Apakah Ada, yang Bukan Ciptaan dan Bukan Atas Kuasa Tuhan?
Pujian yang (Sejatinya) Menista Tuhan, si Dungu
Berasumsi dan Berdelusi bahwa Pujiannya Membuat Tuhan Merasa Tersanjung
Seni Pikir dan Tulis bersama Hery Shietra
Ketika Anda meyakini bahwa Tuhan yang Anda puja-puji (seolah Tuhan butuh puja-puji maupun sembah-sujud, dan seolah-olah Tuhan akan sirna ataupun punah ketika tiada yang menyembah-Nya sehingga Tuhan diposisikan membutuhkan serta bergantung eksistensinya pada umat penyembah) adalah “Maha Pencipta”, namun secara tidak konsisten Anda menyebut secara tersurat maupun secara tersirat bahwa ada sesuatu hal lainnya yang bukan merupakan kuasa, bukan merupakan rencana, bukan merupakan ciptaan, serta bukan atas seizin Tuhan, maka sama artinya Anda tengah menista Tuhan Anda sendiri. Inkonsistensi, itulah pola yang selalu kita jumpai dari “agama samawi”—pada satu sisi mengklaim paling tahu mengenai Tuhan, namun pada sisi lainnya justru menista Tuhan yang mereka klaim sebagai mereka yakini.
Karenanya pula, tiada yang
lebih menista keagungan Tuhan daripada “agama samawi” itu sendiri.
Mengatas-namakan Tuhan, sama artinya menyalah-gunakan nama Tuhan, yang pada
gilirannya akan menodai nama Tuhan. Contoh, suatu kalangan umat menyebut kaum
“NON” sebagai “kaf!r”, seolah-olah “kaf!r” bukanlah ciptaan Tuhan. Bila “satan”
mampu menciptakan ataupun punya “kuasa” atas manusia, sama artinya Tuhan tidak
benar-benar “Maha Kuasa” ataupun “Maha Pencipta”—karena terdapat “rival” yang
juga berkuasa dan mencipta. Kaum radikal dalam propagandanya menyebutkan, “ikuti
perintah Tuhan dalam Kitab agama yang bersangkutan, itu buatan Tuhan; dan jangan
ikuti Pancasila, karena itu buatan manusia.”
Bagi si “dungu”, itu terdengar
logis, namun orang-orang “dungu” pada dasarnya memang tidak punya “common sense” (akal sehat), akibat otak
(ciptaan Tuhan yang paling aktual di dalam kepala sendiri) yang digadaikan demi
iman setebal tembok beton yang bahkan tidak tembus oleh cahaya ilahi manapun.
Itu ibarat pepatah klasik, “Gajah di
depan mana tidak tampak, namun semut di seberang mata ditunjuk-tunjuk.”
Otak di kepala mereka sendiri, yang diciptakan dan diberikan Tuhan untuk
berpikir secara mandiri dan swadaya dalam rangka “berpikir di atas otak
sendiri”, dianggap bukan sebagai ciptaan maupun anugerah Tuhan, lantas
mengkultuskan benda mati yang diberi judul “Kitab Suci” dalam kemasannya seolah
sebagai satu-satunya ciptaan Tuhan. Lantas, otak kita ini ciptaan siapa
sehingga harus digadaikan bahkan di-tabu-kan? Sekalipun, adalah mustahil Tuhan
yang “Maha Kuasa” dimonopolisir lidahnya oleh sosok semacam “nabi” (messenger)—seolah Tuhan kalah canggih
dengan broadband secara sinyal radio
dan televisi yang “tune in”.
Ketika terdapat umat mareka
yang menyatakan—secara implisit sekalipun—bahwa terdapat sesuatu yang bukan
merupakan ciptaan Tuhan, atau terjadi tanpa kuasa, rencana, ataupun seizin dari
Tuhan, itu sama artinya sang umat sudah “MURTAD”. Bukti : Mereka, pada satu
sisi, mengklaim bahwa dogma keyakinan keagamaannya mengajarkan bahwa tiada yang
dapat terjadi tanpa seizin, kuasa, maupun rencana Tuhan. Karena semua terjadi
atas seizin, kuasa, maupun rencana Tuhan, artinya semua ini adalah ciptaan
Tuhan, termasuk oksigen yang kita hidup sehari-harinya. Namun, lagi-lagi,
inkonsistensi mewarnai dogma-dogma yang berlaku dalam keyakinan mereka sendiri,
dengan bersikap seolah-olah terdapat hal-hal lain atau kejadian-kejadian
tertentu yang mana bukan ciptaan Tuhan, bukan seizin, bukan juga kuasa, serta
bukan pula atas rencana Tuhan.
Kembali pada contoh ilustrasi
sebelumnya, seseorang menjadi “kaf!r”, juga atas dasar kehendak Tuhan, sehingga
ketika umat suatu agama menghakimi sang “kaf!r”, itu sama artinya
“mengkriminalisasi” sosok Tuhan. Akibat kelirutahu, tahu namun keliru, mereka
memandang bahwa cara-cara mereka tersebut membuat Tuhan merasa “tersanjung”,
aksi radikalisme sebagai cara menegakkan “kerajaan Tuhan” serta sebagai
“pejuang Tuhan” (memangnya ada, yang bukan “kerajaan Tuhan”?), seolah-olah
Tuhan butuh dan bergantung pada tangan-tangan kecil manusia kerdil itu,
seolah-olah Tuhan tidak benar-benar “Maha Kuasa” sehingga membutuhkan
pertolongan para manusia untuk memberangus eksistensi “kaf!r”—itulah yang kerap
penulis sebut sebagai, “pujian yang (sejatinya sedang) menista keagungan sosok
Tuhan”.
Tuhan, Maha Kuasa, cukup putus
asupan penghasilan sumber nafkah pada “kaf!r” tersebut bila Tuhan memang ingin
memusnahkan mereka. Mereka pikir siapa diri mereka, hendak mendahului kehendak
Tuhan serta “main hakim sendiri”, yang bahkan tidak jarang (lagi-lagi)
mengatas-namakan Tuhan? Artinya dan secara singkat kata, semuanya adalah
buatan, seizin, serta kuasa Tuhan, tidak terkecuali terciptanya Pancasila. Sehingga,
pertanyaan yang lebih logis ialah : Memangnya ada, yang bukan buatan Tuhan?
Para pelaku aksi intoleransi dan intoleransi, setelah meninggal dunia, Tuhan di
alam baka tetap akan mengajukan pertanyaan yang sama kepada yang bersangkutan,
“Memangnya kamu pikir ada, yang bukan
ciptaan saya, Tuhan?”
Hal tersebut merupakan logika
atau penalaran yang sangat amat sederhana, namun mereka yang mengaku ber-Tuhan
justru “gagal paham”, akibat menganak-tirikan fungsi penting otak pemberian
Tuhan, gagal untuk berpikir secara logis, bahkan lupa bahwa otak yang ada di
kepalanya bukanlah pajangan belaka, namun juga merupakan pemberian Tuhan bagi
umat manusia. Anugerah terbesar pemberian Tuhan, adalah otak di dalam kepala
kita masing-masing, dan itulah “agama tertinggi”, dengan bersikap aktual
alih-alih mengimani delusi yang sifatnya “konon, konon, konon”.
Fakta demikian juga
mengartikan, para umat bersangkutan tidak benar-benar yakin pada isi ajaran
agama dan kitab agamanya sendiri yang menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang
dapat terjadi diluar kuasa dan izin Tuhan. Kalangan internal mereka itu
sendiri yang menista sosok Tuhan, dengan bersikap seolah-olah ada sesuatu yang
sifatnya diluar kuasa, kehendak, seizin, maupun bukan ciptaan Tuhan. Itu sama ironisnya
seperti ketika seorang manusia “penjilat bokong Tuhan” yang berkata penuh
spekulasi—seolah dapat membuat Tuhan merasa “tersanjung” oleh sang umat
penjilat—bahwa pandemik akibat virus menular adalah dari Tuhan, jadi tidak
perlu vaksin maupun menerapkan protokol kesehatan.
Itu sama seperti hendak
mengatakan, bahwa vaksin bukanlah ciptaan Tuhan, dan bahwa bila seseorang
terkena penyakit “usus buntu”, maka tidak perlu berobat ke dokter, cukup berdoa
kepada Tuhan, karena itu “usus buntu” adalah Tuhan yang buat dan ciptakan. Anda
lihat, ketika seseorang umat mengatas-namakan nama Tuhan, maka disaat bersamaan
diri yang bersangkutan sejatinya akan dan sedang menista Tuhan yang mereka
sembah lewat berbagai spekulasi dan berbagai inkonsistensi antar dogma yang
mereka kumandangkan, baik secara eksplisit maupun secara implisit.
JIka betul bahwa semua penyakit
dan musibah bersumber dari Tuhan sebagai hipotesis, pertanyaannya ialah apakah
logis, kita meminta pertolongan dan berterimakasih kepada Tuhan ketiak
disembuhkan atau ditolong dari musibah mematikan? Itu ibarat oknum penebar “ranjau
paku”, yang disaat bersamaan membuka kios tambal ban bagi pengendara yang
kendaraannya mengalami kebocoran ban akibat terkena “ranjau paku”, dengan
pemerasan berupa ongkos tambal ban, hanya saja Tuhan diposisikan memeras
manusia lewat aksi pamer kekuasaan agar umat manusia menjual dan menggadaikan
jiwanya untuk menjadi budak sembah-sujud Tuhan.
Hanya Buddhisme, yang
mengajarkan bahwa otak di kepala kita adalah anugerah bagi umat manusia dan
diberikan peran yang terhormat, dimana dengan otak di masing-masing kepala kita
inilah, kita dapat menilai dengan otak kita sendiri, apakah suatu gagasan adalah
bermanfaat atau tidak bermanfaat, tercela atau tidak tercela, dicela atau
dipuji oleh para bijaksana, jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini
mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian
menganggapnya? Untuk selengkapnya, Sang Buddha membabarkan khotbah yang dikenal
dengan nama “Kalama Sutta” berikut:
Aṅguttara Nikāya
Kesamutti Sutta
[Di terjemahkan dari pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi]
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah
pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta.
Pada saat itu, para penduduk
Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra
Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di
Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar
sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan
sempurna … [seperti pada 3:63] … [dan] mengungkapkan kehidupan spiritual yang
lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui
para Arahant demikian.”
Kemudian para penduduk Kālāma
di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang
Bhagavā dan duduk di satu sisi … [seperti pada 3:63] … beberapa hanya berdiam
diri dan duduk di satu sisi. Sambil duduk di satu sisi, para penduduk Kālāma itu
berkata kepada Sang Bhagavā:
“Bhante, ada beberapa petapa
dan brahmana yang datang ke Kesaputta. Mereka menjelaskan dan membabarkan
doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menjelek-jelekkan,
mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan
brahmana lainnya datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan
membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan,
menjelek-jelekkan, mencemooh, dan mencela doktrin yang lain. Kami menjadi
bingung dan ragu-ragu, Bhante sehubungan dengan petapa mana yang mengatakan
yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”
“Adalah selayaknya bagi kalian
untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian
untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian
sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, O penduduk
Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin,
kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan
setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian
berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika, penduduk Kālāma,
kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak
bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana;
hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan
penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.
(1) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika keserakahan muncul dalam diri seseorang, apakah
hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang penuh keserakahan, dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya
dikuasai oleh keserakahan, akan melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak
diberikan, melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan mengucapkan
kebohongan; dan ia menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah
itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika kebencian muncul dalam diri seseorang, apakah hal
itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, pikirannya
dikuasai oleh kebencian, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang
lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan
penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika delusi muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu
demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi bahaya baginya, Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang penuh delusi, dikendalikan oleh delusi, pikirannya dikuasai oleh
delusi, akan melakukan pembunuhan … dan ia menganjurkan orang lain untuk
melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan
baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?”
– “Tidak bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” –
“Tercela, Bhante.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela
oleh para bijaksana, Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah
hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau
bagaimanakah kalian menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka
hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah kami
menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal
ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan,
akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,” maka kalian harus meninggalkannya,’
adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Marilah, para penduduk Kālāma.
Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan
teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah
merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian
berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui
untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini
adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika
dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan
kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya.
(1) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang
yang tanpa keserakahan, tidak dikendalikan oleh keserakahan, pikirannya tidak
dikuasai oleh keserakahan, tidak akan melakukan pembunuhan, tidak mengambil apa
yang tidak diberikan, tidak melakukan pelanggaran dengan istri orang lain, dan
tidak mengucapkan kebohongan; dan ia juga tidak akan menganjurkan orang lain
untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-bencian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma,
seseorang yang tanpa kebencian, tidak dikendalikan oleh kebencian, pikirannya
tidak dikuasai oleh kebencian, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga
tidak akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurut kalian,
para penduduk Kālāma? Ketika ketidak-delusian muncul dalam diri seseorang,
apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”
“Demi kesejahteraan baginya,
Bhante.”
“Para penduduk Kālāma, seseorang
yang tidak terdelusi, tidak dikendalikan oleh delusi, pikirannya tidak dikuasai
oleh delusi, tidak akan melakukan pembunuhan … dan ia juga tidak akan
menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa. Apakah itu akan
mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurut kalian, para
penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –
“Bermanfaat, Bhante.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Bhante.”
– “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji oleh para bijaksana,
Bhante.” – “Jika diterima dan dijalankan, apakah hal-hal ini mengarah menuju
kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah kalian
menganggapnya?” – “Jika diterima dan dijalankan, maka hal-hal ini akan mengarah
menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah kami menganggapnya.”
“Demikianlah, para penduduk
Kālāma, ketika kami berkata: ‘Marilah, para penduduk Kālāma, jangan menuruti
tradisi lisan … Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri:
“Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal
ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan,
akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,” maka kalian harus hidup
sesuai dengannya,’ adalah karena alasan ini maka hal ini dikatakan.
“Kemudian, para penduduk
Kālāma, siswa mulia itu, yang hampa dari kerinduan, hampa dari niat buruk,
tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian, berdiam dengan meliputi
satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih … dengan pikiran yang
dipenuhi dengan belas-kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan
altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian
pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke
bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk
seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia
dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas,
tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk,
tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah dan
akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul di alam tujuan yang baik,
di alam surga.’
“Jaminan ke dua yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak
ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam
kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk,
bebas dari kesulitan.
“Jaminan ke tiga yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku
kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana
mungkin penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’
“Jaminan ke empat yang ia
menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku
kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, para penduduk
Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk , tidak
kotor, dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”
“Demikianlah, Sang Bhagavā!
Demikianlah, Yang Sempurna! Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan
seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan murni, telah memenangkan empat
jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia
menangkan … [seperti di atas, hingga:] … Jaminan ke empat yang ia menangkan
adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku
kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, Bhante, yang
pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor, dan
murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.
“Bagus sekali, Bhante! … Kami
berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha. Sudilah Sang Bhagavā menganggap kami sebagai
umat-umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir
hidup kami.”
Tiada pemaksaan otoritas, itulah
nafas Buddhisme sebagaimana diberikan teladan nyata kehidupan Sang Buddha. Kita
tidak dipaksa ataupun diancam untuk “percaya” pada “kalama sutta” di atas,
melainkan kita menjadi “tahu”, “mafhum”, serta “memaklumi”, bahwa “kalama sutta”
adalah patut dan layak kita terima dan terapkan karena bermanfaat, tidak
tercela, serta tidak mengundang bahaya, sehingga secara personal kita
memberikan pengakuan terhadapnya karena nilai aktual. Kita melihat suatu
pendapat (dalam hal ini pembabaran Sang Buddha dalam “kalama sutta”) dan kita memiliki
kebebasan mutlak untuk mengujinya dengan fakta-fakta yg ada di luar maupun di
dalam diri, dimana pada kenyataannya yang namanya percaya secara “begitu saja” pada
suatu otoritas (kitab suci, guru, sesepuh, dll), telah ternyata mengandung bahaya
dibaliknya bila tidak disikapi secara arif dan bijaksana.
Ada yang menyebutkan, “kalama
sutta” diperuntukan bagi mereka yang bingung memilih agama dari begitu banyaknya
keyakinan keagamaan yang ditawarkan publik luas kepadanya, dehingga dianjurkan
untuk tidak menerima begitu saja, namun mencernanya sendiri lewat pengalaman
langsung sebelum menelannya. Itulah ciri khas ajaran Sang Buddha yang
menbedakan bila kita bandingkan dengan agama-agama lain yang mengharuskan orang-orang
ikut agamanya tanpa penyelidikan lebih dulu, bertolak-belakang dengan agama
seperti “Islam” yang bermakna “kepatuhan secara MUTLAK” dimana mempertanyakan
atau sekadar mengkrisi adalah hal yang tabu. Manusia sejak lahir pun mempunyai
agama yang dibebankan kepadanya oleh orangtuanya, yang konsekuensinya “mau tidak
mau” sejak dari dini mereka (sekadar) “mimikri” tanpa ada penyelidikan, akan
tetapi lebih berdasarkan kebiasaan dalam keluarga atau lingkungan sekolahnya,
adat istiadat bangsanya, dsb.
Ajaran Sang Buddha konsisten
mengenai kebebasan berpikir dan berkeyakinan, menjadikan Dhamma begitu unik dan
menawarkan kepada kita “lain daripada yang lain”, tiada pemaksaan, tiada
kungkungan, tiada ancaman, tiada iming-iming, tiada janji-janji surgawi yang “too good to be true” (alias
“muluk-muluk”), dimana umatnya diberi kebebasan untuk memilih ajaran beliau
yang cocok dengan kehidupan kita masing-masing, dimana hanya ada di Buddhism.
Begitupula terhadap apa yang sebelumnya dipandang sebagai ajaran yang
mengandung “mitos” atau “dongeng” seperti pengungkapan mengenai “kelahiran
kembali” (rebirt / reborn) serta
“karma kelompok” sebagaimana dibabarkan Sang Buddha dalam Jataka, telah
terungkap kebenarannya oleh sains modern lewat “past life regression” oleh para psikolog berlisensi.
Ada pihak yang memberi
testimoni : “Isi Kalama sutta sendiri
adalah paradoks, isinya men-challenge diri sendiri. Tetapi jika kita
mengaplikasikan isi itu terhadap Kalama Sutta sendiri, maka buat saya Kalama
Sutta saya percaya dan yakini isinya bermanfaat, mengandung kebenaran dan
membawa kebahagiaan.” Banyak kalangan skeptis, ataupun non-Buddhist, yang
sengaja tanpa simpatik mencoba mengolok-olok sutta di atas, dengan tudingan
bahwa “mengapa kita harus percaya kepada Sang Buddha yang
mengajarkan untuk tidak percaya begitu saja?”—tudingan mana dialamatkan
oleh pihak-pihak yang semata hanya membaca sutta ini saja, tanpa pernah
menyentuh ajaran Sang Buddha lainnya dalam sutta-sutta lain, sehingga mereka
hanya bermain dalam ranah “spekulasi” berupa “akrobatik kata”, dimana mereka
bahkan tidak paham atas tudingan maupun pertanyaan mereka sendiri.
Dalam banyak sutta, Sang Buddha
kerap menguraikan hal berikut kepada para murid-Nya ataupun kepada para perumah
tangga, secara konsisten antara ucapan dalam berbagai khotbah dan teladan nyata
hidup Beliau, salah satunya kutipan sutta berikut:
Aku tidak mengajar untuk
menjadikanmu sebagai murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.
Aku tidak tertarik untuk memutuskan hubunganmu dengan
gurumu yang lama.
Aku bahkan tidak tertarik untuk mengubah tujuanmu,
karena setiap orang ingin lepas dari penderitaan.
Cobalah apa yang telah Kutemukan ini,
dan nilailah oleh dirimu sendiri.
Jika itu baik bagimu, terimalah.
Jika tidak, janganlah engkau terima.
[Digha Nikaya 25; Patika Vagga;
Udumbarika-Sihanada Sutta]
Ada atau tidaknya umat, Sang
Buddha tetap makan satu kali dalam sehari. Banyak atau tidak banyaknya umat
pengikut, Sang Buddha tetap hanya tidur beralaskan alas sederhana dan berjubah
kain bekas. Diakui ataupun tidaknya, Sang Buddha sejak semula tidak berminat
mengajarkan Dhamma kepada umat manusia yang pandangannya tertutup oleh
kekotoran batin (dan baru bersedia dengan welas asih membabarkan Dhamma ketika
makhluk Brahma memohon Sang Buddha untuk bersedia memutar roda Dhamma bagi
manusia-manusia yang sedikit kekotoran batinnya agar tersadarkan dan turut
tercerahkan). Menjadi pembabar agama minoritas ataupun mayoritas, Sang Buddha
tetap hidup selibat dan tidak menghimpun harta kekayaan selain mangkuk untuk
berpindapatta dan sehelai jubah ditubuh, pergi mengembara demi kebahagiaan
umat, dan melepaskan kemewahan dibalik takhta, harta, ataupun istana.
Karenanya, adalah keliru besar
pihak-pihak yang mencoba menuding ajaran Sang Buddha, seolah-olah Sang Buddha
butuh diakui dan butuh pengikut terlebih menuntut dipercayai. Senyatanya, Sang
Buddha tidak butuh umat pengikut, namun umat manusia yang merasakan sendiri
lewat pengalaman langsung manfaat dibalik Dhamma yang dibabarkan Sang Buddha,
memilih dengan “kehendak bebas” untuk berlindung dan menjadi siswa-siswi Sang
Buddha, tanpa adanya ancaman apapun, juga tanpa adanya iming-iming ataupun
janji-janji apapun. Metode ilmiah modern, menerapkan prinsip serupa, yakni
berangkat dari hipotesis, kemudian dilakukan uji empirik, sebelum kemudian
ditarik sebuah kesimpulan, itulah yang disebut sebagai “aktual” (pembuktian
lewat pengalaman langsung), tidak berhenti sebatas “intelektual”. “Intelektual”
tanpa disertai “aktual”, yang ada ialah “spekulasi” yang sangat dijauhi oleh
Buddhisme.
Sedikit-banyaknya, seorang
ilmuan akan menaruh keyakinan kepada berbagai hipotesis yang dimiliki dan
dirumuskan oleh sang ilmuan, dan dari keyakinan itulah ia bergerak untuk
mengujinya secara empirik. Tanpa ada keyakinan sama sekali, maka seorang ilmuan
sekalipun akan jatuh dalam kondisi “skeptik” erta “apatisme” yang membekukan,
yang akibatnya tidak akan pernah bergerak untuk melakukan uji empirik terhadap
berbagai hipotesisnya, alias “berjalan di tempat”. Banyak hipotesis yang gugur
dan gagal dalam uji empirik, namun sang ilmuan tidak pernah menyerah untuk
mengembangkan dan meluaskan hipotesisnya, dan kembali ke uji empirik untuk
mengujinya.
Namun demikian, keyakinan sang
ilmuan terhadap hipotesisnya, bukanlah “produk akhir”, namun “produk awal”
sebagai bahan bakar atau motor penggerak untuk melakukan pengujian secara
langsung lewat pengalaman pribadi. Sama halnya dengan umat Buddhist, keyakinan
terhadap Sang Buddha, teladan, maupun ajaran-Nya, merupakan “produk awal”,
bukan “produk akhir” yang telah final dan mengikat. Terdapat selentingan
komentar, dengan kutipan berikut:
versi Iman : >:D
Aku mengajar untuk menjadikanmu sebagai murid-Ku.
Aku sangat tertarik untuk membuatmu menjadi murid-Ku.
Aku sangat sangat tertarik untuk memutuskan hubunganmu
dengan gurumu yang lama.
Aku bahkan mampu mengubah tujuanmu,
karena setiap orang tidak mungkin lepas dari penderitaan.
Yakinlah apa yang telah Kutemukan ini,
dan Imanilah oleh dirimu sendiri.
Jika itu baik bagimu, terimalah.
Jika tidak, tetaplah terima, kalau tidak neraka jahanam
imbalannya...
Sekali lagi, Jika tidak, neraka jahanam balasannya..
===
Menurut saya, maksud Kalama
Sutta adalah: “jangan cepat percaya”, bukan “jangan percaya”.
“Jangan cepat percaya” sebelum
merenungkan, menganalisis, dan membuktikan.
Ini berbeda dari pengertian
“jangan percaya”.
Sang Buddha memberikan pilihan,
bukan instruksi.
Yaitu pilihan untuk percaya
atau untuk tidak percaya.
Jika setelah merenungkan,
menganalisis, dan membuktikan bahwa itu benar tapi masih juga tidak percaya
bahwa itu benar ya silakan saja. Sebaliknya, kalau setelah merenungkan,
menganalisis, dan membuktikan bahwa itu salah tapi masih juga percaya bahwa itu
benar ya silakan juga. Hidup ini kan pilihan...
;D
===
iman tetap ada dalam budhisme,
sebagai landasan, tapi bedanya: Buddha mengajarkan juga cara untuk membuktikan
iman.
===
ini sutta salah satu kenapa
saya makin tertarik dg buddisme..... :x
ilustrasi yg pernah saya baca,
spt pedagang yg membeber dagangannya dan membiarkan para calon pembeli melihat
langsung dan menilainya sendiri.
===
dan sptnya memang banyak yg
menganggap sebagian sutta buddha dongeng, tp tetep aja percaya n menjalankan ajaran
buddha ;D
“hayo.. kenapa coba?”
ya karena kalama sutta ini, krn
stlh direnungkan dan dilaksanakan ternyata membawa manfaat untuk org lain dan
diri sendiri/
===
Apa yg tidak dapat kita ketahui
/ belum dapat kita ketahui kebenarannya bukan berarti hal tersebut tidak benar,
tapi belum pasti kebenarannya karena terbatasnya kemampuan kita.
===
Buddhism tidak menuntut umatnya
untuk percaya dan menghapal Dhamma ajarannya, tapi pemahaman atas Dhamma jauh
lebih berguna dari pada sekedar menghapal.
Sama seperti ketika anak
sekolahan maupun anak kuliahan belajar teori-teori para tokoh ilmuan ternama
era abad ke-19 atau abad-abad lampau lainnya, mereka semua belum pernah
berjumpa langsung tokoh-tokoh tersebut, bahkan tidak lagi dapat dibuktikan
mereka benar-benar eksis, seperti Newton, Edison, Tesla, Einstein, Darwin, dan
banyak tokoh-tokoh ilmuan besar lainnya yang hingga kini teorinya tetap dipakai
dan diajarkan, mengapa? Karena ajaran-ajaran dan teori-teori mereka memang
dapat diaplikasikan dan membawa manfaat nyata secara real dan konkret.
Itulah sebabnya, Buddhisme
bukanlah teologi, namun sains, “ehipassiko”
yang bermakna “datang dan buktikan sendiri”, hukum sebab-akibat yang menjadi
soko-guru sains modern, dan berbagai “dongeng” yang kini perlahan namun pasti
mulai dapat dibuktikan kebenarannya semisal “past life” atau “rebirt”
lewat “past life regression” oleh
psikolog bersertifikat. Sang Buddha tidak butuh pujian ataupun sembah-sujud,
juga tidak butuh disanjung karena telah “penuh” serta telah “sempurna”. Hanya
dengan menjadi seorang siswa yang berjalan lurus di jalan Dhamma, itulah cara
menghormat kepada Sang Buddha—itu adalah pernyataan Sang Buddha, yang juga bisa
kita maknai : memuliakan Tuhan bukan dengan menjadi seorang “pendosa penjilat
penuh dosa”, namum menjadi seorang manusia yang mulia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.