Bahaya / Resiko Dibalik Akta Perdamaian di dalam Persidangan (Acta van Dading)
Question: Apa ada resiko dibalik bersepakat membuat akta perdamaian ketika saling gugat-menggugat di pengadilan? Akta perdamaian mana akan menjadi satu kesatuan dengan putusan hakim di pengadilan.
Brief Answer: “Acta van
Dading” merupakan Akta Perdamaian yang dirancang, disusun, dibuat, serta
disepakati sendiri oleh para pihak yang saling bersengketa di dalam pengadilan,
akta mana dilekatkan pada putusan Pengadilan Negeri serta dikukuhkan oleh hakim
pemeriksa dan pemutus perkara—sehingga seketika berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun demikian, bukan berarti
tidak terdapat bahaya / potensi bahaya dibalik “Akta Perdamaian dalam
persidangan” ini bilamana disepakati oleh para pihak serta dikukuhkan oleh
hakim di pengadilan.
Pernah terjadi, seorang suami menggugat cerai
istrinya di pengadilan. Namun, seiring waktu berjalannya gugatan, pasangan
suami-istri ini ternyata saling mengadakan perdamaian, maka dibentuklah “Acta van Dading” yang mengakhiri atau
menutup lembaran gugat-menggugat diantara kedua pasangan suami-istri ini. Akan
tetapi keadaan demikian tidak berlangsung lama, sang suami kembali menggugat
cerai istrinya, entah karena faktor ketidak-puasan “kinerja” sang istri
terhadap apa yang telah disepakati dalam “Acta
van Dading”, masalah disharmoni serupa seperti sebelumnya, atau karena
faktor lainnya.
Celakanya, pada “Acta van Dading” kemungkinan tidak diatur ataupun disepakati oleh
kedua belah pihak sampai kapankah Akta Perdamaian itu berlaku atau berlangsung.
Pada muaranya, hakim di pengadilan menolak gugatan sang suami, karena dianggap
“nebis in idem” mengingat diantara
para pihak yang telah saling bersengketa ini telah sebelumnya mengadakan dan
menyepakai “Acta van Dading” dalam
register perkara gugatan sebelumnya dengan pokok perkara dan subjek hukum
bersengketa yang sama.
PEMBAHASAN:
Secara teori, mengingat “Acta van Dading” sifatnya dilekatkan
bersama putusan hakim di pengadilan yang menguatkan Akta Perdamaian yang
dibentuk dan disepakati oleh para pihak yang bersengketa dimaksud, maka
terhadap “Acta van Dading” tersebut pun
turut melekat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Konsekuensi
yuridisnya, masih menurut kacamata teoretik, karenanya “Acta van Dading” mengandung “title eksekutorial” yang dapat dimohonkan
eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri pemutus perkara bilamana sewaktu-waktu salah
satu pihak lalai ataupun abai terhadap apa yang telah mereka sepakati di dalam “Acta van Dading” yang sifatnya seketika “inkracht” (berkekuatan hukum tetap)
ketika dikukuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri.
Namun, sayangnya, itu adalah
teori yang begitu tampak indah serta menawarkan solusi ideal meski senyatanya “jauh
panggang dari api”, sekalipun praktik di lapangan sudah banyak menunjukkan
betapa banyak korban-korban berjatuhan akibat memakan dan termakan iming-iming dibalik
“indah”-nya apa yang disebut sebagai “Acta
van Dading” yang ternyata “petaka berbulu kedamaian”. Terdapat bahaya laten
dibalik “Acta van Dading”, yang mana
sayangnya, tidak pernah disinggung di dalam teori “text book” ilmu hukum manapun—bahkan mungkin juga pengacara Anda tidak
tahu mengenai fakta realita demikian.
Seperti pepatah klasik menyebutkan,
“Pengalaman itu mahal”. Ya, tiada
yang menampiknya, bahkan terlampau mahal harga yang harus Anda dapatkan. Namun terlampau
lebih mahal bila Anda sendiri yang mengalaminya alih-alih belajar dari
pengalaman buruk dari kasus-kasus yang sudah pernah ada. Fakta yang sebenarnya
ialah, tidak sedikit kejadian dimana “Acta
van Dading” tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan sekalipun dimohonkan
oleh salah satu pihak yang bersepakat di dalam Akta Perdamaian tersebut—bila
tidak dapat penulis sebut bahwa semua “Acta
van Dading” bersifat “non executable”
sifatnya.
Berharap menyelesaikan
sengketa, sebagai muara dan penutup dari lembaran sengketa gugat-menggugat,
akan tetapi justru menjelma lembaran sengketa baru yang lebih buruk dari “mimpi
terburuk” yang dapat Anda impian ataupun bayangkan. Betul bahwa amar putusan
hakim di pengadilan yang berupa “comdemnatoir”
(penghukuman secara perdata dengan ciri frasa “menghukum”) bersifat “executable”, namun apakah semua amar
berbunyi “menghukum” dapat benar-benar dieksekusi oleh pengadilan bila salah
satu pihak dalam putusan tersebut melalaikannya?—itulah pertanyaan
terbesarnya, mengingat hanya amar penghukuman untuk membayar sejumlah uang /
ganti-kerugian maupun penghukuman “pengosongan” objek tanah/ rumah-lah yang benar-benar
dapat dieksekusi oleh pengadilan, semisal dengan menyita dan melelang
eksekusi objek harta kekayaan milik tereksekusi.
Amar penghukuman oleh hakim
dalam putusan yang memerintahkan Tergugat untuk untuk mengembalikan sertifikat hak
atas tanah, sebagai contoh, tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan, sekalipun
amar putusan menghukum dengan bunyi demikian. Adapun contoh bunyi diktur / amar
putusan yang mengukuhkan atau mengesahkan Akta Perdamaian, ragam atau
variasinya antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Menghukum Para Pihak yaitu
Pihak Penggugat dan Pihak Tergugat untuk mematuhi dan melaksanakan kesepakatan
perdamaian (Acta Van Dading) yang telah disepakati tersebut.”
“Menghukum kedua belah pihak
untuk mentaati Akta Perdamaian (Van Dading) tertanggal 4 April 2019 yang telah
disepakati tersebut.”
“Menyatakan bahwa atas gugatan
waris register 323/Pdt.G/2021/PA.Kis, telah dicapai perdamaian yang dituangkan
dalam akta perdamaian;
Menghukum Kedua pihak untuk
mentaati isi perjanjian / perdamaian (akta van dading) tersebut;”
Mengapa hampir semua Akta Perdamaian
demikian, tidak dapat dieksekusi, meski dilekatkan / disahkan / dikukuhkan pada
putusan pengadilan dengan amar berupa perintah penghukuman agar para pihak patuh
pada Akta Perdamaian dimaksud? Jawabannya ialah semata karena Akta Perdamaian
yang disusun dan disepakati oleh para pihak yang bersengketa di dalam
pengaadilan, isi atau substansi pengaturan di dalamnya sangat mirip atau
menyerupai sebuah kontrak—tidak mirip putusan hakim pada umumnya, sehingga
menjadi tidak ubahnya sebuah “Akta Restrukturisasi Kredit” pada umumnya.
PENUTUP & REKOMENDASI :
Langkah hukum yang lebih Ideal ialah,
para pihak yang saling bersengketa gugat-menggugat membuat dan menyepakai Akta
Perdamaian DI LUAR persidangan, untuk selanjutnya Penggugat mencabut gugatan sebelum
pihak lawan (Tergugat) menyerahkan Surat Jawaban di persidangan—agar Tergugat bisa
“digugat ulang” dikemudian hari bilamana ternyata perjanjian / kesepakatan
sebagaimana dalam Akta Perdamaian kembali dilanggar oleh pihak Tergugat. Dengan
cara demikian, maka gugatan dalam register perkara gugatan yang dicabut belum
memasuki pemeriksaan terhadap “pokok perkara”, mengingat belum masuk pada
agenda acara jawab-menjawab, sehingga Penggugat berhak sewaktu-waktu mengajukan
“gugatan ulang” tanpa ancaman dinyatakan “nebis in idem”, dimana Akta Perdamaian DI LUAR persidangan itulah yang
akan menjadi objek gugatan dalam register perkara yang terbaru.
Sebagai ilustrasi untuk
memudahkan pemahaman, contoh berikut dapat cukup mewakili. Seorang debitor
menggugat kreditornya karena terjadi peristiwa “kredit macet” dimana agunan
jaminan pelunasan hutang milik sang debitor hendak dijual-lelang (dieksekusi Hak
Tanggungan) oleh kreditornya. Saat berlangsung agenda acara mediasi di
pengadilan dengan difasilitasi oleh mediator, sang debitor selaku Penggugat dan
sang kreditor selaku Tergugat, bernegosiasi dan tercapai kesepahaman untuk saling
berdamai. Pada titik / momen krusial inilah, keliru menerapkan strategi hukum,
fatal akibatnya.
Opsi hukum yang lebih tepat
ditempuh oleh sang debitor, bukanlah membuat Akta Perdamaian DI DALAM
pengadilan (Acta van Dading), namun pihak
Penggugat perlu secepatnya mencabut gugatan sebelum pihak Tergugat
menyerahkan Surat Jawaban ke hadapan hakim pengadilan, dan untuk selanjutnya
membuat Akta Perdamaian DI LUAR pengadilan, bisa berupa “Akta Restrukturisasi
Kredit” atau apapun itu istilahnya. Bilamana dikemudian hari ternyata masih
juga salah satu pihak melalaikan isi akta yang disebut terakhir tersebut, maka
akta itulah yang bisa dijadikan salah satu objek “gugatan baru” di pengadilan,
entah dengan gugatan berjenis wanprestasi (bilamana ada kelalaian) maupun perbuatan
melawan hukum (bilamana ada “itikad tidak baik”), tanpa terancam dinyatakan
sebagai “gugatan yang nebis in idem”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.