Tanggapan Shietra atas Surat Pembaca
Orang Baik “Nature”-nya
memang Baik, Orang Jahat memang Sudah “Nature”-nya
Bersikap Jahat
Namun, Jadilah Orang Baik yang Cerdas. Itulah yang
Disebut sebagai BIJAKSANA—Level yang Lebih Tinggi dari Sekadar sebagai Orang Baik
Kita perlu mengevaluasi serta mengidentifikasi diri kita sendiri—lebih tepatnya adalah mengetahui apa yang menjadi “nature” dari genetik kita—untuk selanjutnya membina diri secara baik-baik sesuai karakter diri masing-masing. Bagi yang memiliki “nature” berupa genetik “tabiat / watak baik”, maka perlu membina diri untuk menjadi “orang baik yang cerdas”, agar tidak “mati konyol” karena menjadi bulan-bulanan “mangsa empuk” orang-orang jahat, serakah, egois, maupun orang-orang yang “tidak tahu diri” (para manusia predator).
Sebaliknya, ketika kita
menemukan bahwa diri kita ternyata memiliki bakat atau tendensi atau “nature” sebagai “orang jahat”, atau
bahkan sebagai psikopat (literatur menyebutkan, 1% dari total penduduk adalah
atau memiliki bakat genetik psikopat), maka hindari hobi atau pengetahuan
maupun keterampilan yang bisa membuat Anda terjerumus dalam “power tends to corrupt”—membatasi dan
mengontrol diri, demi kebaikan diri kita sendiri maupun bagi orang-orang disekitar
kita. Pengkondisian atau perlakuan khusus secara penuh perhatian yang
disesuaikan dengan kepribadian dasar kita demikian, menjadi penting sebagai
pendekatan untuk menyikapi dasariah genetik kita.
Berdasarkan kajian literatur
yang pernah penulis baca dan telaah, beberapa genetik bersifat laten. Semisal genetik
“mencandu” alkohol maupun obat-obatan terlarang, disebutkan oleh ilmuan
neurosains bahwa terdapat 10% dari total populasi penduduk memiliki atau membawa
bakat “mencandu” akibat faktor genetik. Bilamana ternyata kita adalah satu
diantaranya—namun tidak perlu coba-coba membuktikannya—maka upaya terbaik yang
bisa kita lakukan ialah menghindari faktor pemicunya, agar tidak jatuh dalam kondisi
sebagai “pecandu”, yakni kebijakan internal diri yang membuat aturan ketat bagi
diri kita sendiri untuk tidak pernah menyentuhnya sekalipun untuk sekadar “coba-coba”.
Sama halnya, ketika seseorang
memiliki bakat “jahat”, hindari potensi ataupun kondisi yang dapat memicu
genetik “jahat”-nya untuk aktif dan membajak akal sehatnya sehingga tidak lagi
mampu berpikir jernih, sepenuhnya tunduk pada hegemoni genetik yang telah
terpicu dan aktif. Beberapa waktu lampau terdapat seseorang tidak dikenal,
mengirim surat elektronik kepada penulis, berisi testimoni atas artikel yang telah
pernah penulis tulis dan terbitkan. Kita sebut saja nama inisialnya sebagai “Donny”,
yang mengirim pesan sebagai berikut:
Perkenalkan nama saya Donny.
Saya sebenarnya adalah seorang penelusur kasus-kasus perdata / pidana di
internet karena adanya kebutuhan saya belajar dari kasus orang lain agar tidak
tertimpa ke saya pribadi / keluarga. Hari ini saya berjodoh masuk ke website
bang Hery, hukum-hukum, namun yang membuat saya menulis surat ini bukanlah
ulasan hukum bang Hery, tetapi tulisan bang Hery tentang “orang baik”.
Saya sungguh tersentuh dan
merasa senasib dengan tulisan tersebut. Saya berpikir, ketika orang bisa
menuliskan suatu tulisan dengan segitu detailnya, pastilah ia bagian dari apa
yang ia tulis, jika bukan, mana mungkin ia bisa menulis selincah dan sejernih
itu.
Terus terang saya menulis email
ini karena saya merasa frustasi dengan hidup saya. Saya merasa saya terlalu
baik dan terlalu memegang prinsip idealis hidup saya. Sering kali terngiang
dalam kepala saya “kasihan dia, ayo tolongin” atau “saya akan tolongin dia,
saya tidak berharap balasan, setidaknya dia jangan menyakiti atau merugikan
sesama ya” atau “udahlah, gitu doang toleransi saja”, eh tapi jatuhnya orang
tersebut malah mengigit saya balik. Sungguh kecewa dan sedihnya saya. Lucunya,
orang-orang tersebut adalah orang-orang berkedok agama yang sangat rajin
beribadah. Bodohnya saya, saya sukar berubah karena saya masih percaya
setidaknya ada orang-orang baik diluar sana.
Maka dari itu ketika membaca
tulisan bang Hery, saya merasa bang Hery juga senasib dengan saya dan saya
merasa saya tidak seorang diri lagi. Hehehe.
Kalau boleh saya tambahkan,
hidup di Indonesia ini justru menjadi orang baik akan ditindas dan berujung
hidup tidak bahagia dan tidak tenang. Menjadi orang yang “punya power” baik itu
kuasa politik ataupun uang yang berlimpah, barulah anda bisa hidup bahagia dan
tenang. Itulah realita kehidupan di negara ini yang membuat frustasi. Jadi
terkadang saya harus memalsukan diri saya agar saya terlihat “powerful”,
menjaga jarak dan profit-sentris, tetapi terus terang saya tidak bisa
berpura-pura terlalu lama karena batin saya bergejolak.
Saya juga senang membuat orang
senang, mungkin saya harus berhenti melakukan itu dan mulai mengikuti keegoisan
hati atau otak saya lebih banyak / sering karena saya tidak bisa membuat semua
pihak senang.
Akhir kata, ketika menulis ini,
sedikit hati saya merasa lega, dan karena saya yakin seorang penulis artikel
biasanya sumbernya ADALAH PENGALAMAN PRIBADI, saya ingin menyemangati bang Hery
juga untuk tidak pernah putus asa walaupun dalam hidup lebih banyak orang jahat
dibandingkan orang baik, seperti yang saya sedang alami sekarang.
Terima kasih sudah mau
menuliskan artikel yang baik. Salam hangat dan semangat selalu.
Donny
Salam hangat, Donny.
Bukankah pengalaman dan
testimoni hidup di atas, sejatinya tidak sedikit dijumpai oleh orang-orang diantara
kita? Dari penelusuran yang sebelumnya pernah penulis dalami, pengalaman hidup
sebagaimana contoh diatas juga dialami atau setidaknya pernah dihadapi oleh orang-orang
dengan “nature” genetik “orang baik”,
tanpa pandang ras, gender, maupun usia. Terhadap surel sang pembaca yang
terkasih di atas, jodoh yang baik demikian meski tidak saling mengenal satu
sama lainnya, perlu penulis tanggapi secara tulis dan sepenuh hati, dengan
memberikan jawaban yang juga berupaya meradiasikan sebuah semangat dan
inspirasi agar tetao tegar dan mulai bersahabat dengan “genetik orang baik”
miliknya, dengan tanggapan sebagai berikut:
Apa yang tertuang di artikel
tersebut, sejatinya hanya cuplikan kecil pengalaman hidup pribadi saya, lebih
tepatnya “pahitnya menjadi orang baik”. Jika kesemua itu saya tuang ke dalam
tulisan, tidak akan muat, cukup esensinya saja.
Setidaknya, kita tidak seorang
diri. Keyword semacam “orang baik tidak dihargai”, banyak diketik oleh para
orang baik yang mendapati “realita tidak berjalan secara ideal”.
Namun, apakah saya menyerah
menjadi orang baik?
Tidak, karena saya tahu betul
baik atau jahatnya seseorang memang ada faktor “genetik”.
Tetap saja saya menjadi orang baik,
namun secara “lebih cerdas”.
Ternyata, menjadi orang baik
pun kita harus belajar. Belajar apa? Belajar menjadi orang baik yang “cerdas”,
bukan orang baik yang “bodoh” sehingga dibodohi orang lain.
Dulu kala, dengan naifnya saya
mengumbar kebaikan hati. Akhirnya, menjadi bumerang bagi diri saya sendiri.
Manusia, adalah makhluk yang
irasional. Yang kita berikan kebaikan hati, akan berdelusi akibat cara berpikir
irasionalnya, bahkan kita yang butuh mereka, bukan sebaliknya.
Jangan buat kesan, seolah kita
yang butuh mereka. Jika kita bersikap “mengemis-ngemis agar diberi izin untuk
berbuat baik kepada mereka”, akibatnya kita diremehkan dan tidak dihargai.
Sekadar gambaran, sampai saat
kini saya rutin berdana 10% dari penghasilan saya, ke lembaga nirlaba, namun
tidak kepada orang-orang yang tidak jelas bibit, bebet, maupun bobotnya.
Setidaknya, saya bahkan tidak
berbuat jahat yang dapat dicela para bijaksana, sekecil apapun itu, bahkan
kepada hewan kecil. Hanya pendosa, yang butuh penghapusan dosa.
Secara pribadi saya menilai,
dogma perihal “penghapusan / pengampunan / penebusan dosa”, telah mendegradasi
moralitas umat manusia.
Sampai di situ saja, kita sudah
dapat disebut “bukan orang jahat”.
Level berikutnya, ialah “berbuat
baik”, namun dengan cara yang cerdas, yang dalam bahasa Sang Buddha (ialah)
“tanpa menjelekkan dan tanpa merugikan diri kita sendiri”.
Ada pepatah Inggris yang cukup
representatif : “Be a good person, but DON'T WASTE TIME TO PROVE IT!”
Level berikutnya, mensucikan
hati dan pikiran, lewat meditasi.
Jadilah orang suci, maka yang
menjahati kita akan menjadi bumerang yang dahsyat bagi pelaku yang berbuat
jahat kepada kita.
Itulah cara, menjadikan diri
kita sendiri pulau perlindungan.
Menjadi orang jahat, ketika
dijahati orang jahat lainnya, barulah merugi menjadi “korban”, karena pelaku
kejahatannya sangat minim dapat “Karma Buruk”.
Ibadah dalam Buddhisme, ialah “ovada
patimokkha”, terdiri dari : menghindari perbuatan buruk, berbuat kebajikan,
murnikan pikiran.
Tidak semua orang sanggup
menjalani ibadah ala Buddhisme. Mereka lebih memilih menyembah dan memohon,
meminta alih-alih “menanam”, bahkan mengharap “penghapusan dosa”.
Memurnikan pikiran, bukanlah
pekerjaan mudah, dan itulah level tertinggi yang harus melewati dua level
sebelumnya.
Orang baik bukanlah “mangsa
empuk”, semestinya dilestarikan, namun kini sudah hampir punah.
Hanya seorang pengecut, yang
menjadikan orang baik sebagai “mangsa empuk”.
Semoga Donny menyadari “genetik”
diri Donny, apa bisa selamanya “play as a bad boy”?
Karenanya, kisah fiktif seperti
“Joker” adalah tidak rasional dan bertentangan dengan ilmu psikologi perilaku.
Namun, bukan artinya kita harus
tampil sebagai “mangsa empuk”, akan tetapi bersikap lebih “cerdas” dalam
membawa diri.
Kreatiflah dalam menyalurkan
perbuatan baik, dengan cara-cara yang kreatif tanpa membuka diri berpotensi
disakiti dan dilukai oleh orang lain.
Saya paham mengapa Donny “marah”.
Orang baik, tidak pernah menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang lain,
karenanya berhak mengharap dan menuntut tidak dirugikan, tidak dilukai, juga
tidak disakiti oleh orang lain.
Namun ketika prinsip
timbal-balik demikian tidak terjadi, kita pun kecewa.
Jangan jadi orang baik yang “bertepuk
sebelah tangan”.
Jangan pula bersikap
seolah-olah tidak ada cara lain untuk menyalurkan naluri untuk berbuat baik dan
kebaikan.
Donny boleh percaya boleh juga
tidak, saya tidak akan masih hidup sampai sekarang jika tidak banyak berbuat
baik dalam hidup saya.
Saya tertolong oleh
perbuatan-perbuatan baik tersebut yang berbuah tepat pada waktunya.
Selama ini saya dicelakai
bahkan oleh orang-orang terdekat saya sendiri, dan tidak ada yang lebih membuat
trauma daripada fakta demikian.
Demikian, semoga menginspirasi Donny.
Shietra
Ciri mudah mengidentifikasi
apakah kita tergolong sebagai orang baik atau tidaknya, cukup ajukan pertanyaan
sederhana berikut kepada diri kita sendiri secara jujur, lugas, dan transparan.
“Apakah saya telah, pernah, atau
seringkali menyakiti, melukai, ataupun merugikan orang lain, TANPA
BERTANGGUNG-JAWAB kepada mereka?” Berbuat keliru, adalah manusiawi. Penulis
tidak menuntut Anda untuk memakai standar orang suci (saint) yang mungkin akan dinilai terlampau tinggi (penuh
kewaspadaan, sehingga tidak pernah berbuat keliru ataupun kesalahan sekecil
apapun)—namun setidaknya kita perlu dan harus berjiwa “ksatria”.
Orang baik mungkin telah pernah
berbuat keliru, akibat sengaja atau kelalaiannya, namun sikap bertanggung-jawablah
yang membuat distingsi tegas antara “orang baik” dan “orang jahat”. “Orang baik”,
mengandalkan moralitas sebagai mercusuar dan bintang pemandunya yang tidak
dapat ditawar-tawar, dan memiliki apa yang disebut sebagai “kebahagiaan dalam
moralitas”—menurut Sang Buddha, itu adalah kebahagiaan tertinggi. Sebaliknya,
“orang-orang jahat” mengandalkan jika bukan “penghapusan / pengampunan dosa”
maka “penebusan dosa”, dimana semakin “agamais” pelakunya maka semakin ia ber-motto
: “BUAT DOSA, SIAPA TAKUT?!” Realita
demikian telah penulis temukan dan alami seringkali, bahkan sejak penulis masih
seorang bocah di Indonesia.
Ciri kedua, tidak butuh polisi
ataupun pengawas untuk mengawasi perbuatan kita dikeseharian, dimana moralitas diri
sebagai pengawas di dalam diri atas diri kita sendiri. Para pembaca boleh
percaya boleh tidak, semisal ketika penulis berbelanja di minimarket, tidak
jarang pihak kasir tidak memasukkan beberapa barang belanjaan ke dalam tagihan.
Ketika penulis membawa pulang barang belanjaan yang telah penulis beli dan
bayar, ketika di luar minimarket penulis meneliti rincian pada struk pembelian
barang belanjaan, telah ternyata terdapat beberapa produk pembelian yang belum
dimasukkan ke rincian tagihan.
Bagaimana dengan Anda, apa
menjadi pilihan sikap Anda ketika Anda selaku konsumen mendapati realita
demikian? Penulis kembali ke minimarket, dan membayarnya. Bagi orang-orang yang
“tidak takut dosa” (pendosa penjilat penuh dosa), tanggung-jawab artinya “RUGI”
dan “MERUGI”—sehingga memang tidak berbanding lurus dengan cara berpikir “orang
baik” yang mengutamakan moralitas sebagai gerbang penjaga harkat dan martabat sebagai
manusia yang beradab, yang membedakan antara manusia dan kaum hewan-binatang.
Tahu malu dan takut dosa, bukan
hanya perihal akal budi, itulah distingsi paling utama antara hewan dan
manusia, dimana hewan hanya mengandalkan insting dan naluri serta menuruti
dorongan hati, sementara itu manusia seyogianya bersikap “humanis” dan
manusiawi disamping memanusiakan serta memuliakan dirinya sendiri tanpa membuat
perilaku-perilaku yang merendahkan derajat dirinya tersebut. Menimbang dan menilai
baik atau buruk, itulah yang disebut “manusia beradab”. Tentu saja, ketika
telah ternyata harga pada struk belanjaan berbeda dengan label harga displai di
minimarket, penulis mengajukan klaim—karena penulis bukanlah lagi “orang baik”
yang “bodoh”, namun bersikap bijaksana (baik + cerdas).
Banyak pihak-pihak yang
terlampau utopis—bila tidak dapat disebut sebagai tidak rasional, atau yang sekadar
mencari pencitraan populis di mata publik—mengklaim dan menyebut atau bahkan
bersikukuh bahwa masih banyak orang baik, orang jujur, dan orang suci yang
mulia di republik ini. Namun, seperti yang telah penulis ungkap di muka, bahwa “hanya
pendosa yang butuh penghapusan dosa”, dan “bagaimana mungkin seorang
pemeluk ideologi ‘penghapusan dosa’ hendak berceramah perihal hidup baik dan
suci-mulia?” Tidak jarang penulis menjumpai orang-orang yang secara jujur
dan secara terbukat (transparan), terang-terangan menyatakan bahwa “lebih
banyak orang jahat dan penipu di negeri ini”. Seseorang bahkan pernah berkata
sebagai berikut : “99% orang Indonesia adalah
orang baik, itu tidak benar adanya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.