Sekujur Tubuh Dibungkus Busana, namun Masih Berbuat Jahat yang Dicela oleh para Bijaksana, seperti Merugikan, Melukai, ataupun Menyakiti Orang Lain
Penghapusan Dosa (bagi Pendosa) Dikampanyekan dan
Dipromosikan (Tanpa Rasa Malu, bahkan Lewat Pengeras Suara), sementara itu
Berbuat Jahat Tidak Ditabukan Terlebih Dipandang Kotor dan Memalukan—sekalipun
itu merupakan AURAT TERTINGGI
Tampaknya masyarakat kita di dunia (global village) pada umumnya tidak terkecuali di Indonesia pada khususnya, meremehkan serta memandang kecil bahaya dibalik berbuat buruk yang dapat dicela oleh para bijaksana, sementara itu menaruh perhatian sebatas pada “kulit luar” yang tidak esensial seperti membalut tubuh dengan busana (pakaian) mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki—sehingga yang dipromosikan bukanlah gaya hidup higienis dari perbuatan buruk, akan tetapi mempromosikan “penghapusan / pengampunan dosa” (bagi para pendosa, tentunya) dan disaat bersamaan mengkampanyekan ideologi serta dogma-dogma intoleran terhadap kaum yang berbeda—sebagaimana dapat kita jumpai dalam ajaran-ajaran berikut:
- Aisyah bertanya kepada
Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah
SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang?
Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak
bersyukur?” [HR Bukhari Muslim].
- Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia
masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab:
‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’. [Shahih Bukhari 6933]
- Umar bin al-Khattab, rekan
Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan
menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah
sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa
pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2,
Buku 26, Nomor 680]
- Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan
‘TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH’, menghadap kiblat
kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka
melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan
MERAMPAS HARTA mereka. [Hadist Tirmidzi No. 2533]
Pendosa, hendak berbicara perihal
hidup lurus, bersih, jujur, adil, lurus, mulia, luhur, dan unggul? Delusi
tersebut menyerupai “orang buta” yang hendak menuntun “orang-orang buta”
lainnya. Disebut sebagai “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”, semata karena
mempromosikan ideologi korup berupa iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa”
bagi para pendosa, dimana para pendosa yang menjadi umat pemeluknya berbondong-bondong
dan berlomba-lomba memproduksi dosa, menimbun diri dengan segudang dosa,
mengoleksi segunung dosa, berkubang dalam dosa, dan bersimbah dosa akan tetapi
masih juga berdelusi masuk alam surgawi setelah ajal mereka tiba—“too good to be true”, sekalipun orang-orang
bijaksana selalu berpesan bahwa “truth
always bitter”.
Lihatlah bagaimana setiap
harinya para “agamais” tersebut beribadah, lewat pengeras suara (speaker
eksternal) tempat ibadah mereka didengungkan secara membahna tanpa rasa malu
ataupun merasa tabu, doa-doa permohonan “penghapusan dosa”, dimana setiap
tahunnya pada hari raya keagamaan mereka diumbar serta diobral “penghapusan
dosa” (cukup ber-puasa selama sebulan, untuk menghapus dosa-dosa selama setahun
penuh). Seolah juga belum cukup sampai disitu, ketika sang “agamais” meninggal
dunia, sanak keluarga almarhum melantunkan doa-doa permohonan “penghapusan dosa”
bagi almarhum, lewat pengeras suara juga serta tanpa rasa malu ataupun merasa
tabu, tentunya. Alhasil, tidak pernah sekalipun mereka memikirkan ataupun
memerhatikan nasib para korban dari sang “pendosa”.
Ada dosa, artinya ada korban. Para
suciwan berlatih dalam disiplin ketat “self-control” lewat praktik mawas diri
penuh perhatian atas pikiran, ucapan, maupun perbuatannya sendiri; sehingga
menghindari perbuatan buruk yang berpotensi merugikan, melukai, maupun
menyakiti orang-orang lainnya, karenanya disebut sebagai “Agama SUCI”. Adapun
para ksatriawan, berjiwa ksatria dengan bersikap penuh tanggung-jawab terhadap
para korbannya yang telah pernah dirugikan, dilukai, ataupun disakiti,
sekalipun para korbannya bisa jadi tidak sadar telah dirugikan maupun dilukai;
tanggung-jawab mana tanpa perlu ditagih terlebih dituntut oleh para korbannya. Bisa
jadi seorang ksatria masih bisa berbuat salah sehingga merugikan ataupun
melukai orang lain, baik disengaja ataupun akibat kelalaiannya, namun mereka
tidak pernah memilih untuk “cuci tangan” terlebih “cuci dosa” ataupun “tabrak
lari”, karenanya disebut sebagai “Agama KSATRIA”.
Bagi para suciwan maupun di mata kaum ksatriawan, berbuat
dosa adalah “aurat” itu sendiri; namun bukan untuk ditutup-tutupi, akan tetapi
dihindari dan dipertanggung-jawabkan. Sebaliknya, kaum pemeluk “Agama DOSA”
justru mengumbar serta “pamer” perbuatan-perbuatan buruk yang tercela serta
dicela oleh para bijaksanawan, sekalipun tubuh mereka dibalut oleh busana serba
tertutup. Mengapa demikian? Karena “Agama DOSA” tidak memandang perbuatan buruk
sebagai “aurat” yang sangat kotor, aib, tabu, tercela, serta hina nan memalukan.
Terhadap dosa dan maksiat, mereka begitu kompromistik—akan tetapi disaat
bersamaan para “agamais” ini begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda
golongan, ras, etnik, maupun agama. Kita dapat menyebut kaum “penuh dosa” demikian,
sebagai manusia yang “penuh aurat”.
Ironisnya, para pemeluk “Agama
DOSA” berdelusi sebagai agama yang paling superior di muka Bumi ini, karenanya merasa
berhak untuk menghakimi alias mempersekusi para umat agama lainnya. Bagi para
makhluk “dungu” yang otak-nya digadaikan demi iman setebal tembok beton yang
tidak tembus oleh cahaya ilahi manapun, hanya kulit dan bentuk tubuh fisik yang
kotor (“aurat”), sehingga perlu ditutupi dengan busana. Namun, di mata para “dosawan”
pecandu ideologi kotor bernama “penghapusan dosa” (abolition of sins) ini, perbuatan yang buruk dan tercela dilakukan
bahkan diumbar adalah dalam rangka tidak menjadi kaum yang “merugi”—alias agar
tidak rugi, maka berbuatlah dosa sebanyak-banyaknya, agar iming-iming “penghapusan
dosa” tidak menjadi mubazir.
Seorang balita lahir dalam
kondisi tanpa busana, dimana bahkan dalam kandungan pun tanpa dibalut oleh
sehelai busana pun. Seiring bertambahnya umur dan kedewasaan, sebagian diantara
mereka lebih banyak berbuat buruk dan jahat sepanjang hidupnya, akan tetapi
tetap tidak mau menyadari bahwa berbuat buruk maupun jahat adalah “aurat” itu
sendiri. Akan tetapi si kaum “pendosa penjilat penuh dosa” ini telah merasa
cukup tenang dengan membalut sekujur tubuhnya dengan busana serba tertutup, dan
berdelusi akan masuk alam surgawi setelah kematian menjemput mereka. Bagi mereka,
berbuat dosa dan maksiat tidaklah memalukan, karena hanya tubuh fisik yang
punya “aurat”—itulah “standar moral” para pemeluk “Agama DOSA”, mengundang
minat para pendosawan untuk berbondong-bondong memeluknya sembari berdelusi
terjamin masuk alam surgawi setelah sedemikian banyak dan masih dilakoninya kejahatan-kejahatan
mulai dari yang kasat-mata (eksplisit) maupun yang terselubung sifatnya.
Alhasil, yang disebut sebagai
alam “surga” menurut versi “Agama DOSA”, ialah menyerupai “tong sampah” raksasa
dimana para pendosa bermuara dan berkumpul menjadi satu, bermaksiat ria (urusan
“selangkangan”, bentuk kasar fisik tubuh dari “kesenangan duniawi” alih-alih “kesenangan
surgawi” para makhluk dewata yang tubuh fisiknya halus), menyerupai “dunia
manusia jilid kedua” dimana para pendosa kembali saling menyakiti dan merugikan
satu sama lainnya. Kontras dengan itu, “surga” di mata kaum suciwan merupakan
sebentuk “kenikmatan meditatif” yang menjadi “kesenangan surgawi”—di mata kaum pendosa
lebih menyerupai “neraka”. Itulah sebabnya, berbicara alam “surga” dan “neraka”
dengan kaum pemeluk “Agama DOSA”, tidak akan pernah pernah “nyambung” (connect)
ketika mereka berbincang dengan lawan bicara seorang suciwan maupun ksatriawan.
Sebaliknya, tidak pernah
sekalipun Buddhisme mempromosikan ideologi korup terlebih iming-iming korup
penuh delusi, namun semata mengkampanyekan pengendalian diri dan latihan yang
tidak meng-kompromi-kan perbuatan buruk yang dapat dicela oleh para bijaksana, sebagaimana
salah satunya khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”,
diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications
2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah
Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan sebagai berikutt:
48 (8) Gunung
“Para bhikkhu, berdasarkan pada
pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga
cara. Apakah tiga ini? Pepohonan itu menumbuhkan dahan-dahan, dedaunan, dan
kerimbunan; (2) pepohonan itu menumbuhkan kulit pohon dan tunas-tunas; dan (3)
pepohonan itu menumbuhkan kayu lunak dan inti kayu. Berdasarkan pada pegunungan
Himalaya, raja pegunungan. pepohonan sal besar tumbuh dalam tiga cara ini.
“Demikian pula, ketika
kepala keluarga memiliki keyakinan, maka orang-orang dalam keluarga yang
bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara. Apakah tiga ini? (1) Mereka
menumbuhkan keyakinan; (2) mereka menumbuhkan perilaku bermoral; dan (3) mereka
menumbuhkan kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, maka
orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam tiga cara ini.”
Seperti halnya pepohonan yang
tumbuh dengan bergantung pada pegunungan berbatu dalam hutan belantara yang
luas akan menjadi “raja hutan kayu,” demikian pula, ketika kepala keluarga di
sini memiliki keyakinan dan moralitas, istri, anak-anak, dan sanak-saudaranya semuanya
tumbuh dengan bergantung padanya; demikian pula teman-teman, lingkaran
keluarganya, dan mereka yang bergantung padanya. [153]
Mereka yang memiliki kearifan, melihat
perilaku baik orang bermoral itu, kedermawanan dan perbuatan-perbuatan baiknya,
akan meniru teladannya. Setelah hidup di sini sesuai
Dhamma, jalan yang menuju alam tujuan yang baik, mereka yang menginginkan
kenikmatan indria akan bergembira, bersenang-senang di alam deva.
~0~
49 (9) Semangat
“Para bhikkhu, dalam tiga kasus
semangat harus dikerahkan. Apakah tiga ini? (1) Semangat harus dikerahkan untuk
tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat yang belum
muncul. (2) Semangat harus dikerahkan untuk memunculkan kualitas-kualitas yang
bermanfaat yang belum muncul. (3) Semangat harus dikerahkan untuk menahankan
perasaan-perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan,
tidak menyenangkan, melemahkan vitalitas seseorang. Dalam ketiga kasus ini
semangat harus dikerahkan.
“Ketika seorang bhikkhu
mengerahkan semangat untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas buruk yang tidak
bermanfaat yang belum muncul, untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat
yang belum muncul, dan untuk menahankan perasaan-perasaan jasmani yang
menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan,
melemahkan vitalitas seseorang, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tekun,
awas, dan penuh perhatian untuk mengakhiri penderitaan sepenuhnya.”
~0~
50 (10) Pencuri Ulung
“Para bhikkhu, dengan memiliki
tiga faktor, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah,
merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan
raya. Apakah tiga ini? Di sini, seorang pencuri ulung bergantung pada permukaan
yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
pencuri ulung bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang
pencuri ulung bergantung pada sungai-sungai yang sulit diseberangi dan pegunungan
bergelombang. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada
permukaan yang tidak rata.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
pencuri ulung bergantung pada belantara? Di sini, seorang pencuri ulung
bergantung pada hutan rotan, [154] belantara pepohonan, semak belukar, atau
hutan lebat. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada belantara.
(3) “Dan bagaimanakah
seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang
pencuri ulung bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia
berpikir: ‘Jika siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para
menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya
melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan
perkara itu. Dengan cara inilah seorang pencuri ulung bergantung pada orang-orang
berkuasa.
“Adalah dengan memiliki
ketiga faktor ini, seorang pencuri ulung menerobos masuk ke dalam rumah-rumah,
merampas harta kekayaan, melakukan kejahatan, dan menyerang di jalan-jalan raya.
“Demikian pula, para bhikkhu,
dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya
dalam kondisi celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan
banyak keburukan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu jahat bergantung
pada permukaan yang tidak rata, pada belantara, dan pada orang-orang berkuasa.
(1) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada permukaan yang tidak rata? Di sini, seorang
bhikkhu jahat terlibat dalam perbuatan tidak baik melalui jasmani, ucapan, dan
pikiran. Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada permukaan
yang tidak rata.
(2) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada belantara? Di sini, seorang bhikkhu jahat
menganut pandangan salah, mengadopsi pandangan ekstrim. Dengan cara inilah
seorang bhikkhu jahat bergantung pada belantara.
(3) “Dan bagaimanakah seorang
bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa? Di sini, seorang bhikkhu
jahat bergantung pada raja-raja atau para menteri kerajaan. Ia berpikir: ‘Jika
siapa pun menuduhku melakukan apa pun, maka raja-raja atau para menteri
kerajaan akan membatalkan perkara itu.’ Jika siapa pun menuduhnya melakukan apa
pun, maka raja-raja atau para menteri kerajaan akan membatalkan perkara itu.
Dengan cara inilah seorang bhikkhu jahat bergantung pada orang-orang berkuasa.
[155]
“Adalah dengan memiliki
ketiga kualitas ini, seorang bhikkhu jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi
celaka dan terluka, tercela dan dicela oleh para bijaksana, dan menghasilkan
banyak keburukan.”
~0~
I. Brahmana
51 (1) Dua Brahmana (1)
Dua brahmana yang sepuh, tua,
terbebani tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir, berusia
seratus dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa
dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di
satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:
“Kami adalah para brahmana,
Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami
belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat
naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan
memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan
kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”
“Memang benar, para brahmana,
kalian sudah sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai
pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan
apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri
kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terhanyutkan oleh usia tua,
penyakit, dan kematian. Tetapi walaupun dunia ini terhanyutkan oleh usia
tua, penyakit, dan kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian
diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan,
pulau, perlindungan, dan penyokong.”
Kehidupan terhanyutkan, umur
kehidupan adalah singkat, tidak ada naungan bagi seorang yang telah berusia
tua. Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini, seseorang harus
melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan.
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini], pengendalian
diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia
lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya. [156]
~0~
52 (2) Dua Brahmana (2)
Dua brahmana yang sepuh, tua, terbebani
dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai pada tahap akhir, berusia seratus
dua puluh tahun, mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:
“Kami adalah para brahmana,
Guru Gotama, sudah sepuh, tua … berusia seratus dua puluh tahun. Tetapi kami
belum pernah melakukan apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kami tidak membuat
naungan untuk diri kami sendiri. Sudilah Guru Gotama mendorong kami dan
memberikan instruksi kepada kami yang mengarah pada kesejahteraan dan
kebahagiaan kami untuk waktu yang lama!”
“Memang benar, para brahmana,
kalian sudah sepuh, tua, terbebani dengan tahun demi tahun, lanjut usia, sampai
pada tahap akhir, berusia seratus dua puluh tahun, tetapi kalian belum pernah melakukan
apa pun yang baik dan bermanfaat, juga kalian tidak membuat naungan untuk diri
kalian sendiri. Sesungguhnya, dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan
kematian. Tetapi walaupun dunia ini terbakar oleh usia tua, penyakit, dan
kematian, ketika seseorang meninggal dunia maka pengendalian-diri atas jasmani,
ucapan, dan pikiran akan memberikan naungan, pelabuhan, pulau, perlindungan,
dan penyokong.”
Ketika rumah seseorang terbakar perlengkapan yang dibawa
keluar adalah yang berguna bagi kalian, bukan yang terbakar di dalam.
Oleh karena itu karena dunia ini terbakar oleh usia tua
dan kematian, seseorang harus mengeluarkan dengan cara memberi: apa yang
diberikan akan dibawa keluar dengan selamat.
Ketika seseorang meninggalkan [kehidupan ini], pengendalian
diri atas jasmani, ucapan, dan pikiran, dan perbuatan-perbuatan berjasa yang ia
lakukan selagi hidup, mengarahkannya pada kebahagiaannya.
~0~
54 (4) Seorang Pengembara
Seorang brahmana tertentu
mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:
“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu
Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara
langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung,
segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk
dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”
(1) “Brahmana, seseorang
yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh
nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan
keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika
nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan
orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin
dan kesedihan.
[158] Seseorang yang tergerak
oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu,
melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi
ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani,
ucapan, dan pikiran. Seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan
oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana
adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi
ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri,
kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Dengan cara inilah Dhamma itu
terlihat secara langsung … untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.
(2) “Seseorang yang penuh
kebencian, dikendalikan oleh kebencian … (3) “Seseorang yang terdelusi,
dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki
penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan
ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan,
ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau
penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.
Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai
oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.
Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran. Seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh
delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya
kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika
delusi ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri,
kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya.
Dengan cara ini juga, bahwa
Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang
dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para
bijaksana.”
“Bagus sekali, Guru Gotama!
Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak
cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang
tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan
pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat
bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan
kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat
awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”