Piramida Rantai Sosial dan Hukum : yang Kuat Memangsa
yang Lemah
Puncak Piramida Rantai Hukum : Too BIG to FALL
Question: Sejauh pengetahuan dan pengamatan SHIETRA & PARTNERS, selaku konsultan hukum yang telah kerap bersentuhan dengan praktik hukum di Indonesia, apa ada baiknya berbisnis dengan rekan bisnis yang menengah kebawah status kapitalisasi usahanya ataukah lebih aman berbisnis dengan perusahaan-perusahaan besar semacam korporasi raksasa?
Brief Answer: Sejauh pengalaman kami, berdasarkan observasi
pribadi, pemberitaan di media massa, maupun pengalaman sebagaimana dituturkan
oleh para Klien, telah ternyata terdapat resiko besar dibalik bekerja-sama
dengan pihak-pihak yang tergolong besar dari segi pengaruh, kekuasaan, kekuatan
politik, maupun faktor finansial. Dari hasil pengamatan maupun pengalaman kami,
telah ternyata terdapat sebuah atau semacam pola, yang dapat kami sebut sebagai
“piramida rantai hukum”, yang menggambarkan betapa pihak-pihak yang berpengaruh—dari
segi kekuatan ekonomi, politik, maupun sebagainya—lebih cenderung “memakan” dan
menjadi “predator” bagi manusia sesamanya.
Bila “hukum rimba” dengan simbolisasinya berupa “piramida
rantai makanan”, merujuk pada kondisi dimana hewan yang lebih besar memakan
hewan yang lebih kecil, dan hewan yang lebih besar lagi memakan hewan yang
semula memakan hewan yang lebih kecil—sebagai contoh plankton dimakan oleh ikan
kecil, dan ikan kecil dimakan oleh ikan lebih besar, dan begitu seterusnya hingga
mencapai puncak piramida yang berbentuk kerucut / mengerucut di atasnya—maka “piramida
rantai hukum” sejatinya merujuk pada konsepsi yang sama serta identik dengan “hukum
rimba”, dimana semakin besar dan semakin kuat suatu subjek hukum (entah pribadi
perorangan maupun badan hukum) maka semakin “untouchable” (tidak tersentuh) dan “unbeatable” dari segi perspektif hukum, entah secara perdata maupun
secara pidana.
PEMBAHASAN:
Dalam banyak segi dan sudut pandang,
“hukum negara” kita di Republik Indonesia ini masih sangat kental nuansa “hukum
rimba”-nya. Betapa tidak, konsepsi perihal “piramida rantai makanan” pun telah
ternyata dalam realita lapangan eksis berlaku dan terjadi pada dinamika sosial-kemasyarakatan
kita, tidak terkecuali praktik berhukum kita yang sarat “tebang pilih”
disamping “diskriminatif” alias “berstandar ganda”—tiada komitmen untuk konsisten
dalam bersikap dan berpendirian, kental nuansa “kolusif”. Karenanya, bila
membeli produk ataupun menggunakan jasa dari suatu entitas hukum maupun subjek hukum
yang tergolong “kuat” demikian, maka dapat dipastikan kita akan menemui “jalan
buntu” bagai membentur tembok besi yang tebal dan keras, sehingga kita sendiri
yang akan merasakan “sakit” akibat terluka berkat benturan yang terjadi.
Berangkat dari pengamatan
pribadi penulis, berbagai pemberitaan di media massa, maupun dari pengalaman Klien
pengguna jasa sesi konsultasi seputar hukum yang penulis selenggarakan, telah
ternyata penulis mendapati adanya satu pola sosio-legal berikut, pola mana
selalu berulang tragedi-nya:
- Lebih sukar memenangkan
gugatan melawan pihak-pihak yang kuat dari segi finansial maupun dari segi
pengaruh dan kekuasaan politis;
- Lebih sukar melaporkan pihak
tersebut ke pihak berwajib—polisi di Indonesia dikenal atas sikap
korup-kolutif-nya;
- Sekalipun gugatan dikabulkan
dan dimenangkan, eksekusi putusan pengadilannya selalu menjadi lembaran
sengketa baru itu sendiri;
- Cenderung (ancaman) di-kriminalisasi
oleh pihak yang lebih kuat dan lebih berpengaruh—semisal konsumen yang sekadar
mengeluhkan produk atau jasa yang ia terima, kemudian dilaporkan oleh pihak produsen
atau pelaku usaha dengan dasar tuduhan “pencemaran nama baik”. Pastikan untuk
membeli produk properti dari developer yang tidak tergolong sebagai developer raksasa yang kuat sehingga
tidak memaksa Anda untuk menghadapi “goliat” bila terjadi sengketa dikemudian
hari disamping potensi kriminalisasi yang akan Anda hadapi.
Berangkat dari pertimbangan
berupa fakta-fakta empirik demikian, maka tepat kiranya kita mulai mawas diri dengan
menjadi konsumen yang cerdas dan sadar (fenomena) hukum di indonesia yang masih
jauh dari kata “adil” terlebih “seimbang” dan “setimpal”, maka harus betul-betul
menghindari membeli produk dari pihak produsen, developer, ataupun pedagang
yang tergolong “raksasa” dan bermodal kapitalisasi kuat ataupun yang pemilik
usahanya adalah orang yang punya “pengaruh” politis. Alih-alih negara memberi
kesempatan bagi kalangan konsumen untuk mengeluhkan produk atau layanan yang
telah pernah ia terima, hukum tidak jarang menjadi “law as a tool of crime” lewat aksi kriminalisasi terhadap keluhan
konsumennya, dengan tudingan klise “pencemaran nama baik”.
Telah banyak dan cukup lama penulis
melakukan refleksi secara mendalam yang berangkat dari berbagai pemberitaan
berisi fenomena “imunitas” korporasi-korporasi raksasa ataupun tokoh-tokoh politik,
berbagai kisah yang dituturkan oleh Klien sebagaimana pengalaman langsungnya
sendiri, sehingga mengerucut pada satu kesimpulan yang kerap penulis berikan
sebagai rekomendasi bagi Klien yang hendak berbisnis, bahwa lebih baik berbisnis
dengan entitas bisnis kelas ekonomi “menengah kebawah” ketimbang memaksakan diri
mengejar delusi iming-iming tawaran “profit besar” berbisnis dengan entitas
bisnis bermodal besar dan kuat. Tidak jarang, mereka menjadi besar dan
membesarkan diri menjelma raksasa, berkat memakan rekan-rekan bisnisnya yang
lebih kecil.
Ilustrasi sederhana berikut dapat
cukup mencerminkan untuk memudahkan pemahaman, ketika para pembaca merupakan nasabah
dari sebuah lembaga keuangan perbankan “raksasa”, dimana bank dimaksud telah
melakukan pelanggaran serius terhadap ketentuan hukum perbankan yang sangat-teramat
merugikan nasabahnya, dan Anda selaku nasabah yang dirugikan melaporkan kepada
pihak otoritas terkait yang berwenang menindak lembaga keuangan yang
bermasalah, maka apakah Anda yakin bahwa pihak otoritas akan bersikap berani dan
tegas untuk memberi sanksi, mencabut izin, dan menutup usaha bank dengan ribuan
karyawan tersebut?
Begitupula ketika Anda mencoba
membangun usaha dengan berbisnis rekanan dengan korporasi raksasa maupun
pengusaha yang memiliki pengaruh dan kekuasaan, pada saat Anda dirugikan akibat
kerja-sama yang tidak dilandasi oleh itikad baik oleh rekanan Anda, apakah Anda
yakin ataukah sekadar delusi, bahwa Anda akan dimenangkan oleh pengadilan atas gugatan
yang Anda layangkan terhadap sang rekanan? Atau ketika rekanan Anda tersebut
menggelapkan dana Anda, menipu Anda, maupun kejahatan lainnya, apakah Anda yakin
bahwa laporan atau aduan Anda selaku korban pelapor kepada pihak aparatur
penegak hukum, akan benar-benar ditindak-lanjuti dan terlapor akan diproses
pidana? Money is POWER—dan “power tends to corrupt, absolute power
corrupts absolutely”—itulah “hukum rimba” di era modern ini yang diberi
nama merek pada kemasan atau busananya sebagai “hukum negara”, bukan lagi
kekuatan fisik sebagaimana simbolisasi kekuatan pada era manusia purbakala.
Korporasi raksasa maupun
seorang subjek hukum yang memiliki pengaruh ataupun kekuasaan, mereka memiliki
kekuatan berupa akses terhadap berbagai sumber daya, mulai dari sumber daya
ekonomi-finansial (yang seolah tidak terbatas), sumber daya koneksi “kolusif” dengan
kalangan aparatur penegak hukum ataupun otoritas, sumber daya personel semacam
tim litigasi yang handal nan licik maupun “tukang pukul” (jaringan premanisme
yang kerap merampas tanah), maupun berbagai sumber daya lainnya yang tidak akan
pernah mampu Anda imbangi maupun hadapi sekalipun bertarung berhadap-hadapan di
“meja hijau” dan dihadapan hakim yang memutus sengketa dengan mengatasnamakan “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Tidak kalah ironisnya (dan benar-benar
kerap terjadi) ketika seorang wiraswasta pemenang tender pengadaan barang,
tidak kunjung dibayarkan oleh Pemerintah Daerah, bermuara digugatnya pihak
Pemerintah Daerah oleh kontraktor pemenang tender, dan sekalipun dimenangkan
oleh pengadilan hingga putusan berkekuatan hukum tetap, pihak Pemerintah Daerah
tetap bersikukuh tidak bersedia patuh ataupun tunduk pada putusan pengadilan
berupa perintah untuk membayar sejumlah uang kepada pihak kontraktor. Ironi pertama,
Pemerintah Daerah memilih “pasang badan” dan mengganggap dirinya adalah “pahlawan”
bagi rakyat dengan tidak membayar tuntutan sang kontraktornya. Ironi kedua, putusan
tidak dapat dieksekusi (non-executable),
mengingat undang-undang perihal inventarisasi barang ataupun kekayaan milik Pemerintah
maupun Pemerintah Daerah yang tidak dapat disita oleh putusan pengadilan
perkara perdata maupun pidana.
Bila yang Anda gugat ialah
swasta murni, maka kelalaiannya untuk menjalankan isi amar putusan berupa penghukuman
maupun perintah untuk membayar sejumlah uang, entah karena wanprestasi ataupun
akibat perbuatan melawan hukum oleh pihak tergugat yang menimbulkan kerugian
bagi penggugat, maka harta kekayaan miliknya dapat disita-eksekusi maupun
dipailitkan oleh kreditornya. Lain cerita bila yang Anda gugat ialah Badan
Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah, yang mana juga tidak dapat
disita perdata aset kekayaannya, disamping hanya dapat dimohonkan pailit oleh
pemerintah lewat otoritas yang berwenang. Karenanya, selalu penulis berikan
pemahaman berupa edukasi hukum yang “real”
sesuai fakta lapangan kepada pihak Klien, resiko dibalik berbisnis atau “dealing with” kalangan pemerintah maupun
berbagai entitas badan usahanya, semata karena faktor pertimbangan lawan Anda tersebut
bersifat “too big to fall”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.