Tanam Benih Karma Baik, Memetik Buah Karma Baik. Menanam Benih Karma Buruk, Memetik Buah Karma Buruk. Kita Bertanggng-Jawab atas Hidup dan Masa Depan Kita Masing-Masing
Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra
Question: Mengapa rakyat di Inggris begitu mencintai dan menghormati raja maupun ratu mareka? Semisal saat ratu mereka wafat karena faktor usia lanjut, seluruh warga di Inggris turut berkabung, turut merasa sedih dan prihatin, melayat, memberi penghormatan, memasang karangan bunga tanda turut berduka-cita, mengunjungi keluarga sang ratu, dan satu negeri benar-benar merasa kehilangan. Padahal, jika kita melihat fakta sejarah, betapa kejam kerajaan Inggris yang telah menjajah dan mengeksploitasi rakyat India, bahkan tidak bersedia memberikan kemerdekaan bagi rakyat Amerika sehingga melestuslah Perang Saudara yang memakan korban puluhan ribu jiwa dari kedua belah pihak.
Brief Answer: Sang raja maupun sang ratu sedang menikmati
alias memetik buah Karma Baik yang sedang matang dan ranum pada kehidupannya di
masa itu, hasil menanam benih Karma Baik pada kehidupan mereka sebelumnya.
Ketika seseorang terlahir dalam kondisi makmur dari segi ekonomi, maka itu
adalah hasil meritokrasi (merit system)
hukum tabur-tuai, alias Hukum Karma akibat menanam benih Karma Baik pada
kehidupan lampaunya. Secara tidak langsung, dengan memahami dan mempelajari perihal
eksistensi Hukum Karma yang bekerja dibalik alam semesta, kita akan lebih
bertanggung-jawab atas hidup kita sendiri—kita bertanggung-jawab atas suka dan
duka alias nasib atau takdir hidup ada di tangan kita sendiri sebagai
penentunya.
Sehingga, kita tidak perlu merasa iri hati
ataupun cemburu kepada pihak-pihak yang sedang menikmati hasil perbuatan baik
yang ia tanam di masa lampau, juga tidak perlu menyalahkan sosok adikodrati
yang kerap “dikambing-hitamkan”, dan cukup menjadikan itu sebagai inspirasi
agar kita turut dengan rajin menanam benih-benih Karma Baik sebagai bekal atau
modal bagi kita hidup di masa mendatang secara lebih baik. Tidak terkecuali
ketika seseorang terlahir dalam kondisi rupawan / cantik, berpengaruh, banyak
kawan, terpandang, pandai bergaul, sehat, dan sebagainya, kesemua itu adalah
buah, akibat dari sebab yang mendahuluinya. Karena itulah, Hukum Karma juga
sering disebut dengan julukan sebagai “Hukum tentang Sebab dan Akibat”.
PEMBAHASAN:
Kondisi di Indonesia pun
sejatinya sama, tidak perlu jauh-jauh ke negara asing di luar sana, banyak
diantara pemimpin negara maupun pemimpin partai politik ataupun lembaga tinggi
negara di dalam negeri kita sendiri, meski sejatinya kurang piawai dalam
mengurus negara ataupun perlakuannya terhadap rakyat, akan tetapi tetap di-“elu-elu”-kan
oleh para publik dan para pendukung maupun simpatisannya senantiasa menjadi
loyalis yang memuja-muji kepemimpinan mereka, semata karena yang bersangkutan
sedang memetik dan menikmati buah Karma Baik yang tengah ranum dan matang untuk
mereka petik, sehingga manisnya buah Karma Baik membuat mereka selalu tampil
penuh pesona, disukai, dikagumi, disambut, digemari, dan didukung oleh publik
luas.
Hidup memang butuh “modal”, tidak
dapat kita pungkiri, terutama modal buah Karma Baik, karenanya dalam berbagai sutta
berisi khotbah Sang Buddha, sang Guru Agung bagi para dewa dan manusia
selalu mempromosikan dan mengkampanyekan gerakan rajin menanam benih-benih Karma
Baik kepada siswa-siswi-Nya. Itulah juga sebabnya, pengetahuan memadai mengenai
Hukum Karma, menjadi sangat krusial, sebagaimana sabda Sang Buddha,
bahwa kita adalah pemilik, pewaris, dan berhubungan dengan perbuatan kita
sendiri, perbuatan yang kecil maupun yang besar, kita senantiasa terlahir serta
berkerabat dengan perbuatan kita sendiri.
Dalam Buddhisme, tidak ada umat
manusia yang terlahir diistimewakan ataupun yang sebaliknya, terlahirkan untuk
dianaktirikan. Semua hanyalah serangkaian sebab dan akibat, merit system. Jika Anda ingin makmur dan
sukses dalam hidup, maka juga Anda bisa dan berhak untuk itu, dengan cara mau
rajin menanam benihnya dengan tangan kita sendiri. Salah satu contoh peta
mengenai hukum sebab-akibat yang telah pernah dibabarkan oleh Sang Buddha
ialah khotbah dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”, Judul
Asli : “The Numerical Discourses of the
Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dimana seorang ratu bernama Ratu Mallikā bertanya seputar hukum
sebab-akibat mengapa seseorang bisa terlahir cantik ataukah sebaliknya, maupun
yang terpandang dan sebaliknya, dengan kutipan penuh inspiratif sebagai
berikut:
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Ratu Mallikā mendatangi
Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada
Beliau:
“Bhante, mengapakah beberapa
perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin,
papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di antaranya berpenampilan
buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi kaya, dengan banyak kekayaan
dan harta; dan berpengaruh? Dan mengapakah beberapa perempuan di sini
berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi
miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh? Dan mengapakah beberapa di
antaranya berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar
biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh?”
“Di sini, Mallikā, seorang
perempuan rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar. Bahkan jika dikritik
sedikit ia akan kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala;
ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Ia tidak memberikan
benda-benda kepada para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan
kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat
tinggal, dan penerangan. Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah
akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang
diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika
ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; miskin, papa, dan
melarat; dan tidak berpengaruh.
“Perempuan lainnya rentan terhadap kemarahan
dan mudah gusar … Tetapi ia memberikan benda-benda kepada para petapa dan
brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati, tidak kesal,
atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan
yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu,
jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan
berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat; tetapi ia akan
kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.
“Perempuan lainnya lagi tidak
rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika dikritik banyak ia
tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, tidak bersikap bermusuhan,
dan tidak keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan
kekesalan. Tetapi ia tidak memberikan benda-benda kepada para petapa dan
brahmana … Dan ia iri, seorang yang iri-hati, kesal, dan marah akan perolehan,
kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang
lain. Ketika ia meninggal dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini,
maka di mana pun ia terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan
anggun, memiliki kecantikan luar biasa; tetapi ia akan miskin, papa, dan
melarat; dan tidak berpengaruh.
“Dan perempuan lainnya lagi
tidak rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar … Dan ia memberikan benda-benda
kepada para petapa dan brahmana … Dan ia tanpa sifat iri, seorang yang tidak
iri-hati, tidak kesal, atau marah akan perolehan, kehormatan, penghargaan,
pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Ketika ia meninggal
dunia dari keadaan itu, jika ia kembali ke dunia ini, maka di mana pun ia
terlahir kembali ia akan berpenampilan baik, menarik, dan anggun, memiliki
kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh.
“Ini, Mallikā, adalah mengapa
beberapa perempuan di sini berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan
dilihat; miskin, papa, dan melarat; dan tidak berpengaruh. Ini adalah mengapa
beberapa di antaranya berpenampilan buruk, cacat, dan tidak menyenangkan
dilihat; tetapi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta; dan berpengaruh. Ini
adalah mengapa beberapa perempuan di sini berpenampilan baik, menarik, dan anggun,
memiliki kecantikan luar biasa; tetapi miskin, papa, dan melarat; dan tidak
berpengaruh. Ini adalah mengapa beberapa di antaranya berpenampilan baik,
menarik, dan anggun, memiliki kecantikan luar biasa; kaya, dengan banyak
kekayaan dan harta; dan berpengaruh.”
Ketika hal ini dikatakan, Ratu
Mallikā berkata kepada Sang Bhagavā:
“Aku menduga, Bhante, bahwa
dalam suatu kehidupan sebelumnya aku rentan terhadap kemarahan dan mudah gusar;
bahkan jika dikritik sedikit aku menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi
jengkel, bersikap bermusuhan, dan keras kepala, dan memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan. Oleh karena itu aku sekarang menjadi berpenampilan
buruk, cacat, dan tidak menyenangkan dilihat.
“Tetapi aku menduga bahwa dalam
suatu kehidupan sebelumnya aku telah memberikan benda-benda kepada para petapa
dan brahmana … tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Oleh karena itu
aku sekarang menjadi kaya, dengan banyak kekayaan dan harta.
“Dan aku menduga bahwa dalam
suatu kehidupan sebelumnya aku tanpa sifat iri, seorang yang tidak iri-hati,
bukan seorang yang iri, kesal, dan marah akan perolehan, kehormatan,
penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan kepada orang lain. Oleh
karena itu aku sekarang memiliki pengaruh. Dalam kerajaan ini terdapat gadis-gadis
dari keluarga-keluarga khattiya, brahmana, dan perumah-tangga yang tunduk di
bawah perintahku.
“Mulai hari ini, Bhante, aku
tidak akan rentan terhadap kemarahan dan tidak mudah gusar. Bahkan jika
dikritik banyak aku tidak akan kehilangan kesabaran dan tidak akan menjadi
jengkel, tidak bersikap bermusuhan, dan tidak keras kepala; aku tidak akan memperlihatkan
kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Dan aku akan memberikan benda-benda kepada
para petapa dan brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga,
wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Dan aku
tidak akan menjadi iri, tidak menjadi seorang yang iri-hati, kesal, dan marah
akan perolehan, kehormatan, penghargaan, pemujaan, dan penyembahan yang diberikan
kepada orang lain.
“Bagus sekali, Bhante! Bagus
sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara,
seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi,
menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam
kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk.
Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā
menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini
hingga seumur hidup.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.