Ancaman Hukum Tidak Selalu Berbanding Lurus dengan Tingkat Kepatuhan Warga Masyarakat selaku Subjek Pengemban Hukum
Ketika Hukum Menemui Jalan Buntu, (maka) Bukan lagi menjadi
Tugas serta Peran Utama Profesi Hukum
Tampaknya pemerintah kita sedang ber-euforia ria merancang, membentuk, serta menerbitkan berbagai Undang-Undang yang serba “gemuk” (penuh berlemak) ala “omnibus law”—dimana bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi buatan “anak bangsa” dirancang serta diterbitkan secara “omnibus law”—meski saat kali pertamanya Kepala Negara kita terpilih serta menjabat sebagai Kepala Pemerintahan, janji politik pertamanya kepada publik ialah akan menyederhanakan peraturan perundang-undangan, yang terbukti ialah sebaliknya dalam realita kali keduanya sang Kepala Negara menjabat sebagai Kepala Pemerintahan. Bahkan, tampaknya pemerintah kita turut berdelusi-ria, bahwasannya semakin banyak aturan dibentuk maka tingkat kepatuhan masyarakat akan secara sendirinya meningkat serta terdongkrak serta. Pemerintahan yang delusif, menghasilkan “output” berupa masyarakat yang juga delusif.
Apakah kultur atau budaya
berhukum masyarakat kita, dapat dibentuk semudah menerbitkan peraturan lewat norma-norma
hukum yang kian “gemuk” dari tahun ke tahun seperti tren kecenderungan dewasa
ini di Indonesia? Jauh api dari panggang, demikian pepatah telah pernah
berpesan, klise namun masih relevan. Kini mari kita cermati, sekalipun sejarah
panjang negara berhukum kita di Indonesia telah membuktikan, apakah praktik Undang-Undang
ala “omnibus law” maupun norma hukum pidana yang dapat dibebankan daya paksa
yang keras dan tegas secara eksternal oleh aparatur penegak hukum terhadap
warga yang melanggarnya, dapat terbukti efektif menciptakan budaya “berkesadaran
hukum” berupa “kepatuhan masyarakat” yang diatur olehnya, ataukah justru menciptakan
pelanggar- pelanggar baru lainnya sekalipun pemberitaan “penjara yang over-capacity” sudah menjadi hal klise
sepanjang tahunnya sehingga pemerintah merasa terdesak untuk membuat kebijakan
obral cuti serta korting “masa tahanan”, umbar remisi, serta bagi-bagi “pembebasan
bersyarat”.
Banyak atau sedikitnya aturan
hukum yang mengatur—berupa perintah, larangan, maupun kebolehan tertentu—baik
secara pidana, perdata, maupun administratif, sebetulnya bukanlah isu yang relevan.
Yang lebih tepat-guna untuk diajukan sebagai pertanyaan cerdas ialah, bagaimanakah
cara menciptakan kultur atau budaya berkesadaran hukum yang sehat serta beradab
bagi warga masyarakatnya. Jujur, itu bukan domain profesi hukum untuk
menghadirkan solusi, namun sebagai cerminan kegagalan peran profesi para guru
maupun kalangan pemuka agama kita selama ini, terutama dalam memberikan teladan
nyata yang jauh dari sifat atau sikap-sikap “hipokrit”.
Bila Anda kebetulan adalah seorang
dengan latar-belakang Sarjana Hukum yang terobsesi dengan doktrin “law as a tool of social engineering”,
maka fakta berikut ini dapat membuat Anda menjadi frustasi disamping apatis
akibat ambisi yang tidak realistik. Kejahatan-kejahatan paling primitif yang
dikenal dalam peradaban umat manusia, mulai dari pencurian, penipuan,
penggelapan, pemerkosaan, vandalisme, hoax
maupun “prank”, penganiayaan,
pengancaman, pemerasan, perjud!an, human
trafficking, illegal logging, illegal mining, bahkan sudah dikenal sebelum
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, namun tren dewasa ini alih-alih berkurang
prevalensi kejadiannya, justru kian menjadi-jadi, sekalipun ancaman hukumannya
sudah diatur dan sudah sangat jelas hukuman pada praktik peradilannya. Efek penjeraan
yang digadang-gadang, tampaknya tidak menemukan tempat baginya untuk memvalidkan
diri. Ditegakkan secara efektif, namun telah terbukti tidak membentuk kepatuhan
warga, terlebih menciptakan budaya “patuh hukum” lewat kesadaran pribadi masing-masing
warga bilamana tiada aparatur yang mengawasi.
Semakin banyak dan masif
peraturan dibentuk oleh pemerintahan suatu negara, tanpa bermaksud bersikap
apatis, modus-modus kejahatan baru akan kian terbentuk dan menemukan ruang
bermainnya sendiri. Semakin canggih dan rapat suatu norma hukum dirancang dan dibentuk
serta diterapkan, otak-otak jahat serta akal-akal jahat milik orang-orang jahat
akan turut berevolusi menciptakan celah-celah serta modus baru yang kian
canggih sehingga mampu meng-akal-i aparatur penegak hukum, bahkan hingga sama sekali
tidak terdeteksi ataupun terlacak. Kejahatan terlampau “liguid” untuk dapat
digenggam, bagai mencoba menggenggam air. Seorang anggota polisi pernah berkata
sebagai berikut saat seorang warga melaporkan bahwa dirinya telah menjadi
korban penipuan modus baru yang pandai memanipulasi emosi serta pikiran
korbannya yang dieksploitasi. “Orang-orang
zaman sekarang pintarnya untuk pintar memikirkan cara-cara atau modus-modus licik
(untuk menipu warga yang menjadi korban).”
Niscaya ataukah sebaliknya, harapan
yang delusif, ketika pemerintah berharap serta mengharapkan untuk menciptakan
negara serta berbangsa yang beradab, dengan semata mengandalkan pembentukan
norma hukum? Jawabannya akan memperlihatkan betapa tidak relavannya profesi
hukum dalam memberikan solusi, dimana sebagai penjabarannya untuk itu tepat
kiranya penulis kutipkan khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The
Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa
Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra
Anggara, perihal
empat jenis tipikal individu, dengan kutipan sebagai berikut:
“Para bhikkhu, ada empat jenis
kuda yang baik yang berdarah murni terdapat di dunia. Apakah empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
satu jenis kuda yang baik yang berdarah murni tergerak dan memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, dengan
berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah
yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis kuda yang baik
yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis pertama dari kuda yang baik
yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
(2) “Kemudian, satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, melainkan ia
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan ketika bulunya ditepuk dengan tongkat
kendali, dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku
padaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah
satu jenis kuda yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke
dua dari kuda yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
(3) “Kemudian, satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak
ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan
memperoleh rasa keterdesakan ketika kulitnya ditepuk dengan tongkat kendali,
dengan berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini?
Apakah yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke tiga dari kuda
yang baik yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
(4) “Kemudian, satu jenis kuda
yang baik yang berdarah murni tidak tergerak juga tidak memperoleh rasa
keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan tongkat kendali, juga tidak
ketika bulunya ditepuk dengan tongkat kendali, juga tidak ketika kulitnya
ditepuk dengan tongkat kendali, melainkan ia tergerak dan memperoleh rasa
keterdesakan ketika tulangnya ditepuk dengan tongkat kendali, dengan
berpikir: ‘Tugas apakah yang akan diberikan pelatihku padaku hari ini? Apakah
yang dapat kulakukan untuk memuaskannya?’ Demikianlah satu jenis kuda yang baik
yang berdarah murni itu di sini. Ini adalah jenis ke empat dari kuda yang baik
yang berdarah murni yang terdapat di dunia.
“Ini adalah ke empat jenis kuda
yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.
“Demikian pula, para bhikkhu,
ada empat jenis orang yang baik yang berdarah murni terdapat di dunia. Apakah
empat ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu,
satu jenis orang yang baik yang berdarah murni mendengar: ‘Di desa atau
pemukiman itu seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal
dunia.’ Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan.
Karena tergerak, ia berusaha dengan seksama. Dengan teguh, ia merealisasikan
kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya dengan
kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang
berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah ia melihat bayangan
tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah
murni. Ini adalah jenis pertama dari orang yang baik yang berdarah murni yang
terdapat di dunia.
(2) “Kemudian, satu jenis orang
yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu
seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia.’
Melainkan, ia melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh
sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa
keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha dengan seksama. Dengan teguh, ia
merealisasikan kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya
dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang
berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah bulunya ditepuk oleh
tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah
murni. Ini adalah jenis ke dua dari orang yang baik yang berdarah murni yang
terdapat di dunia.
(3) “Kemudian, satu jenis orang
yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu
seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia,’ juga
ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan
meninggal dunia. Melainkan, sanak saudara atau anggota keluarganya jatuh
sakit dan meninggal dunia. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa keterdesakan.
Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan teguh, ia
merealisasikan kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah menembusnya
dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang yang baik yang
berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang berdarah murni yang
tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah kulitnya ditepuk oleh
tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang baik yang berdarah
murni. Ini adalah jenis ke tiga dari orang yang baik yang berdarah murni yang
terdapat di dunia.
(4) “Kemudian, satu jenis orang
yang baik yang berdarah murni tidak mendengar: ‘Di desa atau pemukiman itu
seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan meninggal dunia,’ juga
ia tidak melihat sendiri seorang perempuan atau laki-laki telah jatuh sakit dan
meninggal dunia, juga sanak saudara atau anggota keluarganya tidak jatuh sakit
dan meninggal dunia. Melainkan ia sendiri yang didera oleh perasaan jasmani
yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan,
melemahkan vitalitasnya. Ia tergerak oleh hal ini dan memperoleh rasa
keterdesakan. Karena tergerak, ia berusaha keras dengan seksama. Dengan
teguh, ia merealisasikan kebenaran tertinggi dengan tubuhnya dan, setelah
menembusnya dengan kebijaksanaan, ia melihatnya. Aku katakan bahwa orang
yang baik yang berdarah murni ini adalah serupa dengan kuda yang baik yang
berdarah murni yang tergerak dan memperoleh rasa keterdesakan segera setelah
tulangnya ditepuk oleh tongkat kendali. Demikianlah satu jenis orang yang
baik yang berdarah murni. Ini adalah jenis ke empat dari orang yang baik yang
berdarah murni yang terdapat di dunia.
“Ini adalah keempat jenis orang
yang baik yang berdarah murni itu yang terdapat di dunia.”
Namun mereka yang “dungu”,
tidak akan tergerakkan juga tidak akan merasakan adanya keterdesakan sekalipun
tulangnya ditepuk oleh ancaman “norma hukum”, bahkan sekalipun ia telah berada
di balik jeruji penjara bernama “lembaga pemasyarakatan” seperti kecenderungan
para residivis ataupun para bandar obat-obatan terlarang. Seperti yang juga
disebutkan oleh Sang Buddha, hanya ada sedikit manusia di dunia dunia ini
yang matanya “tidak buta”, selebihnya ditutupi oleh kekotoran batin mulai dari
kekotoran yang tipis hingga yang tebal—setebal tembok beton yang bahkan tidak
tembus oleh cahaya ilahi semacam apapun.
Bukan perihal “melek” ataukah
tidak “melek hukum”, namun memiliki kesadaran ataukah tidak untuk patuh dan
menjadi warga yang “patuh hukum”. Orang baik-baik atau warga yang baik, tidak
butuh diatur oleh banyak norma hukum, namun akan lain ceritanya bilamana suatu
bangsa lebih banyak dihuni oleh penduduk yang “nakal” dan memiliki berbagai “niat
jahat”. Seperti juga pepatah telah pernah berkata, sungguh malang negara yang
membutuhkan pahlawan—seperti itulah, sungguh kasihan bangsa pada suatu negara
yang membutuhkan begitu banyak aturan-aturan hukum untuk mengaturnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.