Akta Perdamaian Notaris Vs. Putusan Pengadilan, mana yang Lebih Otentik-Suprematif?
Tumpang-Tindih (Overlaping)
Akta Perdamaian (Diluar Pengadilan) Vs. Putusan Banding / Kasasi
Question: Apa ada potensi bahaya atau resikonya, bila gugat-menggugat ini masih dalam proses kasasi, namun penggugat dan tergugat bersepakat untuk berdamai dengan membuat akta damai (di luar persidangan), dengan tidak lupa menyepakati pula bahwa para pihak sepakat untuk menyimpangi apapun isi putusan kasasi nantinya bila tetap terbit putusan kasasinya sekalipun permohonan kasasi akan dicabut saat akta damai ditanda-tangani oleh para pihak?
Brief Answer: Tidak jarang terjadi, masyarakat mengira bahwa
dengan membuat dan menyepakati Akta Perdamaian diluar pengadilan saat sedang
berlangsung upaya hukum Banding maupun Kasasi, antara pihak-pihak yang saling
bersengketa (dalam hal ini pihak Penggugat dan Tergugat ataupun Para Tergugat),
sekalipun didalam Akta Perdamaian diluar pengadilan tersebut dicantum klausula
bahwa “Para Pihak sepakat untuk mencabut
permohonan Banding / Kasasi yang sedang berlangsung, dimana sekalipun dikemudian
hari putusan Banding / Kasasi tetap terbit, maka Para Pihak sepakat untuk tidak
mengindahkan putusan, dimana kesepakatan dalam Akta Perdamaian ini menjadi satu-satunya
penyelesaian sengketa antara Para Pihak.”
Terdapat beberapa potensi bahaya atau ancaman
bahaya dibalik pembuatan Akta Perdamaian diluar persidangan saat upaya hukum
Banding maupun Kasasi sedang berlangsung, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.) sekalipun Akta Perdamaian
dibuat secara akta notaris yang otentik, bilamana putusan pengadilan tingkat Banding
/ Kasasi tetap terbit, maka tetap terbuka potensi penyalah-gunaan oleh salah satu
pihak yang diuntungkan atau dimenangkan oleh putusan tersebut dengan
menggunakan putusan tersebut sebagai legitimasi untuk menuntut / melepaskan diri
dari suatu hak / kewajiban tertentu sekalipun isi dalam Akta Perdamaian menyepakati
hal-hal sebaliknya;
2.) Akta Perdamaian diluar
pengadilan tidak memiliki “title eksekutorial”, sementara itu putusan
pengadilan mengandung “title eksekutorial” sehingga dinilai sebagai paling
otentik serta lebih suprematif nilai bobot keberlakuannya;
3.) Akta Perdamaian diluar
pengadilan tidak dapat dieksekusi bilamana salah satu pihak yang telah bersepakat
didalam Akta Perdamaian tersebut dikemudian hari telah ternyata ingkar-janji
dengan mengabaikan perikatan-perikatan didalamnya, sementara itu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimohonkan eksekusi kepada Pengadilan
Negeri.
PEMBAHASAN:
Idealnya, Akta Perdamaian
dibentuk saat sengketa gugat-menggugat masih dalam konteks agenda acara mediasi
di Pengadilan Negeri atau pada lembaga alternatif penyelesaian sengketa
lainnya. Setidaknya, paling lambat kesempatan untuk menyepakati Akta Perdamaian
ialah saat sebelum upaya hukum Banding maupun Kasasi diajukan oleh salah satu
ataupun oleh kedua belah pihak yang saling bersengketa, agar dapat memitigasi
ataupun meminimalisir potensi kemelut sengketa yang lebih kompleks serta “saling
mengunci” tanpa kepastian hukum yang tegas dan jelas, sehingga dapat menjadi
pemicu lembaran sengketa hukum baru lainnya.
Salah satu dari sekian banyak
kejadian yang berpotensi menciptakan lembaran sengketa hukum baru, akibat Akta
Perdamaian dibentuk dan disepakati saat upaya hukum sedang bergulir, dapat kita
jumpai sebagaimana SHIETRA & PARTNERS rujuk secara representatif
lewat putusan sengketa register Nomor tanggal 26 Juli 2010, perkara
gugat-menggugat antara Hj. RUSNAH PATOMPO Vs. H.M. YUSUF RAHMAN, dengan duduk
perkara sebagaimana terurai di bawah ini.
Penggugat dan Tergugat adalah
mantan suami isteri yang telah bererai berdasarkan putusan pengadilan sejak
tahun 2000, berlanjut pada sengketa perdata harta “gono-gini”, namun bermuara
pada perdamaian berdasarkan Perjanjian Perdamaian (Acta Van Dading) tertanggal 09 Juni 2005, perjanjian mana dilakukan
dihadapan Notaris yang isinya menyepakati bahwa Tergugat selaku Pihak Pertama
dan Penggugat sebagai Pihak Kedua telah menerangkan untuk bersepakat dan setuju
untuk tidak akan tunduk pada:
a. Putusan Pengadilan Negeri;
b. Putusan yang akan ada
dikemudian hari dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang saat ini sedang diajukan
Kasasi oleh Pihak Pertama / Tergugat; dan
c. Putusan Pengadilan Tinggi
Agama terkait sengketa antara Para Pihak, baik yang telah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari dari Mahkamah Agung, kecuali pada putusan Pengadilan Tinggi
Jayapura yang telah ada, dan karena itu dengan ini pula kedua belah pihak
(Tergugat dan Penggugat) hendak mengakhiri persengketaan dengan mengadakan
perdamaian.
Dalam Perjanjian Perdamaian di
atas, Tergugat telah menyatakan secara sukarela bahwa obyek sengketa dalam
perkara gugatan “pembagian harta bersama” yang sedang dimohonkan Kasasi, akan menjadi
milik sah sepenuhnya Pihak kedua, demikian hak pengurusan dan pengelolaan
terhadap objek sengketa tetap dikuasai oleh Penggugat. Namun telah ternyata, atas
perkara yang dimohonkan kasasi oleh Penggugat, kini telah terbit putusan kasasi
Nomor 111/ K/AG/2004 tanggal 11 April 2006 jo.
Putusan Peninjauan Kembali Nomor 56 PK/AG/2007, tertanggal 6 Januari 2008—meski
akan sebelumnya pihak Penggugat dan Tergugat telah sepakat dalam Akta Perdamaian
untuk tidak tunduk pada putusan Mahkamah Agung yang akan terbit.
Singkatnya, Tergugat dalam Akta
Perdamaian telah berjanji untuk menyerahkan secara sukarela penguasaan atas harta
bersama yang dijadikan objek sengketa dalam perkara pembagian harta bersama
yang diajukan oleh Tergugat di Pengadilan, yang pada saat diadakan perjanjian
perdamaian perkara dimaksud masih dalam pemeriksaan ditingkat kasasi pada Mahkamah
Agung, dimana juga Para Pihak didalamnya telah sepakat untuk tidak tunduk pada
putusan Mahkamah Agung yang akan ada sekalipun ketika putusan kasasi itu tebit
dikemudian hari, alias dikesampingkan oleh Para Pihak.
Akan tetapi, Akta Perdmaian
mana tidak pernah diindahkan ataupun ditepati oleh tergugat, mengingat Tergugat
kini justru mengajukan permohonan
Eksekusi sebagai pelaksanaan atas putusan Kasasi Nomor 11/ K/ AG/2004 tanggal
11 April 2006 jo. putusan Peninjauan Kembali
Nomor 56 PK/AG/2007 tertanggal 6 Januari 2008, sekalipun atas perkara tersebut
telah diselesaikan secara kekelurgaan lewat Akta Perdamaian di hadapan Notaris—yang
dengan kata lainnya, Tergugat memungkiri Akta Perdamaian dan bersikukuh
berpegang pendiriannya pada putusan Mahkamah Agung yang terbit paska
di-tanda-tanganinya Akta Perdamaian.
Dengan tidak dipatuhi maupun
dihormatinya kesepakatan dalam Akta Perdamaian yang disepakati pada tahun 2005,
Tergugat nyata-nyata telah cindera janji alias ingkar janji sekaligus
menunjukkan adanya itikad buruk dengan tidak mengakui Akta Perdamaian sehingga sikap
demikian dinilai merugikan kepentingan serta kedudukan hukum pihak Penggugat,
mengingat perkara pembagian harta “gono-gini” ini sudah lama selesai sejak
tahun 2005 tanpa berlarut-larut terlebih diperkeruh oleh permohonan eksekusi
terhadap putusan Mahkamah Agung yang terbit kemudian. Untuk itu, yang menjadi
pokok tuntutan Penggugat ialah agar pengadilan memutuskan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan
gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Akta Perdamaian (Akta Van Dading) tertanggal 09 Juni 2005,
adalah sah dan berdasar hukum, serta mengikat dan merupakan Undang-Undang bagi Penggugat
dan Tergugat;
3. Menyatakan Tergugat telah
wanprestasi, karena tidak melaksanakan bunyi kesepakatan dalam akta perdamaian
(Akta Van Dading) tertanggaI 09 Juni
2005;
4. Menyatakan putusan Pengadilan
Agama hingga putusan Peninjauan Kembali Nomor 56 PK/AG/2007 tertanggaI 6 Januari
2008, tidak memiliki kekuatan hukum dan “non
eksekutable”, karena telah disepakati oleh para pihak yang berperkara
(Penggugat dan Tergugat) untuk dikesampingkan dan atau tidak akan tunduk pada
putusan tersebut sebagaimana bunyi akta perdamaian Nomor tertanggal 09 Juni
2005;
5. Menghukum Tergugat untuk
membayar kerugian Penggugat yang ditimbulkan sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan
oleh Tergugat, baik kerugian Materiil maupun kerugian Immateriil.
Terhadap gugatan Penggugat,
tanggapan Tergugat ialah bahwa gugatan Penggugat pada pokoknya adalah tentang wanprestasi,
akan tetapi tidak pernah ada somasi kepada Tergugat. Gugatan Penggugat juga
dinilai rancu, karena gugatan wanprestasi digabungkan pula dengan permintaan
Penggugat dalam petitum untuk Pengadilan Negeri menilai kembali putusan
Mahkamah Agung RI yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berarti apabila
dengan dikabulkannya gugatan Penggugat mengakibatkan suatu pertentangan hukum
yang dilakukan oleh lembaga peradilan (onrechtmatige
rechstpraak).
Bahwa terhadap gugatan
Penggugat, Pengadilan Negeri Kota Timika kemudian menjatuhkan putusan No.
29/Pdt .G/2008/PN.Tmk. tanggal 6 Juli 2009, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI:
Dalam Pokok Perkara :
- Menolak gugatan Penggugat
untuk seluruhnya.”
Dalam tingkat banding atas
permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri di atas kemudian dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi Jayapura lewat putusan No.47/PDT/2009/PT.JPR. tanggal 17
November 2009. Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum Kasasi, dimana
terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan yang
inkonsisten antara pertimbangan hukum dan amar putusan—yang terjadi bukan hanya
pada perkara ini satu-satunya—sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan ini tidak
dapat dibenarkan, karena merupakan pengulangan dari dalil-dalil yang telah
dipertimbangkan oleh Judex Facti secara tepat dan benar, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan lagi dalam pemeriksaan tingkat kasasi, lagipula alasan-alasan tersebut
pada hekakatnya adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tetnang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangakn dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya
berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum;
“Bahwa Perikatan dalam
bentuk ‘akte van dading yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang
bagi pihak yang membuatnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi : Hj. RUSNAH PATOMPO tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Hj. RUSNAH
PATOMPO tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.