Nemo Judex In Causa Sua — Hakim Tidak Boleh Mengadili Dirinya Sendiri
Kpd. Yth.
Majelis Hakim Semesta
Mahkamah Semesta
Perihal : Gugatan Class Action Melawan Tuhan
Dengan Hormat,
Kami Para Penggugat, terdiri dari : 1.) sebagian umat manusia yang
berdomisi di Planet Bumi, Galaksi Bimasakti, Cluster Tata Surya; 2.) para dewa
dan dewi penghuni alam Surgawi, mengajukan Gugatan Class Action, antara:
UMAT MANUSIA ... untuk selanjutnya disebut Penggugat I
DEWA & DEWI ... untuk selanjutnya disebut Penggugat II
Melawan
TUHAN ... untuk selanjutnya disebut Tergugat
Dan
MANUSIA PENDOSAWAN ... untuk selanjutnya disebut Turut Tergugat
Adapun yang menjadi dasar serta pokok gugatan ini diajukan, antara lain sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat I merupakan
sebagian kalangan umat manusia di Bumi, yang terdiri dari kalangan suciwan dan
ksatriawan, merasa terancam oleh eksistensi manusia-manusia dari kalangan
pendosawan (Turut Tergugat) yang setiap harinya menikmati ideologi “penghapusan
dosa”, “penebusan dosa”, “pengampunan dosa”, atau apapun itu
istilahnya yang merujuk pada dogma korup mengenai “abolition of sins”.
2. Bahwa Penggugat II merupakan
kalangan dewa dan dewi penghuni alam surgawi, merasa terancam serta
tersingkirkan dengan kian masifnya manusia-manusia pendosa alias kalangan
pendosawan (Turut Tergugat) yang dijejal-masukan ke alam surgawi, sehingga kini
alam surga tidak lagi damai dan tenteram, namun penuh sesak bagai “tong sampah”
bagi kalangan pendosawan.
3. Bahwa akibat dogma-dogma “too good to be true” yang diwahyukan
oleh Tergugat—yakni ideologi korup bernama “penghapusan dosa”—akibatnya para
pendosawan kian tumbuh subur berkembang biak bak cendawan di musim penghujan,
dilestarikan dan dipelihara, setiap harinya berkeliaran mencari mangsa, ibarat
predator yang hewanis, dunia manusia menjelma dunia yang tidak lagi aman dan
sentosa bagi peradaban maupun bagi umat manusia penghuninya.
Sejak saat diperkenalkannya ideologi korup
semacam “penghapusan dosa” dua ribu tahun lampau, sebagian besar umat manusia yang
terpapar ideologi korup tersebut kemudian menjelma menjadi hewanis, predatoris,
barbariknis, premanis, dan setanis, alih-alih humanis—dimana umat manusia
benar-benar menjelma “homo homini lupus”,
serigala bagi sesamanya, yang tidak segan memangsa atau dimangsa oleh
sesamanya.
4. Bahwa Penggugat II
mendapati, tanah airnya yakni alam surgawi telah menjelma “dunia manusia
jilid kedua”—dimana para Pendosawan (Turut Tergugat) yang dimasukkan ke
alam surga oleh Tergugat, kembali saling menjarah, menipu, merampok, membunuh,
meledakkan, merusak, memperkosa, membakar, menjarah, memeras, mencuri, sehingga
Penggugat II harus menjadi pengungsi, mencari suaka dan tempat yang aman untuk
berlindung, dan tersingkir dari kampung halaman dan tanah air sendiri.
5. Bahwa para Pendosawan
tersebut (Turut Tergugat), setiap harinya kompromistis terhadap dosa dan
maksiat dengan mengkampanyekan “penghapusan dosa”—sekalipun senyatanya hanya
pendosa yang butuh “penghapusan dosa”—namun disaat bersamaan begitu intoleran
terhadap kaum yang berbeda keyakinan.
6. Para Pendosawan bahkan
tersebut senantiasa ber-“standar ganda”, yakni : menuntut agar dapat menikmati
toleransi di negara-negara dimana mereka adalah minoritas, dimana ketika mereka
kemudian menjelma mayoritas maka mereka akan memberangus toleransi yang semula
mereka nikmati, sebagaimana bukti sejarah Nusantara abad ke-1—15 dimana
Kerajaan-Kerajaan Buddhist memberikan toleransi bagi ulama dari Timur Tengah masuk
dan berkembang di Nusantara, namun kemudian membalas toleransi dengan
intoleransi sebagaimana tercatat dalam Kitab Sastra Jawa bernilai sejarah
bernama “Dharmo Ghandul”, maupun fakta bahwa negara-negara di kawasan
Timur-Tengah selama ini seutuhnya dan sepenuhnya INTOLERAN terhadap kaum “non”.
7. Bahwa alhasil, para
Pendosawan (Turut Tergugat) menjelma menjadi pelanggan setia, pecandu, budak,
hingga masuk dalam level derajat ketergantungan terhadap iming-iming “penghapusan
dosa”—mengingat dosa-dosa mereka telah menggunung dan berstatus “too big to be fall”. Tiada pilihan lain
bagi para Pendosawan tersebut selain “membuta” membela ideologi “penghapusan
dosa” secara mati-matian.
8. Bahwa berkat iming-iming
delusional semacam “penghapusan dosa” yang ditawarkan oleh Tergugat, berakibat
fatal : merosotnya peradaban maupun “standar moral” sebagian besar umat
manusia, yang kian menjual dan menggadaikan jiwanya demi menjadi penikmat dan
pemeluk ideologi “penghapusan dosa”.
9. Bahwa dahulu, ketika agama-agama
samawi belum diperkenalkan ke umat manusia dua ribu tahun yang lampau, tiada
satupun kalangan pendosawan yang merasa yakin seyakin-yakinnya, bahwa mereka
akan masuk alam surgawi setelah ajal mereka tiba. Kini, setelah ideologi korup
diperkenalkan oleh Tergugat, para pendosawan berbondong-bondong mengoleksi
dosa, menimbun diri dengan segudang dosa, memproduksi dosa, mengubur dan
membenamkan dirinya ke dalam kubangan dosa, bersimbah dosa, dan hidup dari
memakan dosa—akan tetapi yakin seyakin-yakinnya tanpa keraguan sedikitpun bahwa
mereka terjamin dan dijamin akan masuk surga setelah ajal menjemput mereka.
10. Bahwa para Pendosawan
tersebut terlampau pengecut untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah menyakiti, melukai,
ataupun merugikan individu-individu lainnya—dan disaat bersamaan terlampau pemalas
menyingsingkan lengan baju untuk menanam benih-benih perbuatan baik untuk dapat
mereka petik sendiri buah manisnya dimasa mendatang—namun berdelusi sebagai agama
paling superior dan memonopoli alam surgawi.
11. Bahwa Tergugat tercatat
telah pernah menurunkan puluhan nabi ke dunia manusia, namun gagal total dengan
tiada satupun maksiat-maksiat paling primitif yang dikenal oleh peradaban umat
manusia sejak zaman prasejarah maupun sejak era “zaman batu purbakala”,
berhasil mereka punahkan—justru sebaliknya, dipelihara dan dilestarikan oleh
Tergugat, lewat iming-iming korup bernama “penghapusan dosa”.
12. Bahwa ada “demand”, maka ada “supply”—dimana juga bisa kita balik kerangka acuan berpikirnya,
yakni : karena adanya “supply”
(penawaran ideologi iming-iming “penghapusan dosa”) maka satu per satu mulai
bermunculan “demand” (permintaan dari
kalangan Pendosawan yang ingin berdelusi masuk surga).
13. Bahwa untuk mengharumkan
nama guru dan orangtua maupun nama negara, maka kita perlu menjadi warga yang
baik dan patuh terhadap hukum serta berprestasi. Sama halnya, untuk
memuliakan nama Sang Pencipta, satu-satunya hanyalah dengan jalan menjadi
manusia yang mulia—bukan dengan menjadi manusia “pendosa penjilat penuh
dosa”.
14. Bahwa “aurat tertinggi”
bukanlah tubuh manusia yang kerap dikriminalisasi di negara-negara yang
menerapkan suatu “hukum agama”, akan tetapi dosa dan maksiat itu sendiri
yang merupakan “aurat tertinggi” alias “lebih aurat daripada aurat”.
15. Bahwa akan tetapi, telah
ternyata para Pendosawan tersebut (Turut Tergugat) tanpa merasa malu ataupun
tabu, bahkan mengumbar, mengobral, serta mempromosikan dengan penuh kebanggaan
lewat pengeras suara tempat beribadah mereka, iming-iming penuh harapan semu
yang tidak lain tidak bukan ialah ideologi kotor serta korup bernama “penghapusan
dosa”.
16. Bahwa tidak cukup sampai
disitu, setiap harinya mereka beribadah, mereka memohon “penghapusan dosa”.
Setiap tahunnya mereka merayakan hari raya keagamaan, mereka kembali memohon dan
mengharapkan “penghapusan dosa”. Berpuasa cukup selama 30 hari—meski konsumsi
justru meningkat 1,5 kali dari konsumsi normal sehingga harga-harga sembako
membumbung tinggi dan terjadi kelangkaan beras, meminta dihormati, menutup
tempat makan, melarang kaum “non” makan meski kaum “non” punya jadwal puasa
mereka sendiri (semisal uposatha),
pamer norakisme lewat pengeras suara, gaduh saat dini hari, aksi narsistik
seperti razia tempat makan dan tempat hiburan, menuntut tunjangan hari raya
(THR), kerja malas-malasan mengatas-namakan “sedang berpuasa”, serta pesta raya
“penghapusan dosa”—maka dosa selama 1 (satu) tahun dihapuskan, dimana juga ketika
sanak-keluarga mereka meninggal dunia pun yang yang menjadi doa serta harapan
satu-satunya mereka ialah agar diberi “penghapusan dosa”.
17. Bahwa tidak pernah satu
kali pun mereka, para kalangan Pendosawan tersebut, memikirkan nasib ataupun
kondisi korban-korban perbuatan mereka yang telah disakiti, dilukai, ataupun
dirugikan—dimana Tergugat telah ternyata pula lebih PRO terhadap “pendosa
penjilat penuh dosa” alih-alih bersikap sebagai hakim yang adil terhadap
kalangan korban yang telah terzolimi di dunia maupun di akherat.
18. Bahwa kabar gembira bagi
kalangan Pendosawan, sama artinya menjadi kabar buruk bagi kalangan korban dari
para Pendosawan tersebut. Dengan dihapuskannya dosa-dosa para kalangan
Pendosawan tersebut secara tidak bertanggung-jawab, artinya Tergugat telah
mendidik umat manusia secara “toxic”,
dan disaat bersamaan bersikap tidak berperikemanusiaan ataupun berperiketuhanan
terhadap umat manusia yang menjadi kalangan korban. Hari kemenangan bagi
Pendosawan, sama artinya kekalahan dan perkabungan bagi kalangan-kalangan
korban yang tidak pernah diberikan keadilan oleh Tergugat.
19. Bahwa Tergugat telah
bersikap tidak ubahnya “raja yang lalim”—dimana “raja yang lalim” memiliki
ciri-ciri khas berikut : akan merasa senang dan bergembira lalu memberi hadiah
bilamana para umatnya melakukan sembah-sujud penuh puja-puji kepada sang “raja
yang lalim”, dan disaat bersamaan akan murka sejadi-jadinya ketika ada penduduk
yang tidak bersedia menghamba kepada sang “raja yang lalim”, dengan memberikan
mereka siksaan yang keras dan kejam secara zolim.
20. Bahwa Pendosawan hendak
berceramah perihal hidup lurus, suci, baik, mulia, luhur, benar, adil, dan
murni? Itu ibarat “orang buta” yang hendak menuntun kalangan butawan lainnya.
21. Bahwa satu-satunya misi
misionaris dari kalangan Pendosawan tersebut ialah : Pertama, menjadikan
seluruh umat manusia sebagai budak, budak yang menggadaikan jiwanya demi
menjadi budak ideologi “penghapusan dosa”. Kedua, menyelesaikan setiap masalah
dengan kekerasan fisik, jika perlu dibunuh dengan membunuh dan pembunuhan.
Ketiga, anti terhadap praktik latihan “self-control”,
yang ada ialah “kawin lagi, lagi, dan lagi” ketika libido dan birahi dalam diri
muncul. Keempat, zolim namun teriak dizolimi, ataupun seperti “membalas
dizolimi dengan pembunuhan” (tidak proporsional). Kelima, narsistik dan
norakistik, “Maha Tuli”. Keenam, pengecut sekaligus pemalas (para pecundang
kehidupan). Ketujuh, “BUAT DOSA, SIAPA
TAKUT? ADA PENGHAPUSAN DOSA!”. Kedelapan, merugi bila tidak menjadi
pendosa, agar tidak mubazir iming-iming “penghapusan dosa”. Kesembilan,
berdelusi sebagai yang paling superior, meski semua orang sanggup menjadi
“pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua orang sanggup menjalani life-style higienis dari dosa dan
maksiat. Kesepuluh, Tergugat butuh peran Iblis (satan / evil) dalam rangka menyebarkan dan melebarkan kerajaannya,
yakni dosa dan maksiat agar umat manusia memakan dan termakan umpan iming-iming
“penghapusan dosa” dan menjual jiwanya menjadi budak sembah-sujud. Kesebelas,
mengatas-namakan Tergugat dan nama agama mereka, maka semuanya menjadi “halal”,
termasuk merampok harta milik kaum “non” yang bahan bakarnya untuk mencari uang
ialah memakan makanan berupa daging “bab!”. Keduabelas, makanannya “halal”, namun
ucapannya penuh kejahatan, keburukan, kepalsuan, kebohongan, tipu-muslihat,
pecah-belah, provokasi, hoaks, dan kejahatan. Ketigabelas, otak adalah “haram”,
kepatuhan secara mutlak terhadap dogma sebagai harga mati. Keeempatbelas,
gadaikan otak demi iman setebal tembok beton, tembok mana bahkan tidak tembus
oleh cahaya ilahi manapun.
22. Bahwa demi memuaskan EGO
PRIBADI untuk berhasil mendapatkan dan menggauli puluhan bidadari “berdada
montok” yang selaput dara di bagian selangkangannya dapat “didaur ulang”,
seorang ayah bernama Abraham / Ibrahim memakai jalan pintas tega hendak
menyembelih leher anak kandungnya sendiri yang bernama Ishak / Ismail—dimana
ayah yang baik akan lebih memilih menyembelih lehernya sendiri, alih-alih
menyakiti anak kandungnya.
Tergugat, alih-alih mengutuk sifat kejam sang ayah
yang gagal terhadap “cobaan terhadap kebijaksanaan”, justru memberikan pujian
dan menjadikannya suri taudalan sehingga praktik perdukunan (ilmu hitam) berupa
“pesugihan anak” tumbuh subur di Bumi Pertiwi.
Adapun perbuatan sang anak yang “dungu”, ia pun
tidak luput dari sikap tercela—mengingat, perbuatan baik artinya : tidak merugikan
orang lain dan juga tidak merugikan diri sendiri. [dikutip dari sabda Sang
Buddha]
23. Bahwa perlu Para Penggugat
uraikan perihal tiga kategorisasi agama yang dikenal di dunia manusia, yakni
dengan rincian sebagai berikut:
1.) Agama SUCI.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana
tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh
ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda
(perbandingan) antara si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan Semesta
yang agung ini, dengan cara menjadi manusia yang mulia.
Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan,
semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik
kontrol diri dan mawas diri (self-control),
dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri
adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan
disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan
serta memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan
tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan;
2.) Agama KSATRIA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana
memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya
yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan
pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana
korban-korbannya tidak perlu mengemis-ngemis tanggung-jawab, bahkan sang
ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan
ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih
merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya
tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria
senantiasa “tahu diri”.
Ideologi bertanggung-jawab yang penuh
tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar
di mata kaum pendosawan yang membuat para dosawan tersebut tampak sebagai
“manusia sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap iming-iming “pengampunan
/ penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan ksatria justru
mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih
“cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab.
Kalangan korban yang telah dirugikan / terluka,
tidak perlu sibuk menagih tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis
tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak
menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias jentelmen, bukan
“pengecut” yang lari dari tanggung-jawab maupun “cuci dosa” (sins laundring);
3.) Agama DOSA.
Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa,
dimana para dosawan menjadi umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa
semata agar dapat menjadi pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan
bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins)—masuk ke dalam
lingkaran komunitas “kaum pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh
kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point
of no return”.
Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika
dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka
sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman,
maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh
dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh
kekotoran batin para pendosawan yang kini mulai menyesaki alam surgawi. Dengan
kata lain, secara tidak langsung, para pendosawan menggambarkan sosok Tergugat tidak
ubahnya “raja yang lalim”.
24. Bahwa dapat pula Penggugat
terangkan, ketika seorang Pendosawan berzina dengan seorang Pendosawan lainnya,
namun mengingat para Pendosawan tersebut merupakan pemeluk ideologi “penghapusan
dosa” yang diwahyukan oleh Tergugat, Tergugat kemudian memasukkan sepasang
sejoli yang selingkuh dalam perzinaan tersebut ke dalam surga, dan kembali
selingkuh dimana korbannya, yakni istri / suami dari Pendosawan yang berzina
hanya dapat menjadi penonton yang menyaksikan serial perselingkuhan tanpa daya,
menjadi korban untuk kali keduanya.
Terjadi pula, seorang Pendosawan sepanjang
hidupnya berprofesi sebagai pencuri. Namun mengingat sang Pendosawan rajin
menjilati ideologi “penghapusan dosa”, alhasil dimasukkan ke surga oleh
Tergugat, dan kembali melakukan aksi pencurian terhadap korban-korban yang sama
untuk kesekian kalinya.
Tidak ada polisi ataupun penjara di surga,
mengingat kesemua atau keseluruhan Pendosawan yang dimasukkan ke alam surgawi
tersebut, notabene merupakan para pecandu dan pelanggan setia ideologi “penghapusan
dosa” yang telah menjamin mereka masuk surga dan menjadi penghuni alam surgawi.
Jadilah mereka penjahat yang sejadi-jadinya”, tanpa dapat lagi terbendung
ataupun terhentikan. Alam surgawi menjelma “medan perang” yang jauh lebih
luluh-lantak ketimbang dunia manusia yang masih memiliki hukum pidana nasional
masing-masing negara maupun traktat hukum perang internasional.
25. Bahwa dengan demikian tidak
ada yang lebih memgancam serta lebih merusak daripada ideologi “beracun” (toxic) bernama “penghapusan dosa”. Tidak
ada “merit system” ala prinsip
egalitarian disini, yang ada ialah memberikan “reward” berupa surga kepada kalangan “pendosa penjilat penuh dosa”.
Adapun “hukum tabur-tuai”, sejatinya saling menegasikan alias bertolak-belakang
dengan dogma “penghapusan dosa” yang korup, tidak akan pernah saling sejalan.
26. Bahwa yang disebut sebagai
“jantan”, ialah ketika seseorang manusia mau dan bersedia dengan berani
mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri, bukan menjadi
seorang “pecundang kehidupan” yang berbicara besar mengenai Tuhan dan agama,
namun NOL BESAR perihal kemauan untuk bertanggung-jawab. Yang disebut sebagai
“hebat”, ialah ketika seseorang berkomitmen diri berlatih dalam praktik “self-control” yang ketat, alias gaya
hidup higienis dari dosa—bukan “halal
lifestyle”.
27. Bahwa tidak semua orang
sanggup menapaki jalan yang selama ini dijalani oleh kalangan ksatriawan,
terlebih jalan para suciwan. Namun telah ternyata Tergugat lebih
menganak-emaskan kalangan pendosawan (Turut Tergugat), dengan menjadikan
kalangan pendosawan tersebut sebagai satu-satunya kalangan yang memonopoli alam
surgawi.
28. Bahwa kini, Penggugat II
selaku penghuni asli alam surgawi, telah menjelma menyerupai suku indian maupun
suku Aborigin yang merupakan penduduk asli di Benua Amerika maupun Australia,
tersisihkan dari tanah leluhur mereka sendiri. Alam surgawi telah penuh sesak
oleh kalangan Pendosawan (Turut Tergugat), dimana kehancuran, peperangan,
penjarahan, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, menjadi menu keseharian di
setiap ruas jalannya, menjelma “neraka surgawi”.
29. Bahwa agar tidak turut
menjadi korban kebiadaban dan keganasan para kalangan predator berwujud manusia
(para Pendosawan) tersebut, Penggugat II kini terpaksa harus mengungsi ke alam
neraka—alam mana kini menjadi tempat mengungsi bagi para makhluk dewata, para
manusia suciwan maupun para manusia ksatriawan yang meninggal dunia.
30. Bahwa alhasil, kini alam
neraka menjelma menyerupai alam yang damai karena tidak dipenuhi oleh para
Pendosawan, dan disaat bersamaan alam surga menjelma menyerupai alam yang penuh
pertumpahan darah dan api yang membara, lengkap dengan lubang-lubang menganga bekas
ledakan roket dan tembakan amunisi.
31. Bahwa telah ternyata
Tergugat begitu “Maha INKOMPETEN”, karenanya layak untuk dimakzulkan alias
diturunkan dari singgasananya, tidak layak untuk memimpin umat manusia maupun
para dewata, merusak peradaban umat manusia, menjungkir-balikkan dunia manusia
dan alam dewata, meracuni kosmologi manusia, disamping menjadi musuh besar dari
kemanusiaan.
32. Bahwa kaum Pendosawan
senantiasa “mengkafir-kafirkan” kaum “non”—ciri khas kalangan teror!s, menurut
mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror!sme, Arsyad Mbai—dan bersikap
seolah-olah sebagai kalangan yang (berdelusi) paling “superior”, meski
sejatinya hanyalah manusia-manusia “pendosa penjilat penuh dosa” yang dangkal,
rendahan, sampah, serta tergolong sebagai kasta paling terendah, yakni pemeluk
“Agama DOSA”.
33. Bahwa sudah tercipta dan
berlaku “hukum alam” serta “hukum karma” yang mengatur pergerakan serta
perputaran kehidupan di Bumi lengkap dengan segala fenomena alam dan fenomena
sosialnya, maka campur-tangan Tergugat dengan meng-anak-emas-kan kalangan
Pendosawan (Turut Tergugat) dan disaat bersamaan meng-anak-tiri-kan
korban-korban dari para Pendosawan tersebut, sudah tidak lagi diperlukan dan
tidak lagi relevan. Tergugat dipersilahkan tidur abadi, atau pensiun untuk
selamanya dan “angkat koper” dari muka Bumi maupun alam dewata.
Tanpa turut campur-tangan Tergugat sekalipun,
fenomena alam seperti gempa tektonik pergesekan lempeng benua, gunung meletus,
hujan, gempa bumi, angin topan, badai, banjir, kekeringan, habis gelap
terbitlah terang, panen raya, musim paceklik, akan tetap berjalan sesuai lajur
maupun siklusnya, dimana bumi masih akan tetap berputar pada porosnya
berevolusi mengelllingi matahari yang mengorbit tata surya di jagat raya yang
luas ini.
Tanpa turut campur-tangan Tergugat sekalipun, dan
tanpa diperintahkan untuk kawin sekalipun, para makhluk-makhluk hewan akan
kawin dan berkembang-biak, dimana para manusia tidak akan punah akibat
kekurangan anak, dimana Tergugat selama ini begitu “kurang kerjaan” seperti
menentukan pada hari ini dan hari esok ayam si Badu akan bertelur berapa butir,
bebek si Budi akan bertelur berapa butir, telurnya besar ataukah kecil, kucing
si Desy akan beranak berapa ekor, anjing si Sisil akan beranak berapa ekor,
bulunya coklat ataukah putih, ataupun mengurusi berapa juta atau berapa miliar
helai daun akan rontok setiap harinya, termasuk ke arah mana air kencing si
Eddy akan bermuncratan pada pagi ini.
34. Bahwa tanpa dicoba-coba
sekalipun, hidup sebagai manusia sudah cukup sulit dan berat, alias tidak mudah
(it is not easy to be a human being)—seolah-olah umat manusia yang meminta
untuk dilahirkan dan terlahirkan ke dunia ini—sekalipun jingle lagi obat cacing beberapa dasawarsa lampau pernah berpesan :
“Untuk anak sendiri, kok dicoba-coba?!”
Sudah cukup merepotkan umat manusia harus mengonsumsi
makanan dengan rutin dua hingga tiga kali setiap harinya, harus bekerja
banting-tulang mencari nafkah setiap harinya, lengkap dengan segala fenomena
alam yang kadang tidak bersahabat seperti hujan yang turun tidak tepat pada
waktunya, fenomena fisik bilamana jatuh sakit, menua, dan meninggal dunia,
berpisah dari yang dicintai, dan berkumpul dengan yang tidak disukai—kesemua
itu sudah penuh duka. Tidak perlu lagi hal-hal semacam “the act of God”.
Umur umat manusia sudah hampir setua usia Planet
Bumi ini, dimana Tergugat tidak pernah henti-hentinya mencobai dan
bereksperimen seolah umat manusia merupakan “kelinci percobaan” (guinea pig). Tergugat sungguh
menyerupai “Profesor Ling-Lung”, mencobai tanpa pernah mau belajar dari
kesalahan-kesalahan Tergugat di masa lampau.
Seperti kata Albert Einstein : “Melakukan hal yang sama secara
berulang-ulang, namun mengharapkan hasil yang berbeda, itu adalah INSANE
(KEGILAAN)!”
35. Bahwa sejatinya Tergugat
secara tidak langsung alias secara implisit, mengakui bahwa Tergugat bukanlah
“Sang Pencipta”, dibuktikan dari dogma “percobaan” dimana Tergugat
mencoba-cobai umat manusia, itu sudah pertanda atau bukti konkret tidak
terbantahkan bahwa Tergugat tidaklah benar-benar “Maha Tahu”—terlebih “Maha
Kuasa”—namun “Maha BUTA” alias “Maha Tidak Tahu”.
Yang butuh eksperimen atau percobaan, ialah seorang
manusia peniliti terhadap sesuatu objek asing yang bukan diciptakan oleh sang
peneliti itu sendiri. Bila memang manusia diciptakan lengkap dengan sifatnya
sesuai gambaran dan “cetak biru rancangan” Tergugat, maka mengapa masih perlu
dicoba-cobai oleh Tergugat, seolah-olah bukanlah Tergugat yang telah
menciptakan para manusia selama ini?
Tergugat memperlakukan manusia seperti layaknya
sebongkah “Unidentified Flying Objects”
(UFO) alias “alien” yang asing, sehingga perlu dites, dicoba-coba, dicari tahu,
ditelaah, diuji, dibedah, serta dipermainkan.
Justru karena Tergugat bukanlah “Sang Pencipta”,
maka Tergugat masih merasa perlu untuk mencoba-cobai umat manusia. Terbukti,
ketika umat manusia gagal melewati cobaan Tergugat, maka manusia tersebut
dicampakkan ke “tong sampah” (bernama “neraka”), meski “pelaku gila” utamanya
ialah tidak lain tidak bukan Tergugat itu sendiri yang mengaku-ngaku sebagai si
pencipta “manusia gagal”.
“Ciptaan yang gagal”, hanya mungkin diciptakan
oleh “pencipta yang gagal”. Yang gagal melahirkan yang gagal, yang sempurna
melahirkan yang sempurna. Ini menyerupai hukum kekekalan energi, ia hanya dapat
bertransformasi, namun sifat atau kualitasnya tetap sama dengan induknya. Seperti
kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, entah kemudian buah itu
hanyut terbawa ombak atau tetap di tempatnya semula.
Konon, keledai tidak akan jatuh pada lubang yang
sama untuk kali keduanya. Namun, kegagalan dan kesalahan Tergugat telah tidak
terhitung lagi jumlahnya, sejak manusia tercipta di dunia ini ribuan atau
bahkan jutaan tahun lampau, dimana selama itu pula manusia-manusia menjadi
“korban cobaan” dicampakkan ke alam neraka—dimana alam neraka telah menjelma MONUMEN
KEGAGALAN Tuhan, monumen-monumen kegagalan mana sudah menyerupai gedung
pencakar langit.
Satu-satunya dalil Tergugat mengapa Tergugat
butuh “manusia gagal” yang gagal melewati cobaan ialah, semata-mata karena
alasan klise : api neraka bersumber atau dibahan bakari oleh lemak tubuh
manusia yang dilempar ke neraka. Bilamana tidak ada manusia yang “gagal
melewati cobaan”, maka tiada penghuni neraka. Bilamana tiada penghuni neraka,
maka tidak ada minyak yang bersumber dari lemak tubuh manusia untuk
mempertahankan hidupnya nyala api neraka.
“Maha Kuasa”, namun miskin Baban Bakar Minyak (BBM),
meski sejatinya Tergugat dapat mengimpor BBM dari galaksi lain yang masih
melimpah BBM-nya, baik minyak fosil maupun minyak berbasis “kelapa sawit” (crude palm oil) untuk mempertahankan
hidup api neraka yang menyala-nyala dan membara. Jika Tergugat begitu “Maha
Miskin”-nya, maka janganlah coba-coba menciptakan alam neraka, untuk apa juga
menciptakan alam neraka lengkap dengan sifat tidak sempurna umat manusia? Itu
karena Tergugat terlampau miskin, namun nekat menciptakan segala kekonyolan
ini. Semestinya Tergugat terlebih dahulu mencari investor sebelum membangun
fasilitas-fasilitas seperti neraka.
Karena para Pendosawan kini menjadi penikmat
ideologi “penghapusan dosa”, maka sebagai substitusinya, mulailah Tergugat
“putar badan” dan “balik gagang”, yakni dengan menciptakan istilah kaum “soleh”
Vs. kaum “kafir”—dimana kaum “kafir” dikambing-hitamkan demi dijadikan
korban-korban untuk dicampakkan ke neraka, semata-mata demi mempertahankan api
konyol neraka milik Tergugat.
Mari kita simak ilustrasi klasik berikut, agar
perkara gugatan a quo semakin
terang-benderang. Tergugat berencana dan sudah merencanakan, bahwa Mimi
SiAirMataBerlinang akan diperkosa pada hari ini oleh seorang beradal—berandal mana
merupakan utusan Tergugat, mengingat:
- semua terjadi atas rencana
Tergugat;
- tiada yang tidak terjadi
tanpa seizin Tergugat;
- seluruh kehidupan manusia
dilihat oleh Tergugat;
- kesemuanya adalah atas dasar
kuasa Tergugat.
Alhasil, sang korban diperkosa, lalu hamil.
Karena kehamilannya tidak dikehendaki oleh korban, akibatnya sang anak yang
dilahirkan mengidap “down syndrome”.
Sang pelaku, dicampakkan ke neraka untuk menutupi jejak kejahatan Tergugat yang
telah mengutus sang kriminil (pion catur) untuk memerkosa sang korban.
Berikut inilah komentar Tergugat saat
diwawancarai perihal peristiwa pemerkosaan tersebut : “Cobaan ini saya berikan untuk menguatkan si korban!”
Anda lihat, ada tiga orang manusia yang
dikorbankan hanya demi kegilaan Tergugat, yakni : 1.) si pelaku, yang sejatinya
hanya pion yang dipermainkan oleh Tergugat tanpa daya serta tanpa “kehendak
bebas” sama sekali; 2.) si wanita yang dirampas kegadisannya demi memuaskan obsesi
gila Tergugat si Ling-Lung; dan 3.) si anak hasil pemerkosaan, dalam kondisi “down syndrome” sejak dilahirkan dan
untuk seumur hidupnya. Begitu banyak penderitaan dan air mata, semata demi
kegilaan Tergugat, yang begitu “Maha Konyol”-nya.
Tiga buah kehidupan, sia-sia demi kegilaan
Tergugat. Gilanya, Tergugat tidak terhitung lagi jumlahnya sejak umat manusia
diciptakan ribuan atau jutaan tahun lampau, korban-korban pemerkosaan, dimana
hingga abad ini tiada tren penurunan, bahkan ada kecenderungan meningkat,
dimana untuk itu Para Penggugat perlu juga secara berimbang menguraikan
tanggapan sang wanita yang menjadi korban percobaan Tergugat : “DASAR SINTING, KAMU PROFESOR LING-LUNG! KAMU
SAJA YANG DIPERKOSA OLEH KAMBING, SAMPAI BERANAK KAMBING!”
Apakah yang dilakukan oleh Tergugat, yang katanya
(de auditu) “Maha Tahu” serta katanya
“Maha Kuasa” atas peristiwa pemerkosaan yang telah direncanakan dan mendapatkan
restu-izin dari Tergugat? HANYA DIAM MENONTON,... dan menikmati tontonan LIVE
yang “hot” tersebut, menyaksikan sejak adegan korban menjerit-jerit minta
tolong (namun dibiarkan dan diabaikan Tergugat), ketika pelakunya melucuti
secara paksa pakaian dan membuka selangkangan korban, termasuk memasukkan
benih-benih “pria gila” ke dalam rahim sang korban. Kasus-kasus ped0filia, lebih
mengerikan dan lebih memprihatinkan lagi, dimana orang-orang terdekat korban
yang menjadi pelakunya.
“Tiada yang
dapat terjadi, tanpa seizin dan sekuasa saya!” kata si Tergugat dalam
motto-nya yang terkenal itu. “Semua atas
rencana besar saya, termasuk kegilaan-kegilaan yang tidak manusiawi, tidak
beradab, dan tidak berfaedah. Sudah tidak terhitung banyaknya saya mencobai
korban wanita yang diperkosa, hingga kini harapan saya belum kunjung
terealisasi menjadi kenyataan sehingga saya akan terus mencoba-coba, sampai anak
yang dilahirkan dari hasil pemerkosaan itu berwujud monyet berbulu perak atau
menyerupai HELLO KITTY.”
36. Bahwa Tergugat bahkan tidak
sampai disitu, namun melangkah lebih jauh lagi, yakni menjadi pengatur skor
pertandingan sepak-bola—pertandingan mana semestinya dibiarkan berlangsung dan
berjalan secara sportif ala meritokrasi, dimana keterlibatan Tergugat sama
sekali tidak dibutuhkan serta tidak perlukan, keterlibatan mana justru
mencederai semangat sportifitas dan kompetisi yang sehat.
Gaibnya, Tergugat yang dikenal “kurang kerjaan” dan
usil ini, abai dan lalai terhadap fenomena “kesenjangan ekonomi”—dimana si
miskin kian miskin, dan si kaya kian kaya—dengan kesenjangan yang kian tahun
kian melebar, menimbulkan kecemburuan sosial yang akut disamping timpang secara
ekstrem.
Bahkan, seakan belum cukup sampai disitu
kegilaannya, Tergugat kembali membuat blunder berupa kegilaan-kegilaan lainnya
seperti perihal berderma “recehan” cukup sebesar 2,5% (dua koma lima persen)
dari penghasilan dalam rangka “membersihkan penghasilan”.
Jadi, bagi para koruptor ataupun pelaku kartel
harga (persaingan usaha tidak sehat), dipersilahkan mencari dan menghimpun uang
kotor sebanyak-banyaknya, lalu lakukan “money
laundring” dengan cara cukup berderma “recehan” sebesar 2,5% ke tempat
ibadah atau ke fakir miskin, lalu disanjung oleh masyarakat sebagai orang baik,
dan masuk ke surga karena penghasilannya yang notabene “kotor” dibersihkan
lewat derma “recehan” tersebut—dimana penerima derma tetap saja hidup melarat (tersandera
dibawah garis kemiskinan akut terstruktur, yang bagai terkunci abadi dalam
“lingkaran setan”) dapat “recehan”, sementara si korup memakan habis 97,5% dari
uang kotor yang ia himpun dan kumpulkan.
Itulah fakta, bahwa telah ternyata Tergugat lebih
PRO terhadap koruptor ketimbang terhadap rakyat jelata selaku korban yang
hak-haknya dikorupsi dan digerogoti oleh para koruptor.
37. Bahwa masih dengan kekonyolan
yang tidak kalah konyol, wahyu-wahyu berisi dogma korup “penghapusan dosa”
dikumandangkan lewat pengeras suara yang membahana radius sekian mil jauhnya,
saling sahut-menyahut dengan gonggongan anjing tetangga, bahkan gelombang
suaranya menerobos menyeruak masuk hingga ke dalam toilet dan lubang jamban
warga-warga penduduk sekitar, ibarat selebaran-selebaran iklan yang bertebaran
di ruas jalan, diinjak-injak dan terinjak-injak oleh pengguna jalan yang
melintas tanpa menghiraukannya, atau berakhir di tong sampah karena lebih
banyak dicampakkan. Memalukan, memamerkan kedangkalan berpikir namun dipandang
sebagai hal yang membanggkan, itulah akibat otak yang sudah digadaikan demi
iman setebal tembok beton.
38. Bahwa dengan demikian Tergugat
lewat dogma-dogma dangkal-kekanakannya yang merusak “standar moral” umat
manusia semacam “penghapusan dosa”, telah melanggar Konstitusi Semesta berupa
dua prinsip utama dalam hukum universal yang berlaku di semesta ini, yakni:
- Errare humanum est, trupe in errore perseverare — Membuat
kekeliruan adalah manusiawi, tapi tidak baik untuk terus mempertahankan
kekeliruan. [Tergugat merupakan sosok yang sungguh lebih dungu daripada
manusia maupun keledai]
- Ut sementem faceris ita metes — Siapa yang menanam sesuatu, dia
yang akan memetik hasilnya. [Alih-alih membela korban, Tergugat justru
lebih PRO terhadap Pendosawan]
39. Bahwa dengan demikian Para
Penggugat memiliki “legal standing”,
yakni dalam rangka mendukung dan terciptanya alam semesta berisi dunia manusia
dan alam surgawi yang lebih bersahabat bagi kemanusiaan, dimana cukup “hukum
alam” dan “hukum merit” yang berlaku sebagai hukum yang memutar roda kehidupan
alam semesta lengkap dengan segala penghuninya.
Atas dasar fakta-fakta tersebut diatas, maka Para Penggugat tiba pada
pokok gugatan, sebagaimana berikut dibawah ini, yakni:
1. Mengabulkan gugatan Para
Penggugat untuk sepenuhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan kepentingan umum semesta;
3. Menghukum Tergugat untuk
lengser atau mengundurkan diri dari singgasananya;
4. Menyatakan ideologi atau
dogma maupun wahyu terkait “penghapusan dosa”, atau apapun itu istilahnya,
sebagai ajaran yang “toxic” alias
“BERACUN”;
5. Menghapus bersih seluruh
dogma “penghapusan dosa” maupun istilah-istilah sejenisnya, baik untuk masa
kini, masa lampau, maupun dimasa yang akan datang, mencoretnya dari “Kamus
Semesta”, serta dinyatakan sebagai IDEOLOGI SESAT-TERLARANG, disamping
sebagai ideologi yang lebih berbahaya dan paling berbahaya daripada ideologi
manapun yang pernah dikenal oleh peradaban umat manusia;
6. Menyatakan Turut Tergugat
hanya patut dan layak dijebloskan ke alam neraka;
7. Menyatakan diberlakukan
kembali “hukum merit” sebagai hukum diatas hukum dan sebagai hukum semesta yang
tidak dapat lagi diganggu-gugat ataupun diubah, baik untuk masa lampau, masa
kini, maupun dimasa yang akan datang;
8. Mencoret nama-nama dan
mengeluarkan Turut Tergugat dari alam surgawi, tanpa terkecuali;
9. Memerintahkan Turut Tergugat
untuk patuh dan tunduk pada putusan ini.
SUBSIDAIR : Bilamana Mahkamah
Semesta berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono), DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KEBESARAN SEMESTA ALAM JAGAT RAYA.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.