Jangan Bersikap Seolah-Olah Tuhan Lebih PRO terhadap PENDOSA, Alih-Alih Bersikap Adil terhadap Kalangan KORBAN
Bertemanlah dengan Agama yang baik, Sebagaimana Kita
Perlu Selektif Memilih Teman dan Lingkungan Pertemanan
Air tidak bersenyawa dengan api, dan “nila setitik (maka) rusak susu sebelanga”, anak Sekolah Dasar pun tahu hal tersebut. Namun, telah ternyata, banyak manusia dewasa yang kekanak-kanakan (childish), berdelusi bahwa sesuatu adikokrati yang diyakini sebagai luhur, agung, murni, suci, bersih, memiliki minat untuk disatukan dengan para manusia yang berdosa (kotor, busuk, licik, picik, tercela, hina, penuh noda), tanpa mencemari dan menodai sang “bersih-murni”. Tidak butuh IQ brilian-cemerlang untuk mengetahui bahwa memuliakan Tuhan, ialah dengan cara menjadi manusia yang mulia—bukan dengan menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”.
Berbagai pemberitaan telah
kerap memberitakan tajuk berjudul “penistaan (terhadap) agama”, dimana sifatnya
selalu diwanai oleh subjektivitas yang penuh tendensi alias ego yang bersumber
dari dikotomi antara “kaumnya” dan pihak-pihak yang notabene “NON”. Akan tetapi
bukanlah itu pokok bahasan kita pada kesempatan ini. Adalah persoalan
“penistaan (terhadap) Tuhan”, yang menjadi pokok pembahasan kita. Hanya
terdapat dua kemungkinan, ketika si kotor (pendosa) disatukan / bersatu dengan
Tuhan, yakni:
- yang “murni” turut menjadi
tercemar oleh karena ternoda oleh pencemar bernama “manusia pendosa”—semata
karena egoisme berwujud kepentingan pribadi yang “too good to be true” para kaum “manusia pendosa”, yang sudah jelas
merupakan delusi kekanak-kanakan berkeyakinan bahwa yang “murni-bersih”
berminat untuk dinodai dengan disatukan dengan manusia-manusia “kotor-busuk”;
atau
- kesemua itu hanyalah
kekonyolan pemuka (marketing) “Agama DOSA”—disebut demikian, semata karena
hanya seorang pendosa, yang butuh “penghapusan / pengampunan dosa” maupun
“penebusan dosa”, mengkampanyekan “penghapusan dosa” (abolition of sins) alih-alih mempromosikan gaya hidup higienis dari
dosa, dimana berbuat dosa dipadang sebagai sesuatu yang diremehkan juga
disepelekan (dipandang sebelah mata), alias dipandang “enteng” saja seolah
tiada membawa konsekuensi bahaya apapun dibaliknya.
Berangkat dari latar-belakang
paradigma yang mengedepankan rasio (akal sehat milik orang sehat, common sense) demikianlah, tiada yang
lebih menista Tuhan, daripada dogma-dogma maupun umat pengikut “Agama-Agama
DOSA” itu sendiri—namun selama ini pula berdelusi sebagai kaum paling superior,
prajurit Tuhan, sekaligus calon penghuni Kerajaan Tuhan, suatu “akal sakit
milik seorang pendosa”. Untuk itu, penting bagi kita untuk mampu memilah dan
membedakan, antara:
1.) Agama SUCI.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana
tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh
ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda
(perbandingan) antara si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan
Tuhan, dengan cara menjadi manusia yang mulia.
Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan,
semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik
kontrol diri dan mawas diri (self-control),
dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri
adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan
disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan
serta memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan
tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa
Buddhistik, “break the chain of kamma”;
2.) Agama KSATRIA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana
memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya
yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan
pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana
korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria
senantiasa “tahu diri”.
Ideologi bertanggung-jawab yang penuh
tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar
di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan tersebut tampak sebagai “manusia
sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap iming-iming “pengampunan /
penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan ksatria justru
mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih
“cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Kalangan korban yang telah
dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis
tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak
menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias jentelmen, bukan
“pengecut” yang lari dari tanggung-jawab maupun “cuci dosa” (sins laundring);
3.) Agama DOSA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana
para dosawan menjadi umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata
agar dapat menjadi pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan
bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins)—masuk ke dalam
lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh
kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point
of no return”.
Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika
dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka
sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman,
maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh
dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh
kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak
dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan kata lain,
secara tidak langsung, para dosawan menggambarkan sosok Tuhan tidak ubahnya
“raja yang lalim”.
Itulah penjelasannya, mengapa berbagai penjara di
Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang
tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity”
dan “overload” yang konon sepanjang
tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita
dikenal “agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta
aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor
yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi,
karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa
kembali beraksi tanpa “self-control”
(menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk lainnya.
Pilihlah keyakinan secara
selektif, sebagaimana kita perlu memilah serta memilih pertemanan yang baik,
merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan inspiratif sebagai berikut:
15 (5) Pacetana
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para
bhikkhu: “Para bhikkhu!” [111]
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu
menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, di masa lalu ada
seorang raja bernama Pacetana. Kemudian Raja Pacetana berkata kepada seorang
pembuat kereta: ‘Sahabat pembuat kereta, enam bulan dari sekarang akan ada
sebuah peperangan. Dapatkan engkau membuatkan untukku sepasang roda?’ – ‘Dapat,
Baginda,’ pembuat kereta itu menjawab. Setelah enam bulan kurang enam hari si
pembuat kereta itu telah menyelesaikan satu roda. Raja Pacetana berkata kepada
si pembuat kereta: ‘Enam hari dari sekarang akan ada peperangan. Apakah
sepasang roda itu telah selesai?’ [Si pembuat kereta menjawab:] ‘Dalam waktu
enam bulan kurang enam hari yang lalu, Baginda, saya telah menyelesaikan satu
roda.’ – ‘Tetapi, sahabat pembuat kereta, dapatkah engkau menyelesaikan roda ke
dua untukku dalam enam hari ke depan?’ – ‘Dapat, Baginda,’ si pembuat kereta
menjawab. Kemudian, setelah enam hari berikutnya, si pembuat kereta
menyelesaikan roda ke dua. Ia membawa sepasang roda itu kepada Raja Pacetana
dan berkata: ‘Ini adalah sepasang roda baru yang telah kubuat untukmu,
Baginda.’ – ‘Apakah perbedaannya, sahabat pembuat kereta, antara roda yang
memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan dan roda yang
memakan enam hari untuk diselesaikan? Aku tidak melihat perbedaan apa pun
antara keduanya.’ – ‘Ada sebuah perbedaan, Baginda. Amatilah perbedaannya.’
“Kemudian si pembuat kereta
menggelindingkan roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan. Roda itu
menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung
dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan [112] kurang enam
hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan
kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.
“[Kemudian raja bertanya:]
‘Mengapakah, sahabat pembuat kereta, bahwa roda yang memakan waktu enam hari
untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian
terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah, sedangkan roda yang memakan waktu enam
bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya
membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya?’
“[Si pembuat kereta menjawab:]
‘Roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan, Baginda, memiliki
lingkar yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna; jari-jari yang berlekuk,
cacat, dan tidak sempurna; dan poros yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna.
Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya
membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi
roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan
menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam
seolah-olah terpasang pada sumbunya memiliki lingkar yang tanpa lekukan, tanpa
cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; memiliki jari-jari yang tanpa lekukan,
tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; dan memiliki poros yang tanpa
lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidaksempurnaan. Karena alasan ini, maka roda
itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam
seolah-olah terpasang pada sumbunya.’
“Mungkin saja, para bhikkhu,
kalian berpikir: ‘Pada saat itu si pembuat kereta adalah orang lain.’ Tetapi
jangan kalian berpikir demikian. Pada saat itu, Aku sendirilah si pembuat
kereta itu. Pada saat itu Aku terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidaksempurnaan
sehubungan dengan kayu. Tetapi sekarang Aku adalah Sang Arahant, Yang
Tercerahkan Sempurna, (1) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani; (2) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan;
(3) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.
“Bhikkhu atau bhikkhunī mana
pun yang belum meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani, ucapan, dan pikiran [113] telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini,
seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam hari [akan jatuh ke tanah].
“Bhikkhu atau bhikkhunī mana
pun yang telah meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan
jasmani, ucapan, dan pikiran adalah kokoh dalam Dhamma dan disiplin ini,
seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam bulan kurang enam hari [akan
tetap berdiri].
“Oleh karena itu, para bhikkhu,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan lekukan,
cacat, dan ketidaksempurnaan jasmani; kami akan meninggalkan lekukan, cacat,
dan ketidak-sempurnaan ucapan; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan
ketidak-sempurnaan pikiran.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”
~0~
VIII. Pertemanan Yang Baik
71 (1)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pertemanan
yang baik. Bagi seorang dengan teman-teman yang baik, maka
kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan
kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”
[NOTE : Tentang pentingnya
pertemanan yang baik (kalyāṇamittatā) dalam kehidupan spiritual.]
72 (2)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat
yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pengejaran
kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas
bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat, maka kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat
yang telah muncul menjadi berkurang.”
73 (3)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pengejaran
kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak
bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat, maka kualitas-kualitas
bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak
bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”
74 (4)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan
yang belum muncul menjadi tidak muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah
muncul tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan selain daripada pengamatan
tidak seksama. Bagi seseorang yang mengamati dengan tidak seksama, maka
faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan
faktor-faktor pencerahan yang telah muncul tidak mencapai pemenuhan melalui
pengembangan.”
75 (5)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan
yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul
mencapai pemenuhan melalui pengembangan selain daripada pengamatan seksama.
[15] Bagi seorang yang mengamati dengan seksama, maka faktor-faktor
pencerahan yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang
telah muncul mencapai pemenuhan melalui pengembangan.”
76 (6)
“Tidak penting, para bhikkhu,
kehilangan sanak-saudara. Hal yang paling buruk adalah kehilangan
kebijaksanaan.”
77 (7)
“Tidak penting, para
bhikkhu, peningkatan sanak-saudara. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan
adalah kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih
sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah
kalian harus berlatih.”
78 (8)
“Tidak penting, para bhikkhu,
kehilangan harta kekayaan. Hal yang paling buruk adalah kehilangan kebijaksanaan.”
79 (9)
“Tidak penting, para bhikkhu,
peningkatan harta kekayaan. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan adalah
kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai
berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian
harus berlatih.”
80 (10)
“Tidak penting, para
bhikkhu, kehilangan kemasyhuran. Hal yang paling buruk adalah kehilangan
kebijaksanaan.”
81 (11)
“Tidak penting, para bhikkhu,
peningkatan kemasyhuran. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan adalah
kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai
berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian
harus berlatih.” [16]
IX. Kelengahan
82 (1)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada
kelengahan. Kelengahan mengarah pada bahaya besar.”
83 (2)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada manfaat besar selain daripada
kewaspadaan. Kewaspadaan mengarah pada manfaat besar.”
84 (3) – 97 (16)
(84) “Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada
kemalasan … (85) … yang mengarah pada manfaat besar seperti pembangkitan
kegigihan …”
(86) “… keinginan kuat …
(87) … sedikitnya keinginan …”
(88) “… ketidak-puasan …
(89) … kepuasan …”
(90) “… pengamatan tidak
seksama … (91) … pengamatan seksama …”
(92) “ … kurangnya pemahaman
jernih … (93) … pemahaman jernih …”
(94) “… pertemanan yang
buruk … (95) … pertemanan yang baik …”
(96) “… pengejaran
kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas
bermanfaat … (97) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada manfaat besar.”
X. Internal
98 (1)
“Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah
pada bahaya besar selain daripada kelengahan. Kelengahan mengarah pada
bahaya besar.”
99 (2)
“Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang
mengarah pada manfaat besar selain daripada kewaspadaan. [17] Kewaspadaan
mengarah pada manfaat besar.”
100 (3) – 113 (16)
(100) “Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah
pada bahaya besar selain daripada kemalasan … (101) … yang mengarah pada
manfaat besar selain daripada pembangkitan kegigihan …”
(102) “… keinginan kuat … (103)
… sedikitnya keinginan …”
(104) “… ketidak-puasan … (105)
… kepuasan …”
(106) “… pengamatan tidak
seksama … (107) … pengamatan seksama …”
(108) “… kurangnya pemahaman
jernih … (109) … pemahaman jernih …”
(110) “Di antara
faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun
yang mengarah pada bahaya besar selain daripada pertemanan yang buruk …”
(111) “Di antara
faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun
yang mengarah pada manfaat besar selain daripada pertemanan yang baik …”
(112) “Di antara faktor-faktor
internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah
pada bahaya besar selain daripada pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat
dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (113) … yang mengarah pada
manfaat besar selain daripada pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Pengejaran kualitas-kualitas
bermanfaat dan tanpa pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah
pada manfaat besar.”
114 (17)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya
Dhamma sejati selain daripada kelengahan. Kelengahan mengarah pada
kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.”
115 (18)
“Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kelangsungan,
ketidak-munduran, dan ketidaklenyapan Dhamma sejati selain daripada kewaspadaan.
[18] Kewaspadaan mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan
ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”
116 (19) – 129 (32)
(116) “Para bhikkhu, Aku tidak
melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya
Dhamma sejati selain daripada kemalasan … (117) … yang begitu mengarah pada
kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati selain
daripada pembangkitan kegigihan …”
(118) “… keinginan kuat … (119)
… sedikitnya keinginan …”
(120) “… ketidak-puasan … (121)
… kepuasan …”
(122) “… pengamatan seksama …
(123) … pengamatan tidak seksama …”
(124) “… kurangnya pemahaman
jernih … (125) … pemahaman jernih …”
(126) “… pertemanan yang buruk
… (127) … pertemanan yang baik …”
(128) “… pengejaran
kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas
bermanfaat … (129) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan
tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Pengejaran
kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak
bermanfaat mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan
Dhamma sejati.”
130 (33)
“Para bhikkhu, para bhikkhu itu
yang menjelaskan bukan Dhamma sebagai Dhamma sedang bertindak demi
bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya,
dan penderitaan banyak orang, deva dan manusia. Para bhikkhu ini menghasilkan banyak
keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini menjadi lenyap.”
[Kitab Komentar : Sepuluh kamma
bermanfaat adalah Dhamma; Sepuluh kamma tidak bermanfaat adalah bukan-Dhamma.
Demikian pula, tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan – yaitu, empat penegakan
perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima
kekuatan, tujuh faktor pencerahan, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan – adalah
Dhamma; tiga penegakan perhatian, tiga usaha benar, tiga landasan kekuatan
batin, enam indria, enam kekuatan, delapan faktor pencerahan, dan Jalan Mulia
Berunsur Sembilan [adalah bukan-Dhamma.]
Empat jenis kemelekatan, lima rintangan,
tujuh kecenderungan tersembunyi, dan delapan jenis yang salah [lawan dari
faktor-faktor jalan mulia] adalah bukan-Dhamma.
Mereka mengajarkan bukan-Dhamma
sebagai Dhamma ketika mereka memilih salah satu jenis bukan-Dhamma dan
berpikir, ‘Kami akan mengajarkan hal ini sebagai Dhamma. Dengan demikian kelompok
guru kami akan terbebaskan, dan kami akan menjadi terkenal di dunia ini.’
Dengan metode Vinaya (disiplin anggota monastik
ke-bhikkhu-an), Dhamma adalah perbuatan disiplin yang harus dilakukan menurut
klaim tersebut, setelah ditegur, setelah diingatkan, menurut landasan yang
benar.
Bukan-Dhamma adalah perbuatan
disiplin yang dilakukan tanpa sebuah klaim, tanpa teguran, tanpa diingatkan,
menurut landasan yang salah.”
Terdapat satu istilah dalam
Bahasa Inggris yang sangat penulis sukai untuk dijadikan objek perenungan,
yakni : “clear conscience”, yang
dapat kita maknai sebagai “berkesadaran secara jernih”. Adapun para dosawan
pemeluk “Agama DOSA” tersebut, sama sekali tidak terampil dan tidak terlatih
dalam hal “self-control”; dimana
justru sebaliknya, menyepelekan dan memandang remeh dosa maupun maksiat—yang
mereka sebut sebagai “beruntung”, sementara itu yang tidak menikmati
“penghapusan dosa” sebagai “kaum yang merugi”—yang pada gilirannya alih-alih
menjadi “humanis” dan “Tuhanis”, para pendosa tersebut menjelma menjadi
“hewanis”, “predatoris”, “premanis”, serta “barbariknis”.
Dahulu, sebelum “Agama-Agama
DOSA” diperkenalkan ke umat manusia, terutama para kalangan pendosa, tiada
pendosa yang yakin setelah kematiannya akan terlahir di alam surgawi. Kini,
akibat termakan iming-iming dogmatis “penghapusan dosa” (atau apapun itu
istilahnya), para pendosa berbondong-bondong memeluk “Agama DOSA”, lalu
berlomba-lomba memproduksi dosa, mengoleksi dosa, berkubang dalam dosa,
menimbun diri dalam gunungan dosa, serta bersimbah dosa—dimana disaat bersamaan
yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah ajal menjemput mereka.
Itulah sebabnya, “dosawan” hampir selalu merupakan kaum “dunguwan”.
Sebagaimana dapat kita saksikan
sendiri, fenomena “bulan (hiprokrit) puasa” masyarakat “agamais” kita di
Indonesia, yang terjadi ialah ajang umbar makan (konsumsi meningkat hingga 1,5
kali konsumsi normal sehingga harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi),
minta / menuntut dihormati (melarang orang lain makan hingga menutup paksa
rumah makan, narsistik-egoistik), maupun pesta-pora obral “penghapusan
dosa”—kabar gembira bagi para pendosa, selalu menjadi kabar buruk bagi kalangan
korban. Disaat bersamaan, Tuhan bersimbah air mata, karena “standar moral” umat
manusia kian rusak kian hari dan kian tahunnya—namun masih pula si “dungu”
merasa yakin akan masuk surga setelah menimbun diri dengan segunung dosa yang
mereka hasilkan sepanjang hidupnya.
Setiap harinya tanpa rasa malu
ataupun takut, para pemuka “Agama DOSA” mengumbar dogma-dogma “penghapusan
dosa” lewat speaker pengeras suara, dimana para umatnya sibuk memohon
“penghapusan dosa” setiap harinya ketika beribadah. Tiap tahunnya, mereka
merayakan pesta-obral “penghapusan dosa”, semudah dan seasyik “bulan hipokrit”
sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Masih pula juga, setelah kematian mereka,
para dosawan tersebut, para sanak saudara dari “almarhum dosawan” alih-alih
mendoakan kalangan korban-korban dari sang pendosa yang meninggal dunia agar
mendapatkan keadilan, mereka (tanpa rasa malu sedikit pun) justru
mengumandangkan doa-doa permohonan “penghapusan dosa” lewat pengeras suara—yang
seolah sedang menertawakan para korban-korban yang hanya bisa gigit jari
mendengarnya, hati terasa sakit terinjak-injak oleh kelakuan kaum “dunguwan”
yang notabene lingkaran para “pendosa penjilat penuh dosa” demikian.