Bila Input-nya Hitam-Kotor, Output-nya Tidak dapat Dibenarkan untuk Diputih-Bersihkan
Lembaga Peradilan Semestinya Menegakkan Hukum sebagai
Penegak Hukum, Bukan Justru menjadi “Tukang Stempel” Aksi Ilegal yang Melanggar
/ Membengkokkan Hukum
Beri Dis-insentif bagi Pelanggar Hukum, dan Beri
Insentif bagi Warga yang Patuh terhadap Hukum, Itu Barulah Mendidik
Question: Apa bisa, lembaga pengadilan kita salah-gunakan untuk melegalkan apa yang sejak semula ilegal?
Brief Answer: Sebaiknya tidak menyalah-gunakan lembaga
peradilan, sekalipun dalam praktiknya banyak kita jumpai putusan-putusan yang
kental nuasa “politis” penyalah-gunaan dimana seolah-olah atau seakan-akan kalangan
profesi hakim pada lembaga kehakiman tersebut bersedia disalah-gunakan untuk
menjadi tukang “cap stempel” terhadap apa yang sejak semula latar-belakangnya
bersifat cacat formil, cacat prosedur, atau bahkan ilegal dan melawan hukum.
Bila dalam terminologi hukum kontrak alias
perikatan perdata kontraktual, dikenal asas kesepakatan juga harus dibarengi dengan
adanya atau terpenuhinya “causa yang sahih”, barulah mengikat secara hukum bagi
kedua belah pihak yang saling bersepakat. Maka, apa yang dari sejak semula
tidak sahih, alias ilegal, tidak prosedural, atau bahkan bertentangan dengan
“hukum positif” yang berlaku pada suatu “negara hukum”, tidak dapat dibenarkan
untuk dilegalkan oleh lembaga peradilan yang seakan-akan menjadi alat “sin laundring” para pelanggar hukum—sangat
menodai dan menciderai martabat-keluhuran lembaga peradilan yang semestinya
menjunjung tinggi etika serta kehormatan dan kode etik disamping tanggung-jawab
profesi, hukum, serta tanggung-jawab sosial disamping moril dan nurani.
PEMBAHASAN:
Sebagai contoh, untuk melakukan
peralihan hak atas tanah berupa sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan, lewat jual-beli, maka ada kewajiban normatif bagi warga
bersangkutan, yakni “syarat formal” dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah. Bila syarat formal tersebut tidak diindahkan, maka Kantor Pertanahan
setempat tidak akan mendaftarkan peralihan hak atas tanah dimaksud ke dalam
Buku Tanah maupun sertifikat hak atas tanah. Kemudian terbit isu hukum dalam
praktik, bagaimana bila pihak pembeli, yang melakukan jual-beli terhadap hak
atas tanah yang telah bersertifikat, secara “dibawah tangan”, bisakah
dikemudian hari memohon peralihan hak atas tanah ke Kantor Pertanahan dengan
terlebih dahulu mengantungi putusan pengadilan terkait hal tersebut?
Secara “argumentum per analogiam” (penarikan penafsiran atau interpretasi
secara analogi), suatu hak atas tanah saja dapat dihapuskan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka terlebih sekadar peralihan hak atas tanah, tentunya
dapat juga dilakukan sepanjang terdapat putusan pengadilan yang telah “inkracht”. Akan tetapi, mungkinkah hal
demikian berpotensi atau berpeluang disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang sejak
semula tidak patuh terhadap kaedah formal ataupun prosedural hukum yang
berlaku—apapun itikad yang menjadi motif dibaliknya—lalu mencari akal
“pemutihan” lewat menyalah-gunakan instrumen hukum yang ada berupa gugatan
perdata ke peradilan untuk mendapatkan putusan pengadilan yang “memutihkan apa
yang ilegal”?
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2021
TENTANG
HAK PENGELOLAAN, HAK ATAS
TANAH, SATUAN RUMAH SUSUN,
DAN PENDAFTARAN TANAH
Pasal 14
(1) Hak Pengelolaan hapus
karena:
a. dibatalkan haknya oleh Menteri karena:
1. cacat administrasi; atau
2. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Pasal 15
(1) Hapusnya Hak Pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 di atas Tanah Negara, mengakibatkan:
a. Tanah menjadi Tanah Negara; atau
b. sesuai dengan amar putusan pengadilan.
Pasal 31
Hak guna usaha hapus karena:
b. dibatalkan haknya oleh
Menteri sebelum jangka waktunya berakhir karena:
2. cacat administrasi; atau
3. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Pasal 32
(1) Hapusnya hak guna usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 di atas Tanah Negara, mengakibatkan:
a. Tanah menjadi Tanah Negara; atau
b. sesuai dengan amar putusan pengadilan.
Pasal 46
Hak guna bangunan hapus karena:
b. dibatalkan haknya oleh
Menteri sebelum jangka waktunya berakhir karena:
3. cacat administrasi; atau
4. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Pasal 47
(1) Hapusnya hak guna bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 di atas Tanah Negara, mengakibatkan:
a. Tanah menjadi Tanah Negara; atau
b. sesuai dengan amar putusan pengadilan.
Pasal 61
Hak pakai hapus karena:
b. dibatalkan haknya oleh
Menteri sebelum jangka waktunya berakhir karena:
3. cacat administrasi; atau
4. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Pasal 62
(1) Hapusnya hak pakai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 di atas Tanah Negara mengakibatkan:
b. sesuai dengan amar putusan pengadilan.
Pasal 82
(1) Hak Pengelolaan pada Ruang
Atas Tanah atau Ruang Bawah Tanah hapus apabila:
a. dibatalkan oleh Menteri karena:
2. putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
Kini, SHIETRA & PARTNERS
akan memberikan ilustrasi konkret betapa lembaga peradilan kerap
disalah-gunakan oleh warga yang tidak patuh terhadap “hukum positif” berupa
prosedur yang berlaku, sebagaimana tercermin lewat putusan Pengadilan Negeri
Samarinda Nomor 163/Pdt.G/2018/PN.Smr tanggal 26 Maret 2019, gugatan perdata
dalam perkara antara:
- DARTONO, sebagai Penggugat;
melawan
1. Alm. Haji Abdul Gani / Ahli
Warisnya, sebagai Tergugat;
2. Badan Pertanahan Nasional
Kota Samarinda, sebagai Turut Tergugat.
Sengketa atau persoalan dalam
gugatan ini ialah persoalan Penggugat yang sebelumnya telah membeli sebuah
rumah, akan tetapi tidak bisa “balik nama” pada Kantor Pertanahan dimana kini
Penggugat kesukaran mencari Tergugat maupun ahli warisnya. Tampaknya pihak
penjual dan pembeli tidak mengikuti prosedur hukum jual-beli hak atas tanah
yang telah ditetapkan oleh hukum dan berlaku pada saat itu, yakni dengan Akta
Jual Beli Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun sebatas jual-beli “dibawah
tangan” disertai kuitansi pembayaran harga jual-beli.
Terbentur oleh “tembok” akibat
tidak patuh terhadap kaedah hukum yang berlaku, maka pihak penggugat yang
hendak “memutihkan” aksi pembeliannya secara tidak “patuh” terhadap hukum
(menyalah-gunakan) instrumen legal berupa gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.
Dimana terhadap gugatan sang warga, Majelis Hakim Pengadilan Negeri membuat
amar putusan sebagai berikut:
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil dengan patut tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya dengan verstek;
3. Menyatakan Sah Kwitansi Jual Beli untuk Pembayaran 1 (Satu) buah
rumah beserta tanahnya yang terletak di Jalan D1 Panjaitan, Perumahan
Sejahtera Permai Blok D-46, RT. 19, Samarinda Utara dengan harga sebesar Rp.
80.000.000,- (Delapan puluh juta rupiah) antara Penggugat (DARTONO) dengan
Tergugat (Alm. HAJI ABDUL GANI), pada tanggal 13 – 01 – 2010;
4. Menyatakan sah bahwa tanah dan bangunan yang ada diatasnya terletak di
Jalan Kesejahteraan, Kelurahan Temindung Permai, Kecamatan Samarinda Ilir, Kota
Samarinda, dengan luas 135 M2 (Seratus tiga puluh meter persegi) dan bangunan
diatasnya sesuai sertifikat Hak Guna Bangunan No. 252 tanggal 14 Oktober 1996
atas nama Tergugat (Alm. HAJI ABDUL GANI) adalah Hak Milik Penggugat (DARTONO);
5. Menyatakan setidak tidaknya memberikan ijin kepada Penggugat untuk
melakukan balik nama Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 252 tanggal 14
Oktober 1996 atas nama Tergugat (Alm. HAJI ABDUL GANI) menjadi Hak Milik
atas nama YULAIKA (Isteri Penggugat) pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota
Samarinda;
6. Memerintahkan Turut Tergugat untuk melakukan balik nama Sertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor : 252 tanggal 14 Oktober 1996 Atas nama Tergugat (Alm.
HAJI ABDUL GANI) menjadi Hak Milik atas nama YULAIKA (Isteri Penggugat);”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.