya atau terjadi “lelang
eksekusi” terhadap agunan, maka bank tetap memungut dan meraup seluruh “total
bunga” untuk 10 tahun.
Keserakahan (secara
“terselubung”) kalangan perbankan di Indonesia, mengakibatkan kalangan nasabah
debitor selaku konsumen pengguna jasa lembaga keuangan, betul-betul berdiri
“seorang diri” menghadapi “rentenir kerah putih yang merangkap sebagai mafia
tanah”. Jika pemerintah selaku otoritas maupun regulator, hendak hadir di
tengah masyarakat untuk memberi perlindungan hukum bagi kalangan debitor
menghadapi dominasi perbankan selaku entitas korporasi raksasa (adanya
ketimpangan dari segi daya tawar dan posisi dominan), maka pemerintah dapat
saja (bila ada “political will” untuk
itu) membentuk regulasi, yang mengatur bahwa sang nasabah debitor hendak
menjual agunan ataupun agunan akan dilelang eksekusi oleh bank ditengah masa
kredit yang masih berjalan, maka sistem bunga dari semula “anuitas” harus dan
wajib dikalkulasi ulang menjadi atau dihitung dengan perhitungan “sistem bunga
efektif menurun”, dengan menghitung berapa total cicilan bulanan yang selama
ini setiap bulannya telah dicicil oleh sang debitor, dalam rangka penerapan
asas keadilan, asas proporsional dalam pembebanan bunga, dan asas keseimbangan.
Sebenarnya pihak nasabah debitor dapat mengajukan gugatan dalam satu paket,
dalam artian menggugat ketentuan “bunga terselubung” disamping menggugat
keberlakuan “sistem bunga anuitas”.
Beragam bank bersikap tidak
jujur dan tidak transparan di muka, dengan tidak menginformasikan kepada calon
nasabah debitornya, sistem bunga yang akan diterapkan oleh pihak bank saat ada
calon nasabah debitor hendak mengajukan permohonan fasilitas KPR. Untuk
memudahkan identifikasi, masyarakat selaku calon nasabah debitor dapat
mengajukan pertanyaan berikut, sebagai cara mudah mengetahui sistem bunga
manakah yang diterapkan oleh bank bersangkutan. “Jika setelah mencicil cicilan bulanan pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya, maka untuk cicilan bulan berikutnya, apakah besaran cicilan
bulanannya tetap saja sama dengan total cicilan bulan-bulan awal?”
Jika jawabannya ialah “Ya, tetap sama besar cicilan per bulannya
dan untuk setiap bulannya sampai masa kredit berakhir”, maka itulah
indikasi mutlak bahwa bank bersangkutan menerapkan “sistem bunga anuitas”, yang
bermakna : cicilan bulanan Anda selaku nasabah debitor, pada paruh pertama
masa kredit, adalah digunakan untuk mencicil dan membayar “total bunga”
untuk seluruh masa kredit, sekalipun Anda selaku nasabah debitor belum
menikmati seluruh masa kredit. Itulah cerminan nyata serta konkret tidak
terbantahkan, betapa berbagai perbankan di Indonesia beroperasi layaknya
“lintah darat” yang notabene diawasi, diizinkan, dan dibiarkan oleh otoritas
dibidang jasa keuangan.
Berbagai perbankan di
Indonesia, tumbuh besar secara pesat, masif, serta merajalela karena makmur
memakan “bunga terselubung”, bercermin dari banyaknya keluhan para Klien SHIETRA
& PARTNERS, dalam sesi konseling hukum, menguraikan betapa piutang yang
diklaim bank saat mempailitkan sang nasabah debitor, sebagian besarnya ialah akibat
“bunga terselubung” yang “membengkak” serta “menggunung” berkali-kali lipat dari
sisa hutang yang sebenarnya, sehingga menjelma mustahil dapat dilunasi oleh
sang debitor.
Keluhan-keluhan dan kekecewaan
masyarakat, terjadi secara masif ribuan kasus setiap tahunnya di Indonesia, korban-korban
yang terus bertumbangan dengan pola yang sama yang terus terulang, serta telah
terjadi sepanjang tahun dan akan masih terjadi untuk tahun-tahun berikutnya,
ialah keluhan seputar praktik “sistem bunga anuitas”, dimana negara tidak pernah
hadir dan abai sehingga praktik “rentenir berkedok bank” demikian bisa tetap
lestari bahkan merajai praktik lembaga keuangan.
Perhatikan salah satu contoh
petikan kecil dari ribuan kasus serupa, yang dapat dicerminkan lewat keluhan
konsumen jasa keuangan perbankan khususnya produk KPR, sumber : https:// id.quora
.com /Apakah-Anda-menyesal-telah-mengambil-KPR, dengan tajuk “Apakah Andamenyesal
telah mengambil KPR”, diakses per tanggal 29 Maret 2022, yang mungkin juga
pernah Anda alami atau tersangkut didalamnya secara relevan:
Ya… jujur saya sangat
menyesalinya. Karena kurang ilmu, jadi terkena jebakan KPR. Ya KPR saya
bilang jebakan, karena itu pedang bermata dua. Kalo dari sudut
pandang marketing itu memang indah, tapi realita di lapangan sangatlah berbeda.
Sangat dinamis.
Realita hidup memang tak
seindah apa yang kita rencanakan atau yang di rencanakan marketing KPR.
Pendapatan itu tidak pasti, tapi angsuran KPR pasti.
Angsuran kredit apapun itu
sangat kaku, statis dan tidak fleksibel. Padahal pendapatan orang itu sangat
dinamis dan fleksibel apalagi kalau sumber pendapatan dari bisnis atau
berdagang.
Apalagi dengan akad
konvensional, sangat tidak fair ternyata. Kredit dengan jaminan properti. Di
angsur tepat waktu kena bunga yang bunganya berubah2 cenderung bertambah. Bayar
telat masih kena denda, masih di teror collectornya.
[NOTE : Jusuf Hamka pernah
membuat pernyataan, Bank Syariah lebih kejam daripada bank swasta, karena
kredit pinjaman tidak boleh dilunasi ditengah masa kredit.]
Di-lunasi di tengah2 jangka
waktu ternyata pokok kreditnya masih banyak, ternyata yang terbayar duluan
bunganya, bukan pokok kreditnya. Karena malas sama collector
nya akhirnya berencana di bayar lunas, eh di bayar lunaspun masih kena pinalty.
Ga di bayar, jaminan di lelang
dengan harga sangat rendah dari harga beli. Wkwkwk… ibarat timbangan sangat
jomplang sekali.
=====
Yang pertama sesudah menikah,
saya mengambil rumah KPR 15th, harga 140jt di tahun 2003, angsuran per bulan
sekitar 900rb. Di bank swasta terbesar.. saat ada rejeki pelan pelan di kurangi
nilai angsuran dan jangka waktu, dan alhamdulillah lunas sebelum waktunya. Bank
tersebut sangat kooperatif dan membantu nasabah ketika ingin pelunasan sebagian
(top up) sehingga lebih cepat kami jalani
Karena kebutuhan ruang dan anak
anak tidak mungkin sekamar berdua terus maka kami membeli rumah baru, seharga
1,4M dan oleh bank ‘dibeli’ lalu dijual kembali ke kami seharga 2.9M dan di
cicil 15 th. Itu adalah konsep KPR bank syariah.
Belakangan ternyata niat kami
untuk melakukan hal yang sama, pelunasan sebagian misalnya tidak semudah di
bank swasta biasa.. prosesnya ribet dan diskon atau pengurangan angsuran sangat
kecil, alasannya margin sudah dipatok oleh bank sejak awal, tidak bs berkurang
banyak.. bayangkan katanya syariah konsepnya tp kalo kita mau bayar lebih awal
malah ribet dan susah turun nilainya.
[NOTE : Itulah akibat “agama
yang dibisniskan”. Agama adalah agama, bisnis adalah bisnis. Hanya akan
mencoreng dan menodai keluhuran agama, ketika agama “dibisniskan”. Sama halnya,
agama adalah agama, dan pemerintahan adalah pemerintahan; jangan mempolitisir
agama untuk kepentingan politik, dalam rangka menjaga keluruhan serta kemurnian
agama.]
Keluhan serupa oleh nasabah
debitor terkait fasilitas KPR yang tampak menyerupai mengandung “cacat
tersembunyi” (pahit-nya muncul dibelakang hari, dan baru “terkaget-kaget” dikemudian
hari), dapat kita jumpai dalam https:// id.quora
.com /Adakah-yang-pernah-mengambil-KPR-selama-20-25-tahun-dan-sudah-lunas-Bagaimana-pengalamanmu-mencicil-selama-itu,
diakses per tanggal 29 Maret 2022, dengan kutipan sebagai berikut:
Saya mengambil KPR Griya BNI
dengan tenor 20 tahun. Plafond pinjaman saya 190 juta dan sudah berjalan
kurang lebih 5 tahun. Saat ini saya akan melunasi pinjaman tersebut, tetapi
sungguh sangat menyakitkan karena total cicilan saya sebesar 127 jt hanya
diakui sebagai angsuran pokok sebesar 17 juta saja.
Artinya saya terkena bunga
sebesar 110 juta belum lagi ditambah biaya adm
diawal sebesar 12 jt dan denda pelunasan yang juga lumayan 0.5% dari sisa
pinjaman (sekitar 5 juta).
[NOTE : Nominal tersebut
“kecil” di mata korporasi raksasa penuh keserakahan semacam perbankan, namun
tidak kecil bagi rakyat jelata, yang bekerja “full time” selama satu bulan pun belum tentu dapat mendapatkan
nafkah sebesar itu. Arogansi secara terselubung, “maunya selalu menang dan enak
sendiri”. Secara kalkulasi bisnis, bank lebih banyak diuntungkan dari debitor
yang “macet” ketimbang debitor yang “tidak macet” kreditnya, semata demi meraup
“bunga terselubung”.]
Artinya secara total 5 tahun saya hanya membayar bunganya
saja. Saya sungguh menyesal telah
mengambil pinjaman dari KPR BNI tersebut dan memastikan seluruh keluarga dan
saudara saya tidak mengambil KPR BNI Griya.
[NOTE : Sayangnya dan
ironisnya, negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat. Lihatlah
kasus Jiwasraya yang merugikan ribuan nasabah dengan total kerugian masyarakat
mencapai triliunan Rupiah, Otoritas Jasa Keuangan mengawasi Jiwasraya, namun
kemudian pihak otoritas “lepas tangan”, sekalipun juga Jiwasraya notabene ialah
BUMN, Badan Usaha Milik Negara.]
Saya dalam situasi tidak begitu
paham ketika tanda tangan akad kredit, dimana waktu itu sales KPR tidak
memberi keterangan yang jelas tentang pinjaman saya. Tidak ada uraian berupa
tabel angsuran perbulan.
Karena pinjaman harus cair segera saya hanya menanda
tangani perjanjian kredit yang berhalaman2 tanpa sempat saya baca dan pahami
dengan baik. Hal ini adalah kesalahan saya yang fatal. Seharusnya saya menunda
penanda tanganan dan meminta waktu untuk mempelajari akad tersebut. Tapi nasi
sudah jadi bubur semoga lain kali saya lebih hati-hati.
Kita cukup belajar dari
pengalaman baik maupun pengalaman buruk orang lain, tanpa harus terjebak pada
kondisi serupa. Informasi serta bekal pengetahuan yang berangkat dari
pengalaman konsumen atau pengguna jasa lainnya, menjadi penting ketika kita
terlibat dengan pihak-pihak korporasi raksasa dengan “klausula baku”-nya yang
mendominasi daya tawar, bahkan tiada negosiasi ataupun tawar-menawar sama
sekali. Sekalipun Republik Indonesia mengaku sebagai “negara hukum”, namun
dalam banyak kasus, sebagaimana contoh-contoh di atas dapat para pembaca lihat
dan nilai sendiri, negara tidak benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat
dan hukum tidak benar-benar eksis untuk masyarakat “rakyat jelata”. Sekalipun eksis,
hadir, dan mengawasi, namun lihatlah nasib ribuan nasabah Jiwasraya yang terkatung-katung—hal
tersebut konteksnya ialah BUMN milik pemerintah yang diawasi langsung oleh OJK.
Dari banyak putusan pengadilan
yang telah penulis evaluasi, banyak hakim yang tidak memahami perihal “bunga
terselubung”, sehingga melegalkan praktik “bunga terselubung” ala “rentenir”
kalangan perbankan, maupun praktik “sistem bunga anuitas” yang tidak pernah
adil terhadap kalangan nasabah debitor, yang selalu ditempatkan pada posisi
serba tersudutkan dan lemah, tanpa daya tawar apapun juga tanpa diberi
perlindungan oleh negara lewat representasi lembaga peradilannya.
Kita selaku masyarakat dan
rakyat jelata, yang perlu harus pandai-pandai menjaga diri dalam “kesendirian”
(solo fighter) dan mengetahui segala
“cacat celah hukum” yang terus-menerus dibiarkan serta dilestarikan oleh
pemerintah—bila tidak dapat disebut sebagai “dipelihara” oleh negara. Itulah,
hukum ala Indonesia, “hukum Made in Indonesia”.
Dapatkah kita ber-slogan, “cintai hukum dalam negeri” sebagaimana pemerintah
kita gencar mempromosikan “cintai produk dalam negeri”?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.