Larangan Kreditor Pemohon Lelang Eksekusi Hak Tanggungan untuk Ikut sebagai Peserta Lelang Membeli Agunan
MAFIA TANAH yang Menyalah-Gunakan Instrumen Hukum Hak
Tanggungan dan Lelang Eksekusi, Itulah “the
PERFECT CRIME”, Kejahatan Kerah Putih yang Banyak Memakan Korban
Question: Mengapa kreditor pemegang hak tanggungan, ketika melelang agunan ke Kantor Lelang Negara, yang bersangkutan selaku pemohon lelang maupun afiliasinya tidak boleh ikut serta sebagai peserta lelang alias dilarang membeli objek agunan yang ia sendiri mohonkan lelang?
Brief Answer: Karena berpotensi atau terbuka peluang
terjadinya penyalah-gunaan agunan oleh kreditor pemohon lelang, mengingat ada sebentuk
“konflik kepentingan” (conflict of
interest) bilamana itu biarkan terjadi, baik kreditor perorangan maupun
kreditor lembaga keuangan perbankan—tidak terkecuali praktik AYDA (aset yang
diambil-alih) yang sudah saatnya dihapuskan dan menjadi terlarang sama sekali,
mengingat rawan dan kerap disalah-gunakan olah pihak kreditor pemohon lelang.
PEMBAHASAN:
Sebagaimana kita ketahui,
kreditor pemegang Hak Tanggungan ketika mengeksekusi agunan lewat “parate eksekusi” (yang bermakna “dengan
kekuasaan sendiri”, sebagaimana kuasa yang diberikan oleh debitor / pemilik
agunan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, APHT mana jadi satu-kesatuan yang dilekatkan
dengan Sertifikat Hak Tanggungan), sekalipun “event organizer”-nya ialah Pejabat Lelang pada Kantor Lelang
Negara, namun penentu Nilai Limit Lelang (harga penawaran paling minimum untuk
dapat ditawar oleh peserta lelang), yang memakai penilaian hasil penilaian
Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) “sponsored”,
dan juga yang menerima sepenuhnya hasil penjualan lelang sekalipun melebihi
nilai pertanggungan dalam Hak Tanggungan, ialah pihak kreditor pemohon lelang.
Disini, dengan demikian, sarat
kepentingan serta rawan penyalah-gunaan kekuasaan / kewenangan pihak kreditor
pemohon lelang, mengingat Nilai Limit Lelang menjadi hak prerogatif kreditor
pemegang Hak Tanggungan sekalipun agunan adalah milik debitor yang
bersangkutan. “Konflik kepentingan” tercipta tepatnya ketika kepentingan sang
kreditor pemohon lelang telah ternyata bersifat “merangkap”, yakni sebagai
pemohon lelang eksekusi terhadap Hak Tanggungan serta sebagai peserta lelang, dimana
kepentingan peserta lelang jelas ialah dapat menawar dan membeli lelang dengan harga
serendah-rendahnya—jika perlu ditekan serendah mungkin jauh dibawah Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) sekalipun diluar batas kewajaran—dimana sang kreditor
pemohon lelang secara hukum dilegalkan untuk memohon lelang dengan Nilai Limit
Lelang diangka “Nilai Likuidasi” sebagaimana laporan penilaian terhadap agunan hasil
penilaian pihak KJPP yang disewa dan (jelas-jelas) berpihak pada pesan “sponsor”
pihak kreditor pemohon lelang.
Dalam praktik, sukar dapat
dijumpai atau bahkan tiada profesi KJPP atau aprraiser yang benar-benar netral, objektif, dan independen alias
profesional sekalipun telah terdapat “Standar Penilai Indonesia”—sekalipun juga
sejatinya mereka dibayar tarif jasanya dari uang debitor, dimana kreditor
pemohon lelang pada mulanya menalangi biaya tarif jasa bagi sang penilai, namun
kemudian akan mengutip biaya-biaya tersebut dari hasil penjualan lelang agunan,
sehingga sebagian besar kalangan profesi appraiser
sejatinya “durhaka” terhadap debitor pemilik agunan yang telah dikutip dana
miliknya dari agunan yang terjual, dengan nllai yang tidak pernah sedikit
jumlah nominalnya. Itulah, yang disebut sebagai “kejahatan kerah putih” (white collar crime), dimana instrumen
hukum yang rumit dan legal bahkan disalah-gunakan dan dijadikan sebagai alat
kejahatan.
Dalam hal ini, pemerintah
selaku regulator maupun eksekutif yang mengeksekusi kebijakan, telah bersikap
lalai serta abai, alias tidak benar-benar eksis hadir ditengah-tengah masyarakat
untuk memberikan perlindungan hukum ataupun mengayomi, membiarkan tidak sedikit
warganya bertumbangan menjadi korban modus-modus kejahatan ala “kerah putih”
demikian, bahkan dijadikan kendaraan bagi para “mafia lelang”. Idealnya, Kantor
Lelang Negara selaku institusi pemerintah tidak memungkiri produk hukum
terbitan lembaga pemerintahan lainnya, dalam hal ini Pemerintah Daerah setempat
saat menetapkan NJOP atas objek agunan berupa hak atas tanah. Akibat “ego
sektoral”, pihak Pejabat Lelang pada berbagai Kantor Lelang Negara tidak pernah
sekalipun bersedia berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat—dalam hal
ini Dinas Pendapatan Asli Daerah, Dispenda, selaku otoritas dibidang penetapan NJOP—dimana
akibatnya warga yang (lagi-lagi) dikorbankan dan menjadi korban, dibiarkan
seorang diri mencari perlindungan hukum.
NJOP merupakan produk penilaian
olah penilai internal pihak Pemerintah Daerah, karenanya menjadi “safety nett” alias “jaring pengaman”
bagi warga pemilik hak atas tanah dari kesewenang-wenangan pemerintah—tidak
terkecuali pihak Pejabat Lelang pada Kantor Lelang Negara—sehingga bilamana
terjadi proyek “pengadaan lahan untuk kepentingan umum, maka paling sedikit dan
paling rendah nilai ganti-rugi pembebasan lahan yang akan diterima oleh sang
warga ialah senilai setara dengan NJOP, dimana bila diberi ganti-rugi kurang
dari itu, maka sang warga dapat menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara nilai
ganti-rugi yang ditawarkan dan ditetapkan secara sepihak oleh pihak pemerintah
yang berkepentingan membebaskan lahan milik warga.
“Safety nett” kedua ialah harus ada aturan main yang jelas berupa
pertanggung-jawaban pihak profesi penilai di Tanah Air. Kerap penulis jumpai
dalam praktik, dengan mengatas-namakan “pihak penilai dilarang masuk oleh
pemilik agunan, sehingga hanya melakukan penilaian dari luar gedung / rumah /
bangunan”—akan tetapi tidak pernah membuktikan sebelumnya mengunjungi gedung
milik pemilik agunan untuk meminta izin masuk dalam rangka melakukan penilaian
atas objek properti agunan, alias memasukkan keterangan palsu ke dalam akta
yang diterbitkan oleh sang appraiser
yang telah disumpah jabatan—lalu menjadikan itu sebagai alibi sempurna untuk
menetapkan nominal hasil appraisal dengan Nilai Likuidasi yang sangat dramatis
diluar batas kewajaran maupun batas psikologi. Keganjilan dengan sangat ekstrem
tampak ketika kita mencermamati nilai NJOP yang terdiri dari komponen penilaian
sebelum kemudian dikumulasikan, yakni “NJOP tanah” dan “NJOP bangunan”.
Katakanlah terjadi amortasi
atau bahkan bangunan / gedung / rumah dirubuhkan sama sekali, sehingga menjelma
hanya berupa sebidang tanah kavling kosong, maka nilai kewajarannya ialah
semata “NJOP tanah” tanpa perlu menyertakan “NJOP bangunan” bilamana dalilnya
ialah “dilarang masuk oleh pemilik agunan”. Namun, realita di lapangan
menunjukkan bahwa pihak Pejabat Lelang secara “membuta” (bersikap selayaknya
orang buta) secara begitu saja meloloskan permohonan lelang eksekusi oleh
kreditor yang beritikad tidak baik, seperti menerapkan “bunga terselubung” ala
rentenir, penilaian appraisal yang tidak wajar demikian sebagaimana diurai di
atas, hingga menyerahkan seluruh nilai penjualan lelang kepada sang kreditor
pemohon lelang sekalipun “kreditor preferen” pemegang Hak Tanggungan selaku
pemohon lelang hanya berhak atas hasil penjualan lelang berupa “nilai pertanggungan”
sebagaimana nominalnya tercantum dalam APHT maupun SHT—faktanya, Kantor Lelang
Negara seketika mentransfer seluruh dana “konkuren” maupun “preferen” kepada
kreditor pemohon lelang.
Yang paling berbahaya dari kesemua
itu ialah ketika Kreditor berupa lembaga keuangan perbankan menjual piutang hak
tagihnya (melakukan aksi “cessie”) kepada Kreditor perororangan yang notabene “mafia
tanah” serta “mafia lelang” tanpa seizin ataupun persetujuan pihak debitor dan/atau
pemilik agunan, dimana alamat korespondensi sang Kreditor pembeli cessie maupun
pemohon lelang berupa lahan / tanah kosong yang tidak berpenghuni, melakukan
modus “MARK UP” nominal tagihan lewat
penggelembungan “bunga terselubung”—dengan alibi seperti denda, bunga terhadap
bunga, denda terhadap denda, biaya-biaya “siluman” yang tidak akuntabel juga
tidak pernah disepakati dalam Kontrak Kredit—lalu melakukan modus “MARK DOWN” Nilai Limit dengan memakai
dokumen penilaian dari KJPP “sponsored”
dimana yang membelinya ialah “anak buah” utusan sang “mafia tanah”. Jika dari
awal sang debitor pemilik agunan mengetahui, bahwa kreditor perbankan tersebut
akan menjual piutangnya kepada “mafia tanah dan rentenir” sekaligus menyerahkan
Hak Tanggungan, maka tidak akan sang debitor meminjam kredit modal kerja dari
lembaga keuangan dimaksud.
Kesemua itu bukanlah wacana,
namun cerminan praktik nyata yang selama ini terjadi pada berbagai Kantor
Lelang Negara kita di Indonesia, dimana pemberantasan “mafia tanah” masih
sebatas jargon belaka, dimana pengabaian dan pembiaran terjadi begitu masif,
seolah dipelihara oleh negara, salah satunya menimpa klien dari penulis yang
merugi puluhan miliar rupiah oleh “mafia lelang” yang notabene kreditor
perorangan pembeli cessie. Dari semula meminjam kredit modal kerja pada lembaga
keuangan perbankan resmi yang notabene diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
namun berakhir dengan nasib diperas lewat modus “mark up” tagihan sebelum kemudian agunan jaminan pelunasan hutang
milik sang debitor dirampas oleh “mafia tanah” plus “mafia lelang” dengan Nilai
Limit Lelang yang di-“mark down”,
dimana aparatur penegak hukum (Satgas, satuan tugas Mafia Tanah) bahkan
bergeming ketika sang korban (debitor pemilik agunan) melaporkan telah terjadi
tindak pidana “penggelapan”. Singkat kata, “mafia tanah” dan “mafia lelang” benar-benar
eksis dan merajalela di republik ini, siap memburu dan menerkam mangsa-mangsa
yang terus berjatuhan, dimana lembaga negara justru menjadi “alat kejahatan”
serta kendaraan yang ditunggangi oleh sang ‘mafia”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.