Kelirumologi alias Kelirutahu, Tahu namun Keliru
Kelirumologi PEJABAT dan MANTAN PEJABAT yang
Melakukan Tindak Pidana
Question: Mengapa dalam berbagai pemberitaan, disebutkan bahwa seorang “mantan pejabat” tertangkap dan disidangkan lalu dihukum karena korupsi. Bukankah yang namanya korupsi maupun kolusi itu artinya si pelaku ataupun tersangkanya sedang dalam rangka menjabat jabatan kenegaraan ataupun pemerintahan pada saat kejahatan korupsi ataupun kolusi ia lakukan? Mengapa justru dalam berita-berita di media massa, dipakai istilah “mantan pejabat”, alih-alih “pejabat”? Bukankah bila seorang “pejabat” yang melakukan korupsi maupun kolusi, maka ancaman hukumannya akan diperberat ketimbang yang “bukan pejabat”?
Brief Answer: Benar bahwa telah terjadi salah-kaprah
berlarut-larut mengenai penggunaan redaksional antara “mantan pejabat” dan
“pejabat”, seolah-olah “mantan pejabat” merujuk kepada seseorang individu warga
yang sebelumnya pernah menjabat suatu “jabatan” di bangku kekuasaan ataupun
pemerintahan entah lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, kemudian
tersandung dalam perkara tindak pidana kriminil yang dilakukan olehnya saat ia
sudah tidak lagi menjabat semisal ketika ia sudah pensiun atau dipecat dari
instansinya dahulu bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara.
Ketika pers ataupun peliput lebih memilih
penggunaan frasa “mantan pejabat”, maka memang menjadi tidak ubahnya berita
mengenai kerancuan seorang pensiunan sebagai pelaku yang melakukan suatu tindak
pidana saat dirinya telah pensiun, alih-alih dipecat karena tersandung kasus
korupsi ataupun kejahatan lainnya saat masih “menjabat”. Ketika konstruksi
fakta hukumnya ialah seseorang “pejabat” tertangkap tangan melakukan aksi
kriminal, korupsi, maupun kolusi, maka pihak terdakwa ataupun tersangka
tidaklah tepat diberi “gelar” sebagai “mantan pejabat”, akan tetapi
“pejabat”—sekalipun kini telah tidak lagi menjabat karena telah pensiun atau
karena telah dipecat saat tindak pidana baru terungkap dan diproses secara
hukum pelakunya.
Seorang pensiunan atau “mantan pejabat” yang
melakukan aksi kriminil ketika telah tidak lagi menjabat, maka berlaku
ketentuan umum hukum pidana. Akan tetapi terdapat perbedaan perlakuan berupa
penambah berat (pemberatan) ancaman hukuman bagi seorang pelaku “pejabat” yang
melakukan aksi kriminal saat sedang “menjabat” sebagai Aparatur Sipil Negara
ataupun sebagai pejabat tinggi di pemerintahan. Karenanya, penting untuk
memahami terminologi hukum pidana perihal “tempus
delicti”, yang bermakna waktu terjadinya tindak pidana, sebagai penentu
apakah pelakunya masih sedang menjabat sebagai “pejabat” ataukah sudah tidak
menjabat jabatan apapun alias sebagai bagian dari anggota masyarakat sipil.
Konsekuensi yuridis dibalik kejadian hukum berupa
tindak pidana oleh seseorang Aparatur Sipil Negara maupun pejabat pemerintahan,
dimana pelakunya bukanlah “mantan” namun seorang “pejabat”, maka berlaku
ketentuan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar
suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan
perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan
kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.”
PEMBAHASAN:
Menggunakan istilah “mantan”
bagi pejabat pemerintahan yang tertangkap tangan karena aksi korupsi maupun
aksi kriminil lainnya, merupakan bahasa “penghalusan” yang tidak tepat karena kurang
arif juga kurang bijaksana, karena membuat distorsi fakta bagi khalayak umum,
seolah-olah pelakunya bukan lagi dan tidak sedang menjabat saat melakukan aksi
kejahatannya. Hal tersebut terutama dalam konteks pencitraan, dimana berbagai
media menuliskan atau mewartakan bahwa “mantan menteri anu”, “mantan presiden
anu”, “mantan pejabat kepolisian anu”, “mantan kepala lembaga anu”, “mantan
hakim anu” tersandung kasus korupsi hingga kriminalitas, sehingga timbul kesan
di benak audiens, seolah-olah pelakunya yang tertangkap-tangan karena kejahatan
adalah sudah tidak lagi menjabat saat melakukan perbuatan jahat demikian.
Itulah salah satu cerminan
“kelirumologi” yang kerap menjadi salah-kaprah di tengah-tengah masyarakat
kita. Contoh lainnya ialah apa yang dinamakan sebagai “pemerasan terselubung”
ala penebar ranjau paku berkedok membuka lapak tambal ban bagi para pengendara
yang ban motornya bocor akibat terkena ranjau paku. Disebutkan oleh sejumlah
pihak yang memandang dirinya sebagai “spiritualis”, seseorang bisa sampai terkena
“black magic” adalah karena seizin dan
kuasa disamping rencana Tuhan.
Tiada yang dapat terjadi tanpa
seizin maupun kuasa Tuhan, demikian jargon mereka, termasuk urusan pengaturan
skor sepak bola, ayam di anu bertelur sekian butir pada hari ini, dan bebek
tetangga bertelur sekian butir pada hari esok, tidak terkecuali jutaan
unggas-unggas lainnya di seluruh penjuru dunia, sampai pada urusan tetek-bengek
sekalipun umur umat manusia sudah setua usia Planet Bumi ini—penulis menyebutnya
sebagai “Profesor Ling-Lung”, karena masih juga terus-menerus mencobai manusia,
tanpa mau belajar dari kegagalan demi kegagalan percobaan-percobaan sebelumnya
dimana “kelinci percobaannya” ialah umat manusia, “untuk anak sendiri dicoba-coba”,
dan sekalipun manusia yang tidak lolos cobaan bukanlah “salah bunda mengandung”
namun tetap juga dibuang ke tong sampah bernama “neraka jahanam”, seolah-olah Tuhan
tidak benar-benar “Maha Tahu” bahkan juga tidak paham atas makhluk ciptaannya
sendiri sehingga masih juga perlu dicoba-coba, seolah-olah hidup sebagai manusia
ini belum sudah cukup berat sampai masih juga dicoba-coba dengan gangguan
preman utusan Tuhan bernama “jin laknat berbau busuk”.
Sang “spiritualis” menasehati :
“Semisal Dia memperkenankan, ya terima
saja santetnya, perbanyak memohon ampun, perbanyak ibadah dan berserah diri. Gadaikan
jiwa demi mendapatkan iman setebal tembok beton. Jangan lupa sertakan Dia dalam
setiap aktivitas, memohon perlindungan. Kenapa misal itu (santet, sihir,
tenung, teluh) bisa terjadi pada orang yang alim dan beriman, balik lagi
semata-mata atas izin Allah. Tuhan punya hak prerogatif untuk menguji umat-umat
pilihan-Nya.” Tugas kita sebagai makhluk ciptaan-Nya adalah, menggadaikan
jiwa untuk menjadi penyembah Tuhan yang seolah dilahirkan hanya untuk melakukan
ritual sembah-sujud, ibarat rakyat jelata yang harus memuja-muji dan menyembah
raja yang lalim dan tiran, raja mana akan senang ketika dipuji dan akan murka
ketika tidak disembah.
Lantas, mengapa pelaku “black magic” justru dilempar ke neraka
sementara mereka semua hanyalah bidak catur permainan Tuhan—permainan mana sama
sekali tidak lucu, tidak sehat, dan tidak cerdas—yang mana tangan mereka diperalat
demi menyukseskan rencana dan kuasa Tuhan? Dimana “Maha Kuasa”-nya bila harus
pakai tangan makhluk-makhluk jahat semacam bangsa jin? Berarti, “the Big Boss” bangsa jin jahat ialah Tuhan
itu sendiri? “Tuhan butuh kami”, klaim
bangsa jin dengan berbangga diri dan mempromosikan dirinya kepada para manusia-manusia
jahat pengguna “black magic”.
Bagaimana mungkin umat manusia
justru mempersekutukan Tuhan dngan jin jahat yang busuk dan kotor penuh
kekotoran batin? Ibarat hendak menyatukan dua zat yang tidak saling bersenyawa
antara air dan api? Hal itu menyerupai seorang kriminil pelaku aksi tindak
pidana asusila terhadap korbannya, jangan salahkan si pelaku ataupun
memenjarakan sang pelaku, namun tunjuklah hidung Tuhan sebagai “aktor
intelektual”-nya. Itulah yang disebut sebagai sewenang-wenang dan “abuse of power”, teladan yang buruk dan
tidak mendidik.
Secara tidak konsisten, seperti
yang sudah-sudah, terdapat kalangan internal mereka sendiri yang kemudian
menyatakan, karena itulah sebagai seorang umat yang memiliki iman, tak sepatutnya
seseorang takut dengan santet atau sihir, namun percayakan semuanya pada Allah.
Pernyataan demikian ibarat “akrobatik kata”, tampak logis namun sejatinya
saling menegasikan pernyataan satu sama lainnya dari pihak yang sama. “Harus percaya kalo Allah ngasih ayat dalam Kitab
Agama kita ini buat membantu para umatnya dijauhkan dari jin setan. Mohon
kepada Allah agar menjauhkan mara bahaya termasuk jin-jin jahat,” ujar sang
pemeluk ideologi “pengampunan / penghapusan dosa”—pendosa, hendak berceramah
perihal hidup yang baik, suci, dan mulia? Bukankah hanya pendosa, yang butuh
iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa”?
Mereka mengklaim, membaca ayat-ayat
Kitab Agama mereka bisa membentengi diri dari jin jahat, artinya Tuhan turunkan
ayat untuk bentengi diri umat manusia dari kuasa diri Tuhan itu sendiri? Katanya
setan maupun jin tidak suka terhaap suara speaker tempat ibadah mereka
mengumandangkan ayat-ayat ritual? Agama mereka juga disebutkan mengajarkan umatnya
untuk membaca doa atau ayat-ayat ketika hendak makan. “Di dalam setiap kegiatan sehari-hari, hendaknya membaca doa terlebih
dahulu agar terhindar dari gangguan gaib,” sebut mereka. Itu ibarat manusia
membeli polis asuransi, untuk membentengi diri dari kuasa Tuhan, tidak
benar-benar yakin bahwa Tuhan “Maha Tahu” apa yang terbaik bagi diri
masing-masing umatnya, menolak cobaan, memohon untuk tidak diberi cobaan,
mengeluhkan cobaan, bahkan mencoba menggurui Tuhan mereka sendiri.
Banyak masyarakat kita di
Indonesia, yang menjadi konsumen jasa perdukunan. Mengapa praktik perdukunan di
Indonesia, tumbuh subur? Karena faktor penegakan hukum negara yang belum
mengakui kejahatan berbasis “magic”
sebagai kejahatan yang harus ditumpas dan diberantas serta dilarang keras.
Disamping itu, minimnya keseriusan masyarakat kita itu sendiri untuk
membumi-hanguskan praktik “klenik”, disamping fakta empirik bahwasannya
rata-rata masyarakat “agamais” kita kerap menjadi pengunjung jasa praktik
perdukunan, dengan dalih klise : “Ketika
sakit, kita ke dokter. Ketika ada masalah, mengapa tidak boleh ke dukun?
Ditolak pacar, dukun bertindak!”
Manusia saling interdependen dengan
sesama manusia lainnya, adalah bagian dari hakekat manusia sebagai makhluk
sosial. Namun ketika umat manusia bersekutu dan dependen atau bahkan berlindung
kepada makhluk yang lebih rendah derajatnya, semacam makhluk busuk jahat
semacam bangsa jin, itu sama artinya “kemerosotan” dan “merosot”. Boleh percaya
dan boleh juga tidak, durasi masyarakat Indonesia pergi ke perdukunan, sudah
sama intensnya dangan masyarakat yang membeli obat pereda pusing di warung,
mulai dari urusan percintaan, bisnis, kompetisi, relasi, dendam, iri hati,
sengketa, dan lain sebagainya. Sekalipun akal sehat sudah cukup menjelaskan,
tiada satupun orang yang senang dimanipulasi menjadi korban ilmu pengikat hati,
korban penyakit kiriman, korban pengurasan kekayaan, korban kejiwaan, bahkan
korban jiwa.
Sebagian masyarakat kita bahkan
terbenam ke dalam kelirumologi “Ilmu Magis Putih (white magic) Itu Halal”, namun benarkan? Faktanya, ilmu hitam dan
ilmu putih sama saja, berseukut dengan roh setan, mahkluk dari alam “apaya”
(alam tanpa kebahagiaan) yang lebih rendah derajatnya daripada manusia itu
sendiri). Semata dengan melekatkan embel-embel “putih” (white), bahkan berbohong ataupun mencuri pun dipandang sebagai hal
yang positif, sekalipun secara berangsur-angsur akan bergeser menjelma “grey lie” lalu jatuh dalam lubang “black lie” meski dari mulanya adalah “white lie”. Kemampuan untuk membuat distingsi
tegas antara mana yang baik dan jahat, yang benar dan yang salah, yang baik dan
buruk, yang mulia dan yang tercela, adalah kecerdasan intelektual paling mendasar
yang semestinya dikuasai oleh masing-masing individu yang mengaku berakal-budi—dan
itulah tujuan utamanya dibalik otak, anugerah yang dimiliki umat manusia, bukan
untuk digadaikan.
Ada seorang tokoh yang
mengungkapkan fakta sebenarnya dibalik praktik klenik perdukunan di Indonesia,
yang berkedok “ilmu putih”—dimana menurut penelitian seseorang, semua dukun
sekalipun praktiknya tergolong jahat, seperti memasang susuk, pelet, santet,
dsb, namun mengaku memiliki kekuatan magisnya bersumber dari Tuhan, lagi-lagi
mengatas-namakan Tuhan—dengan uraian sebagai berikut:
Ada anggapan bahwa ilmu hitam
digunakan untuk membunuh, merusak. Anggapan ini tidak salah. Akibatnya jelas:
kematian, sakit, bangkrut, dan lain-lain yang tidak menyenangkan. Sedangkan
ilmu putih digunakan untuk menyembuhkan, menolong orang lain. Anggapan ini
tidak salah, meski akibat akhirnya juga tidak berbeda dengan penggunaan ilmu
hitam.
Contoh, orang yang berobat pada
dukun ilmu putih, kesembuhan tidak berlangsung permanen. Penyakit justru bisa
menjadi lebih parah dalam jangka waktu tertentu setelah kesembuhan semu
diterima. Penglarisan juga ada yang menggunakan ilmu putih, seperti bila
menggunakan keris atau jimat lain—[NOTE : Namun disaat bersamaan mengeksploitasi
konsumennya lewat manipulasi, dimana bila para konsumennya sejak semula tahu
keadaan yang sesungguhnya maka mereka tidak akan bersedia berurusan dengan sang
pemakai jasa bangsa jin.]
Akibatnya akan sama, menjual
jiwa kepada setan dan kutuk bagi pengguna dan keturunan. Atau mengusir setan
dengan menggunakan ilmu putih, yang terjadi setan tidak keluar dari tubuh
korban dengan mantra atau ritual yang dilakukan. Tidak ada setan yang saling
berlawanan, semua setan bersekutu—[NOTE :
Perlu kita ingat dan pahami, seseorang bisa terlahir kembali sebagai
bangsa jin, karena pada kehidupan sebelumnya mereka merupakan manusia-manusia jahat
yang berhati busuk, beracun, serta dingin dan kejam. Karena itulah, apa yang
dapat kita harapkan dari bangsa jin, selain membuat sengsara manusia? Adalah delusi,
mengharap makhluk jahat semacam jin (mantan manusia buruk dan busuk) dapat
menolong dan mengharmoniskan hidup umat manusia? Jin dan makhluk dewata, bagai
langit dan bumi, salah alamat bila manusia meminta pertolongan pada makhluk
alam “apaya”.]
Dukun Ilmu Putih bahkan Tidak
Lebih Mudah Bertobat. Ada perbedaan karakter antara dukun ilmu hitam dan ilmu
putih. Yang mudah dikenali dari dukun ilmu hitam adalah aksi kejahatan melalui
perdukunan langsung mengarah pada korban.
Dukun ilmu hitam cenderung
frontal, ambisius, dan tidak segan membunuh melalui perdukunan. Dukun ilmu
hitam lebih mudah dihakimi sebagai orang yang jahat, tapi tidak demikian dengan
dukun ilmu putih—[NOTE : Yang mana modusnya selalu memiliki satu pola serupa, yakni “melakukan
kejahatan secara TERSELUBUNG”.]
Sedangkan dukun ilmu putih ada
kecenderungan merasa melakukan hal yang benar dan baik melalui perdukunan yang
dilakukan—[NOTE
: Lebih munafik, karenanya merasa lebih mampu memutar-balik logika moril untuk
justifikasi diri, seolah-olah mereka adalah pahlawan ketimbang lawan.]
Dukun ilmu putih memiliki rasa
solidaritas yang tinggi dan karakternya baik. Memiliki sikap seorang ksatria,
lebih suka terus terang bicara di depan orang yang dihadapi, pemberani,
gentleman. Karena hal inilah dukun ilmu putih tidak lebih mudah bertobat.
Berdebat dengan dukun ilmu
putih tidak ada gunanya. Membuat dukun ilmu putih menyadari bahwa yang
dilakukan pada hakikatnya sama saja dengan dukun ilmu hitam sebagai dosa besar,
itu bukan hal mudah.”
Lantas, bagaimana cara
mengatasi gangguan akibat praktik perdukunan maupun “black magic” ini? Lagi-lagi masyarakat kita cenderung jatuh dalam
kelirumologi, kelirutahu, alias berasumsi talah tahu meski senyatanya keliru
sepenuhnya dan fatal akibatnya, dengan mengabaikan atau tidak mampu melihat bahaya
dibaliknya. Namun banyak kalangan spiritualis tulen yang menyarankan, ketika
kita sebagai korban merasa takut, maka cara mengatasi dan menangkalnya justru
ialah dengan tidak takut, “stay positive”,
serta hidup “HAPPY”. Seperti kata Sun
Tzu, untuk mengalahkan lawan, kita harus tahu kelebihan dan kelemahan diri kita
maupun kelebihan dan kelemahan lawan kita. Untuk itu, kita perlu terlebih
dahulu memahami apa yang menjadi “Kelemahan Ilmu Hitam”.
Ilmu hitam, hanya akan
berfungsi ketika seseorang mempercayainya. Ilmu hitam itu radarnya ialah ketika kita semakin
percaya, maka ia akan benar-benar eksis menyerang kita. Seorang tokoh
spiritualis menyebutkan, setiap manusia sebenarnya telah memiliki benteng aura
pelindungnya sendiri, dan itulah yang dapat cukup diberdayakan hingga optimal
secara swadaya dan mandiri, bukan meminta pertolongan makhluk gaib lainnya. Sikap
paling tepat ialah, tidak menghiraukannya, fokus menekuni kehidupan yang sehat
bagi fisik dan batin, seperti beribadah, tidak beruat kejahatan, dan berbuat
baik maupun mensucikan diri. Biasanya ketika seorang pengguna ilmu hitam hendak
menyerang korbannya, akan membuat ancaman secara terbuka, dengan tujuan
mengintimidasi mental calon korbannya (menakut-nakuti) sehingga terbuka ruang
masuknya ilmu hitam.
Kebiasan buruk sangka bukan
hanya kepada orang lain, akan tetapi terhadap diri sendiri, semisal tidak percaya
pada kemampuan diri kita sendiri, kurangnya penghargaan diri (self respect), maupun minimnya kecintaan
terhadap diri kita sendiri. Orang yang tidak percaya terhadap kemampuan dirinya
akan mengurangi kekuatan spiritulitasnya yang melindunginya dari ilmu hitam. Kesusahan
juga berawal dari pemikirannya yang tidak baik, sehingga dapat mengurangi
semangatnya. Sementara menjadi orang yang berbahagia tidak harus selalu kaya
secara materi, cukup dengan mensyukuri apa yang ada pun seseorang akan dapat
merasakan kebahagiaan ala “simple is
beautiful”—Ajahn Brahm memberi tips ketika kita merasa kecewa ataupun
kerugian, obatnya katakan kepada diri kita sendiri untuk : bersedia melepaskan,
merasa berkecukupan hati, dan “sudah lumayan”. Ketika kita
berbuat kekeliruan, maka rumus resep obatnya ialah : acknowledge (akui), forgive
(maafkan diri kita), dan learn
(pelajari dari pengalaman tersebut).
Ketika orang tersebut bahagia,
maka energi positif akan datang dan melindunginya dari energi negatif seperti
santet. Cara yang paling dapat kita berdayakan ketika kita dijadikan target ilmu
hitam, ialah dengan membentuk sebuah pertahanan jiwa yang meminimalisir
serangan. Seperti perbanyak berpikir positif dan jangan takut dan jangan
pula khawatir ataupun cemas—karena perasaan-perasaan negatif menekan mental
itulah yang sebenarnya pintu celah masuknya ilmu hitam yang mereka inginkan
ketika mencoba mencelakai kita dengan ilmu hitam. Perasaan takut kita membuat makhluk
halus merasa senang dan gembira karena itu sama artinya tugasnya sudah hampir
berhasil, dimulai dengan membuat target korbannya merasa takut dan gelisah.
Ada banyak metode dan sarana
untuk menangkal santet, salah satunya ialah bersikap rasional dan jangan
percaya dengan adanya santet. Ilmu hitam tidak akan melukaimu kecuali kamu
memercayainya—itulah sebabnya, bangsa Barat lebih cenderung “kebal” terhadap
ilmu klenik, sebagaimana bangsa Belanda telah pernah menjajah bangsa Indonesia selama
berabad-abad lamanya. Beragam jenis tujuan pengiriman ilmu hitam sejatinya
bisa ditangkal dengan mengetahui titik kelemahannya. Harus “HAPPY”, menjadi pribadi yang rasional, dan
lawan setiap perasaan takut maupun perasaan cemas yang tidak ada dasarnya, itulah
kiat paling mudah dan paling efektif menangkal ilmu hitam.
Berikut penjelasan mengenai kiat
menangkal ilmu hitam. Seseorang yang hatinya gembira, senang tertawa dan
riang gembira, bukanlah target yang ideal bagi kalangan perdukunan pengirim
ilmu hitam. Ilmu hitam bereaksi baik ketika emosi yang negatif terjadi
pada target sasaran. Dendam, benci, marah, sakit hati merupakan emosi
negatif yang membuat ilmu hitam sukses dikirimkan. Konon, mereka yang mer0k0k
juga merupakan target yang baik dari pengiriman ilmu hitam, oleh sebab asap r0k0k
mengandung unsur kayu yang dibakar, karena itulah Ilmu hitam dapat masuk
melalui asap r0k0k.
Ilmu hitam juga disebutkan sukses dikirimkan bila ada sugesti
dari target. Sugesti ini terkait dengan mimpi, karena ilmu hitam juga dapat dikirimkan
melalui perantaraan alam mimpi calon target korbannya. Bila mimpi didatangi
orang yang sudah meninggal dan diajak pergi, biasanya dalam waktu 40 hari,
target ilmu hitam mati bila tersugesti. Jangan tersugesti dengan mimpi gigi
rontok, rambut dipangkas, dsb. Keyakinan akibat sugensi yang keliru, dapat
berakibat fatal. Milikilah sugesti yang memberdayakan dan menguatkan jiwa
kita, bukan sebaliknya melemahkan dan meruntuhkan.
Jangan pula tersugesti dengan
bau menyengat selintas yang merupakan salah satu manifetasi dari pengiriman
ilmu hitam. Jangan merespon manipulasi pikiran, sekalipun itu benar adanya,
namun kita cukup merasionalisasi bahwa itu hanyalah bebauan yang lewat terbawa
angin dari luar rumah, bahwa itu suara hewan yang melintas di atas atap rumah, dsb.
Tugas kita ialah cukup menata pikiran agar tetap positif dan kuat
pertahanannya, agar tidak jatuh dalam kondisi dicekam ketakutan.
Semua serangan ilmu hitam, bila
calon korban tidak tersugesti sebagaimana keinginan dukun pengirim ilmu hitam,
dapat melemahkan ilmu tersebut, yang hasilnya ialah target korban bisa lolos
dari serangan ilmu hitam. Semua kekuatan ilmu gaib melemah pada kondisi berikut : yang ada
dianggap tidak ada (oleh perspektif sudut pandang target calon korbannya). Itulah
kiat efektif membentuk benteng perlindungan jiwa secara swadaya dan mandiri. Ada
yang menyebutkan, “Jangan takut setan.
Bila orang takut setan, pasti bertemu setan. Tapi ketika orang berani terhadap
setan, tidak terjadi penampakan setan.”—namun bukan berarti kita harus
menantang, sama seperti Feng Shui, boleh percaya namun juga boleh tidak
percaya, bebas, namun jangan mencoba menantangnya dengan secara sengaja menghuni
rumah “tusuk sate” alias posisi rumah berbentuk “benturan jalan”, itu namanya
kurang bijaksana.
Beiktu ini merupakan cara
bekerjanya ilmu hitam : Semua ilmu hitam terjadi dengan memanfaatkan energi
negatif dari target. Semua kekuatan ilmu gaib mengambil energi negatif yang
diubah menjadi kekuatan menyerang. Semua ilmu hitam dikirimkan dengan
bantuan dari dunia arwah, dunia orang jahat yang telah mati lalu menjelma jin
atau arwah gentayangan. Jadi, bila kita ingin lolos dari serangan ilmu
hitam, jangan meyakini ada komunikasi antara orang hidup dan orang mati.
Disarankan, bila terjadi
kemarahan, jangan biarkan kemarahan menguasai diri atau pikiran dan jiwa kita
ini hingga jangka waktu yang panjang. Kemarahan itu cukup sehari saja, dan
belajar dari pengalaman buruk tersebut agar kita tidak lagi diperalat ataupun
dibodohi oleh orang-orang yang berniat tidak baik terhadap kita. Saat matahari
terbenam, sebaiknya emosi jenis ini harus diturunkan atau diredam seminimal
mungkin, lalu mengalihkan isu pada pikiran-pikiran maupun menenggelamkan diri ke
dalam aktivitas-aktivitas yang lebih produktif serta lebih sehat, yang tentunya
juga sebisa mungkin membuat kualitas hidup kita menjurus kearah “HAPPY” serta “positif” membangun
kepercayaan dan penghargaan diri, agar kita lebih “kebal” terhadap ilmu hitam. Sehat
secara mental, maka kita akan sehat pula secara fisik, berkat benteng
perlindungan yang kita bangun dari pikiran yang terkondisikan secara positif
ini.
Santet mudah masuk ke dalam tubuh seseorang yang sedang
marah. Apalagi bila kemarahan itu menjadi jangka panjang, dendam tak
berkesudahan. Energi negatif ini menjadi pintu masuk bagi ilmu hitam. Boleh-boleh saja dan
manusiawi saja bila kita merasa marah, geram, kesal, kecewa, jengkel,
mendongkol, atau bahkan murka, namun jangan biarkan diri kita tenggelam
terlebih berkubang berlarut-larut dalam kondisi negatif demikian, tetapkan
batas maksimum waktu kemarahan ataupun emosi-emosi negatif kita, dan selebihnya
kita harus melanjutkan hidup kita dalam pikiran dan kegiatan yang positif—seperti
kata Dalai Lama : jangan biarkan siapapun merampas masa depan ataupun kedamaian
dan kebahagiaan hidup kita untuk terlampau lebih lama lagi.
Kita cukup berfokus pada tugas kita,
sebagai misi utama hidup kita, yakni “BE
HAPPY”, “stay positive”, serta
tidak takut pada apapun yang berbau mistik ataupun klenik. Untuk itu, “sugesti diri”
penting dilakukan, sesering yang kita mampu dikeseharian, dengan mengatakan
kepada diri kita sendiri : “BE HAPPY”,
“stay positive”, dan tidak cemas, tidak
takut, tidak gelisah. Begitulah cara kita untuk tetap “STAY STRONG” ditengah banyaknya manusia-manusia maupun lautan
makhluk jahat yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Anda dapat merasakan
sendiri perbedaan dan perubahannya secara signifikan dengan pendekatan yang
lebih positif di atas, juga lebih sehat secara batin maupun secara fisik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.