Pihak Ketiga yang Beritikad Baik (Tidak Tahu-Menahu Meninggalnya Lawan dan Gugat-Menggugat), Dilindungi oleh Hukum
Yang DI-Sita Eksekusi, Bukanlah Orangnya, namun HARTA
BENDANYA
Question: Dalam jalannya proses persidangan dimana saya berkedudukan sebagai pihak Penggugat, ada selentingan “kabar burung” bahwa salah satu principal dari pihak Tergugat telah ternyata meninggal dunia. Setelah saya konfrontasi kuasa hukumnya (pengacara), apakah principalnya tersebut masih hidup atau sudah meninggal, ia jawab “tidak tahu”. Apakah kondisi ini, jika memang betul principal dari pengacara tersebut telah meninggal dunia adanya, mengakibatkan gugatan yang saya ajukan menjadi gugur demi hukum ataukah bisa terus berlanjut dan mengikat ahli-waris dari salah satu Tergugat yang meninggal dunia itu? Konon beredar “kabar burung”, jika itu yang terjadi, maka putusan bisa bersifat “non executable”, apa benar seperti itu hukumnya di Indonesia?
Brief Answer: Pada asasnya menurut hukum perdata yang berlaku
di Indonesia, meninggalnya seorang warganegara tidak mengakibatkan kewajibannya
menjadi hapus. Secara analogi, seorang Terdakwa kasus korupsi ketika akan
divonis atau ketika telah divonis untuk membayar “uang pengganti” terhadap
kerugian negara, maka harta benda sang almarhum (koruptor) tetap bisa disita
ataupun dirampas untuk negara.
Yang akan disita eksekusi, bukanlah subjek hukum
tereksekusi, namun harta benda atau harta kekayaan dari sang tereksekusi,
karenanya kehadiran fisik pihak tereksekusi tidak menjadi syarat mutlak sita
eksekusi putusan pengadilan, sepanjang harta benda yang dieksekusi ialah atas
nama pihak tereksekusi. Memang bilamana saat pengadilan akan mengirimkan “aanmaning” alias surat teguran untuk
melaksanakan isi putusan pengadilan, surat akan dikirim kepada pihak para ahli
waris dari “almarhum tereksekusi”. Namun, bilamana surat teguran mana tidak
diindahkan oleh para ahli waris “almarhum tereksekusi”, maka sita eksekusi
tetap dapat dilakukan oleh jurusita pengadilan, dengan atau tanpa kehadiran
pihak ahli waris “almarhum tereksekusi”.
Pihak-pihak eksternal suatu keluarga, tidak terkecuali
pihak lawan dalam suatu sengketa gugat-menggugat di pengadilan, disebut sebagai
“pihak ketiga” semata karena tidak mengetahui konflik internal suatu keluarga
tidak terkeuali masih hidup atau telah meninggal-dunianya salah satu anggota
keluarga dari keluarga dimaksud. Bukan hanya dalam praktik jual-beli hak atas
tanah yang mana hukum melindungi pihak ketiga yang beritikad baik, dalam hal
ini pihak pembeli—prinsip perlindungan mana juga berlaku bagi “pihak ketiga”
dalam konteks apapun, sepanjang “pihak ketiga” tersebut beritikad baik.
Merujuk ketentuan hukum perdata
di Indonesia, jika si (penerima) kuasa tidak sadar akan meninggalnya si pemberi
kuasa atau akan adanya sesuatu sebab lain yang mengakhiri kuasanya, maka apa
yang diperbuatnya di dalam ketidaksadaran itu adalah sah—dimana segala
perikatan yang dibuat oleh si (penerima) kuasa harus dipenuhi terhadap pihak
ketiga yang beritikad baik. Bagaimana jika penerima kuasa telah mengetahui
bahwa pemberi kuasa meninggal dunia, namun tetap menjalankan kuasanya sehingga
merugikan kepentingan pemberi kuasa? Maka ahli waris pemberi kuasa (almarhum)
dapat menggugat pihak penerima kuasa yang telah menjalankan kuasanya dengan
itikad buruk.
PEMBAHASAN:
Pasal 1792 kuhperdata
(KUHPerdata) : “Pemberian kuasa adalah
suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain,
yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
Pasal 1793 KUHPerdata:
(1) Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu
tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat atau pun dengan lisan.
(2) Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan
disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.
Pasal 1795 KUHPerdata : “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara
khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara
umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.” Adapun untuk
keperluan gugat-menggugat ataupun jual-beli hak atas tanah, sifat pemberian
kuasa harus tegas dan spesifik, “khusus”.
Pasal 1796 KUHPerdata:
(1) Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan.
(2) Untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di
atasnya, atau lagi untuk membuat suatu perdamaian, atau pun sesuatu perbuatan
lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu
pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Pasal 1797 Ayat (1) KUHPerdata :
“Si kuasa tidak diperbolehkan melakukan
sesuatu apa pun yang melampaui kuasanya.” Melampaui kewenangan atau mandat
yang dicantumkan dalam surat kuasa, itulah yang dalam terminologi hukum dikenal
dengan sebutan sebagai “ultra vires”,
yang bermakna “melampaui kuasa”.
Pasal 1800 KUHPerdata:
(1) Si (penerima) kuasa diwajibkan, selama ia belum dibebaskan,
melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung segala biaya, kerugian, dan bunga yang
sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu.
(2) Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang telah mulai
dikerjakannya pada waktu si pemberi kuasa meninggal jika dengan tidak segera
menyelesaikannya dapat timbul sesuatu kerugian.
Pasal 1801 KUHPerdata:
(1) Si (penerima) kuasa tidak saja bertanggung-jawab tentang
perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi juga tentang
kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
(2) Namun itu tanggung-jawab tetnang kelalaian-kelalaian bagi seorang
yang dengan cuma-cuma menerima kuasa adalah tidak sebegitu berat seperti yang
dapat diminta dari seorang yang untuk itu menerima upah.
Pasal 1802 KUHPerdata : “SI kuasa diwajibkan memberikan laporan
tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan kepada si
pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan kuasanya,
sekalipun apa yang diterimanya itu tidak seharusnsya dibayar kepaa si pemberi
kuasa.”
Pasal 1807 KUHPerdata:
(1) Si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan yang
diperbuat oleh si (penerima) kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikan
kepaanya.
(2) Ia tidak terikat pada apa yang telah diperbuat selebihnya daripada
itu, selain sekadar ia telah menyetujuinya secara tegas atau secara diam-diam.
Pasal 1808 KUHPerdata:
(1) Si pemberi kuasa diwajibkan mengembalikan kepada si (penerima) kuasa
persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh orang ini untuk
melaksanakan kuasanya, begitu pula untuk membayar upahnya jika ini telah
diperjanjikan.
(2) Jika si (penerima) kuasa tidak melakukan sesuatu kelalaian, maka si
pemberi kuasa tidak dapat meluputkan diri dari kewajiban mengembalikan
persekot-persekot dan biaya-biaya serta membayar upah tersebut di atas,
sekalipun urusannya tidak berhasil.
Pasal 1809 KUHPerdata : “Begitu pula si pemberi kuasa harus
memberikan ganti rugi kepada si (penerima) kuasa tentang kerugian-kerugian yang
diderita sewaktu menjalankan kuasanya, asal dalam hal itu si kuasa tidak telah
berbuat kurang hati-hati.”
Pasal 1811 KUHPerdata : “Jika seorang (penerima) kuasa diangkat oleh
berbagai orang untuk mewakili suatu urusan yang merupakan urusan mereka
bersama, maka masing-masing dari mereka adalah bertanggung-jawab untuk
seluruhnya terhadap si kuasa mengenai segala akibat dari pemberian kuasa itu.”
Pasal 1813 KUHPerdata : “Pemberian kausa berakhir : dengan ditariknya kembali kuasanya si (penerima)
kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan
meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si
(penerima) kuasa.”
Pasal 1814 KUHPerdata : “Si pemberi kuasa dapat menarik kembali
kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si
kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya.”
Pasal 1815 KUHPerdata : “Penarikan kembali yang hanya diberitahukan
kepada si (penerima) kuasa, tidak dapat dimajukan terhadap orang-orang pihak ketiga,
yang karena mereka tidak mengetahui tentang penarikan kembali itu, telah
mengadakan suatu perjanjian dengan si (penerima) kuasa; ini tidak mengurangi tuntutan si
pemberi kuasa kepada si (penerima) kuasa.”
Pasal 1816 KUHPerdata : “Pengangkatan seorang kuasa baru, untuk
menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang
pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya kepada orang yang belakangan ini
tentang pengangkatan tersebut.”
Pasal 1817 KUHPerdata:
(1) Si (penerima) kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan
pemberitahuan penghentian kepada si pemberi kuasa.
(2) Jika namun itu pemberitahuan penghentian ini baik karena ia dilakukan
dengan tidak mengindahkan waktu, maupun karena sesuatu hal lain karena salahnya
si (penerima) kuasa, membawa rugi bagi si pemberi kuasa, maka orang ini harus
diberikan ganti rugi oleh si (penerima) kuasa; kecuali apabila si (penerima) kuasa
berada dalam keadaan tak mampu meneruskan kuasanya dengan tidak membawa rugi
yang tidak sedikit bagi dirinya sendiri.
Pasal 1818 KUHPerdata:
(1) Jika si (penerima) kuasa tidak sadar akan meninggalnya si pemberi
kuasa atau akan adanya sesuatu sebab lain yang mengakhiri kuasanya, maka apa
yang diperbuatnya di dalam ketidaksadaran itu adalah sah.
(2) Dalam hal itu segala perikatan yang dibuat oleh si (penerima)
kuasa harus dipenuhi terhadap orang-orang pihak ketiga yang beritikad baik.
Lalu, bagaimana jika pemberi
kausa meninggal dunia, mungkin dapat diterapkan analogi sebaliknya yang
terjadi, yakni ketika penerima kuasa meninggal dunia sebagaimana diatur dalam
Pasal 1819 KUHPerdata : “Jika si
(penerima) kuasa meninggal, para ahli warisnya harus memberitahukan hal itu
kepada si pemberi kuasa, jika mereka tahu tentang adanya pemberian kuasa, dan
sementara itu mengambil tindakan-tindakan yang perlu menurut keadaan bagi
kepentingan si pemberi kuasa; atas ancaman mengganti biaya, kerugian, dan
bunga, jika ada alasan untuk itu.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.