Perbedaan antara PERJANJIAN dan PERIKATAN Perdata
Question: Maksudnya apa dan seperti apakah istilah hukum yang bernama “partial annulment”?
Brief Answer: Secara terminologi, “partial annulment” bermakna dibatalkannya satu atau beberapa
perikatan di dalam suatu perjanjian kontraktual—karenanya, hukum dalam aplikasi
dan praktiknya (best practice) tidak
menggunakan logika biner “batal seluruhnya” atau “sahih seluruhnya”, namun bisa
berwujud “gradasi”. Banyak diantara kalangan awam hukum, bahkan juga dikalangan
profesi hukum, yang tidak memahami perbedaan terminologi hukum antara “perjanjian”
dan “perikatan”.
Sebelum membahas perihal “partial annulment”—konsepsi yang relatif masih “asing” bahkan di
telinga kalangan profesi hukum di Indonesia, meski sejatinya sudah lazim
dikenal pada praktik hukum negara-negara lainnya—terlebih dahulu perlu
diluruskan persepsi mengenai “perjanjian” maupun “perikatan”, bahwa keduanya
adalah dua hal yang berbeda namun tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya. Perikatan
perdata bisa terjadi karena didahului oleh suatu perjanjian antara dua atau
lebih pihak, namun juga bisa terjadi akibat hukum (applied by law, semisal tanggung-jawab suami menafkahi keluarganya berlaku
sekalipun tanpa diperjanjikan antara sang suami dan sang istri ataupun anak-anaknya).
Suatu perjanjian yang bersifat bertimbal-balik
(kontraprestasi / resiprokal), selalu terdiri dari dua atau lebih perikatan,
sekalipun surat perjanjian atau surat kontraknya hanya ada satu buah.
Perjanjian yang mana pihak yang berjanji hanya berupa perikatan satu sisi,
tanpa ada kontraprestasi dari pihak lainnya, biasanya berupa surat hibah
ataupun semacam hibah wasiat, dimana satu buah perjanjian demikian hanya
memiliki satu buah perikatan, yakni perikatan berupa dihibahkannya suatu harta
kepemilikan pemberi hibah kepada penerima hibah.
Dalam sebuah alias dalam satu buah surat
perjanjian, dapat terkandung paling sedikit satu jenis dari tiga jenis “prestasi”
(istilah “prestasi” disini ialah suatu terminologi hukum), antara lain : untuk
memberikan / menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan/atau untuk tidak
berbuat sesuatu. Bentuk ragam sub-prestasi dari masing-masing “prestasi”
itulah, yang disesuaikan dengan kerakteristik sifat dan tujuan perjanjiannya,
merupakan berbagai perikatan yang biasanya dituangkan dalam pasal per pasal—adapun
lawan kata dari “prestasi” ialah “wanprestasi”, yang bermakna “ingkar janji”,
meski lebih tepatnya diterjemahkan sebagai “ingkar prestasi”.
Karenanya, dalam satu buah surat perjanjian /
kontrak, dapat terkandung banyak perikatan di dalamnya, baik yang berupa
“klausula baku” maupun yang memang hasil kesepakatan para pihak yang saling
mengikatkan diri menurut “asas kebebasan berkontrak”—meski demikian, suatu
perjanjian tidaklah dapat dibenarkan bilamana terdapat satu atau lebih perikatan
di dalamnya telah ternyata bertentangan dengan hukum negara, kesusilaan, maupun
kepatutan, dimana juga terhadap kebiasaan-kebiasaan praktik niaga meski tidak
diatur secara tersurat, akan secara implisit dianggap juga disepakati dan melekat
didalamnya (Pasal 1337 dan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
PEMBAHASAN:
Akan penulis ilustrasikan
betapa sebuah atau satu buah kontrak, sebut saja jenis Perjanjian Kredit, dapat
memuat beragam perikatan di dalamnya, dengan rincian kontraprestasi (perikatan
yang bertimbal-balik) sebagai berikut:
- untuk menyerahkan sesuatu
: 1.) kreditor menyerahkan sejumlah dana pinjaman kepada debitor; 2.) debitor
mencicil cicilan bulanan dan melunasi hutang saat jatuh tempo; 3.) debitor
menyerahkan sertifikat hak tanah (agunan sebagai jaminan pelunasan hutang); 4.)
kreditor mengembalikan sertifikat hak atas tanah disertai surat “roya” bilamana
pinjaman telah dilunasi oleh debitor; 5.) bunga yang diberlakukan kreditor
berupa bunga rentenir yang mencekik debitor; 6.) memuat pasal “milik beding” (pasal berupa janji bahwa
bilamana debitor ingkar janji / wanprestasi untuk melunasi hutang, maka
kepemilikan atas agunan akan menjadi milik pihak kreditor);
- untuk melakukan sesuatu
: 7.) debitor wajib merawat kondisi objek agunan; 8.) debitor wajib melaporkan
hasil kegiatan usaha dan laporan pembukuan usaha yang dibiayai oleh fasilitas
kredit tersebsut secara berkala; 9.) debitor wajib memastikan izin usahanya
tidak kadaluarsa; 10.) kreditor diberi hak untuk melelang objek agunan bilamana
debitor ingkar janji, secara “fiat
eksekusi” maupun secara “parate
eksekusi”; 11.) debitor wajib mengasuransikan objek agunan; dan
- untuk tidak melakukan
sesuatu : 12.) debitor dilarang mengalihkan kepemilikan agunan kepada pihak
ketiga tanpa seizin pihak kreditor; 13.) debitor dilarang menyewakan agunan
kepada pihak ketiga.
Dari contoh ilustrasi di atas,
terkandung setidaknya tiga belas buah perikatan dalam sebuah Perjanjian Kredit
antara pihak debitor dan pihak kreditornya. Untuk perikatan-perikatan yang
kurang atau tidak diatur secara detail atau bahkan sama sekali tidak diatur dan
disepakati oleh para pihak, maka yang berlaku ialah hukum kebiasaan niaga dan
Undang-Undang. Namun, tidak kesemua perikatan di dalamnya yang telah sesuai
koridor hukum yang berlaku di Indonesia, bilamana perjanjian dibuat dan
dijalankan di Indonesia.
Untuk perikatan nomor ke-5
berupa bunga yang diberlakukan kreditor berupa bunga “rentenir”, serta
perikatan nomor ke-6 berupa klausula “milik
beding”, keduanya adalah klausula yang bertentangan dengan “unsur objektif”
syarat sah perjanjian (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), tepatnya
perihal “causa yang sahih”, dengan ancaman dinyatakan sebagai “batal demi
hukum” (null and void). Isu hukum
yang kerap mengemuka dalam tataran praktik ialah : Apakah artinya, bila
terdapat satu klausula demikian dalam sebuah kontrak / perjanjian kredit, maka
seluruh isi surat perjanjian tersebut akan runtuh “totally”?
Solusinya, telah ternyata dibentuk
oleh praktik peradilan (best practice
bernama “preseden”), yang menyatakan bahwa kontrak atau surat perjanjian itu
sendiri tetap sah dan berlaku mengikat para pihak, namun minus klausula-klausula
yang melanggar hukum, kesusilaan, maupun kepatutan—pada saat itulah, hakim
mengambil peran mengintervensi isi surat perjanjian perdata dan mengevaluasinya.
Bahasa lain “partial annulment”,
ialah “limited annulment”,
yakni merujuk pada kondisi dimana tidak satu buah perjanjian itu yang
dibatalkan sepenuhnya dan untuk seluruhnya, namun “dibatalkan secara terbatas”
alias sebagian kecil diantara pasal-pasal yang diatur di dalamnya yang
dinyatakan “batal demi hukum”—sementara itu surat perjanjiannya sendiri masih
sah dan masih berlaku bagi para pihak, namun tidak lagi memiliki kekuatan hukum
mengikat terhadap pasal-pasal yang dinyatakan “batal demi hukum”.
Bahkan, di negara lain, akibat
tuntutan perkembangan zaman, dikenal pula variasi-variasi terminologi hukum
semacam “partial divorce” Vs. “total divorce”, “partial annulment” Vs. “total
annulment”, dsb. Ada pula dikenal terminologi semacam “absolute and limited divorce”—diesbutkan : A limited divorce is a legal action where a couple’s separation is
supervised by the court. A limited divorce does not end the marriage.
A limited divorce, also called a legal separation, occurs when a married
couple separates but remains legally married, either temporarily or
permanently. An absolute divorce permanently ends the marriage,
terminates any property claims, and permits remarriage.
Disebutkan pula : Many states offer couples the option to file
for a legal separation, which is sometimes called “limited divorce” or “divorce
from bed and board”. Limited
divorce is a legal action monitored by the court. A partial or qualified
divorce, by which the parties are separated and forbidden to live or cohabit
together, without affecting the marriage itself—di Indonesia dikenal
istilah “pisah meja dan ranjang”, dan sudah sejak lama terdapat pengaturannya
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia, namun disayangkan bahkan
lembaga peradilan maupun kalangan profesi hukum di Indonesia sama sekali tidak
mengelaborasinya, dimana juga tren di Indonesia selalu berupa “total divorce” alih-alih “limited divorce”, sehingga memang cukup
ekstrem mengingat tiadanya edukasi hukum yang memadai oleh para praktisi hukum
kepada klien mereka, bahwa terdapat opsi lain daripada memilih “total divorce”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.