Cara Memahami Makna HARTA BERSAMA dan HARTA BAWAAN Lewat Contoh Praktik di Pengadilan
Question: Yang disebut harta bersama atau harta gono-gini, sebenarnya apa? Bagaimana cara memahaminya dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh orang awam hukum? Semisal orangtua suami ada kasih uang ke anaknya yang sudah dan masih terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang menjadi istri dari anaknya (menantu). Oleh si anak, uang itu dipakai untuk beli kios untuk ia berdagang. Maka apakah bisa, menantu ini kini ketika telah bercerai dengan suaminya, mengklaim bahwa itu adalah harta gono-gini yang dapat ia tuntut pembagiannya separuh-separuh?
Brief Answer: “Harta bersama” itu bahasa sederhananya ialah penghasilan
atau pemasukan dari jirih-payah bersama pasangan suami-istri dalam suatu
rumah-tangga / perkawinan. Segala sesuatu yang berasal dari “harta bawaan”,
bukanlah “harta bersama”. Diluar itu, alias diluar pendapatan bersama antar
suami-istri dalam perkawinan, maka bukanlah “harta bersama”, namun oleh hukum digolongkan
sebagai “harta bawaan”. “Harta bersama”, bermakna terjadi percampuran
harta-kekayaan antara suami dan istri selama masa perkawinan. Sebaliknya, “harta
bawaan” tetap sepenuhnya menjadi milik tunggal masing-masing pasangan, yang
tidak dapat diganggu-gugat oleh mantan pasangannya dikemudian hari.
Sebagai contoh, sebagaimana kita ketahui bahwa
harga tanah beserta atau tanpa bangunan di atasnya ialah sangat tinggi,
sehingga apakah mungkin ataukah mustahil, pasangan suami-istri yang baru
menikah beberapa tahun, mampu membeli sebidang tanah / rumah dari penghasilan
suami dan/atau istri? Maka, atas dasar alat bukti “persangkaan” yang dikenal
dalam Hukum Acara Perdata, patut diduga bahwa uang yang menjadi sumber
pendanaan pembelian bersumber dari “harta bawaan” salah satu pihak dalam perkawinan
bersangkutan, bukan bersumber dari “harta bersama”, karenanya tetap menjadi “harta
bawaan” salah satu pasangan—alias bukan “harta gono-gini”, sehingga tidak dapat
dituntut pembagiannya oleh mantan pasangan dikemudian hari.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat Putusan
Mahkamah Agung RI sengketa “harta gono-gini” mantan suami-istri register Nomor 1816
K/Pdt/2015 tanggal 30 Desember 2015, perkara antara:
- BONNY HARTANTO, sebagai Pemohon
Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- H. YUSUF MISBACH, sebagai Termohon
Kasasi, semula selaku Penggugat; dan
- R. ADE SAIDA ROCHMAH, selaku Turut
Termohon Kasasi, semula selaku Turut Tergugat.
Penggugat merupakan orangtua
kandung Turut Tergugat, alias mertua Tergugat. Antara Tergugat dan Turut
Tergugat, menikah tahun 2002 yang selama masa perkawinan belum memiliki kemampuan
dan kemapanan secara materi termasuk belum memiliki tempat tinggal sendiri sehingga
selama masa perkawinan Para Tergugat menetap di kediaman Penggugat. Dua tahun
kemudian, tahun 2004, Penggugat bermaksud membeli sebidang tanah seluas 331 m2 bersertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor di Jakarta Selatan (“Objek Tanah”), dimana Penggugat
atas sepengetahuan dan persetujuan Tergugat meminta Turut Tergugat untuk:
- Mengurus proses pembayaran
sejumlah Rp700.000.000,00; seluruhnya menggunakan uang milik Penggugat yang diserahkan
melalui transfer ke rekening Turut Tergugat, dipergunakan untuk membayar kepada
pihak penjual dengan cara transfer dari rekening Turut Tergugat ke rekening pihak
penjual tanah;
- Mengurus proses peralihan hak
di hadapan Notaris dan mencantumkan nama Turut Tergugat sebagai pihak pembeli
dalam Akta Jual Beli;
- Mempergunakan nama Turut
Tergugat dalam sertifikat tanah yang dibeli.
Tergugat juga mengetahui bahwa
uang pembelian Objek Tanah berasal dari Penggugat. Tahun 2009, ternyata
perkawinan antara Tergugat dan Turut Tergugat telah dinyatakan putus karena
perceraian lewat proses gugatan di pengadilan. Adapun bantahan dari pihak Tergugat,
selama perkawinan, telah diperoleh “harta bersama” salah satunya berupa pembelian
“Objek Tanah”, karena Turut Tergugat membelinya saat masih berstatus sebagai
istri dari Tergugat. Objek Tanah dalam gugatan Penggugat merupakan “harta
bersama” antara Tergugat dan Turut Tergugat, yang dibeli pada tanggal 30 Juni
2004, yaitu masih dalam masa perkawinan.
Terhadap gugatan sang mertua, Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 613/Pdt.G/2012/PN
Jkt. Sel. tanggal 10 Oktober 2013, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah atas sebidang tanah seluas 331
m2 yang berada di Jalan Minyak RT 010 RW 03, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan
Pancoran, Jakarta Selatan;
3. Menyatakan Tergugat telah tidak melakukan tindakan memberikan persetujuan
kepada Turut Tergugat untuk melakukan proses pengembalian hak atas tanah
seluas 331 m2 bersertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1197/Duren Tiga yang berada
di Jalan Minyak RT 010 RW 03, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan kepada Penggugat;
4. Menghukum Tergugat untuk memberikan persetujuan atas tindakan Turut Tergugat
untuk melakukan proses pengembalian hak atas tanah seluas 331 m2 bersertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor 1197/Duren Tiga yang berada di Jalan Minyak RT 010 RW
03, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan kepada Penggugat
dengan cara melalui akta hibah yang dibuat dan ditanda-tangani di hadapan
Notaris oleh Turut Tergugat kepada Penggugat, Atau apabila Tergugat tidak
memberikan persetujuan atas proses pengembalian hak atas tanah tersebut;
5. Memerintahkan kepada Turut Tergugat (Tanpa Persetujuan Dari Tergugat) untuk
melakukan proses pengembalian hak atas tanah seluas 331 m2 bersertifikat Hak
Guna Bangunan Nomor 1197/Duren Tiga yang berada di Jalan Minyak RT 010 RW 03, Kelurahan
Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan kepada Penggugat dengan cara
melalui akta hibah yang dibuat dan ditanda-tangani di hadapan Notaris oleh
Turut Tergugat kepada Penggugat;
6. Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk tunduk dan taat atas putusan
ini;
7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas
permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri diatas selanjutnya dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta lewat Putusan Nomor 380/PDT/2014/PT DKI.,
tanggal 11 Agustus 2014.
Pihak Tergugat mengajukan upaya
hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta
amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi tersebut
tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah meneliti dengan saksama Memori
Kasasi tanggal 24 Desember 2014 dan Kontra Memori Kasasi tanggal 3 Juni 2015
dan 28 April 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini
putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, ternyata Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dengan
pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Penggugat Konvensi dapat membuktikan pembeli yang sesungguhnya
atas tanah objek sengketa yang dibeli oleh Turut Tergugat karena uang pembelian
berasal dari Penggugat hanya saja menggunakan nama Turut Tergugat yaitu putri
Penggugat Konvensi (bukti P-1 s.d. P-4 berupa aliran dana seharga tanah a quo
kepada Turut Tergugat, uang tersebut telah digunakan oleh Turut Tergugat untuk
membeli objek sengketa in casu);
- Bahwa saat ini perkawinan antara Tergugat Konvensi dengan Turut
Tergugat (anak Penggugat) telah putus karena perceraian, sehingga Penggugat Konvensi
menginginkan objek sengketa a quo dikembalikan kepada Penggugat
Konvensi:
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi BONNY HARTANTO tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi BONNY HARTANTO
tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.