Modus Alibi yang Dipelihara Kepolisian Indonesia
Mengeksploitasi Alasan Klise, Memancing di Air Keruh
Question: Polisi suka pakai alasan kurang atau minimnya
anggaran operasional kantor polisi mereka, tiada uang bensin untuk patroli, dan
sebagainya. Lalu, memakai alasan itu sebagai alibi sempurna untuk mengutip
pungutan liar, baik terhadap korban pelapor maupun terhadap pihak terlapor. Apa
memang betul, begitu adanya di internal kepolisian kita di Indonesia? Sudah
jadi korban kejahatan, kini masih pula menjadi korban pemerasan oleh oknum
polisi, sungguh lebih jahat daripada kriminal itu sendiri. Padahal mereka sudah
disumpah jabatan serta memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat.
Dapat kita yakini, bahwa masyarakat
yang telah pernah atau sedang menjadi korban kejahatan, enggan melaporkan
kejadian yang dialaminya karena apatis, mengingat tidak ada jaminan laporan
atau aduan akan ditindak-lanjuti polisi, yang artinya bisa merugi dua kali,
rugi jadi korban kejahatan lalu harus pula merugi waktu, tenaga, dan “letih
hati” mendapati sikap kepolisian kita yang memonopoli akses keadilan pidana
namun masih juga melalaikan dan mengabaikan hak-hak warga yang menjadi korban
pelapor.
Dapat kita bayangkan, penjara setiap tahunnya penuh sesak dari narapidana, bahkan setiap tahunnya pula dilaporkan “over capacity”, namun fakta realitanya jauh lebih banyak kejahatan diluar sana yang tidak disentuh dan diabaikan oleh aparatur penegak hukum kita. Negara tidak benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, bukankah itu sama artinya negara memelihara kejahatan dan kriminalitas di negeri kita, dimana korban hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk melindungi dirinya sendiri?
Brief Answer: Praktik demikian yang sudah menjadi “rahasia
umum” merupakan alibi atau justifikasi klise (alasan pembenar) yang justru
dipelihara oleh etos kerja atau kultur berprofesi yang tidak sehat oleh
kalangan kepolisian kita di Tanah Air, seolah-olah dengan mengantungi alibi
“abadi” demikian maka mereka tidak memiliki beban moril ataupun “moral hazard” untuk memeras rakyat sipil
yang hak akses penegakan hukum pidananya dimonopolisir oleh kalangan kepolisian
dibawah payung POLRI (Polisi Republik Indonesia).
Peredaran uang kotor-gelap pada institusi
kepolisian di Indonesia, konon menurut Indonesian Police Watch, mencapai
triliunan Rupiah, dimana banyak kalangan menyebutkan bahwa para petinggi POLRI
memiliki banyak aset dan harta kekayaan, bahkan menurut penuturan sumber lain disebutkan
bahwa uang kertas (uang kotor hasil kolusi) yang mereka miliki dimakan tikus
“saking banyaknya” disimpan di gudang—entah benar, atau hanya sekadar kiasan,
uang-uang gelap mana kemudian diedarkan dalam bentuk “equity funding” berupa penyertaan modal usaha untuk berbagai
korporasi dan pengusaha sebagai modus “money
laundring”, menurut pengakuan seorang Klien kepada penulis dalam sebuah
kesempatan pada sesi konsultasi yang penulis bawakan.
Berapalah nilai bensin ataupun semisal alat tulis
kantor, dimana tidak berbanding lurus dengan besaran nominal pungutan
liar—lebih tepatnya ialah pemerasan terselubung—yang mencapai puluhan hingga
ratusan juta Rupiah. Bahkan, sekadar menuntut hak agar korban pelapor
mendapatkan keadilan dengan mem-pidanakan pihak terlapor, korban pelapor harus
meronggoh kocek dana yang tidak pernah sedikit nominalnya, semata agar
laporannya diproses (sehingga rakyat sipil menjelma “pengemis” yang harus
mengemis-ngemis apa yang sekadar menjadi haknya dan apa yang menjadi
tanggung-jawab profesi kalangan polisi), terutama pihak terlapor yang diadukan ialah
korporasi raksasa bermodal kuat ataupun pengusaha yang memiliki pengaruh
politik.
PEMBAHASAN:
Bisa dikatakan, bila pemerintah
serius dan menyanggupi untuk menggelontorkan dana operasional penuh (full back-up) bagi institusi POLRI dan
jajaran dibawahnya, maka pihak-pihak yang pertama-kali akan menentangnya ialah
para anggota kepolisian itu sendiri secara “berjemaah”. Mengapa? Oleh sebab
tiada lagi alibi sempurna untuk memeras dan memungli rakyat sipil, dimana
rakyat sipil dapat semudah menanggapi, “Bapak
Polisi kan sudah diberi anggaran operasional secara FULL, tidak ada alasan lagi
untuk meminta dana anggaran dari rakyat sipil!” Berangkat dari paradigma
demikian, justru adalah kalangan internal kepolisian itu sendiri yang selama
ini diuntungkan dari kondisi “anggaran operasional tidak pernah cukup diberikan
oleh pemerintah pusat”—para polisi itu sendiri yang paling berkepentingan
mengeksploitasi isu klise demikian.
Lilatlah institusi semacam
Kantor Pertanahan, dimana anggaran negara digelontorkan untuk meng-cover
seluruh biaya operasional pegawai maupun kantor, namun pungutan liar selalu
terjadi oleh oknum-oknum “berjemaah” di Kantor Pertanahan, dan vulgar terjadi tanpa
rasa malu ataupun takut oleh para petugas maupun pejabat-pejabat tersebut.
Boleh percaya namun juga boleh tidak, seorang tetangga di kediaman penulis di
Jakarta, adalah anggota kepolisian aktif yang setiap bulannya digaji oleh
negara, namun pekerjaan yang bersangkutan setiap harinya hanyalah “bertelur” di
rumahnya dan menjadi “babysitter”
anak-anaknya, alias “makan gaji buta”—bisa penulis buktikan, bila ada yang
meminta pembuktian pernyataan penulis tersebut.
Pepatah menyebutkan, cerminan
miniatur kultur suatu bangsa, dapat kiat lihat pada perilaku para pengendara
kendaraan bermotor kita di jalan umum dan di jalan raya. Cerminan yang sama
berlaku bagi anggota kepolisian yang kerap menilang dan mengantungi pungutan
liar dari pada pengendara yang mereka tilang. Hanya bermodal buku tilang, tiada
butuh anggran operasional apapun karena sang polisi sekadar bersembunyi lalu
menilang pengendara, dimana setiap harinya ratusan atau bahkan ribuan
pengendara dijadikan “sapi perahan” oleh sang oknum kepolisian—masalah klasik
yang selalu menjadi momok di Indonesia ialah, “oknum-nya kebanyakan” serta
“kultur abadi dari sejak zaman tempo dulu, kini, dan selamanya (dipelihara
untuk dieksploitasi)”.
Ada sebagian orang, yang
memilih untuk tetap dalam kondisi sakit agar dikasihani oleh orang lain, alias dalam
rangka mengekspolitasi kemurahan hati dan simpatik orang lain. Ada banyak pengemis,
yang bahkan berpura-pura “berkaki buntung” (jika perlu buntung betulan) semata
agar dapat selamanya mengeksploitasi kemurahan hati dan empati orang lain.
itulah yang dapat kita sebut sebagai “kelemahan / ketidak-sempurnaan yang
dipelihara”. Negeri ini ibarat gentong bocor, diisi sebanyak apapun, titik
kebocorannya terjadi dimana-mana oleh pihak internal Aparatur Sipil Negara itu
sendiri—gaibnya, kebocoran-kebocoran deikian seolah-olah dipelihara oleh pihak-pihak
internal lembaga itu sendiri yang paling berkepentingan untuk “memancing di air
keruh”.
Juga sudah menjadi “rahasia
umum”, masyarakat kita yang hendak melamar pekerjaan sebagai anggota satuan kepolisian,
motifnya bukan dilandasi niat baik untuk melayani dan melindungi serta
mengayomi masyarakat, namun semata ingin memiliki kekuasaan, mengakumulasi
kekayaan, dan ingin cepat kaya-raya. Karenanya, gaji bulanan yang minim
bukanlah menjadi demotivasi bagi mereka untuk jika perlu “menyuap” ataupun
meladeni pungutan liar demi diterima bergabung sebagai anggota kepolisian di Indonesia.
Tidak percaya? Polisi ngakunya ber-gaji “mepet” alias pas-pasan, dimana gaji untuk
mencukupi kehidupan keluarganya selama sebulan tidaklah cukup, tapi mengapa polisi
kita bisa bergaya hidup “hedon” selama ini? Tanya mengapa?!
Yang berbau busuk, tidak mungkin dapat mengendus dan menangkap penjahat
busuk—sesama “manusia busuk” biasanya saling kompromistik. Hanya mereka yang tidak
berbau busuk yang dapat mengenali individu-individu yang berbau busuk dan menangkap
basah sang “manusia busuk” tersebut, sebagaimana dapat kita rujuk khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, dengan kutipan sebagai berikut:
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Brahmana
Vassakāra, perdana menteri Magadha, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar
sapa dengan Beliau … Kemudian, sambil duduk di satu sisi, ia berkata kepada
Sang Bhagavā:
(1) “Guru Gotama, dapatkah
seorang yang jahat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang
jahat’?”
“Adalah, brahmana, tidak
mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang
yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat.’”
(2) “Dapatkah seorang yang
jahat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”
“Adalah tidak mungkin dan
tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang yang baik:
‘Orang ini adalah seorang baik.’”
(3) “Dapatkah seorang yang
baik mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang yang baik’?”
“Adalah mungkin bahwa
seorang yang baik dapat mengenali seorang yang baik: ‘Orang ini adalah seorang
yang baik.’”
(4) “Dapatkah seorang yang
baik mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang yang jahat’?”
“Adalah mungkin bahwa
seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: ‘Orang ini adalah seorang
yang jahat.’”
“Menakjubkan dan mengagumkan,
Guru Gotama, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah
tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali
seorang yang jahat … [seperti di atas] … Adalah mungkin bahwa seorang
yang baik dapat mengenali seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang yang
jahat.”’
“Pada suatu ketika, Guru
Gotama, para anggota kelompok Brahmana Todeyya sedang mencari-cari kesalahan
satu sama lain, [dengan berkata]: ‘Raja Eleyya ini dungu, karena ia memiliki
keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan penghormatan tertinggi
dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam dengan hormat padanya, dan
melakukan etiket selayaknya terhadapnya. Para bawahan Raja Eleyya ini – Yamaka,
Moggalla, Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa – juga dungu, karena mereka
juga memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan
penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam
dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.’
Kemudian Brahmana Todeyya
menggiring mereka dengan menggunakan metodenya: ‘Bagaimana menurut kalian,
Tuan-tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif,
dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah Raja Eleyya bijaksana dan lebih cerdik
daripada mereka yang sangat cerdik?’
“[Mereka menjawab:] ‘Benar,
Tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif,
dekrit-dekrit dan proklamasi, Raja Eleyya memang bijaksana dan lebih cerdik
daripada mereka yang sangat cerdik.’
“‘Tetapi, Tuan-Tuan,’ [ia
berkata,] ‘adalah karena Petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada Raja Eleyya,
lebih cerdik daripada [raja yang] cerdik ini dalam hal-hal yang berhubungan
dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi, maka Raja
Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta dan menunjukkan
penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya, memberi salam
dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya terhadapnya.
“‘Bagaimana menurut kalian,
Tuan-tuan, dalam hal-hal yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif,
dekrit-dekrit dan proklamasi, bukankah para bawahan Raja Eleyya – Yamaka,
Moggalla, Ugga, Nāvindakī, Gandhabba, dan Aggivessa – adalah bijaksana dan
lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik?’
“‘Benar, Tuan, dalam hal-hal
yang berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan
proklamasi, para bawahan Raja Eleyya – Yamaka … Aggivessa -memang bijaksana dan
lebih cerdik daripada mereka yang sangat cerdik.’
“‘Tetapi, Tuan-tuan, adalah
karena Petapa Rāmaputta lebih bijaksana daripada para bawahan Raja Eleyya,
lebih cerdik daripada [para bawahan raja] yang cerdik ini dalam hal-hal yang
berhubungan dengan tugas-tugas administratif, dekrit-dekrit dan proklamasi,
maka para bawahan Raja Eleyya memiliki keyakinan penuh pada Petapa Rāmaputta
dan menunjukkan penghormatan tertinggi dengan menyembahnya, bangkit untuknya,
memberi salam dengan hormat padanya, dan melakukan etiket selayaknya
terhadapnya.’”
[Kitab Komentar menjelaskan: Uddaka
Rāmaputta, salah satu guru Sang Buddha sebelum pencerahanNya.
“Sang brahmana, sebagai seorang
yang baik, memuji Raja Eleyya, kelompoknya, dan Uddaka Rāmaputta. Karena
orang jahat adalah bagaikan seorang buta, dan orang baik bagaikan seorang yang
memiliki penglihatan yang baik. Seperti halnya orang buta tidak dapat
melihat orang lain baik yang buta maupun yang memiliki penglihatan, demikian
pula orang jahat tidak dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat.
Tetapi seperti halnya seorang yang memiliki penglihatan baik dapat melihat baik
orang buta maupun orang yang berpenglihatan baik, demikian pula seorang yang
baik dapat mengenali baik orang baik maupun orang jahat. Brahmana
[Vassakāra], berpikir: ‘Bahkan Todeyya, sebagai seorang yang baik, mengenali
siapa yang orang jahat,’ merasa senang karena hal ini dan berkata:
‘Menakjubkan, Guru Gotama!’”]
“Menakjubkan dan mengagumkan,
Guru Gotama, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Guru Gotama: ‘Adalah
tidak mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali
seorang yang jahat: “Orang ini adalah seorang jahat.” Juga adalah tidak
mungkin dan tidak terbayangkan bahwa seorang yang jahat dapat mengenali seorang
yang baik: “Orang ini adalah seorang baik.” Adalah mungkin bahwa seorang yang
baik dapat mengenali seorang yang baik: “Orang ini adalah seorang yang baik.”
Juga adalah mungkin bahwa seorang yang baik dapat mengenali seorang yang jahat:
“Orang ini adalah seorang yang jahat.” Dan sekarang, Guru Gotama, kami
harus pergi. Kami sibuk dan banyak yang harus dikerjakan.”
“Silakan engkau pergi,
Brahmana.”
Kemudian Brahmana Vassakāra,
perdana menteri Magadha, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata
Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.
Demikianlah, tidak pada
proporsinya kita mengharapkan kriminalitas di republik kita dapat diberantas
selama aparatur penegak hukumnya itu sendiri tidak kalah kriminil dengan para
kriminil yang semestinya mereka tindak. Adalah juga tidak niscaya aparatur
penegak hukum kita mampu membedakan mana “korban” dan mana “pelaku”, karena
ketidak-mampuan mereka membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
benar dan mana yang salah, terlebih mana yang merupakan orang baik dan mana
yang merupakan orang jahat. Salah satu tugas polisi, ialah mengayomi masyarakat.
Pertanyaannya, mengayomi semacam apakah yang selama ini dipertunjukkan oleh
para anggota kepolisian kita di Tanah Air selain memamerkan secara vulgar sikap-sikap
penuh arogansi dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap sipil yang semestinya
mereka layani dan lindungi?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.