Partial Annulment dalam Putusan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)
Question: Bila dalam sengketa perdata di pengadilan negeri, dimungkinkan dan dibolehkan untuk menggugat dengan pokok tuntutan yakni menyatakan batal separuh isi perjanjian. Jadi, perjanjiannya sendiri tetap sah dan berlaku, hanya saja sebagian isi pasal-pasal di dalamnya dinyatakan tidak sah oleh hakim dalam putusannya. Bagaimana dengan sertifikat tanah BPN, kan ada semacam surat ukur sekian meter persegi luas tanahnya. Yang kami permasalahkan ialah ada sebagian bidang tanah dari sertifikat tersebut yang jelas-jelas mencaplok bidang tanah kami, sehingga terjadi tumpang-tindih tanpa kepastian hukum. Jelas kami selaku warga merasa keberatan juga merasa terancam oleh keberadaan sertifikat tanah yang diklaim sebagai milik pihak lain tersebut. Apakah bisa kami minta batalkan separuh isi sertifikat tanah BPN itu? Menggugatnya ke Pengadilan Negeri atau ke PTUN?
Brief Answer: Dalam terminologi hukum maupun “best practice” praktik peradilan,
menyatakan “kebatalan separuh” suatu isi kontrak / perjanjian maupun sertifikat
hak atas tanah adalah keniscayaan—bukan suatu hal yang tabu ataupun mustahil—dimana
istilahnya ialah “partial annulment”,
yakni separuh isinya dibatalkan oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara.
Hanya saja untuk membatalkan seluruh atau separuh isi suatu sertifikat hak atas
tanah yang diterbitkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional), menjadi yurisdiksi
atau kompetensi absolut dari PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), bukan ke Pengadilan
Negeri yang hanya berwenang membatalkan separuh isi perjanjian / kontrak. Adalah
mitos yang telah dipatahkan oleh preseden di PTUN, bahwa seolah PTUN hanya
berwenang menyatakan “sah seluruhnya” atau “tidak sah seluruhnya” suatu
keputusan tata usaha negara, seakan tidak ada opsi gradasi lain semisal untuk
membatalkan separuh isi keputusan tata usaha negara yang mendasari terbitnya
pemberian hak atas tanah kepada suatu pihak yang memohonkan pendaftaran hak
atas tanah.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi konkretnya
(law in concreto), dapat SHIETRA
& PARTNERS cerminkan dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa tata
usaha negara terkait sertifikat hak atas tanah, register Nomor 179 PK/TUN/2017 tanggal
21 November 2017, perkara antara:
- Kepala Kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Barat, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat;
melawan
- 6 (enam) orang warga, selaku Para
Termohon Peninjauan Kembali, semula sebagai Para Penggugat.
Yang menjadi Obyek Gugatan
ialah Surat Keputusan BPN tentang Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB)
Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November 2013, Nomor 00122/2013, Luas 1.172
m² di Kelurahan Kapuk Kecamatan Cengkareng,Kota Administrasi Jakarta Barat,
diterbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas nama pemegang serfitikat, yakni
terdiri dari nama-nama : Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert
Richard Karauwan, dan Adrian Abram Karauwan. Atas penerbitan Sertifikat Hak
Guna Bangunan oleh Tergugat, telah menimbulkan akibat hukum berupa Penggugat tidak
bisa memohonkan Hak atas bidang tanah yang telah mereka tempati dari tahun 1978,
dan Para penggugat kehilangan haknya untuk memperoleh tempat tinggal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengatur : “Seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa diserta ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”
Pada tanggal 20 Agustus 1978,
ayah dari Penggugat yaitu M. Akui telah membeli sebidang tanah, seluas Kurang
Lebih 600 m2 (enam ratus meter persegi), dengan kwitansi pembelian tertanggal
20 Agustus 1978. Karena kendala terbatasnya pengetahuan akan Hukum, maka bukti
terjadinya jual-beli tersebut hanya didasarkan pada kwitansi jual beli. [Note SHIETRA
& PARTNERS : Kuitansi bukanlah akta otentik PPAT juga bukanlah “alas
hak”, terlebih dibenakan sebagai cara untuk mengalihkan hak atas tanah. Namun
“alas hak” pihak Penggugat, ialah “aquisitive
verjaring”, yakni telah menempati dan menggarap bidang tanah secara “itikad
baik” selama kurun waktu 20—30 tahun lamanya, sehingga secara hukum telah
dikategorikan sebagai pemilik “akibat lewatnya waktu”.]
M. Akui sebagai ayah atau orang
tua kandung dari Penggugat dari tahun 1978 sampai dia meninggal, telah
membangun lima buah bangunan diatas tanah sengketa Tersebut, dan tidak pernah
melakukan peralihan atas tanah sengketa tersebut. Penggugat selalu melakukan
kewajibannya untuk membayar Pajak Bumi Bangunan dari tahun 1978 sampai tahun
2014 yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), atas tanah
Sengketa dimaksud seluas 643 m2.
Tanggal 09 September 2014,
Penggugat mendapatkan somasi yang memerintahkan Penggugat untuk segera
mengosongkan tanah oleh Robert R. Karauwan CS. yang merupakan anak dari Alex
Karauwan, dengan dalih Tanah Sengketa Tersebut adalah milik Robert R. Karauwan CS.
Penggugat merasa dirugikan, karena Tanah Sengketa yang dikuasai oleh Penggugat
dari tahun 1978, tidak pernah di jual Belikan Kepada siapapun. Sejak saat
itulah Penggugat selalu diintimidasi oleh Robert R. Karauwan, dengan dalih ia
mempunyai Sertifikat Hak Guna Bangunan atas Tanah Sengketa yang diterbitkan
oleh Tergugat.
Tindakan Tergugat yang menerbitkan
sertifikat atas tanah seluas kurang lebih 1.172 m2, telah merugikan Penggugat, mengingat
tanah Penggugat ikut masuk kedalam sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut,
sehingga kini diklaim sebagai milik pihak pemegang sertifikat tanah BPN. Tergugat
telah lalai menjalankan tugasnya berupa melakukan Pengukuran batas–batas atas
Tanah Sengketa, terbukti Surat Ukur dalam sertifikat Hak Guna Bangunan dimaksud
menyatakan bahwa objek Tanah Sengketa adalah sebidang tanah kosong, padahal
pada kenyataannya di dalam Tanah Sengketa tersebut telah berdiri 5 (lima) bangunan,
sejak tahun 1978.
Tindakan Tergugat menerbitkan
sertifikat atas tanah sengketa dengan sertifikat Hak Guna Bangunan dengan “gambar
situasi” yang menyertainya, merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka surat
keputusan BPN yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tersebut harus dibatalkan.
Para Penggugat baru mengetahui
adanya Sertifikat Tanah BPN dimaksud, pada saat Para Penggugat diperiksa di
Kepolisian Resort Jakarta Barat atas dugaan tindak pidana penggelapan dan
memasuki pekarangan orang lain tanpa izin Pasal 385 KUHP dan 167 KUHP. Atas
dasar peristiwa tersebut, Penggugat mohon kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta agar memberikan putusan sebagai berikut:
- Menyatakan batal atau tidak
sah Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November
2013, Nomor 00122/2013, Luas 1.172m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng,
Kota Administrasi Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas
nama pemegang Hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert Richard Karauwan,
Adrian Abram Karauwan;
- Memerintahkan kepada Tergugat
Untuk Mencabut Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21
November 2013, nomor 00122/2013, Luas 1.172 m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan
Cengkareng, Kota Administrasi Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1
September 2014 atas nama pemegang Hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert
Richard Karauwan, Adrian Abram Karauwan;
Terhadap gugatan Penggugat,
Tergugat mengajukan tanggapan dengan pokok bantahan bahwa gugatan Penggugat pada
intinya menyatakan M Akui membeli sebidang tanah, namun dalil demikian belum
pernah diuji kebenarannya secara perdata. Dengan kata lain, ada “sengketa
kepemilikan”, dimana untuk menguji apakah jual-beli tersebut sah atau tidaknya
merupakan kewenangan Pengadilan Perdata, sehingga gugatan Penggugat ke
Pengadilan Tata Usaha Negara bersifat “prematur”.
Terhadap gugatan Penggugat
maupun bantahan Tergugat, yang kemudian menjadi amar Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta Nomor 247/G/2014/PTUN.JKT, tanggal 30 April 2015, dengan
amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
I. DALAM EKSEPSI:
- Menyatakan Eksepsi Tergugat
Tidak Dapat Diterima (niet onvantkelijk verklaard);
II. DALAM POKOK SENGKETA:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Tergugat berupa; Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November 2013, Nomor 00122/2013,
Luas 1.172m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Kota Administrasi
Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas nama pemegang Hak
Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert Richard Karauwan, Adrian Abram
Karauwan, sepanjang bidang tanah milik Para Penggugat yang terletak dijalan
Kapuk Peternakan I Nomor 34 A – B, RT. 003, RW. 007, Cengkareng, Kota Jakarta
Barat Seluas Kurang Lebih 600 m² (enam ratus meter persegi);
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut keputusan berupa: Sertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November 2013, Nomor
00122/2013, Luas 1.172m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Kota
Administrasi Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas nama
pemegang Hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert Richard Karauwan, Adrian
Abram Karauwan, dengan mengeluarkan bidang tanah milik Para Penggugat yang
terletak dijalan Kapuk Peternakan I Nomor 34 A – B, RT. 003, RW. 007,
Cengkareng, Kota Jakarta Barat Seluas Kurang Lebih 600 m² (enam ratus meter
persegi) sesuai dengan ketentuan perundang–undangan yang berlaku;
4. Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan kembali Surat Hak Guna
Bangunan (SHGB) atas nama pemegang hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo,
Robert Richard Karauwan, Adrian Abram Karauwan, setelah dikurangi dan
dikeluarkan bidang tanah milik Para Penggugat yang terletak di Jalan Peternakan
I Nomor 34 A – B, RT. 003, RW. 007, Cengkareng, Kota Jakarta Barat seluas
Kurang Lebih 600 m² (enam ratus meter persegi) sesuai dengan ketentuan
perundang–undangan yang berlaku;”
Dalam tingkat banding, yang
menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
200/B/2015/PT.TUN.JKT, tanggal 1 Oktober 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat / Pembanding;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 247/G/2014/PTUN-JKT
tanggal 30 April 2015 yang dimohonkan banding;”
Berlanjut dalam tingkat kasasi,
yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 162K/TUN/2016, tanggal
16 Mei 2016, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: KEPALA KANTOR PERTANAHAN
KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT tersebut;”
Pihak BPN mengajukan upaya
hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa dalam hukum
acara perdata berlaku asas : hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu.
Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan
perubahan atau pengurangan pokok tuntutan dalam surat gugatan pihak Penggugat,
sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan hakim pada dasarnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan
para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra
petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan
dan dibuktikan para pemohon atau penggugat.
Hakim masih diperkenankan menambah
pokok sengketa dan atau memberikan putusan melebihi dari apa yang digugat oleh
pihak Penggugat sebagaimana dalam surat gugatannya, namun memiliki batas alias
bersifat limitatif, yakni kompentensi atau wewenang PTUN itu sendiri dalam
memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
yang telah diberi rambu-rambu oleh Undang-Undang, yaitu hanya berupa
pernyataan sah atau tidak sah suatu keputusan tata usaha negara (KTUN)—jika
tidak sah maka dibatalkan. Ketentuan ini adalah sekaligus menjadi batasan
sampai sejauh mana putusan yang dapat diberikan oleh Hakim PTUN terhadap
sengketa yang diperiksanya.
Putusan peradilan administrasi memiliki
karakteristik khusus apabila dibandingkan dengan putusan pada lingkup peradilan
yang lain, sebab putusan PTUN tidak memberikan ruang diskresi yang luas dengan
segala disparitas keadilannya. Pasal 53 ayat (1) UU PTUN membatasi hakim untuk
memilih antara menyatakan tidak sah atau batalnya obyek sengketa (KTUN) yang
digugat, atau menyatakan keabsahan objek sengketa tersebut dalam bentuk menolak
gugatan. Hal ini jelas berbeda dengan putusan peradilan pidana maupun perdata,
yang memberikan ruang yang begitu besar bagi majelis hakim untuk memutus suatu
perkara dengan tingkat disparitas yang besar pula (Yos Johan Utama,
2009.Membangun Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berwibawa, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, Badan Penerbit Undip, hlm.10.).
Ketentuan dimaksud ialah Pasal
53 ayat (1) juncto Pasal 97 ayat (7),
(8), (9), (10), Pasal 110 dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dalam
hal gugatan dikabulkan, maka opsi hakim TUN dalam memutus hanya dapat berkisar pada
koridor rumusan amar sebagai berikut:
1) Mengabulkan gugatan
Penggugat (untuk seluruhnya atau sebagian);
2) Membatalkan atau menyatakan
tidak sah Keputusan objek sengketa (dicantumkan secara lengkap tanggal, nomor,
perihal, atau ciri-ciri atau identitas Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan);
3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan; atau
4) Mewajibkan Tergugat untuk
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
5) Mewajibkan Tergugat untuk
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (dalam hal objek sengketanya adalah
keputusan fiktif negatif);
6) Mewajibkan Tergugat yang
tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif, serta diumumkan pada media massa cetak setempat
(digunakan terhadap amar Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c);
7) Menguhukum Tergugat untuk
membayar biaya perkara.
Para Penggugat tidak mampu
membuktikan perolehan hak atas tanah tersebut menurut ketentuan hukum yang
berlaku. Dengan kalimat lain, putusan Majelis Hakim mengakui klaim hak atas pihak
Penggugat, hanya berdasarkan bukti berupa kuitansi—kuitansi mana juga patut
dipertanyakan relevansinya dengan bukti pelunasan, bahkan juga perlu
dipertanyakan keasliannya sebagai bukti pelunasan mengingat Para Penggugat tidak
pernah melakukan jual beli baik dengan Nico Albert Frederick Mamesah maupun
dengan Alex Karauwan, apalagi jual belinya dibuat secara sah dan otentik lewat
akta PPAT sebagaimana diwajibkan oleh PP 24 Tahun 1997.
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa putusan Judex Juris sudah tepat dan benar, karena tidak terdapat kekhilafan
Hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf (f)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
- Bahwa kekhilafan yang dimaksud Pemohon Peninjauan Kembali hanya
berisi perbedaan pendapat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh: KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali:
KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI Jakarta BARAT tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.