Tahu Hukum, namun Tidak Patuh dan bahkan Melanggarnya, itu Namanya Tidak Menghormati Hukum, Tidak Menghargai Sesama Warga, dan Melecehkan Negara
Question: Mengapa bisa sampai terjadi serta apa yang menjadi penyebabnya, banyak orang yang belajar hukum, bahkan menyandang gelar sebagai sarjana hukum ataupun berprofesi sebagai aparatur penegak hukum, namun justru melanggar hukum dalam keseharian hidupnya?
Brief Answer: Betul bila disebutkan bahwa banyak diantara mereka
yang mengetahui betul aturan hukum pada suatu negara, namun kemudian ia atau
mereka sendiri kemudian melanggarnya secara disengaja dan diinsafi alias
dikehendaki terjadinya oleh karena satu atau lebih motif terselubung yang
tentunya ilegal. Patuh terhadap hukum yang ia ketahui dan pahami, sama artinya
menghargai sesama warga dan menghormati negaranya. Analoginya ketika kita
selaku tamu lalu bertamu pada kediaman milik tuan rumah, maka untuk menghormati
tuan rumah, kita perlu patuh dan menghargai aturan main milik tuan rumah.
Jangankan para pembelajar ataupun para kalangan
Sarjana Hukum, yang jelas-jelas notabene tahu dan paham hukum lengkap dengan
segala ancaman sanksinya bila melanggar (dan tetap saja melanggarnya secara
terselubung ataupun secara terang-terangan), mereka yang bahkan tahu dan paham
perihal Hukum Karma (mengaku-ngaku sebagai beragama Buddhist) pun banyak yang
dengan gagah berani tanpa kenal rasa malu ataupun rasa takut, menanam berbagai
benih Karma Buruk—sikap egoistik terhadap diri mereka sendiri, menutup mata
dari konsekuensi yang akan mereka hadapi dan tanggung sendiri di masa mendatang
ketika buah Karma Buruk ataupun sanksi hukuman sebagai “punishment” telah matang untuk mereka petik sendiri pahitnya.
PEMBAHASAN:
Terdapat pepatah klasik yang
menyebutkan, setelah belajar dan menjadi tahu, maka tahap selanjutnya ialah
memahami dan mengamalkannya. Tingkat keberadaban seseorang, dinilai dari sikap
mereka terhadap apa yang telah ia ketahui dan pahami. Adapun merujuk pada khotbah
Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, mengenai ironi seseorang yang banyak belajar namun miskin dalam
pengamalannya, dengan kutipan sebagai berikut:
~Seorang
yang Sedikit Belajar~
“Para bhikkhu, ada empat jenis
orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang sedikit belajar yang
tidak bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari; orang yang sedikit belajar
yang bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari; orang yang banyak
belajar yang tidak bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari; orang
yang banyak belajar yang bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari.
(1) “Dan bagaimanakah orang
yang sedikit belajar yang tidak bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia
pelajari? Di sini, seseorang telah mempelajari sedikit – yaitu,
khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair,
ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah
menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban - tetapi ia tidak memahami makna dari
apa yang telah ia pelajari; ia tidak memahami Dhamma; dan ia tidak berlatih
sesuai Dhamma. Demikianlah orang yang sedikit belajar yang tidak
bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari.
(2) “Dan bagaimanakah orang
yang sedikit belajar yang bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari?
Di sini, seseorang telah mempelajari sedikit – yaitu, khotbah-khotbah …
pertanyaan-dan-jawaban – tetapi setelah memahami makna dari apa yang telah ia
pelajari, dan setelah memahami Dhamma, ia berlatih sesuai Dhamma.
Demikianlah orang yang sedikit belajar yang bersungguh-sungguh pada apa yang
telah ia pelajari.
(3) “Dan bagaimanakah orang
yang banyak belajar yang tidak bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia
pelajari? Di sini, seseorang telah mempelajari banyak – yaitu,
khotbah-khotbah … pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia tidak memahami makna dari
apa yang telah ia pelajari, ia tidak memahami Dhamma; dan ia tidak berlatih
sesuai Dhamma. Demikianlah orang yang banyak belajar yang tidak
bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari.
(4) “Dan bagaimanakah orang
yang banyak belajar yang bersungguh-sungguh pada apa yang telah ia pelajari?
Di sini, seseorang telah mempelajari banyak – yaitu, khotbah-khotbah …
pertanyaan-dan-jawaban – dan setelah memahami makna dari apa yang telah ia
pelajari, dan setelah memahami Dhamma, ia berlatih sesuai Dhamma.
Demikianlah orang yang banyak belajar yang bersungguh-sungguh pada apa yang
telah ia pelajari.
“Ini, para bhikkhu, adalah
keempat jenis orang itu yang terdapat di dunia. Jika seseorang sedikit
belajar dan tidak kokoh dalam moralitas, mereka mengkritiknya dalam kedua hal,
perilaku bermoral dan pembelajaran.
Jika seseorang sedikit belajar namun kokoh dengan baik
dalam moralitas, mereka memujinya atas perilaku bermoralnya; pembelajarannya
telah berhasil.
Jika seseorang banyak belajar namun tidak kokoh dalam
moralitas, mereka mengkritiknya atas ketiadaan moralitasnya; pembelajarannya
belum berhasil.
Jika seseorang banyak belajar dan kokoh dengan baik dalam
moralitas, mereka memujinya dalam kedua hal, perilaku bermoral dan pembelajaran.
[Penjelasan Kitab Komentar : Pembelajarannya
dapat dikatakan telah berhasil karena orang ini telah menggunakan apa yang
telah ia pelajari untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sebaliknya, disebut bahwa
pembelajarannya belum berhasil karena ia belum mencapai tujuan
pembelajarannya.]
Ketika seorang siswa Sang
Buddha banyak belajar, seorang ahli Dhamma, memiliki kebijaksanaan,
bagaikan kepingan uang yang terbuat dari emas gunung yang dihaluskan, siapakah
yang pantas mencelanya? Bahkan para deva memuji orang demikian; Brahmā juga
memujinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.