Ajaran Perihal HUKUM KARMA = AGAMA SUCI bagi Mereka yang Berlatih Self-Control
Dogma Iming-Iming Korup PENGHAPUSAN DOSA = AGAMA DOSA
bagi Para Pendosawan
Question: Apakah dalam Agama Buddha, ada dogma semacam penghapusan dosa, penebusan dosa, pengampunan dosa, atau sejenisnya?
Brief Answer: Yang diajarkan satu-satunya olApakah dalam Agama Buddha, ada dogma semacam penghapusan dosa, penebusan dosa, pengampunan dosa, atau sejenisnya?eh Sang Buddha ialah, ialah perihal prinsip egalitarian alias “sistem merit” bernama “Hukum Karma”, alias “hukum tentang sebab dan akibat” atau yang lebih populer dikenal sebagai “hukum tabur dan tuai”. Ajaran perihal “Hukum Karma” itu sendiri bersifat bertolak-belakang serta menegasikan dogma-dogma curang semacam “penghapusan dosa” (abolition of sins) atau apapun itu istilahnya. Hanya kalangan pendosa, yang butuh serta termakan iming-iming “too good to be true” bernama “penghapusan dosa”—dosa-dosa mana telah menggunung (“too big to fall”) akibat setiap harinya memproduksi dosa, mengoleksi segudang dosa, menimbun dan mengubur diri dengan dosa, menyelami dosa, serta memakan dosa, alias menjadi pelanggan tetap “dosa plus penghapusan dosa” sebagai satu paket yang saling berkomplomenter.
Siswa-siswi Sang Buddha diajarkan untuk
bertanggung-jawab serta mampu mempertanggung-jawabkan atas perbuatan-perbuatan buruk
mereka sendiri, baik perbuatan buruk yang besar maupun yang kecil, baik disengaja
maupun tidak. Buddhisme, karenanya hanya mengkampanyekan jalan hidup terasing
serta terbebas dari kekotoran batin (higienis dari dosa)—alih-alih seperti agama-agama
samawi yang justru mempromosikan dosa dan maksiat dalam rangka
tumbuh-kembangnya dogma “penghapusan dosa” yang menjadi magnet utama bagi para pendosa
untuk menjadi umat pemeluknya. Untuk memuliakan Sang Buddha, para
siswa-siswi-Nya menjadi manusia yang mulia, setidaknya menjadi manusia yang
berjiwa ksatria yang siap dan bersedia dimintakan pertanggung-jawaban serta
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan mereka yang pernah menyakiti,
melukai, maupun merugikan pihak lain.
Itulah juga sebabnya, tidak semua orang sanggup
dan mampu menekuni jalan Buddhisme, dimana Buddhisme lebih menekankan
pentingnya aspek kualitas ketimbang kuantitas (jumlah) umat. Bertolakbelakang dengan
Buddhisme, dalam agama-agama samawi tidak dikenal istilah “kualitas umat lebih
penting daripada kuantitas”, mengingat seluruh umat agama-agama samawi notabene
ialah kalangan para pendosa dimana sesama umatnya ialah pendosa-pendosa yang
selama ini setiap harinya, setiap tahunnya, bahkan saat upacara kematian sanak-keluarga
mereka, memohon “penghapusan dosa” secara vulgar—sekalipun “dosa / maksiat”
dan “penghapusan dosa” merupakan “aurat tertinggi” alias “lebih aurat daripada
aurat” namun dipertontonkan bahkan dipromosikan lewat pengeras suara tanpa
rasa malu ataupun tabu.
Para pendosawan tersebut, terlampau pengecut
untuk bertanggung-jawab atas perbuatan buruk mereka sendiri, dan disaat
bersamaan terlampau pemalas menyingsingkan lengan baju untuk menanam benih-benih
perbuatan bajik. Mereka ibarat “orang buta”, “orang buta” mana dituntun
oleh “orang buta” (pendosawan) lainnya yang tidak lebih suci perilaku dan
moralitasnya daripada para penikmat “penghapusan dosa” bersangkutan. Yang disebut
sebagai hebat dan jantan, bukanlah mereka yang berani berbuat dosa namun tidak
berani bertanggung-jawab atas akibat perbuatan mereka sendiri, namun mereka
yang siap dan sedia bertanggung-jawab. Yang disebut sebagai mulia, ialah mereka
yang dengan ketat menjalani latihan praktik nyata disiplin diri berupa “self-control”.
Itulah sebabnya, tidak semua orang sanggup dan
mampu menjalani jalan Buddhistik. Bila yang satu, sebagai contoh terhadap nafsu
birahi, mengatasinya lewat latihan “self-control”,
akan tetapi yang disebut satunya lagi justru menyikapinya lewat “kawin lagi”,
dimana tidak terpuaskan maka “kawin lagi, lagi, dan lagi”. Apalah yang hebat,
dari seseorang yang mampu banyak kawin? Orang-orang yang banyak materi, tentu
sanggup melakukannya. Namun, tidak semua orang sanggup dan mampu menjalani
latihan praktik “self-control”. Semua
orang sanggup menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua diantara
mereka yang sanggup menjadi seorang ksatriawan, terlebih menjadi seorang
suciwan. Tidak suka dengan yang berbeda keyakinan, “bunuh” dan “selesaikan setiap
masalah dengan kekerasan fisik” (represif) sebagai satu-satunya pendekatan yang
ditempuh, sangat bertolak-belakang dari jalan misionaris Buddhisme.
PEMBAHASAN:
Terdapat salah satu pengungkapan
yang menarik mengenai cara kerja Hukum Karma, sebagaimana khotbah Sang
Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical
Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
100 (9) Segumpal Garam
“Para bhikkhu, jika
seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara
yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada
menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk
sepenuhnya mengakhiri penderitaan.
[Kitab Komentar :
Posisi pertama, yang ditolak
oleh Sang Buddha, tertulis dalam Pāli: Yo,
bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā ‘yaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā taṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, evaṃ santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso na hoti, okāso na paññāyati sammā dukkhassa
antakiriyāya. Dan yang ke dua, ditegaskan oleh Beliau, tertulis: Yo ca kho, bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā vedanīyaṃ ayaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā ‘ssa vipākaṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, evaṃ santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso hoti, okāso paññāyati sammā dukkhassa
antakiriyāya.
Perbedaan pasti antara kedua
posisi itu tidak jelas. Sebagai perbandingan, terjemahan Bahasa Pali versi
Mahayana mengatakan, melalui penjelasan: “Dengan cara yang persis sama: Jika seseorang
mengatakan, ‘Seseorang mengalami akibat kamma
yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ oleh karena itu, karena adalah
tidak mungkin untuk mencegah akibat kamma
setelah dilakukan, maka ia pasti mengalami akibat dari kamma apa pun yang telah ia lakukan. Dalam kasus demikian, maka
tidak ada menjalani kehidupan spiritual: kamma
yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, yang dilakukan sebelum
pengembangan sang jalan, pasti harus dialami, apakah ia menjalani kehidupan
spiritual atau tidak. Tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya
mengakhiri penderitaan: karena, dalam kasus demikian, ada akumulasi kamma olehnya dan mengalami akibatnya,
oleh karena itu suatu kesempatan tidak akan terlihat untuk mengakhiri
penderitaan dalam lingkaran.”
Poin yang ingin dijelaskan terjemahan
versi Mahayana, tampaknya, adalah bahwa jika seseorang harus mengalami akibat
dari setiap kamma yang ia lakukan
dari jenis yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, dan setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang
harus dialami dalam beberapa kehidupan berikutnya, maka ia harus melanjutkan kelahiran
kembali yang berikutnya, dan ke dalam kelahiran kembali di masa depan yang
tidak terhingga, untuk mengalami akibat-akibat itu.
Dalam kasus demikian, karena kamma-kamma itu pasti akan matang, maka
ia harus tetap berada dalam saṃsāra untuk mengalami buah-buahnya. Akan tetapi, hal
ini tidak sepenuhnya jelas dari sutta itu sendiri, jika ini adalah makna yang
dimaksudkan. Sebaliknya, tampaknya, bahwa apa yang disampaikan oleh sutta ini adalah
bahwa seseorang tidak harus mengalami akibat kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya (sehingga,
misalnya, jika seseorang membunuh orang lain, maka ia tidak harus dibunuh
sebagai balasannya).
Intinya, adalah bahwa ketika kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat
seseorang menjadi matang, maka akibat itu harus dialami, berturut-turut,
sebagai menyenangkan dan sebagai menyakitkan, walaupun tingkat kesenangan dan
kesakitannya tidak harus bersesuaian dengan kekuatan moral dari perbuatan
penyebabnya.]
“Tetapi jika seseorang
mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma yang harus
dialami dengan cara tertentu, maka ia akan mengalami akibatnya persis dalam
cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin
dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.
[Kitab Komentar :
Terjemahan Pali versi Mahayana menjelaskan
ini dalam terminologi teori Abhidhamma bahwa kamma dilakukan melalui tujuh javanacitta, peristiwa pikiran yang
aktif secara kamma dalam proses
kognisi. Javana pertama adalah jenis
yang harus dialami dalam kehidupan ini (diṭṭhadhammavedanīya); jika kehilangan kesempatan
untuk matang dalam kehidupan ini, maka akan menjadi mandul (ahosi).
Javana ke tujuh adalah yang harus
dialami setelah kelahiran kembali dalam kehidupan berikutnya (upapajjavedanīya), dan jika kehilangan
kesempatan untuk matang dalam kehidupan itu, maka akan menjadi mandul. Kelima javana yang di tengah harus dialami pada
beberapa kesempatan berikutnya (aparapariyāyavedanīya),
yang berarti bahwa kamma itu dapat
menjadi matang setiap saat setelah kehidupan berikut selama ia masih berlanjut
dalam saṃsāra.
Karena teori Abhidhamma diatas baru
muncul lama setelah penyusunan Nikāya-nikāya, maka adalah tidak mungkin bahwa
ini menyampaikan inti dari paragraf yang sekarang ini. Teks tampaknya hanya
mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan kamma
tidak bermanfaat, maka ia akan mengalami akibatnya sebagai menyakitkan, apakah
pada tingkat yang kuat atau lemah, tetapi tingkat dari akibat ini tidak selalu
berbanding lurus dengan bobot perbuatan penyebab tersebut.
Pernyataan sebaliknya berpegang
pada kamma bermanfaat, yang harus
dialami sebagai menyenangkan. Adalah variabel ini yang memperbolehkan
seseorang, melalui pengembangan sang jalan, untuk mengatasi konsekuensi-konsekuensi
dari kamma berat yang tidak
bermanfaat dan karenanya mencapai akhir penderitaan dalam saṃsāra.]
“Di sini, para bhikkhu, seseorang
telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju
neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang
persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit
[sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].
“Orang jenis apakah yang
melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang
tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan;
ia terbatas dan berkarakter rendah, dan ia berdiam dalam penderitaan. Ketika
orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya
menuju neraka.
[Kitab Komentar : Paritto appātumo. Ia terbatas karena
keterbatasan moralitasnya (parittaguṇo). Dirinya (ātumā)
adalah tubuhnya (attabhāvo); walaupun
tubuhnya mungkin besar, namun ia memiliki ‘karakter rendah’ karena keterbatasan
moralitasnya.]
“Orang jenis apakah yang melakukan
kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan
ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini,
seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan
kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan berkarakter mulia, dan ia berdiam tanpa
batas. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis
sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa]
yang terlihat, apalagi banyak [sisa]. [250]
[Kitab Komentar : Aparitto mahttā. Ia tidak terbatas
karena moralitasnya tidak terbatas; bahkan walaupun tubuhnya kecil, namun ia
memiliki ‘karakter besar’ karena besarnya moralitasnya (guṇamahantatāya mahattā).]
(1) “Misalkan seseorang
menjatuhkan segumpal garam ke dalam semangkuk kecil air. Bagaimana menurut
kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sedikit air dalam
mangkuk itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?”
“Benar, Bhante. Karena alasan
apakah? Karena air di dalam mangkuk itu terbatas, dengan demikian gumpalan
garam itu akan membuatnya asin dan tidak dapat diminum.”
“Tetapi misalkan seseorang
menjatuhkan segumpal garam ke dalam sungai Gangga. Bagaimana menurut kalian,
para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sungai Gangga itu menjadi asin
dan tidak dapat diminum?”
“Tidak, Bhante. Karena alasan
apakah? Karena sungai Gangga berisikan banyak air dengan demikian gumpalan
garam itu tidak akan membuatnya asin atau tidak dapat diminum.”
“Demikian pula, para
bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal
itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan
kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan
ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].
“Orang jenis apakah yang
melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang
tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan.
Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan
mengarahkannya menuju neraka.
“Orang jenis apakah yang
melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam
kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak
[sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran,
dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang
persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit
[sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].
(2) “Di sini, para bhikkhu,
seseorang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, [251] atau seratus kahāpaṇa, sedangkan seorang lainnya tidak dipenjara karena [mencuri] sejumlah
uang yang sama.
[Kitab Komentar : Kahāpaṇa merupakan
satuan mata uang utama yang digunakan di India Utara pada masa Sang Buddha.]
“Orang jenis apakah yang
dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu
kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini, seseorang
yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Orang seperti itu akan
dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau
seratus kahāpaṇa.
“Orang jenis apakah yang
tidak dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu
kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini,
seseorang yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan. Orang seperti itu tidak
akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu
kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa.
“Demikian pula, para bhikkhu,
seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu
mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma
yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan
tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].
“Orang jenis apakah yang
melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di
sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani … dan kebijaksanaan. Ketika
orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya
menuju neraka.
“Orang jenis apakah yang
melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam
kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak
[sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran,
dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang
persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit
[sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].
(3) “Para bhikkhu, ambil kasus
seorang pedagang domba atau tukang daging, [252] yang dapat mengeksekusi,
memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seseorang yang mencuri seekor
dombanya tetapi tidak dapat melakukannya kepada orang lain yang mencuri
dombanya.
“Orang jenis apakah yang dapat
dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba
atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang miskin, dengan
sedikit harta dan kekayaan. Si pedagang domba atau tukang daging dapat
mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang
demikian karena mencuri dombanya.
“Orang jenis apakah yang tidak
dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang
domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang kaya, dengan
banyak uang dan kekayaan, seorang raja atau menteri kerajaan. Si pedagang domba
atau tukang daging tidak dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau
setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya; ia hanya dapat
memohon kepadanya: ‘Tuan, kembalikanlah dombaku atau bayarlah.’
“Demikian pula, para bhikkhu,
seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu
mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma
yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan
tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].
“Orang jenis apakah yang
melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang
tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan;
ia terbatas dan berkarakter rendah, dan ia berdiam dalam penderitaan. Ketika
orang demikian [253] melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan
mengarahkannya menuju neraka.
“Orang jenis apakah yang
melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam
kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak
[sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran,
dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan berkarakter mulia, dan ia berdiam
tanpa batas. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis
sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa]
yang terlihat, apalagi banyak [sisa].
“Jika, para bhikkhu, seseorang
mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis
sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada
menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk
sepenuhnya mengakhiri penderitaan. Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai
berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma yang harus dialami dengan cara
tertentu, maka ia akan mengalami akibatnya persis dalam cara itu,’ dalam kasus
itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan
terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”
[NOTE : Bila kita hanya sekadar
pasrah berspekulasi pada karma masa lampau yang akan beruah pada kehidupan masa
kini kita, tanpa membangun “benteng perlindungan diri” lewat praktik nyata
latihan disiplin diri, disiplin pikiran, dan disiplin moralitas yang ketat,
maka itu sama artinya Anda akan menjadi budak serta korban alias objek dari
karma masa lampau Anda sendiri, menerima kenyataan pahit tanpa daya.
Apa yang telah kita tanam di
masa lampau, tidak bisa diubah ataupun dihapuskan, itulah fakta yang harus kita
hadapi, serta harus kita sikapi secara arif. Satu-satunya “benteng perlindungan
diri”, ialah dengan menjalankan praktik latihan disiplin diri, disiplin
pikiran, dan disiplin moralitas yang ketat.]
~0~
101 (10) Pembersih Kotoran
“Para bhikkhu, ada kekotoran
kasar dari emas: tanah, pasir, dan kerikil. Sekarang sang pembersih kotoran
atau muridnya pertama-tama menuangkan emas itu ke dalam sebuah wadah dan
mencuci, membilas, dan membersihkannya. Ketika kekotoran kasar itu telah disingkirkan
dan dilenyapkan, masih ada kekotoran berukuran menengah dalam emas itu: kerikil
halus dan pasir kasar. Sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas,
dan membersihkannya lagi. Ketika kekotoran menengah itu telah disingkirkan dan
dilenyapkan, masih ada kekotoran halus dalam emas itu: pasir halus dan debu
kehitaman. Maka sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas, dan
membersihkannya lagi. Ketika kekotoran halus itu telah disingkirkan dan
dilenyapkan, maka hanya butir-butiran emas yang tersisa.
“Sang pandai emas atau muridnya
sekarang menuangkan emas itu ke dalam panci pencairan¸ dan mengipasnya,
mencairkannya, [254] dan meleburnya. Tetapi bahkan ketika hal ini telah
dilakukan, emas itu masih belum bersih dan kotorannya masih belum sepenuhnya
disingkirkan. Emas itu masih belum lunak, belum dapat dibentuk, dan belum
cerah, melainkan masih rapuh dan belum dapat dikerjakan dengan baik.
“Tetapi sewaktu si pandai emas
melanjutkan mengipas, mencairkan, dan melebur emas itu, akan tiba waktunya
ketika emas itu menjadi bersih dan kotorannya sepenuhnya disingkirkan, sehingga
emas itu menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan dapat dikerjakan
dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas –
apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas – maka ia
dapat mencapai tujuannya.
“Demikian pula, para bhikkhu, ketika
seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, (1) ada padanya
kekotoran kasar: perbuatan buruk jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang
bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan
melenyapkannya. Setelah hal ini dilakukan, (2) masih ada padanya kekotoran
menengah: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran
mencelakai. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan
menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, (3)
masih ada padanya kekotoran halus: pikiran-pikiran tentang sanak saudaranya,
pikiran-pikiran tentang negerinya, dan pikiran-pikiran tentang reputasinya.
Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan,
dan melenyapkannya.
“Ketika hal ini telah
dilakukan, maka di sana hanya tersisa pikiran-pikiran yang berhubungan dengan
Dhamma. Konsentrasi itu belum damai dan luhur, tidak diperoleh melalui ketenangan
penuh, tidak mencapai kesatuan, melainkan dikekang dan ditahan melalui penekanan
[kekotoran-kekotoran] secara paksa.
[Kitab Komentar : Penerjemah
lainnya menerjemahkan dari Bahasa Pali menjadi : “tetapi dicapai ketika [kekotoran] dikekang dengan menekan[nya] secara
paksa.”]
“Tetapi, para bhikkhu, akan
tiba saatnya ketika pikirannya secara internal menjadi kokoh, tenang, menyatu,
dan terkonsentrasi. Konsentrasi itu damai dan luhur, diperoleh melalui
ketenangan penuh, dan mencapai penyatuan; tidak dikekang dan ditahan melalui
penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa. Kemudian, jika ada landasan yang
sesuai, maka ia mampu merealisasi kondisi apa pun yang dapat direalisasikan
melalui pengetahuan langsung ke mana ia mengarahkan pikirannya.
[Kitab Komentar : Penerjemah
lain menuliskan: “Bhikkhu itu mencapai
konsentrasi yang tidak dipertahankan oleh usaha; ia mencapai keadaan damai dan
luhur, keadaan diam yang bahagia, pikiran yang menyatu, di mana semua noda
dihancurkan”.
Yassa yassa ca abhiññā
sacchikaraṇīyassa dhammassa cittaṃ abhininnāmeti abhiññā sacchikiriyāya tatra tatreva sakkhibhabbataṃ pāpuṇāti sati sati āyatane. Terjemahan versi Mahayana menjelaskan
“landasan yang sesuai” sebagai “penyebab masa lalu dan jhāna yang dicapai pada masa sekarang, dan hal-hal lainnya, yang
menjadi landasan bagi pengetahuan langsung” (pubbahetusaṅkhāte ceva īdāni ca paṭiladdhabbe abhiññāpādakajjhānādibhede ca sati sati kāraṇe).
Dijelaskan, landasan bagi
pengetahuan langsung sebagai pikiran terkonsentrasi yang telah mencapai
delapan kualitas: yaitu, (1) murni, (2) bersih, (3) tanpa noda, (4) bebas dari
kekotoran, (5) lunak, (6) dapat diarahkan, (7) kokoh, dan (8) mencapai
ketanpa-gangguan. Dengan kata lain, ini mengatakan, “terkonsentrasi”
dapat dianggap sebagai kualitas pertama dan “kokoh dan mencapai
ketanpagangguan” secara bersama-sama merupakan yang ke delapan.]
[255] “Jika ia menghendaki:
‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku
menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap;
semoga aku berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding,
menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; semoga aku menyelam masuk
dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku berjalan di
atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga
aku terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tanganku semoga aku
menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku
mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya,
jika ada landasan yang sesuai.
[Kitab Komentar : Ini memulai
paragraf kanonis standar tentang enam jenis pengetahuan langsung (abhiññā).]
“Jika ia menghendaki:
‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia,
mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia
mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.
[NOTE : Berbagai kekuatan batin
merupakan buah dari latihan mental yang terkonsentrasi alias lewat latihan konsentrasi,
samantha bhavana.]
“Jika ia menghendaki:
‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah
melingkupi mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami pikiran dengan
nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran
tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan
pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi
sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa
delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran
kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai
pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui
dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui;
pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak
terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan
sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak
terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki:
‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua
kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran,
dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh
kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak
kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa
penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana [256]
aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti
ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama
ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di
sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku
seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku
selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini” – semoga
aku mengingat banyak kehidupan lampauku dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia
mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki:
‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat
makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan
baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana
makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: “Makhluk-makhluk
ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran,
yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang
berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian,
telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam
rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam
perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia,
yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada
pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir
kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga” - demikianlah dengan mata
dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku melihat makhluk-makhluk meninggal
dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan baik dan
berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk
mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada
landasan yang sesuai.
“Jika ia menghendaki:
‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan
untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda,
kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di
dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.